Selesai berpakaian, aku mematut diri di depan cermin yang terpasang di pintu lemari. Menyisir rambut lalu segera beranjak keluar sebab Bude sejak tadi sudah memanggil untuk makan siang. Melangkah ragu aku menuju dapur. Ada rasa segan jika aku harus menjadi beban bagi orang lain. Sampai dapur, Rupanya Bude sudah menunggu di depan meja makan, berseberangan dengan lelaki bernama Alvin itu. “Sini, Lintang! Kita makan sama-sama!” ajak Bude sembari melambaikan tangan. Aku menurut. Mendekat ke arah Bude kemudian menarik kursi kayu lalu meletakkan bokong di atasnya. Di atas meja berjejer lauk yang didominasi olahan berbahan dasar tempe. Aku menyendok nasi lalu mengambil sepotong tempe bacem. “Maaf ya, Lintang. Lauknya seadanya,” ucap Bude. “Enggak apa-apa Bude, ini juga sudah banyak kok,” sahutku. Lalu, kami bertiga mulai menikmati makan siang. Dalam hati aku sangat bersyukur bisa makan bersama meski dengan lauk sederhana. Saat kami tengah sibuk menikmati makanan, terdengar suara pere
“Emangnya kita belanja di mana, Vin?” tanyaku saat kami hendak naik motor. “Di Pasar Baru,” jawabnya. “Tempat ruko Papaku berada ya?” “Iya,” Aku tersenyum simpul. Ini namanya sekali mendayung dua pulau terlampaui. Bisa menemani Alvin belanja, sekaligus mengintip ruko Papa. Ah ... bukan! Tepatnya ruko kosong di sebelah kepunyaan Papa. Ya! Aku memang berencana mengontrak ruko itu. Tentu saja karena ingin menyaingi Papa. Berbekal sedikit pengalaman, aku yakin mampu menghancurkan mereka dengan cara yang sehat. Apalagi Bude bilang Bu Sri selalu menjual dagangannya dengan harga yang mahal. Jadi, aku yakin akan mampu bersaing. “Bude bilang ada tempat kosong di pasar baru ya?” tanyaku lagi. “Iya, emangnya kenapa?” “Enggak kok, tanya aja. Kamu kenal pemiliknya?” “Kenal,” “Nanti antar aku ke sana ya?” mohonku. Alvin mengernyit heran. Sepasang matanya menatap lekat pada wajahku sampai aku salah tingkah. “Ngapain ke sana?” cecarnya. “Entar aku ceritain. Yuk berangkat!” ajakku. Kemud
Sekitar pukul lima sore kami baru sampai di rumah. Tanpa bicara, Alvin langsung menerobos masuk meski Bude menyambut. Tentu saja ini menimbulkan kecurigaan. “Alvin kenapa, Lintang? Kok kayak gitu?” tanya Bude dengan sepasang mata mengekori langkah anaknya. “Enggak tahu, Bude,” jawabku bohong. Sebenarnya aku ingin bercerita kalau kami habis ketemu perempuan yang mungkin kekasih Alvin. Namun, aku khawatir ini justru akan membuat pikirannya semakin kacau. Biar dia saja yang bercerita pada ibunya. “Ya sudah, sekarang kamu mandi dulu, nanti bantu Bude masak,” “Iya, Bude.” Lalu, aku beranjak masuk ke kamar. Sejenak kurebahkan tubuh di atas ranjang sekedar melepas lelah. Setelah itu, baru beranjak mandi. Selepas magrib aku membantu Bude menyiapkan makan malam. Kami banyak mengobrol tentang kehidupan masing-masing. Tentu saja tak kuceritakan tentang kehidupanku yang lumayan enak. Khawatir dibilang pamer. “Tolong panggil Alvin, Lintang!” perintah Bude setelah semua tersaji di meja mak
Mencoba abai dengan ucapan Gea, aku mengekori langkah Papa masuk ke dalam. Kuedarkan pandangan ke sekeliling melihat ruang tamu yang baru pertama kusinggah. Dari kemarin tak pernah mereka mengajak masuk. “Ngapain lihat-lihat? Enggak pernah masuk ke rumah mewah ya?” ejek Hana dengan setengah tertawa. Aku mencebikkan bibir. Lantai keramik saja sudah sesombong ini, apalagi kalau yang lebih bagus. Bisa-bisa dia semakin sombong. Sebenarnya aku ingin membalas ucapan Gea, tapi lebih memilih diam karena sedang mengikuti permainan mereka. “Duduk!” ucap Bu Sri setengah membentak. Aku tak heran karena susah menduga hal ini. Sikap baik yang dia tunjukkan di depan Bude hanya palsu belaka. Dan aku sudah menduganya. Aku menurut. Duduk di sofa mengikuti mereka. “Kamu duduk di bawah. Tak pantas di situ!” bentak Gea. Diam, aku menoleh pada Papa. Lelaki itu seperti tak nyaman dengan ucapan anaknya, tapi sayangnya dia bergeming, tak berusaha membelaku. Apa begitu cara menjadi seorang Bapak?Lalu,
Dering nada panggilan dari ponsel membuatku terjaga dari tidur yang belum berapa lama. Meski mata masih terasa lengket, aku meraba benda pipih yang tergeletak di atas meja. Sebuah kontak yang kuberi nama ‘Mama’ terpampang di layar. Gegas aku menggeser tombol berwarna hijau lalu mulai menyapa. “Iya, Ma!” ucapku memulai obrolan. “Gimana? Kamu sudah ketemu Papa kan?” tanya suara dari seberang sana. “Iya ... sudah,” “Terus, apa keluarga Papa menerimamu?” Pertanyaan Mama memaksa otak berpikir keras. Jika bilang diperlakukan buruk, sudah pasti Mama akan meminta lekas pulang. Tentu tak ada kesempatan membalas Papa dan keluarganya. “Iya, Ma! Papa menerimaku. Mereka sangat sayang,” ucapku berusaha menutupi fakta. “Alhamdulillah ... akhirnya Papa mau mengakui juga,” ucap Mama. “Mengakui bagaimana?” tanyaku kemudian. “Ya kan dulu Papa tak mengakuimu sebagai anak. Tapi itu hanya masa lalu. Yang penting sekarang semua sudah selesai,” jelas Mama. Astaga! Pantas saja perlakuan Papa seperti
Aku menyeka sudut mata yang mulai digenangi bulir bening. Membayangkan Nita berkhianat saja sudah sangat menyakitkan apalagi kalau benar terjadi. Bisa-bisa aku depresi. “Ah ... semoga tak seperti itu.” Aku bermonolog mencoba menepis syak wasangka. Saat sedang sibuk menenangkan hati, terdengar derit pintu yang terbuka. Aku menoleh pada sumber suara tersebut. Rupanya Alvin yang membuka. Lelaki itu melangkah masuk tanpa permisi. Tatapannya tak henti menyapu wajah memindaiku. Jujur. Aku tak suka siapa pun masuk kamar tanpa permisi. Bagiku kamar adalah tempat paling privasi. Apalagi dia seorang lelaki. Tentu saja sangat mungkin melihat sesuatu yang tak pantas. Atau memang dia sengaja ingin mengintip?“Kamu kenapa nangis, Lintang?” tanyanya setelah dekat. Abai dengan pertanyaannya, aku justru balik bertanya dengan nada suara setengah membentak. “Kenapa kamu masuk tanpa permisi? Enggak sopan tahu!” Alvin terkesiap. Sejenak kulihat raut bersalah di wajahnya. “Maaf! Aku sudah lebih dari
Menjelang magrib kami baru pulang dari pasar. Sebenarnya pembeli masih ada karena letak toko kami ada di pinggir jalan raya. Namun, demi membagi waktu beristirahat kami sepakat buka pukul tujuh, tutup pukul 17:00. Tadi, saat di jalan sengaja kami membeli lauk. Kasihan Bude jika harus menyiapkan makan malam buat kami, apalagi dia juga harus menjaga toko sepanjang hari. Tersenyum puas, aku menghempaskan tubuh letih ini di atas pembaringan. Masih terekam jelas dalam ingatan bagaimana wajah Bu Sri saat mengetahui bahwa perempuan yang dihina, kini memiliki toko tepat di sebelahnya. Setelah penat berkurang, aku baru keluar kamar. Alvin dan Bude sedang mengobrol di ruang depan. Kuayunkan langkah mendekati mereka lalu duduk di sebelah Bude. “Kebetulan kamu keluar, Lintang. Ada yang mau Bude tanyakan,” ujar Bude. “Tanya apa?” “Akhir-akhir ini kalian selalu pergi pagi pulang sore. Sebenarnya kalian ke mana sih?” tanya Bude. Aduh! Rupanya Bude sudah mulai curiga dengan aktivitas kami, pad
Tergagap saat mendengar bunyi ketukan pintu, aku bangkit dan menyeka sudut mata. Tak ada yang boleh tahu kalau hati ini menjerit sakit atas ucapan Papa.“Iya. Masuk saja!” sahutku dengan suara sumbang. Tak lama pintu terbuka. Alvin melongok dengan senyum khasnya. “Bisa kita bicara sebentar?” tanyanya. Aku mengernyit heran, tapi akhirnya mengangguk mengiyakan permintaannya. “Bisa. Sini masuk!” ajakku berusaha menyembunyikan kekalutan.“Di luar saja,” tolaknya halus. “Loh, kenapa enggak di sini saja?” tanya Alvin. “Aku lelaki normal, Lintang. Apalagi kamu itu cantik.” Lelaki itu menaik turunkan alis menggoda. Sudut bibirnya tertarik ke atas hingga menampakkan sebagian gigi. Entah apa maksud pernyataannya, tapi yakin dia hanya ingin menghibur. Aku bangkit, beranjak mendekat. Lalu, berjalan beriringan dan berhenti di teras. “Ada apa, Vin?” tanyaku setelah kami duduk. Lelaki itu menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Detik berikutnya dia menoleh. “Aku tahu kamu