Share

MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI
MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI
Author: El Furinji

AWAL

Author: El Furinji
last update Last Updated: 2023-02-06 18:53:53

Ojek yang mengantarku berhenti di depan sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. Aku turun lalu membayar sesuai nominal yang kami sepakati. Setelah itu, Bapak tukang ojek pergi. 

Dalam temaram cahaya subuh, sekali lagi aku mengamati bangunan di depanku. Sebuah rumah berdinding beton dengan cat warna hijau itu tampak paling besar dibanding kanan kirinya. 

Aku menarik nafas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan berusaha menata hati dan pikiran. Lalu, mengayunkan langkah semakin mendekati rumah itu. 

“Assalamu alaikum,” ucapku sembari mengetuk daun pintu. 

Hening. Tak ada sahutan dari dalam. 

Sekali lagi aku mengucap salam. Kali ini sengaja lebih keras berharap penghuni rumah mendengar suaraku. 

Benar saja. Tak berselang lama terdengar salamku dijawab. Seorang perempuan paruh baya menyembul dari balik pintu sambil menatap heran ke arahku. 

“Cari siapa ya?” Netra perempuan itu menyipit.

“Maaf, Bu! Apa benar ini kediaman Bapak Slamet Raharjo?” tanyaku hati-hati. 

Si pemilik rumah itu mengernyit. Pandangannya menyapu wajah, lalu berganti mengamati seluruh tubuh hingga aku merasa risi. 

“Kamu siapa?” tanyanya balik. 

“Namaku Lintang, Bu! Anak dari Bu Ayu Wulandari. Apa benar ini kediaman Bapak Slamet Raharjo?” Aku mengulang pertanyaan. 

Paras perempuan itu seketika berubah saat aku memperkenalkan diri. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi yang jelas gurat wajahnya memperlihatkan rasa tidak suka terhadapku. 

“Maaf! Anda salah alamat!” ketus perempuan itu. 

Perubahan sikap pemilik rumah membuatku merasa janggal. Jangan-jangan dia tahu sesuatu tapi ingin menyembunyikan dariku. 

“Tapi tukang ojek bilang ini rumahnya Bapak Slamet Raharjo,” jelasku. 

Ya. Saat mencari tukang ojek, aku sengaja memilih yang tahu alamat rumah Papa. Jadi tak perlu repot tanya sana sini. 

“Sudah kubilang kamu salah alamat! Ngeyel banget sih!” Perempuan di depanku memasang wajah kesal. 

Aku mematung berusaha menata pikiran. Apa jangan-jangan tukang ojek tadi membohongiku? Ah ... sepertinya enggak mungkin. 

“Sudah sana pergi!” usir perempuan itu. 

Sebelum sempat aku berpaling, perempuan itu lebih dulu masuk ke dalam. Ditutupnya pintu dengan kasar hingga menimbulkan suara yang cukup mengagetkan. 

Terpaksa aku menjauh dari rumah ini. Kuayunkan langkah menyusuri jalanan yang mulai menunjukkan aktivitas. Beberapa kendaraan melintas, meski tak seramai di tempat tinggalku. 

Ternyata mencari jejak Papa tak seperti yang kubayangkan. Aku pikir aku akan dengan mudah menemukan alamat Bapak dan langsung mendapat sambutan hangat dari lelaki yang belum kukenali wajahnya. Namun, rupanya salah. 

*** 

Hampir 15 menit aku berjalan kaki tanpa tujuan pasti. Sampai akhirnya dahaga memaksaku berhenti di depan sebuah toko kecil di pinggir jalan. 

“Air mineral satu, Bu!” ucapku pada penjaga warung. 

Perempuan itu lekas mengambil sebotol air mineral berukuran sedang dan memberikannya padaku. Tanpa menunggu lama, langsung kubuka penutup lalu meneguk isinya. 

“Berapa, Bu?” tanyaku kemudian. 

“Tujuh ribu.” Perempuan itu melempar senyum ramah. 

Aku membuka sling bag lalu mengambil selembar uang merah dan menyerahkan pada Ibu penjaga warung. 

“Uang pas aja, Dek!” tolak perempuan itu. 

Kembali aku membuka sling bag, mencari pecahan uang kecil. Namun aku tak menemukannya. 

“Waduh ..., enggak ada, Bu!” keluhku. 

Kami sama-sama bingung. Namun akhirnya si penjaga toko mengambil keputusan mengejutkan. 

“Ya sudah, enggak usah bayar saja, Dek!” ucapnya. 

Aku mengernyit menatap wajah perempuan paruh baya di depanku. Baru kali ini aku menemukan orang sebaik dia. Padahal, kami tak saling kenal. 

“Jangan dong, Bu! Nanti Ibu rugi.” 

Lagi. Perempuan itu kembali tersenyum. 

“Enggak apa-apa sesekali membantu orang. Lagian sepertinya kamu bukan orang sini,” 

Ya. Logat bahasaku memang berbeda dari orang-orang yang kutemui di kota ini. Mungkin inilah yang membuatnya menebak. 

“Iya, Bu! Aku memang orang jauh. Ke sini saja baru sekarang.” 

“Memangnya kamu mau ke mana? Kok jalan kaki sendirian?”  cecarnya. 

Akhirnya aku memberitahu bahwa tujuan ke kota ini untuk mencari orang tua kandungku. Barangkali Ibu ini bisa membantu.

“Siapa nama Bapakmu?” tanyanya.

“Slamet Raharjo. Ibu kenal? ” Aku balik tanya.

Netra perempuan di depanku menyipit. Lalu, sorotnya memindai wajah, seperti ada yang aneh denganku. 

“Apa kamu pernah bertemu Bapakmu?” 

Lagi. Perempuan di depanku kembali mencecar seperti sedang menyelidik. 

“Belum.” Aku menggeleng lemah. 

Lalu, kuceritakan bahwa Papa telah meninggalkan Mama sejak aku masih dalam kandungan.

Kesedihan jelas sekali terlukis di paras perempuan paruh baya ini. Barangkali dia merasa Iba mendengar kisahku, atau ada hal yang lain?

“Di sini memang ada yang namanya Slamet Raharjo. Ibu kenal dia. Nanti aku antar ke sana,” ucapnya. 

Seketika hati berjingkrak girang mendengar ucapannya. Harapan untuk bertemu Papa kembali terbuka lebar. Gegas kuraih tangan perempuan di depanku lalu menggenggam erat.

“Terima kasih banyak, Bu!” ucapku kemudian. 

Setelah itu, kembali kami terlihat obrolan hangat. Darinya aku tahu bahwa dia biasa dipanggil Bu Endah oleh warga sekitar. 

Obrolan kami terhenti saat seorang ibu-ibu datang berbelanja. Sementara Bu Endah melayani pembeli, aku mengedarkan pandangan menikmati suasana yang masih lumayan asri. 

**** 

Selesai dengan pembeli, Bu Endah mengajakku pergi. Dia bilang akan mengantarku menemui lelaki bernama Slamet Raharjo. 

Tak sampai lima menit berkendara, kami berhenti di depan rumah yang tadi pagi kudatangi. Kontan saja aku kaget karena diantar ke tempat yang sama. 

“Ini rumah siapa, Bu?” tanyaku penasaran. 

“Rumah Slamet Raharjo. Barang kali dia orang yang kamu cari,” sahutnya. 

“Tadi aku sudah ke sini, tapi pemilik rumah bilang aku salah alamat,” jelasku hati-hati. 

Bu Endah menatapku dengan alis hampir bertautan. Detik berikutnya dia tersenyum lalu mengajakku naik ke teras. 

Setelah mengetuk pintu beberapa kali, perempuan yang tadi pagi kutemui muncul dari dalam. Dia terkejut saat melihatku ada bersama Bu Endah. 

“Sri, mana suamimu?” tanya Bu Endah. 

“Lagi pergi, Mbak! Ngapain kamu ke sini?” tanya si pemilik rumah dengan muka masam. 

“Ada perlu. Pergi ke mana?” 

“Enggak tahu,” sahut pemilik rumah. 

“Ya sudah. Aku tunggu sampai dia pulang.” Tanpa permisi Bu Endah menarik kursi kayu di teras lalu duduk dengan santai. 

“Kamu pulang saja, Mbak! Aku mau pergi. Mas Harjo juga paling sore baru pulang,” usir si pemilik rumah. 

“Enggak! Aku mau tunggu di sini saja!” sahut Bu Endah. 

Aku hanya diam saja menyimak perdebatan mereka. Sepertinya keduanya saling mengenal. 

“Sudah dibilang pergi kok masih di sini sih! Ganggu saja!” gerutu si pemilik rumah. 

Saat keduanya saling beradu mulut, seorang lelaki seusia mereka menyembul dari balik pintu. 

“Ada apa sih? Pagi sudah ribut?” ujar lelaki itu. 

Bu Endah menoleh pada sumber suara tersebut. Dia terlihat kaget menatap lelaki yang termangu di depan pintu. 

“Loh ... istrimu bilang kamu pergi, Jo! Ternyata di rumah!” ujar Bu Endah. 

Lelaki itu menoleh pada Bu Sri. Paras perempuan itu tampak pias, tapi hanya sebentar. 

“Ada apa, Mbak ke sini? Siapa dia?” tanya lelaki itu sembari menatap ke arahku. 

“Dia Lintang. Anaknya Wulan. Istri yang dulu kamu tinggalkan saat sedang hamil,” ujar Bu Endah. 

Aku benar-benar kaget mendengar ucapan Bu Endah. Rupanya dia tahu semua tentang masa lalu Mama padahal aku tak cerita sedetail itu. 

Pun dengan lelaki yang kuyakini bernama Slamet Raharjo itu. Dia terperangah dengan kedua netra lekat menatapku. 

Perasaanku campur aduk tak karuan. Antara bahagia dan haru menyatu dalam hati. Akhirnya aku bisa bertemu Papa. 

“Belum tentu dia anakmu, Mas! Bisa saja dia hanya mengaku karena ingin mendapat hartamu!” celetuk perempuan bernama Bu Sri itu. 

Astaga! Picik benar pikiran Bu Sri. Niatku ke sini hanya ingin diakui sebagai anak. Bukan ingin harta! 

“Maaf, Bu! Aku tak gila harta! Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku punya nasab!” Aku menatap perempuan yang kuyakini sebagai Ibu tiri. 

“Bilangnya sih begitu. Tapi kalau sudah diakui pasti minta jatah warisan!” cibir Bu Sri. 

Darah semakin mendidih mendengar ucapan Bu Sri. Dia terlalu merendahkan. Apa aku harus pamer kekayaan untuk membungkam mulutnya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   TAMAT SESI 1

    Aku mendekati Mas Alvin yang sedang menikmati kopi di teras,sedangkan Gea langsung masuk ke dalam.“Dari mana kamu, Lintang?” tanya Mas Alvin.Meletakkan bokong di sebelah suami, aku menyandarkanpunggung pada sandaran kursi.“Dari rumah Bu Sri, Mas! Aku sudah membayar rumah itu,”sahutku.“Terus mau dikosongkan rumahnya?”“Enggaklah! Kan ada Gea!”Mas Alvin mengangguk. Detik berikutnya dia menyambar gelasdi atas meja, menyesap sebentar lalu meletakkan di tempat semula.“Mas ... aku boleh minta sesuatu enggak?” tanyaku kemudian.Mas Alvin menoleh dengan kening berkerut. “Minta apa?”“Begini, Mas! Sekarang aku dan Gea sudah baik. Dia akantinggal di rumah yang baru saja kubeli. Nah ... yang masih mengganjal dipikiran itu Papa. Biar bagaimanapun dia orang tuaku, sedangkan saat ini akuenggak tahu dia tinggal di mana,” sahutku.“Terus?”“Aku ingin kita tunda dulu kepergian sampai Papa ketemu. Nantirencananya aku suruh Papa tinggal bareng Gea. Boleh ya, Mas!” rengekku, meraihtangan Mas Alvin

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   keputusan Gea

    Sampai rumah, Gea langsung berlari ke kamar sembari tanganmengucek mata. Aku bisa merasakan betapa hati gadis itu terluka, antara kecewadengan ibunya, juga malu padaku.Meninggalkan Alvin yang sedang memarkirkan motor, beranjakaku ke dalam menyusul Gea. Di saat seperti ini dia pasti butuh teman.Mengetuk pintu kamar Gea, aku memanggil namanya beberapakali, tapi tak kunjung ada sahutan. Nekat aku mendorong daun pintu yang rupanyatak di kunci. Gadis itu tengah terisak, duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekat, aku mengelus pundak Gea berusaha menenangkan.“Sabar ya, Ge!” ucapku pelan.Bukannya menyahut, isaknya justru terdengar semakin jelas diantara nafas yang tersengal. Namun, aku tak melarang sebab tangis sedikitbanyak mampu meringankan beban di hati. Menangislah!“Mbak!” ucapnya setelah tangisnya mereda.“Iya,”“Kenapa kamu peduli denganku? Bukankah selama ini aku jahatsama kamu?” Gea menoleh, menatap lekat seperti mencari sesuatu di bola mataku.Melempar senyum, aku merapikan a

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   kepedihan Gea

    Seperti biasa aku beranjak ke dapur setelah kamar beres. Ibutampak sudah berjibaku dengan pekerjaan, sedangkan Gea belum terlihat.Aku menyambar toples berisi gula, berniat membuat kopi untukMas Alvin. Sedikit demi sedikit hubungan kami mulai membaik, meski suamikumasih sedikit kaku.“Bu, Gea kok belum kelihatan. Tumben?” tanyaku sembarimenakar gula sesuai selera suami.“Gea tadi pamit pulang, ada yang penting katanya,” sahutIbu.“Penting apa sih?”“Enggak tahu juga sih, tapi dengar-dengar dari tetangga, BuSri mau jual rumah itu!”Sontak aku terperanjat. Rumah itu milik orang tua Papa.Meski aku tak mengenalnya, setidaknya bisa menjadi pengingat bahwa aku punyagaris keturunan darinya.“Kok dijual sih? Bukannya itu punya Kakek?” tanyaku setengahprotes.“Iya, tapi kan sekarang sudah berganti nama menjadi milik BuSri. Jadi ya dia bisa jual,” jelas Ibu mertua.Ada rasa tak terima jika rumah itu berpindah tangan. Seharusnyarumah itu hak Papa dam Ibu mertua, tapi malah jatuh ke tangan Bu Sri

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   PAMIT

    Seminggu telah berlalu, tapi sikap Mas Alvin belum kembalimenghangat, padahal sudah kulakukan kewajiban sebagai seorang istri.Kemarin, saat mengurus pernikahan di KUA, Mas Alvin menolakmenggunakan mobil. Dia bilang kalau enggak ingin menggunakan apa pun darikekayaanku. Bukankah ini berlebihan?“Sampai kapan kita akan seperti ini, Mas?” tanyaku saat kamitengah berdua di kamar.“Apanya yang sampai kapan?” Mas Alvin balik tanya.Aku menghela nafas panjang lalu membuang perlahan. Entahsengaja atau tidak, tapi aku yakin Mas Alvin paham pertanyaanku.“Ya kita! Sampai kapan kamu akan mendiamkanku begini? Kita suamiistri, Mas! Bukan musuh!” jelasku berusaha sabar.Kata orang pengantin baru itu indah. Namun, nyatanya tidak!Kami menjalani hari penuh kekakuan. Bahkan urusan ranjang pun kami tak pernahmelakukan kecuali saat pertama kali dulu. Mas Alvin hanya mengecup kening saat mataini memejam. Bukankah ini menyedihkan?“Sampai aku bisa melupakan hujatanmu malam itu. Setidaknya,rasa sakit di ha

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   DIABAIKAN

    Berkali-kali aku mengerjap, memaksa membuka mata yang masihterasa lengket. Kuraba Mas Alvin yang semula tidur di sebelahku. Namun, takkutemukan dia. Astaga! Dia tak membangunkan aku.Menyadari kalau bangun kesiangan, buru-buru aku bangkit lalumenyambar pakaian yang tercecer di lantai.Tadi malam, meski aku sudah merayu Mas Alvin, kami takmelakukan apa pun. Dia terus menolak dengan alasan yang tak jelas. Yang lebihmenyedihkan, saat tidur pun dia memunggungiku.Entah apa yang terjadi padanya, tapi yang jelas dia sepertisedang membalas. Sikap dinginnya itu lebih menyakitkan ketimbang sebuahtamparan.Beranjak keluar kamar, aku menemui Ibu mertua di dapur. Tanpadiminta aku langsung membantu beberes juga menyiapkan sarapan.“Mas Alvin ke mana ya, Bu? Kok enggak kelihatan?” tanyaku disela aktivitas kami.“Lagi di depan. Tadi Gea datang. Memangnya kamu belum ketemudia?” tanyanya balik.Mendengar Ibu mertua menyebut nama Gea, cemburu datang mengganggupikiran, apalagi Mas Alvin sedang bersama p

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   KEMBALI

    Mobil yang kukendarai melaju pelan menembus sepinya malam.Sesekali aku menyapu wajah sekedar menepikan bayangan Mas Alvin agar tetap fokuspada jalanan.Tak lama, aku telah sampai di rumah. Hati berjingkrak girangsaat kulihat motor Mas Alvin terparkir di halaman rumah, bersebelahan denganmotor entah punya siapa. Buru-buru akuturun lalu beranjak masuk sambil berteriak.“Mas Alvin!” teriakku girang sembari membuka daun pintu yangtak tertutup rapat.Seketika senyum memudar saat menyaksikan pemandangan yangtak biasa. Mas Alvin tengah duduk berdua, saling berhadapan dengan seorangperempuan bernama Elsa.“Sudah pulang, Lintang?” sapanya dingin.Membunuh ego, aku beranjak mendekat pada suami.“Iya, Mas! Kamu ke mana saja beberapa hari ini? Aku terusmencarimu. Maafkan aku ya, Mas! Aku mengaku salah soal malam itu. Akumenyesal!” cerocosku sambil berusaha memeluk melepas rindu. Namun, kurasakansesuatu yang beda dengan Mas Alvin.Sama sekali dia tak membalas pelukan, atau sekedar mengeluspucuk k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status