“Tenang aja... aku cuma mau nanya satu hal...” bisiknya, tangannya menyentuh wajah Brian perlahan. “Kamu masih anggap aku cuma calon istri formal buat nikahan yang dipaksain?”
Brian membuka mulut, tapi tak bisa mengeluarkan kata. “Nggak usah jawab deh,” lanjut Kanya pelan, sambil mendekatkan wajahnya, “karena tubuh kamu yang jawab lebih jujur.” Ia membiarkan jarinya menyentuh tengkuk Brian, lembut tapi menguasai. Bibir mereka bersisian, belum menyentuh, tapi nyaris. Hanya sehelai napas yang jadi jaraknya. Ketika akhirnya Kanya mencium bibir Brian dengan perlahan, Brian menutup mata. “Jantung kamu kenceng banget,” bisik Kanya, tangannya meraba dada Brian dengan tenang. “Ka-Kanya… ini nggak seharusnya…” ucap Brian pelan, menahan gejolak yang tak bisa dia kendalikan. “Tapi kamu nggak nyuruh aku berhenti,” balas Kanya. Kali ini suaranya nyaris seperti racun manis, menjerat. Tangan Brian naik pelan dan tanpa sadar bertengger di pinggang Kanya. Ia terdiam. Terlalu banyak yang ingin dikatakan, tapi terlalu sulit untuk dikeluarkan. Kanya menatap matanya lama. “Aku pengen kamu jujur. Kalau kamu ada rasa sama aku, bilang. Sekarang.” Brian menghela napas. “Aku… Aku bahkan nggak ngerti gimana perasaan ini bisa muncul…” “Berarti aku masih punya celah.” Ia bangkit perlahan dari pangkuan Brian, membiarkan jari-jarinya mengusap pipi pria itu satu kali. “Lain kali jangan marah-marah kalau aku godain cowok lain ya, mas. Cemburu tuh nggak cocok di muka kamu. dan Don't call any other woman's name other than mine baby!” “What? baby?” ucap Rian yang bingung tapi ada sedikit gurat tawa yang mau nongol di bibir dia "Yas!! baby, I'm your baby!” kata Kanya sambil tersenyum dan menyibak rambutnya dengan seksi. Ia buka kunci pintu, tapi sebelum keluar, Kanya menoleh dan berkata dengan nada manja, “Kalau mau lanjut, lain kali jangan sembunyi di toilet cowok.” Lalu pintu tertutup pelan. Brian terdiam di tempatnya. Napasnya masih naik turun. Tangannya masih gemetar. Ia menyandarkan kepala ke dinding dan berdesah pelan, “…Astaga…” ••• Setelah drama toilet yang bikin jantung nyaris copot, keduanya duduk kembali di meja makan, mencoba bersikap normal. Irvan dan Sintia ngobrol seru, sementara Kanya dan Brian… seperti sedang berakting di drama bisu. Tatapan Kanya terus tertuju ke Brian. Sedang Brian? Ia memilih menunduk, pura-pura sibuk mengatur sendok. Tiba-tiba, suara manja Sintia memecah konsentrasi dengan mengucapkan kalimat berisi ranjau darat laut dan udara, “Sayang, nanti kamu temenin aku ya?” DEG. Brian mendadak panas dingin. Matanya melirik Kanya yang tengah mengepalkan tangan, dagunya bertumpu pada telapak. Wajahnya terlihat dingin, tapi matanya tajam, seperti siap menghujam. “Iya, nanti aku temenin,” jawab Brian gugup. “Oh iya sayang… habis dari sana kita bisa pergi ke…” Sintia terus saja mengulang kata “sayang”, membuat telinga Brian panas dan kepala Kanya makin berasap. Kanya pelan-pelan menghitung jumlah kata “Sayang” yang keluar dari mulut Sintia. Dan ketika sudah melewati ambang batas sabarnya, ia sengaja menyikut kaki meja. “Udah aku itung itu ada kali satu juta kata yang sama!” batin Kanya yang lagi ngitung dan terjadilah sesuatu. BRUK! Beberapa gelas di meja berjatuhan. Air tumpah. Pecah. “Kenapa, Kanya?” Irvan panik. “Kamu nggak apa-apa?” “Ah, Mas Irvan, ada tikus lewat. Aku kaget…” ucap Kanya dengan suara manja dan senyum menggemaskan. Brian tampak makin gerah. Cara Kanya menyebut nama Mas Irvan dengan nada centil itu sukses mengaduk emosinya. “Aku juga geli sama tikus,” ucap Sintia, mencoba menimpali. “Iya Mbak… aku tuh geli banget. Mas Irvan, kita pulang yuk? Aku ngantuk banget. Besok kan kita kerja lagi, Mas Irvan. Iya, Mas Irvan?” Kanya terus-menerus menyebut “Mas Irvan” seperti mantra, membuat Brian akhirnya kehilangan kesabaran. “Sayang, kita pulang yuk,” ucap Brian kelepasan. Kanya langsung menoleh, menatap tajam. Tangannya terkepal. Brian mode panik tapi apa daya udah kelepasan. “Mas Irvan, ayo pulang. Aku ngantuk, Mas. Mas ayo... Mas Irvan,” nadanya manja sengaja biar Brian kepanggang kayak sate lima ribuan. Ia berdiri sambil lemparin senyum ke Sintia. “Mbak, kami duluan ya. Mumpung Mas Irvan mau anterin aku pulang.” Sintia membalas dengan sopan. Mereka berpelukan. Tapi saat itu pula, Kanya sengaja menginjak sepatu Brian dengan hak tingginya. “Ughh!” Brian menahan sakit, wajahnya mengerut. Kanya hanya tersenyum miring dan pergi bersama Irvan, melenggang cantik ala model. ya dia emang model. Di parkiran, saat Irvan sibuk dengan telepon, Kanya berdiri di depan mobil. Matanya menatap Brian dan Sintia yang baru keluar restoran. Brian melihat Kanya—yang berdiri seperti patung garuda dengan tangan terlipat dan tatapan membunuh. Pelan-pelan, Brian melepaskan gandengan tangan Sintia seolah hendak mengambil sesuatu dari saku. Kanya tersenyum puas. Brian membuka pintu mobil untuk Sintia, sementara Kanya masuk ke mobil Irvan dengan kepala terangkat. ••• Di perjalanan pulang, gini nih situasi Brian sama Sintia. “Sayang, besok bisa kan nemenin aku?” tanya Sintia, sambil menatap Brian. “Bisa,” jawab Brian pendek. “Kamu kok kayaknya sakit ya? Panas banget, sayang…” Ia menyentuh kening Brian. Brian mengangguk kecil. “Iya, mungkin masuk angin.” “Tapi bisa nemenin aku kan?” “Usahain, ya.” Brian meraba lehernya yang terasa berat. “Kamu beda, deh. Malam ini kamu aneh…” “Aneh gimana?” “Biasanya kamu manggil aku sayang terus… sekarang enggak.” Brian hanya tersenyum tipis. “Mungkin kamu terlalu sensitif.” Sintia tertawa kecil, meski nada suaranya berubah. “Beda aja rasanya. Tapi yaudah deh… Rabu aku ke luar kota, ada proyek.” “Nanti aku anterin.” “Enggak usah, kamu kayaknya beneran sakit.” Mereka pun tiba di rumah. Sebelum turun, Sintia memeluk Brian. “Cepet sembuh ya sayang…” Brian hanya membalas singkat, “Iya, hati-hati…” ••• Sementara itu Kanya baru sampai di rumah dia. dan pas dia masuk rumah , keadaan rumahnya sepi banget. “Mama?” “Papa?” Tak ada jawaban. Ia mengambil ponsel dari tas. Banyak panggilan tak terjawab. “Astaga! Papa!” Segera ia menghubungi ayahnya. “Papa? Maaf banget baru lihat HP.” “Mama di rumah sakit, kamu ke sini ya.” “Sakit?! Papa kirim lokasi sekarang!” Tanpa pikir panjang, Kanya memesan taksi dan langsung menuju rumah sakit.Malam itu di sudut gelap dekat warung kopi tua yang sepi pelanggan, dua pria itu duduk di atas motor masing-masing, helm masih menggantung di setang. Rokok menyala di ujung jari mereka, dan obrolan pelan tapi penuh racun mengalir di antara kepulan asap. “Besok kita mulai rencana,” kata si pria bertubuh kekar, menyesap rokoknya pelan. “Kita culik, tapi nggak langsung. Kita bikin dia panik dulu.” “Penculikan, pemerasan, bisa dapet ratusan juta. Cewek kayak gitu pasti punya harga,” jawab temannya yang lebih kurus, matanya tajam memperhatikan layar ponsel yang menampilkan foto Kanya dari akun sosial medianya. “Masalahnya, dia tinggal sama cowok. Mungkin suami. Mungkin pacar.” “Kita pastiin dulu besok. Kalau perlu kita nginep depan gedung. Kita harus tahu siapa aja yang keluar masuk apartemen itu.” Mereka tertawa pelan. Tawa yang lebih mirip desisan ular ketimbang manusia. Sementara itu... Di dalam apartemen yang terang dan modern, Brian duduk rapi dengan kemeja putih yang atasnya u
Sementara itu di apartemen, Brian duduk di depan laptop dengan rambut sedikit acak-acakan dan kaos oblong berwarna abu-abu. Daniel duduk manis di pangkuannya, tangan kecilnya sibuk memainkan stabilo berwarna kuning. “Daniel, jangan ganggu mouse-nya Daddy dong…” Daniel menyeringai sambil menunjuk layar dan berucap, “Dino! Daddy, itu Dino!” “Bukan, itu grafik performa keuangan bulan ini, Nak…” Brian tersenyum lelah, namun matanya tetap hangat. “Tapi kalo kamu bilang Dino juga, ya udahlah…” Hari ini, mereka tidak hanya menjalankan peran. Mereka hidup di dalamnya. Kanya di depan kamera, Brian di balik layar, dan Daniel menjadi pusat dari semesta mereka berdua. ••• Siang itu, di apartemen yang mulai sunyi karena AC menyala lembut dan tirai ditutup setengah, Brian duduk di lantai sambil menyuapi Daniel yang enggan diam. Bayi gemuk itu lebih sibuk bermain dengan sendok dan menjatuhkan mangkuk kecil ke lantai. “Daniel, suap nih... Aaaa... pesawat mendarat di mulut!” suara Brian
Rumah Sakit, malam hari Lampu di ruang IGD bersinar terang. Di luar, Ibu Silvi duduk dengan mata sembab, sementara Pak Erik berjalan mondar-mandir dengan wajah tegang. Dokter baru saja keluar dan menjelaskan bahwa Sintia masih belum sadar akibat overdosis dan benturan dari kecelakaan. Ibu Silvi dengan suara gemetar, “Dia cuma butuh ditanya kabarnya. Sekedar ‘kamu nggak apa-apa’, gitu aja nggak ada...” Pak Erik menahan amarah, “Brian... bocah itu. Dulu sopan. Dulu perhatian. Tapi sekarang?! Ditelepon pun jawabannya cuma ‘maaf, Brian nggak bisa kesana’. Lalu ditutup.” Ibu Silvi menghapus air matanya. Ibu Silvi berucap, “kamu pikir dia kayak gini karena siapa? Karena disakitin, karena dikhianatin? Tapi dia perempuan, Erik. Sekalipun salah, masih pantas dikasih waktu bicara.” Pak Erik duduk akhirnya, diam sejenak sebelum dia berkata, “kalau anak itu bisa tega ninggalin perempuan yang pernah dia tunangin begitu aja... berarti hatinya udah dibagi ke yang lain.” ••• Daniel suda
LOBBY KANTOR NHB – JAM 14.10 SIANG Suasana kantor elite NHB mendadak gaduh. Security yang biasa bersikap tenang langsung siaga waktu seorang wanita berdandan glamor datang masuk tanpa appointment. Sintia. Dengan high heels menggedor lantai, rambut terurai, dan wajah penuh amarah yang ditutup senyum palsu. “Maaf, Mbak. Nggak bisa sembarangan masuk—” “Gue tunangannya Brian!” hardik Sintia, langsung melenggang ke lift eksekutif. Satpam bingung, tapi tetap ikutin dari belakang. RUANGAN BRIAN – LANTAI 12 Brian yang sedang review katalog lookbook baru tiba-tiba berdiri pas pintu ruangannya dibuka paksa. “Sayang, kita bisa ngomong baik-baik nggak?” Suara Sintia mendayu-dayu. Nggak cocok sama cara dia maksa masuk. Brian berdiri pelan. Tarik napas. Lalu menatap wanita itu dari ujung kaki sampai kepala seolah dia lagi lihat sesuatu yang menjijikkan. “Satpam.” Nada suaranya datar. “Brian?!” “Keluarin dia.” Dua satpam masuk dan langsung mengarah ke Sintia. “Brian! Lo
PAGI DADDY DAN GRAFIK Pagi itu, aroma tumisan sayur dan telur orak-arik khas buatan Kanya menguar dari dapur. Kanya mengenakan apron lucu bergambar dinosaurus—bukan karena hobi, tapi karena Daniel yang milih waktu mereka belanja bareng. Di meja makan, kotak bekal stainless steel udah disusun rapi, isinya lengkap: nasi, ayam bumbu kecap, sayuran, dan potongan buah. Sementara itu, suara cipratan air terdengar dari kamar mandi. “Daniel... sabunnya jangan di makan, ya sayang…” teriak Kanya sambil nyalain hair dryer, lalu buru-buru ke kamar mandi. Daniel duduk di dalam ember mandi warna biru laut, tubuh gempalnya penuh busa, dan wajahnya senyum-senyum sambil ngerespon mainan bebek karet yang tenggelam di antara gelembung sabun. Di depan kaca wastafel, Brian berdiri dengan wajah serius, rambut masih sedikit basah. Pakaian kantor udah rapi, dasi tinggal disesuaikan. Tapi tangannya masih pegang ponsel yang menampilkan grafik progres proyek. “Kalau kita pakai pendekatan minimalis, g
“Maksudnya... kita pura-pura pernah punya masa lalu?” tanya Kanya sambil nyuapin Daniel suapan terakhir.Brian angguk sambil peluk Daniel makin erat.“Kita ketemu lagi baru-baru ini. Reconnect. Kamu bawa Daniel. Aku syok, tapi mutusin buat tanggung jawab. Cerita kayak gini masih bisa dimaafin... dibanding kalau kita jujur soal kekerasan itu.”Kanya diem. Matanya berkaca-kaca.“Tapi aku bohongin mama papa, Mas...”“Aku juga. Tapi bohongin demi kebaikan mereka. Kita yang nanggung. Daniel nggak akan ngerti nanti—yang penting dia tumbuh dalam cinta.”Kanya taruh sendok dan tatap Brian penuh rasa percaya. “Oke... deal, Mas.”Brian senyum, lalu gendong Daniel tinggi-tinggi.“Deal. Kita tutup masa lalu kamu, kita mulai dari cerita versi kita.”Daniel tertawa-tawa kegirangan diangkat ke udara. Kanya ikut tertawa sambil ngelap mulut si kecil.“Yang penting kita bertiga... bareng terus,” ucap Kanya.