Share

TERHINA

“Kalaupun meminta warisan, Lintang juga berhak. Apalagi selama ini dia tak pernah dikasih nafkah!” celetuk Bu Endah. 

Aku sedikit lega sebab ada yang membela. Meski sebenarnya sama sekali tak tertarik dengan warisan. 

“Belum tentu anak ini darah daging Mas Harjo. Mana buktinya? Kalau cuma ngaku sih gampang,” ketus Bu Sri. 

Mendengar keraguan Bu Sri, aku membuka sling bag, mengambil kartu identitas lalu memberikan pada Papa. 

Dengan tangan sedikit gemetar, Papa menerima benda tipis itu. Lalu, sepasang matanya memindai, mengamati sebaris tulisan berisi data diri.

“Papa masih ingat alamat itu?” ucapku kemudian. 

“Iya ... Ini memang alamat Wulan. Berarti benar kamu anakku,” ucap Papa dengan mata mulai berkaca-kaca. 

Aku mengangguk pelan. Sesak bercampur haru mulai menyelinap dalam hati sampai kurasakan mata ini basah. 

Perlahan, aku mendekat pada lelaki di hadapku berniat memeluk untuk pertama kali. Namun, sebelum sempat merengkuh, Bu Sri menghalangi. 

“Mungkin benar dia anaknya Wulan, tapi belum tentu anakmu, Mas! Bisa saja dia anak hasil zina!” ujar Bu Sri. 

Seketika kemarahan membuncah, menguasai pikiran. Aku tak terima Mama direndahkan begitu. 

“Jaga ucapanmu!” bentakku sembari menatap nyalang. 

Aku paling tidak suka jika ada yang menghina Mama. Niatku menjari Papa juga karena ingin menepis prasangka buruk seperti itu, tapi di sini malah mendapat cemooh yang sama. 

“Loh! Bisa begitu kan? Orang tuamu sengaja hamil dengan lelaki lain agar bisa menuntut warisan pada Mas Harjo!” kilahnya. 

Aku tak habis pikir dengan jalan pikiran Bu Sri. Dia terus menyudutkanku padahal kami baru hari ini ketemu. 

“Jadi orang kok negatif thinking begitu. Apa jangan-jangan kamu yang seperti itu?” sela Bu Endah yang sedari tadi diam menyimak. 

“Maksud kamu apa, Mbak!” bentak Bu Sri. 

Paras perempuan itu memerah seperti sedang menahan amarah. Nafasnya terdengar memburu dengan kedua mata menatap nyalang pada Bu Endah. 

“Sudah! Jangan bertengkar!” Papa melerai mereka. 

“Dia menuduhku, Mas!” protes Bu Sri. 

“Aku enggak nuduh. Hanya membalas ucapannya saja!” tegas Bu Endah. 

Di sini aku menangkap aroma permusuhan antara Bu Sri dan Bu Endah. Namun, aku tak bisa berbuat banyak karena memang tak tahu apa-apa. 

“Lintang jelas anakmu, Jo! Wajah kalian saja mirip. Sekarang biarkan dia tinggal di sini bersamamu,” lanjut Bu Endah. 

“Enggak! Aku enggak mau anak ini ada di rumahku!” tolak Bu Sri. 

Aku melirik pada lelaki yang kuyakini sebagai Papa. Kuharap dia akan mengizinkan aku untuk tinggal. 

Bukan. Sama sekali bukan karena aku bingung mau tinggal di mana, atau punya tujuan lain. Sebagai seorang anak yang belum pernah bertemu orang tuanya, tentu aku ingin mengukir kenangan bersamanya. 

“Loh! Lintang juga anak Harjo! Jadi dia juga berhak tinggal di rumah ini,” tekan Bu Endah sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. 

Papa diam. Di sini aku mulai kecewa dengan sikapnya. Sama sekali tak kulihat itikad baiknya sebagai orang tua. 

Sejenak hening menyelimuti kami. Sampai akhirnya Bu Sri masuk ke dalam. 

“Kamu ini bagaimana sih, Jo! Ada anak datang malah bingung begitu,” gerutu Bu Endah. 

“Ya mau bagaimana lagi, Mbak! Sri enggak ngijinin Lintang tinggal di sini,” keluh Papa. 

“Jadi lelaki itu harus tegas! Aku malu punya adik sepertimu!” dengkus Bu Endah. 

Astaga! Rupanya Bu Endah kakak Papa. Itu berarti orang yang sejak tadi menolongku adalah Bude. 

Papa kembali diam. Wajahnya terlihat kusut. Sesekali dia mengacak rambutnya. 

Tak lama, Bu Sri kembali. Tangannya menggenggam sesuatu.  Dia tersenyum sinis menatapku. Lalu, dilemparnya benda yang ada di tangan ke arahku. Tampak beberapa lembar uang merah berhamburan. Tak banyak. Hanya sekitar lima atau enam lembar saja. 

“Ambil itu buat ongkos balik. Jangan harap akan kuizinkan tinggal di sini apalagi mendapat warisan!” ejek Bu Sri. 

Seketika darahku mendidih mendapat perlakuan seperti ini. Harga diriku serasa diinjak-injak oleh Bu Sri. Padahal niatku datang ke sini hanya untuk bertemu Papa. Bukan mencari musuh. 

Sakit hatiku semakin menjadi tatkala Papa hanya termangu melihat tingkah istrinya. Di sini aku merasa seperti pengemis yang sedang mengiba belas kasihan. 

“Maaf! Aku tak butuh uangmu yang tak seberapa!” 

Tanpa permisi, aku berbalik meninggalkan mereka. Benar kata Mama. Aku tak akan mendapat sambutan hangat seperti yang kuinginkan. 

“Miskin aja belagu!” Masih sempat kudengar celoteh Bu Sri, tapi kucoba abai. 

“Lintang, tunggu!” Bu Endah mengejar lalu mencegat langkahku. 

Sontak aku berhenti karena ada perempuan baik yang menghalangi. 

“Kamu tinggal bareng Bude saja! Kita perjuangkan hakmu!” ajak Bu Endah. 

Aku tersenyum getir. Apalagi yang akan kuperjuangkan? Sudah jelas Papa memang tak menginginkan kehadiranku di sini. 

“Maaf, Bude! Aku pilang saja!” sahutku. 

“Jangan! Kalau kamu pergi artinya kamu kalah. Mereka pasti menganggapmu hanya ingin mendapat harta saja! Buktikan kalau mereka salah!”

Kalimat Bude berhasil mengganggu pikiran. Sepertinya dia benar. Lagian, kalau aku pulang sekarang, perjalanan ke sini terasa sia-sia. 

Akhirnya aku pasrah saat bude menggandeng lenganku mengajakku pergi dengan motor. Sementara Papa dan istrinya hanya melihat dengan tatapan bingung. 

Sepanjang perjalanan ke rumah Bude, aku terus memikirkan cara untuk membungkam mulut ibu tiri. Perempuan seperti dia harus dikasih pelajaran agar tak terus bertingkah seenaknya saja. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status