Share

MENGATUR STRATEGI

Author: El Furinji
last update Last Updated: 2023-02-06 18:55:38

Tak lama, motor yang kami kendarai berhenti di halaman rumah Bude. Kami berdua turun lalu lekas masuk ke rumah. 

“Lintang, kamu jangan sedih ya. Papa kamu memang kayak gitu,” ucap Bude saat kami duduk di ruang tamu. 

“Enggak kok, Bude. Aku sudah biasa hidup tanpa Papa,” lirihku. 

Meski begitu, aku tak bisa menepis kesedihan di dalam hati. Biar bagaimanapun aku sudah terlanjur berharap akan bertemu Papa dan mendapat kasih sayangnya. Namun, kenyataan justru bertolak belakang. 

“Kamu tinggal di sini saja ya. Anggap saja rumah sendiri.” Bude tersenyum tulus. 

Jika saja yang mengatakan itu adalah Bu Sri-ibu sambungku, tentu akan dengan senang hati aku menyambut. 

“Tapi, Bude ... apa enggak merepotkan?” ucapku ragu. 

“Hush ... jangan bilang begitu. Kamu ini keponakanku. Kita keluarga!” 

Aku terharu dengan kebesaran hati Bude yang sanggup menerimaku walau sebelumnya tak pernah bertemu. Tanpa pikir panjang aku merengkuh perempuan berhati malaikat itu kemudian memeluk erat. 

Meski tak mendapat sambutan hangat dari Papa, setidaknya aku bertemu saudara sebaik Bude. Jadi, perjalananku ke sini tak sia-sia. 

Setelah pelukan kami terurai, Kami lanjut berbincang. Saling bercerita kehidupan masing-masing. 

“Oh iya, Bude. Sebenarnya pekerjaan Papa apa?” tanyaku di sela obrolan. 

“Papamu menjadi tengkulak hasil panen. Semua warga sini menjual hasil panennya ke Harjo. Dia juga memiliki sebuah ruko di pasar baru,” jelas Bude. 

“Memangnya Papa jualan apa di ruko?” cecarku. 

“Ya macam-macam sembako. Semua ada. Ruko itu dulu yang merintis kakek kamu, tapi setelah beliau meninggal, Ibu tiri kamu malah menguasai,” jelas Bude dengan raut sedih. 

“Loh ... kenapa enggak dikelola bareng Bude?” 

“Harusnya sih gitu, tapi Sri menguasai semuanya. Sedangkan Papa kamu enggak berani tegas. Akhirnya Bude mengalah saja ketimbang rebutan. Kakekmu pasti sedih jika peninggalannya jadi penyebab anak-anaknya bertengkar.” 

Astaga! Ternyata Ibu tiriku bukan hanya angkuh, tapi dia juga serakah. Punya hak apa dia sampai menguasai sesuatu yang bukan miliknya? 

Diam, aku memutar otak. Mencari cara bagaimana caranya membalas semua perbuatan Bu Sri. 

Aku tersenyum simpul saat sebuah ide brilian muncul di kepala. Jika merebut enggak mungkin, menghancurkan bisa menjadi pilihan. Akan kubuat menyesal karena telah merebut hak Bude juga menghinaku. 

“Kenapa Bude enggak ikut buka toko seperti mereka?” tanyaku beberapa saat kemudian. 

Perempuan yang duduk di sebelahku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal. 

“Sebenarnya Bude ingin buka toko di pasar. Sejak kecil Bude sudah terbiasa jualan. Ruko Papamu itu juga Bude yang membesarkan bersama kakekmu.” Bude menjeda kalimatnya sejenak demi mengambil nafas, “tapi ya itu. Bude enggak punya modal.” 

Aku bisa mengerti betapa sedihnya hati Bude. Usaha yang dia bangun harus direbut oleh adik iparnya. 

“Apa di pasar ada ruko yang disewakan?” 

Bude menoleh. Perempuan itu memandangku dengan tatapan bingung. 

“Enggak sih, tapi ada yang mau dijual. Tempatnya bersebelahan dengan punya Papamu,” 

Aku tersenyum kecil sembari mengangguk pelan. Sepertinya jalan untuk menghancurkan mereka terbuka lebar. 

Setelah itu, aku terus menggali informasi tentang ruko yang dimaksud Bude. Dia heran kenapa aku banyak tanya seputar pasar tempat ruko itu berdiri. Namun, aku sengaja tak memberitahu rencanaku pada Bude. 

Setelah hampir satu jam mengobrol, Bude mengajakku melihat kamar yang akan kutinggali selama berada di sini.

Aku menurut. Membawa ransel lalu mengekori langkahnya. Kami masuk ke sebuah ruangan yang tak terlalu luas. 

Aku mengedarkan pandangan ke semua penjuru ruangan. Beberapa buku berserakan di atas meja. Kasur yang sepreinya tersingkap separo, juga selimut yang teronggok dilantai memaksaku menggeleng pelan. Ini lebih menyerupai kapal pecah. 

“Kamu tinggal di kamar ini ya, biar Bude rapikan,” ucap bude sembari menyambar selimut yang teronggok. 

“Biar aku saja yang bereskan, Bude,” sambarku cepat. 

Akhirnya kami berdua sama-sama merapikan kamar. Hanya dalam waktu kurang dari 30 menit, ruangan yang semula menyerupai gudang, kini telah layak disebut kamar tidur. Setidaknya terlihat lebih rapi. 

Selesai membereskan kamar, badan terasa gerah. Apalagi sejak tadi malam aku belum mandi. 

“Bude, kalau mandi di mana?” tanyaku. 

“Di belakang. Mari Bude antar,” 

Lalu, aku membuka ransel yang tadi kuletakkan di sudut ruangan. Kuambil handuk dan perlengkapan mandi lalu mengikuti langkah Bude. 

*** 

Sejuknya air yang mengguyur tubuh sedikit banyak membuat tubuh menjadi segar. Pun dengan pikiran yang sempat kalut oleh perlakuan Papa dan istrinya. 

Selesai membersihkan tubuh, aku kembali ke kamar dengan tubuh hanya dililit handuk. Sebenarnya segan juga keluar kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk, tapi mau bagaimana lagi? Tadi aku lupa membawa pakaian ganti. Soalnya, biasanya aku menggunakan kamar mandi dalam, jadi tak pernah membawa pakaian ganti ke kamar mandi. 

Aku terkejut saat membuka pintu kamar. Sesosok lelaki yang hanya mengenakan celana boxer saja tampak sedang terbaring di ranjang yang baru saja kurapikan. Kontan saja aku memekik kaget. 

“Hei, siapa kamu!” bentakku.

Sama sekali aku tak berani masuk, apalagi dengan tubuh yang hanya terlilit handuk. Hanya mampu melongok sambil menyembunyikan tubuh di balik tembok. 

Lelaki yang tadi sedang rebahan, seketika bangkit lalu melempar pandangan ke arahku. 

“Kamu siapa? Kenapa membuka pintu tanpa permisi?” tanyanya balik. 

“Ini kamarku, kenapa kamu ada di dalam! Cepat keluar!” Aku mendelik untuk menakuti lelaki itu. 

Namun, tak kulihat ketakutan di wajah lelaki itu. Dia justru menatap lekat ke arahku. 

“Ada apa Lintang? Kenapa memekik kayak gitu?” Dari kejauhan terdengar suara Bude yang semakin mendekat. 

“Ada orang gila di kamarku, Bude,” sahutku setelah Bude dekat. 

Bude terperangah. Tangannya mengelus dada seperti sedang menata hati. Dengan wajah cemas, akhirnya Bude melongok ke dalam. 

“Oalah ... dia Alvin anak Bude. Ini memang kamarnya,” 

Kontan saja aku kaget. Rupanya dia pemilik kamar yang tadi kubersihkan. Padahal tadi aku sudah membentak mengusirnya. 

“Alvin! Kamu tidur di kamar belakang. Yang ini biar ditempati Lintang!” perintah Bude. 

“Lintang siapa, Bu?” tanya lelaki itu. 

“Sudah! Kamu keluar dulu! Nanti Ibu ceritakan!” 

Meski dengan raut wajah kesal, akhirnya lelaki yang dipanggil Alvin itu keluar. Sempat kudengar dia menggerutu saat melintas di sampingku, tapi aku abai. Yang terpenting aku bisa masuk kamar dan lekas berpakaian. Risi juga ada lelaki yang melihatku hanya mengenakan handuk saja. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   TAMAT SESI 1

    Aku mendekati Mas Alvin yang sedang menikmati kopi di teras,sedangkan Gea langsung masuk ke dalam.“Dari mana kamu, Lintang?” tanya Mas Alvin.Meletakkan bokong di sebelah suami, aku menyandarkanpunggung pada sandaran kursi.“Dari rumah Bu Sri, Mas! Aku sudah membayar rumah itu,”sahutku.“Terus mau dikosongkan rumahnya?”“Enggaklah! Kan ada Gea!”Mas Alvin mengangguk. Detik berikutnya dia menyambar gelasdi atas meja, menyesap sebentar lalu meletakkan di tempat semula.“Mas ... aku boleh minta sesuatu enggak?” tanyaku kemudian.Mas Alvin menoleh dengan kening berkerut. “Minta apa?”“Begini, Mas! Sekarang aku dan Gea sudah baik. Dia akantinggal di rumah yang baru saja kubeli. Nah ... yang masih mengganjal dipikiran itu Papa. Biar bagaimanapun dia orang tuaku, sedangkan saat ini akuenggak tahu dia tinggal di mana,” sahutku.“Terus?”“Aku ingin kita tunda dulu kepergian sampai Papa ketemu. Nantirencananya aku suruh Papa tinggal bareng Gea. Boleh ya, Mas!” rengekku, meraihtangan Mas Alvin

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   keputusan Gea

    Sampai rumah, Gea langsung berlari ke kamar sembari tanganmengucek mata. Aku bisa merasakan betapa hati gadis itu terluka, antara kecewadengan ibunya, juga malu padaku.Meninggalkan Alvin yang sedang memarkirkan motor, beranjakaku ke dalam menyusul Gea. Di saat seperti ini dia pasti butuh teman.Mengetuk pintu kamar Gea, aku memanggil namanya beberapakali, tapi tak kunjung ada sahutan. Nekat aku mendorong daun pintu yang rupanyatak di kunci. Gadis itu tengah terisak, duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekat, aku mengelus pundak Gea berusaha menenangkan.“Sabar ya, Ge!” ucapku pelan.Bukannya menyahut, isaknya justru terdengar semakin jelas diantara nafas yang tersengal. Namun, aku tak melarang sebab tangis sedikitbanyak mampu meringankan beban di hati. Menangislah!“Mbak!” ucapnya setelah tangisnya mereda.“Iya,”“Kenapa kamu peduli denganku? Bukankah selama ini aku jahatsama kamu?” Gea menoleh, menatap lekat seperti mencari sesuatu di bola mataku.Melempar senyum, aku merapikan a

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   kepedihan Gea

    Seperti biasa aku beranjak ke dapur setelah kamar beres. Ibutampak sudah berjibaku dengan pekerjaan, sedangkan Gea belum terlihat.Aku menyambar toples berisi gula, berniat membuat kopi untukMas Alvin. Sedikit demi sedikit hubungan kami mulai membaik, meski suamikumasih sedikit kaku.“Bu, Gea kok belum kelihatan. Tumben?” tanyaku sembarimenakar gula sesuai selera suami.“Gea tadi pamit pulang, ada yang penting katanya,” sahutIbu.“Penting apa sih?”“Enggak tahu juga sih, tapi dengar-dengar dari tetangga, BuSri mau jual rumah itu!”Sontak aku terperanjat. Rumah itu milik orang tua Papa.Meski aku tak mengenalnya, setidaknya bisa menjadi pengingat bahwa aku punyagaris keturunan darinya.“Kok dijual sih? Bukannya itu punya Kakek?” tanyaku setengahprotes.“Iya, tapi kan sekarang sudah berganti nama menjadi milik BuSri. Jadi ya dia bisa jual,” jelas Ibu mertua.Ada rasa tak terima jika rumah itu berpindah tangan. Seharusnyarumah itu hak Papa dam Ibu mertua, tapi malah jatuh ke tangan Bu Sri

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   PAMIT

    Seminggu telah berlalu, tapi sikap Mas Alvin belum kembalimenghangat, padahal sudah kulakukan kewajiban sebagai seorang istri.Kemarin, saat mengurus pernikahan di KUA, Mas Alvin menolakmenggunakan mobil. Dia bilang kalau enggak ingin menggunakan apa pun darikekayaanku. Bukankah ini berlebihan?“Sampai kapan kita akan seperti ini, Mas?” tanyaku saat kamitengah berdua di kamar.“Apanya yang sampai kapan?” Mas Alvin balik tanya.Aku menghela nafas panjang lalu membuang perlahan. Entahsengaja atau tidak, tapi aku yakin Mas Alvin paham pertanyaanku.“Ya kita! Sampai kapan kamu akan mendiamkanku begini? Kita suamiistri, Mas! Bukan musuh!” jelasku berusaha sabar.Kata orang pengantin baru itu indah. Namun, nyatanya tidak!Kami menjalani hari penuh kekakuan. Bahkan urusan ranjang pun kami tak pernahmelakukan kecuali saat pertama kali dulu. Mas Alvin hanya mengecup kening saat mataini memejam. Bukankah ini menyedihkan?“Sampai aku bisa melupakan hujatanmu malam itu. Setidaknya,rasa sakit di ha

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   DIABAIKAN

    Berkali-kali aku mengerjap, memaksa membuka mata yang masihterasa lengket. Kuraba Mas Alvin yang semula tidur di sebelahku. Namun, takkutemukan dia. Astaga! Dia tak membangunkan aku.Menyadari kalau bangun kesiangan, buru-buru aku bangkit lalumenyambar pakaian yang tercecer di lantai.Tadi malam, meski aku sudah merayu Mas Alvin, kami takmelakukan apa pun. Dia terus menolak dengan alasan yang tak jelas. Yang lebihmenyedihkan, saat tidur pun dia memunggungiku.Entah apa yang terjadi padanya, tapi yang jelas dia sepertisedang membalas. Sikap dinginnya itu lebih menyakitkan ketimbang sebuahtamparan.Beranjak keluar kamar, aku menemui Ibu mertua di dapur. Tanpadiminta aku langsung membantu beberes juga menyiapkan sarapan.“Mas Alvin ke mana ya, Bu? Kok enggak kelihatan?” tanyaku disela aktivitas kami.“Lagi di depan. Tadi Gea datang. Memangnya kamu belum ketemudia?” tanyanya balik.Mendengar Ibu mertua menyebut nama Gea, cemburu datang mengganggupikiran, apalagi Mas Alvin sedang bersama p

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   KEMBALI

    Mobil yang kukendarai melaju pelan menembus sepinya malam.Sesekali aku menyapu wajah sekedar menepikan bayangan Mas Alvin agar tetap fokuspada jalanan.Tak lama, aku telah sampai di rumah. Hati berjingkrak girangsaat kulihat motor Mas Alvin terparkir di halaman rumah, bersebelahan denganmotor entah punya siapa. Buru-buru akuturun lalu beranjak masuk sambil berteriak.“Mas Alvin!” teriakku girang sembari membuka daun pintu yangtak tertutup rapat.Seketika senyum memudar saat menyaksikan pemandangan yangtak biasa. Mas Alvin tengah duduk berdua, saling berhadapan dengan seorangperempuan bernama Elsa.“Sudah pulang, Lintang?” sapanya dingin.Membunuh ego, aku beranjak mendekat pada suami.“Iya, Mas! Kamu ke mana saja beberapa hari ini? Aku terusmencarimu. Maafkan aku ya, Mas! Aku mengaku salah soal malam itu. Akumenyesal!” cerocosku sambil berusaha memeluk melepas rindu. Namun, kurasakansesuatu yang beda dengan Mas Alvin.Sama sekali dia tak membalas pelukan, atau sekedar mengeluspucuk k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status