Share

TERHINA

Author: El Furinji
last update Last Updated: 2023-02-06 18:54:37

“Kalaupun meminta warisan, Lintang juga berhak. Apalagi selama ini dia tak pernah dikasih nafkah!” celetuk Bu Endah. 

Aku sedikit lega sebab ada yang membela. Meski sebenarnya sama sekali tak tertarik dengan warisan. 

“Belum tentu anak ini darah daging Mas Harjo. Mana buktinya? Kalau cuma ngaku sih gampang,” ketus Bu Sri. 

Mendengar keraguan Bu Sri, aku membuka sling bag, mengambil kartu identitas lalu memberikan pada Papa. 

Dengan tangan sedikit gemetar, Papa menerima benda tipis itu. Lalu, sepasang matanya memindai, mengamati sebaris tulisan berisi data diri.

“Papa masih ingat alamat itu?” ucapku kemudian. 

“Iya ... Ini memang alamat Wulan. Berarti benar kamu anakku,” ucap Papa dengan mata mulai berkaca-kaca. 

Aku mengangguk pelan. Sesak bercampur haru mulai menyelinap dalam hati sampai kurasakan mata ini basah. 

Perlahan, aku mendekat pada lelaki di hadapku berniat memeluk untuk pertama kali. Namun, sebelum sempat merengkuh, Bu Sri menghalangi. 

“Mungkin benar dia anaknya Wulan, tapi belum tentu anakmu, Mas! Bisa saja dia anak hasil zina!” ujar Bu Sri. 

Seketika kemarahan membuncah, menguasai pikiran. Aku tak terima Mama direndahkan begitu. 

“Jaga ucapanmu!” bentakku sembari menatap nyalang. 

Aku paling tidak suka jika ada yang menghina Mama. Niatku menjari Papa juga karena ingin menepis prasangka buruk seperti itu, tapi di sini malah mendapat cemooh yang sama. 

“Loh! Bisa begitu kan? Orang tuamu sengaja hamil dengan lelaki lain agar bisa menuntut warisan pada Mas Harjo!” kilahnya. 

Aku tak habis pikir dengan jalan pikiran Bu Sri. Dia terus menyudutkanku padahal kami baru hari ini ketemu. 

“Jadi orang kok negatif thinking begitu. Apa jangan-jangan kamu yang seperti itu?” sela Bu Endah yang sedari tadi diam menyimak. 

“Maksud kamu apa, Mbak!” bentak Bu Sri. 

Paras perempuan itu memerah seperti sedang menahan amarah. Nafasnya terdengar memburu dengan kedua mata menatap nyalang pada Bu Endah. 

“Sudah! Jangan bertengkar!” Papa melerai mereka. 

“Dia menuduhku, Mas!” protes Bu Sri. 

“Aku enggak nuduh. Hanya membalas ucapannya saja!” tegas Bu Endah. 

Di sini aku menangkap aroma permusuhan antara Bu Sri dan Bu Endah. Namun, aku tak bisa berbuat banyak karena memang tak tahu apa-apa. 

“Lintang jelas anakmu, Jo! Wajah kalian saja mirip. Sekarang biarkan dia tinggal di sini bersamamu,” lanjut Bu Endah. 

“Enggak! Aku enggak mau anak ini ada di rumahku!” tolak Bu Sri. 

Aku melirik pada lelaki yang kuyakini sebagai Papa. Kuharap dia akan mengizinkan aku untuk tinggal. 

Bukan. Sama sekali bukan karena aku bingung mau tinggal di mana, atau punya tujuan lain. Sebagai seorang anak yang belum pernah bertemu orang tuanya, tentu aku ingin mengukir kenangan bersamanya. 

“Loh! Lintang juga anak Harjo! Jadi dia juga berhak tinggal di rumah ini,” tekan Bu Endah sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. 

Papa diam. Di sini aku mulai kecewa dengan sikapnya. Sama sekali tak kulihat itikad baiknya sebagai orang tua. 

Sejenak hening menyelimuti kami. Sampai akhirnya Bu Sri masuk ke dalam. 

“Kamu ini bagaimana sih, Jo! Ada anak datang malah bingung begitu,” gerutu Bu Endah. 

“Ya mau bagaimana lagi, Mbak! Sri enggak ngijinin Lintang tinggal di sini,” keluh Papa. 

“Jadi lelaki itu harus tegas! Aku malu punya adik sepertimu!” dengkus Bu Endah. 

Astaga! Rupanya Bu Endah kakak Papa. Itu berarti orang yang sejak tadi menolongku adalah Bude. 

Papa kembali diam. Wajahnya terlihat kusut. Sesekali dia mengacak rambutnya. 

Tak lama, Bu Sri kembali. Tangannya menggenggam sesuatu.  Dia tersenyum sinis menatapku. Lalu, dilemparnya benda yang ada di tangan ke arahku. Tampak beberapa lembar uang merah berhamburan. Tak banyak. Hanya sekitar lima atau enam lembar saja. 

“Ambil itu buat ongkos balik. Jangan harap akan kuizinkan tinggal di sini apalagi mendapat warisan!” ejek Bu Sri. 

Seketika darahku mendidih mendapat perlakuan seperti ini. Harga diriku serasa diinjak-injak oleh Bu Sri. Padahal niatku datang ke sini hanya untuk bertemu Papa. Bukan mencari musuh. 

Sakit hatiku semakin menjadi tatkala Papa hanya termangu melihat tingkah istrinya. Di sini aku merasa seperti pengemis yang sedang mengiba belas kasihan. 

“Maaf! Aku tak butuh uangmu yang tak seberapa!” 

Tanpa permisi, aku berbalik meninggalkan mereka. Benar kata Mama. Aku tak akan mendapat sambutan hangat seperti yang kuinginkan. 

“Miskin aja belagu!” Masih sempat kudengar celoteh Bu Sri, tapi kucoba abai. 

“Lintang, tunggu!” Bu Endah mengejar lalu mencegat langkahku. 

Sontak aku berhenti karena ada perempuan baik yang menghalangi. 

“Kamu tinggal bareng Bude saja! Kita perjuangkan hakmu!” ajak Bu Endah. 

Aku tersenyum getir. Apalagi yang akan kuperjuangkan? Sudah jelas Papa memang tak menginginkan kehadiranku di sini. 

“Maaf, Bude! Aku pilang saja!” sahutku. 

“Jangan! Kalau kamu pergi artinya kamu kalah. Mereka pasti menganggapmu hanya ingin mendapat harta saja! Buktikan kalau mereka salah!”

Kalimat Bude berhasil mengganggu pikiran. Sepertinya dia benar. Lagian, kalau aku pulang sekarang, perjalanan ke sini terasa sia-sia. 

Akhirnya aku pasrah saat bude menggandeng lenganku mengajakku pergi dengan motor. Sementara Papa dan istrinya hanya melihat dengan tatapan bingung. 

Sepanjang perjalanan ke rumah Bude, aku terus memikirkan cara untuk membungkam mulut ibu tiri. Perempuan seperti dia harus dikasih pelajaran agar tak terus bertingkah seenaknya saja. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   TAMAT SESI 1

    Aku mendekati Mas Alvin yang sedang menikmati kopi di teras,sedangkan Gea langsung masuk ke dalam.“Dari mana kamu, Lintang?” tanya Mas Alvin.Meletakkan bokong di sebelah suami, aku menyandarkanpunggung pada sandaran kursi.“Dari rumah Bu Sri, Mas! Aku sudah membayar rumah itu,”sahutku.“Terus mau dikosongkan rumahnya?”“Enggaklah! Kan ada Gea!”Mas Alvin mengangguk. Detik berikutnya dia menyambar gelasdi atas meja, menyesap sebentar lalu meletakkan di tempat semula.“Mas ... aku boleh minta sesuatu enggak?” tanyaku kemudian.Mas Alvin menoleh dengan kening berkerut. “Minta apa?”“Begini, Mas! Sekarang aku dan Gea sudah baik. Dia akantinggal di rumah yang baru saja kubeli. Nah ... yang masih mengganjal dipikiran itu Papa. Biar bagaimanapun dia orang tuaku, sedangkan saat ini akuenggak tahu dia tinggal di mana,” sahutku.“Terus?”“Aku ingin kita tunda dulu kepergian sampai Papa ketemu. Nantirencananya aku suruh Papa tinggal bareng Gea. Boleh ya, Mas!” rengekku, meraihtangan Mas Alvin

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   keputusan Gea

    Sampai rumah, Gea langsung berlari ke kamar sembari tanganmengucek mata. Aku bisa merasakan betapa hati gadis itu terluka, antara kecewadengan ibunya, juga malu padaku.Meninggalkan Alvin yang sedang memarkirkan motor, beranjakaku ke dalam menyusul Gea. Di saat seperti ini dia pasti butuh teman.Mengetuk pintu kamar Gea, aku memanggil namanya beberapakali, tapi tak kunjung ada sahutan. Nekat aku mendorong daun pintu yang rupanyatak di kunci. Gadis itu tengah terisak, duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekat, aku mengelus pundak Gea berusaha menenangkan.“Sabar ya, Ge!” ucapku pelan.Bukannya menyahut, isaknya justru terdengar semakin jelas diantara nafas yang tersengal. Namun, aku tak melarang sebab tangis sedikitbanyak mampu meringankan beban di hati. Menangislah!“Mbak!” ucapnya setelah tangisnya mereda.“Iya,”“Kenapa kamu peduli denganku? Bukankah selama ini aku jahatsama kamu?” Gea menoleh, menatap lekat seperti mencari sesuatu di bola mataku.Melempar senyum, aku merapikan a

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   kepedihan Gea

    Seperti biasa aku beranjak ke dapur setelah kamar beres. Ibutampak sudah berjibaku dengan pekerjaan, sedangkan Gea belum terlihat.Aku menyambar toples berisi gula, berniat membuat kopi untukMas Alvin. Sedikit demi sedikit hubungan kami mulai membaik, meski suamikumasih sedikit kaku.“Bu, Gea kok belum kelihatan. Tumben?” tanyaku sembarimenakar gula sesuai selera suami.“Gea tadi pamit pulang, ada yang penting katanya,” sahutIbu.“Penting apa sih?”“Enggak tahu juga sih, tapi dengar-dengar dari tetangga, BuSri mau jual rumah itu!”Sontak aku terperanjat. Rumah itu milik orang tua Papa.Meski aku tak mengenalnya, setidaknya bisa menjadi pengingat bahwa aku punyagaris keturunan darinya.“Kok dijual sih? Bukannya itu punya Kakek?” tanyaku setengahprotes.“Iya, tapi kan sekarang sudah berganti nama menjadi milik BuSri. Jadi ya dia bisa jual,” jelas Ibu mertua.Ada rasa tak terima jika rumah itu berpindah tangan. Seharusnyarumah itu hak Papa dam Ibu mertua, tapi malah jatuh ke tangan Bu Sri

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   PAMIT

    Seminggu telah berlalu, tapi sikap Mas Alvin belum kembalimenghangat, padahal sudah kulakukan kewajiban sebagai seorang istri.Kemarin, saat mengurus pernikahan di KUA, Mas Alvin menolakmenggunakan mobil. Dia bilang kalau enggak ingin menggunakan apa pun darikekayaanku. Bukankah ini berlebihan?“Sampai kapan kita akan seperti ini, Mas?” tanyaku saat kamitengah berdua di kamar.“Apanya yang sampai kapan?” Mas Alvin balik tanya.Aku menghela nafas panjang lalu membuang perlahan. Entahsengaja atau tidak, tapi aku yakin Mas Alvin paham pertanyaanku.“Ya kita! Sampai kapan kamu akan mendiamkanku begini? Kita suamiistri, Mas! Bukan musuh!” jelasku berusaha sabar.Kata orang pengantin baru itu indah. Namun, nyatanya tidak!Kami menjalani hari penuh kekakuan. Bahkan urusan ranjang pun kami tak pernahmelakukan kecuali saat pertama kali dulu. Mas Alvin hanya mengecup kening saat mataini memejam. Bukankah ini menyedihkan?“Sampai aku bisa melupakan hujatanmu malam itu. Setidaknya,rasa sakit di ha

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   DIABAIKAN

    Berkali-kali aku mengerjap, memaksa membuka mata yang masihterasa lengket. Kuraba Mas Alvin yang semula tidur di sebelahku. Namun, takkutemukan dia. Astaga! Dia tak membangunkan aku.Menyadari kalau bangun kesiangan, buru-buru aku bangkit lalumenyambar pakaian yang tercecer di lantai.Tadi malam, meski aku sudah merayu Mas Alvin, kami takmelakukan apa pun. Dia terus menolak dengan alasan yang tak jelas. Yang lebihmenyedihkan, saat tidur pun dia memunggungiku.Entah apa yang terjadi padanya, tapi yang jelas dia sepertisedang membalas. Sikap dinginnya itu lebih menyakitkan ketimbang sebuahtamparan.Beranjak keluar kamar, aku menemui Ibu mertua di dapur. Tanpadiminta aku langsung membantu beberes juga menyiapkan sarapan.“Mas Alvin ke mana ya, Bu? Kok enggak kelihatan?” tanyaku disela aktivitas kami.“Lagi di depan. Tadi Gea datang. Memangnya kamu belum ketemudia?” tanyanya balik.Mendengar Ibu mertua menyebut nama Gea, cemburu datang mengganggupikiran, apalagi Mas Alvin sedang bersama p

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   KEMBALI

    Mobil yang kukendarai melaju pelan menembus sepinya malam.Sesekali aku menyapu wajah sekedar menepikan bayangan Mas Alvin agar tetap fokuspada jalanan.Tak lama, aku telah sampai di rumah. Hati berjingkrak girangsaat kulihat motor Mas Alvin terparkir di halaman rumah, bersebelahan denganmotor entah punya siapa. Buru-buru akuturun lalu beranjak masuk sambil berteriak.“Mas Alvin!” teriakku girang sembari membuka daun pintu yangtak tertutup rapat.Seketika senyum memudar saat menyaksikan pemandangan yangtak biasa. Mas Alvin tengah duduk berdua, saling berhadapan dengan seorangperempuan bernama Elsa.“Sudah pulang, Lintang?” sapanya dingin.Membunuh ego, aku beranjak mendekat pada suami.“Iya, Mas! Kamu ke mana saja beberapa hari ini? Aku terusmencarimu. Maafkan aku ya, Mas! Aku mengaku salah soal malam itu. Akumenyesal!” cerocosku sambil berusaha memeluk melepas rindu. Namun, kurasakansesuatu yang beda dengan Mas Alvin.Sama sekali dia tak membalas pelukan, atau sekedar mengeluspucuk k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status