Share

MENGATUR STRATEGI

Tak lama, motor yang kami kendarai berhenti di halaman rumah Bude. Kami berdua turun lalu lekas masuk ke rumah. 

“Lintang, kamu jangan sedih ya. Papa kamu memang kayak gitu,” ucap Bude saat kami duduk di ruang tamu. 

“Enggak kok, Bude. Aku sudah biasa hidup tanpa Papa,” lirihku. 

Meski begitu, aku tak bisa menepis kesedihan di dalam hati. Biar bagaimanapun aku sudah terlanjur berharap akan bertemu Papa dan mendapat kasih sayangnya. Namun, kenyataan justru bertolak belakang. 

“Kamu tinggal di sini saja ya. Anggap saja rumah sendiri.” Bude tersenyum tulus. 

Jika saja yang mengatakan itu adalah Bu Sri-ibu sambungku, tentu akan dengan senang hati aku menyambut. 

“Tapi, Bude ... apa enggak merepotkan?” ucapku ragu. 

“Hush ... jangan bilang begitu. Kamu ini keponakanku. Kita keluarga!” 

Aku terharu dengan kebesaran hati Bude yang sanggup menerimaku walau sebelumnya tak pernah bertemu. Tanpa pikir panjang aku merengkuh perempuan berhati malaikat itu kemudian memeluk erat. 

Meski tak mendapat sambutan hangat dari Papa, setidaknya aku bertemu saudara sebaik Bude. Jadi, perjalananku ke sini tak sia-sia. 

Setelah pelukan kami terurai, Kami lanjut berbincang. Saling bercerita kehidupan masing-masing. 

“Oh iya, Bude. Sebenarnya pekerjaan Papa apa?” tanyaku di sela obrolan. 

“Papamu menjadi tengkulak hasil panen. Semua warga sini menjual hasil panennya ke Harjo. Dia juga memiliki sebuah ruko di pasar baru,” jelas Bude. 

“Memangnya Papa jualan apa di ruko?” cecarku. 

“Ya macam-macam sembako. Semua ada. Ruko itu dulu yang merintis kakek kamu, tapi setelah beliau meninggal, Ibu tiri kamu malah menguasai,” jelas Bude dengan raut sedih. 

“Loh ... kenapa enggak dikelola bareng Bude?” 

“Harusnya sih gitu, tapi Sri menguasai semuanya. Sedangkan Papa kamu enggak berani tegas. Akhirnya Bude mengalah saja ketimbang rebutan. Kakekmu pasti sedih jika peninggalannya jadi penyebab anak-anaknya bertengkar.” 

Astaga! Ternyata Ibu tiriku bukan hanya angkuh, tapi dia juga serakah. Punya hak apa dia sampai menguasai sesuatu yang bukan miliknya? 

Diam, aku memutar otak. Mencari cara bagaimana caranya membalas semua perbuatan Bu Sri. 

Aku tersenyum simpul saat sebuah ide brilian muncul di kepala. Jika merebut enggak mungkin, menghancurkan bisa menjadi pilihan. Akan kubuat menyesal karena telah merebut hak Bude juga menghinaku. 

“Kenapa Bude enggak ikut buka toko seperti mereka?” tanyaku beberapa saat kemudian. 

Perempuan yang duduk di sebelahku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal. 

“Sebenarnya Bude ingin buka toko di pasar. Sejak kecil Bude sudah terbiasa jualan. Ruko Papamu itu juga Bude yang membesarkan bersama kakekmu.” Bude menjeda kalimatnya sejenak demi mengambil nafas, “tapi ya itu. Bude enggak punya modal.” 

Aku bisa mengerti betapa sedihnya hati Bude. Usaha yang dia bangun harus direbut oleh adik iparnya. 

“Apa di pasar ada ruko yang disewakan?” 

Bude menoleh. Perempuan itu memandangku dengan tatapan bingung. 

“Enggak sih, tapi ada yang mau dijual. Tempatnya bersebelahan dengan punya Papamu,” 

Aku tersenyum kecil sembari mengangguk pelan. Sepertinya jalan untuk menghancurkan mereka terbuka lebar. 

Setelah itu, aku terus menggali informasi tentang ruko yang dimaksud Bude. Dia heran kenapa aku banyak tanya seputar pasar tempat ruko itu berdiri. Namun, aku sengaja tak memberitahu rencanaku pada Bude. 

Setelah hampir satu jam mengobrol, Bude mengajakku melihat kamar yang akan kutinggali selama berada di sini.

Aku menurut. Membawa ransel lalu mengekori langkahnya. Kami masuk ke sebuah ruangan yang tak terlalu luas. 

Aku mengedarkan pandangan ke semua penjuru ruangan. Beberapa buku berserakan di atas meja. Kasur yang sepreinya tersingkap separo, juga selimut yang teronggok dilantai memaksaku menggeleng pelan. Ini lebih menyerupai kapal pecah. 

“Kamu tinggal di kamar ini ya, biar Bude rapikan,” ucap bude sembari menyambar selimut yang teronggok. 

“Biar aku saja yang bereskan, Bude,” sambarku cepat. 

Akhirnya kami berdua sama-sama merapikan kamar. Hanya dalam waktu kurang dari 30 menit, ruangan yang semula menyerupai gudang, kini telah layak disebut kamar tidur. Setidaknya terlihat lebih rapi. 

Selesai membereskan kamar, badan terasa gerah. Apalagi sejak tadi malam aku belum mandi. 

“Bude, kalau mandi di mana?” tanyaku. 

“Di belakang. Mari Bude antar,” 

Lalu, aku membuka ransel yang tadi kuletakkan di sudut ruangan. Kuambil handuk dan perlengkapan mandi lalu mengikuti langkah Bude. 

*** 

Sejuknya air yang mengguyur tubuh sedikit banyak membuat tubuh menjadi segar. Pun dengan pikiran yang sempat kalut oleh perlakuan Papa dan istrinya. 

Selesai membersihkan tubuh, aku kembali ke kamar dengan tubuh hanya dililit handuk. Sebenarnya segan juga keluar kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk, tapi mau bagaimana lagi? Tadi aku lupa membawa pakaian ganti. Soalnya, biasanya aku menggunakan kamar mandi dalam, jadi tak pernah membawa pakaian ganti ke kamar mandi. 

Aku terkejut saat membuka pintu kamar. Sesosok lelaki yang hanya mengenakan celana boxer saja tampak sedang terbaring di ranjang yang baru saja kurapikan. Kontan saja aku memekik kaget. 

“Hei, siapa kamu!” bentakku.

Sama sekali aku tak berani masuk, apalagi dengan tubuh yang hanya terlilit handuk. Hanya mampu melongok sambil menyembunyikan tubuh di balik tembok. 

Lelaki yang tadi sedang rebahan, seketika bangkit lalu melempar pandangan ke arahku. 

“Kamu siapa? Kenapa membuka pintu tanpa permisi?” tanyanya balik. 

“Ini kamarku, kenapa kamu ada di dalam! Cepat keluar!” Aku mendelik untuk menakuti lelaki itu. 

Namun, tak kulihat ketakutan di wajah lelaki itu. Dia justru menatap lekat ke arahku. 

“Ada apa Lintang? Kenapa memekik kayak gitu?” Dari kejauhan terdengar suara Bude yang semakin mendekat. 

“Ada orang gila di kamarku, Bude,” sahutku setelah Bude dekat. 

Bude terperangah. Tangannya mengelus dada seperti sedang menata hati. Dengan wajah cemas, akhirnya Bude melongok ke dalam. 

“Oalah ... dia Alvin anak Bude. Ini memang kamarnya,” 

Kontan saja aku kaget. Rupanya dia pemilik kamar yang tadi kubersihkan. Padahal tadi aku sudah membentak mengusirnya. 

“Alvin! Kamu tidur di kamar belakang. Yang ini biar ditempati Lintang!” perintah Bude. 

“Lintang siapa, Bu?” tanya lelaki itu. 

“Sudah! Kamu keluar dulu! Nanti Ibu ceritakan!” 

Meski dengan raut wajah kesal, akhirnya lelaki yang dipanggil Alvin itu keluar. Sempat kudengar dia menggerutu saat melintas di sampingku, tapi aku abai. Yang terpenting aku bisa masuk kamar dan lekas berpakaian. Risi juga ada lelaki yang melihatku hanya mengenakan handuk saja. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status