Di tempat lain, Brian juga menerima telepon dari Papanya.
“Bri, jemput mama ke rumah sakit ya.” “Mama sakit, Pa?” “Bukan, tante Ratna pingsan. Mama panik. Kamu ke sini, ya?” “Iya, Pa.” Tanpa mereka sadari, mereka menuju rumah sakit yang sama. ••• Di ruang rawat inap. Kanya baru aja sampai dan langsung cari Mamanya. “Mama?” “Kanya… baru pulang, sayang?” “Iya, Ma. Mama sakit apa sih?” tanya Kanya yang panik banget. “Pusing, terus gelap semua. Untung ada Tante Indi,” kata Mamanya. “Ih makasih banyak, Tante,” ucap Kanya, langsung memeluk Mamanya Brian. “Cantik banget,” ucap Mamanya Brian sambil membalas pelukan Kanya. Tak lama kemudian… “Ma?” Suara Brian terdengar dari pintu. Kanya menoleh cepat. Tatapan mereka bertemu, lalu spontan berbalik bersamaan. Canggung. “Tante…” sapa Brian sambil nyengir. “Masih pakai baju kerja?” tanya Mama Kanya. “Iya, tadi dari—” “Kita abis makan bareng, Ma,” potong Kanya, menatap Brian sambil tersenyum menggoda. “Oh…” sahut para ibu kompak. “Benar begitu, Bri?” tanya Mamanya. “Iya, Ma…” sahut Brian, nggak berani menatap langsung. “Kok nggak bareng ke sini?” “Bareng, Ma. Tadi Mas Manager kesayangan aku ini sempet izin ke toilet dulu… ya kan, sayang?” Brian melongo, tapi tak berdaya. “Huss! Mas! Bilang iya dong, sayang…” ucap Kanya sambil mengepalkan tangan, masih dengan senyum sinis. “Iya, Ma… Tante… kita tadi pergi… berdua,” ujar Brian dengan nada pasrah. Kedua ibu mereka saling pandang dan tertawa bahagia. Papanya Kanya pun duduk santai sambil menyimak. “Jadi… kalian berdua siap menikah?” tanya Papanya Kanya tiba-tiba. “Ah… itu…” Brian gugup. “Tante pengin lihat kalian nikah. Tapi kalau kalian belum siap, ya nggak papa… tante cuma pengin liat kalian bahagia. Maaf ya, kalau tante terkesan maksa.” Kanya langsung menggamit tangan Brian. “Kita bicarain dulu ya, Ma. Ayo Mas, keluar dulu yuk…” Mereka pun meninggalkan ruangan. Wajah para orang tua mereka berseri-seri, sementara di luar kamar… peperangan baru saja dimulai. ••• “Ada hal penting yang harus kita omongin, Mas.” Nada suara Kanya tegas. Tangannya menggulung lengan tunik sampai siku, memperlihatkan tekad dan kegentingan yang tak bisa ditunda. Brian menatapnya balik. Jantungnya berdetak cepat, seolah bisa meledak kapan saja. Ia membuka beberapa kancing kemejanya. Gerakannya cepat, gelisah. “Aku juga… harus ngomong sesuatu yang penting banget ke kamu,” ucap Brian berat. Ada beban besar di matanya yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Tanpa kata tambahan, mereka berjalan cepat ke arah parkiran. Langkah mereka berirama cepat, sama-sama terbakar emosi. Begitu tiba di ujung, Brian meraih tangan Kanya dan membawanya ke mobilnya. Suasana di sekitar begitu hening, tapi dalam hati keduanya… badai sedang berputar. Begitu pintu terbuka, Brian menyilakan Kanya masuk. Tapi baru saja duduk, Kanya langsung melompat keluar lagi. “Aku nggak mau duduk di situ!” serunya keras. Ia berjalan memutar, membuka pintu belakang, lalu masuk ke bangku belakang dengan langkah marah. Brian bengong dan nanya, “Kamu kenapa sih?” tanyanya dengan nada panik. “Pasti kursi itu bekas cewek kamu itu! Sintai apa tuh!” Nada Kanya menyentak. “Sintia! masa Sintai?” protes Brian cepat, nyaris otomatis. “Mulut, mulut siapa?” Kanya menantang, menatap tajam. “Ya… mulut kamu,” kata Brian sambil ngangguk pelan. “Ya udah dong! Bebas mulut aku! Mas pindah ke belakang. Duduk deket aku sekarang juga,” kata Kanya sambil ngibasin tipis-tipis rambut dia. “Aku nggak mau.” Jawaban Brian ringan, tapi wajahnya jelas gelisah. “Oke… berarti aku bakal teriak minta tolong, bilang mau diperkosa,” Kanya lipat tangganya diatas perut dia., ancamannya terdengar serius banget “Jangan Kanya!” Brian mendadak takut, menatap sekitar dengan panik. “Sini duduk! Buruan!” Kanya minta pake perintah. Brian mengembuskan napas berat. “Kamu bisa nggak ngomong baik-baik sama aku?” “Bisa, kalau Mas nggak bikin aku kesel.” “Kamu bentak aku terus…” lirih Brian, menatap Kanya yang masih menyala-nyala. “Emang gini aku! Buruan sini, Mas Sayang, Sayangkuu~” Nada menggoda Kanya muncul tiba-tiba. Akhirnya, dengan pasrah tapi tak rela, Brian pindah ke kursi belakang. “Gini kan enak, Mas Irvan,” bisik Kanya sambil menyandar di bahu Brian. Brian mendelik. “Kamu kenapa sih nyebut-nyebut Irvan segala?” “Oh, kamu bisa sayang-sayangan depan aku sama Sintia, tapi aku nggak boleh gini ke Irvan?” Kanya protes. “Kamu juga tadi centil ke Irvan!” kata Brian yang mau bela dirinya. “Karena Mas duluan mulai!” Kanya membela diri. “Tapi dari dulu aku gitu ke Sintia. Emang masalahnya di mana?” kata Brian yang bener aja terus. “Masalah! Karena aku nggak suka!” Kanya jawab tegas. Brian mengerutkan dahi. “Kamu juga gitu ke Irvan. Kamu pikir aku suka?” “Oh… jadi Mas nggak suka?” Kanya mulai bermain nada. “Kenapa? Alasannya apa?” “Ya… ya nggak suka aja,” kata Brian yang rada gugup. “Harus ada alasan!” Kanya minta alasan. “Nggak ada,” kata Brian sambil geleng-geleng. “Ada! Ada atau nggak? Hah?! MAS Nggak mau jawab? MUKA MAS MAU KENA INI?!” Kanya mengepalkan tangan di depan wajah Brian. “Iya iya! Ada!” Brian ngalah setengah mati. “YA JAWAB!” kata Kanya yang nggak bisa pelan kalau ngomong. “Aku cuma… aku…” Brian bingung jawab apa Kanya mendekatkan wajahnya ke leher Brian. Hembusan napas hangatnya menyapu kulit pria itu, membuatnya bergetar. Jarak mereka nyaris nol. “Aku cuma pengin tahu… kamu bakal sekuat ini nggak… waktu nanti lindungi aku?” bisik Kanya, lembut… tapi menggoda maut. Brian memejamkan mata. Seluruh pertahanannya runtuh. Badannya yang selalu kokoh dan tegap, terasa lemas. Sorot matanya buram. “Kanya… aku… aku nggak nyaman…” ucap Brian. Suaranya kecil, terdengar seperti permohonan. Kanya tersenyum licik. Ia menikmati kegugupan yang jelas terpancar dari wajah Brian. Bibirnya mendekat ke telinga pria itu, lalu berbisik pelan, “Santai, Mas… aku cuma bercanda.” Kemudian ia mundur. Memberi ruang bagi Brian untuk menarik napas. Tapi... kelegaan itu malah bikin Brian makin takut. Takut... akan seberapa jauh Kanya bisa pergi dengan candaan-candaan berani seperti tadi. Ia menatap Kanya, berusaha membaca: Ini semua beneran cuma gurauan? Atau awal dari sesuatu yang lebih... intens?Kanya langsung menoleh ke belakang dengan wajah kaget, "Eh?" Brian tertawa kecil dan melanjutkan, "Aku nyesel... karena baru tau kamu sekarang. Harusnya dari dulu, waktu kamu masih kecil, aku culik sekalian." "Ya elah mas! Diculik katanya! Emangnya aku ayam kampung bisa diciduk?" Kanya menyikut pelan perut Brian sambil cengengesan. "Kamu bukan ayam, tapi kamu bisa bikin hati aku berkokok tiap hari," sahut Brian masih dengan nada main-main. "Ewh... gombalan tua!" Kanya ngakak, kepalanya makin bersandar ke dada Brian yang hangat. Lalu mendadak serius lagi. "Tapi serius... kita beneran mau nikah?" "Iya, sayang." "Kayak... bukan main-main?" "Nggak ada yang main-main. Kita mulai dari becanda, tapi aku serius sama kamu dari awal aku sadar aku butuh kamu." "Mas..." suara Kanya melembut, "Kalau nanti aku... suka berubah-ubah, kadang seneng, ka
Setelah itu...Brian keluar lagi dari kamar mandi. Rambutnya sedikit basah, tapi napasnya stabil. Dengan pelan, dia dekati Kanya yang masih di dapur, tangannya sibuk ngerapiin toples bumbu—padahal nggak ada satu pun yang berubah posisi.Tanpa satu patah kata, Brian langsung mengangkat tubuh Kanya, membuat Kanya terlonjak kaget."Mas! Eh... tolong... jangan—aaah, aku mau... tapi pelan yaa..." ucap Kanya sambil cekikikan kayak yang panik tapi seneng.Brian ngakak. Goyang-goyang bahunya nahan tawa, "Dasar kamu ya... acting-nya nggak pernah gagal."Sambil masih gendong, dia bawa Kanya ke kamar mandi.•••Di kamar mandi...Tak ada yang bicara. Hanya suara napas mereka dan gemuruh shower yang baru saja ditarik tuasnya oleh Brian. Air mengucur deras ke arah tubuh Kanya, membuat kain yang ia kenakan perlahan menempel lekat ke kulitnya.Brian menatapnya. Matanya dalam, ada gejolak rindu dan hasrat di s
Udara sore mengalir pelan menyapu wajah mereka, sementara motor gede Brian melaju tenang di antara lalu lintas kota. Di belakangnya, Kanya melingkarkan kedua lengannya di pinggang Brian, sesekali nyender manja sambil ketawa sendiri.Parfum yang tadi mereka beli, sekarang nangkring elegan di stang motor. Sementara box kue-kue lucu dan roti manis yang baru aja mereka borong? Udah dikirim duluan via Grab Car. Soalnya Kanya bilang:> "Kalau dibawa di motor, yang, nanti kuenya bukan Red Velvet, tapi Red Bubur!"Brian sampai ngakak sepanjang jalan gara-gara itu."Ada-ada aja kamu, ya," ucapnya sambil melirik kaca spion, ngeliat Kanya yang lagi sibuk ngelirik parfum dan nyium-nyium tutupnya."Eh, ini tuh wanginya kayak… kayak kamu deh, mas," celetuk Kanya sambil narik napas dalam-dalam dari parfum itu."Wangi debu motor?""Apaan sih! Wangi cowok yang aku sukaaaa," goda Kanya, makin manja.Mereka pun teru
Tak lama, Brian pun menghampiri dirinya. Brian segera duduk mendampingi Kanya dan tentunya tanpa jarak. Brian terlihat segar, seolah demam yang semalam hilang dalam sekejap akibat Kanya yang menjadi obat baginya. Dengan menggunakan celana sebatas lutut dengan kantung kiri dan kanan, serta kaos oblong longgar yang Brian kenaakan, tubuhnya terlihat gagah, bagian bahu bidannya semakin tampak melebar dan kokoh, otot lengan itu pun terlihat tegas, bagian otot paha dan betisnya yang memang sering kali ia latih di tempat kebugaran. "Tadi rame nggak di kantor?" tanya Brian, sembari menunggu Kanya yang hendak menyuapi dirinya dengan kue. "Rame banget, sayang," sahut Kanya yang kemudian menyuapi Brian dengan sepotong kue. "Enak?" tanya Kanya sambil mengunyah dan meminta pendapat Brian mengenai kue pilihannya. Sambil mengunyah dan mengangguk, menandakan jika kue pilihan calon istrinya ini sangat enak. Keduanya menikmati kebersamaan yang indah dengan ditemani kue kue lezat dan minuman m
Melihat tawa lepas dan senyum merekah dari Kanya, ada sesuatu yang membuat dada Brian bergemuruh dengan kebahagiaan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Bahkan dibandingkan momen bersama Sintia, apa yang dirasakannya kini sungguh berbeda—luar biasa dan tak terdefinisikan. Dahulu, Brian pernah bersikeras menolak Kanya sebagai pendamping hidupnya, namun kini, di hadapan wanita yang mampu membuat hatinya berdetak tidak karuan, semua penolakan itu seakan terbantahkan. "Untuk pertama kalinya, gue jatuh cinta," gumam Brian sambil matanya tak lepas memandang wajah Kanya yang bercahaya itu. Seluruh dunianya kini terasa lengkap hanya dengan kehadiran seorang Kanya. "Mas, liat deh, aku sengaja pilih kue ini buat aku sama kamu," ucap Kanya yang terlihat sangat bahagia, kala menunjukkan kue pilihannya,pada Brian. "Bentuknya lucu banget, sayang," ucap Brian, menanggapi bentuk dari kue itu. "Aku nggak sabar buat makan kue ini duluan," ucap kanya yang tak berhenti tersenyum. "Kita ma
Kanya tersipu malu dan berlari kecil mendekati Brian bak anak kecil saat pulang sekolah. Brian beranjak dari motor nya dan menyambut Kanya dengan pelukan. "Suami..." ucap Kanya sambil mendongak melihat Brian. "Hai, pake helm dulu, istri," ucap Brian, sambil mengenakan helm pada Kanya. "Pak manager takut ketahuan orang ya?" Kanya bertanya sambil tertawa kecil, saat melihat Brian yang masih mengenakan helm. "Iya, nanti kamunya yang kenapa-napa," ucap Brian. "Pacaran boleh kok yang, kata mami Intan," ucap Kanya. "Masalahnya mami Intan kenal sama Sintia, sayang," ucap Brian. "Owh gitu," sahut Kanya. "Pulang atau..." tanya Brian memberikan pilihan. "Pulang kerumah kamu kan, bukan kerumah mama?" tanya Kanya. "Iya, kita kesana," ucap Brian. "Diperkosanya jadi kan, yang?" tanya Kanya yang kembali jahil. "Hahaha... ada aja. Ayo, bisa nggak naiknya?" tanya Brian sambil melihat Kanya yang mungkin kesulitan untuk menaiki motor itu. "Ih nggak sampe, yang..." Sambil melepa