Dari kejauhan, Irvan melempar senyum pada Kanya, senyum itu berbalas. Kanya pun tersenyum saat melihat senyuman itu untuknya.
"Senyum terus," ucap Brian, pada Irvan. "Kayaknya gue jatuh cinta, BRI," sahut Irvan. "Wow, siapa yang bisa bikin lu jatuh cinta? Yakin?" Brian terdengar ragu. "Kalo ini nggak mau gue lepasin. Jantung gue, detaknya nggak karuan pas ketemu dia. Kita juga tukeran nomor hape tadi. Jodoh gue kayaknya," Irvan percaya diri. "Bagus dong, deketin lah," ucap Brian. "Pasti Bri, jangan sampe keduluan sama lelaki mana pun. Nggak terima gue kalo ada yang lebih dari gue," ucap Irvan, penuh ambisi. "Iya deh, iya. Gue doain lu dapetin tuh cewek, jangan lu lepasin," ucap Brian. "Thanks bro. Lu tau lah selera gue, ini cewek selera gue banget, Brian," ucap Irvan. "Ngerti gue, emang gimana sih orangnya?" Brian penasaran. "Disana tuh, tuh! Dia lagi rame-ramean juga," ucap Irvan sambil melihat ke arah Kanya. "Mana?" tanya Brian yang terlihat ingin tahu. "Itu Bri, pake baju kaos putih, sedikit nerawang, aduh, pake baju gitu aja keliatan seksi banget, apa lagi nggak pake baju?" Irvan berpikir liar. "Mana sih?" Brian semakin penasaran. "Ah mata lu. Itu dia liat kesini Bri?!" ucap Irvan dengan mata yang tertuju pada Kanya. "Bentar, gue ada telepon," Brian yang beranjak dari sofa, lalu berjalan menjauh dari sana. Brian menerima telepon dari Sintia. 10 menit kemudian, Brian kembali setelah usai berbincang dengan Sintia, kekasihnya . "Sorry, Sintia telepon, disini tadi rasa berisik, jadi takut dia nggak kedengeran," ucap Brian yang kembali duduk bersama rekan kerjanya. "Mana gebetan lu?" tanya Brian pada Irvan. "Telat. Kayaknya dia udah pulang. Nihz gue coba kirim pesan ke dia, gue bilang sama dia, buat hati-hati di jalan," ucap Irvan sambil memperhatikan isi pesannya pada Kanya. "Kenapa lu nggak anterin dia pulang aja, Van?" tanya Brian. "Dia bawa motor sendiri, Bri. Gue udah tawarin duluan tadi. Gue nggak sengaja nabrak dia pas gue dari toilet, dan baju dia kotor kena jus lemon yang gue tabrak," ucap Irvan sambil tersenyum membayangkan pertemuan itu. "Ehm, gitu," ucap Brian dengan datar. "Iya dong, romantis kayak di drama Korea," ucap Irvan yang sedang berbunga-bunga. ••• Malam itu, Kanya membuka pintu rumah dengan penuh harap, namun apa yang menyambutnya sungguh di luar dugaan. Cahaya remang-remang menyilaukan matanya sejenak, namun saat ia menyesuaikan penglihatannya, ia melihat ayah dan ibunya berdiri di tengah ruang tamu, masing-masing memegang bunga yang merekah dan piring berisi kue-kue kecil. Hati Kanya terasa hangat dan bergetar; tangis kebahagiaan hampir saja pecah melihat bentuk kasih sayang orangtuanya yang begitu nyata. "Selamat, Nak! Keberhasilan kamu adalah hadiah terindah buat mama sama papa," ucap ibunya dengan suara bergetar, mata berkaca-kaca. Ayahnya, dengan senyum lebar, mendekap Kanya, "kamu udah membuat kami bangga, sayang." Kanya terpaku, takjub dan terharu, merasakan malam itu bukan sekadar malam biasa, tapi penghargaan seorang dirinya di hati kedua orangtuanya. Dalam sorot lampu yang lembut, mereka bertiga tertawa, berpose sempurna untuk sebuah potret kebahagiaan. Kanya, dengan mata berkaca-kaca, menatap lekat pada kedua orang tuanya. "Terima kasih buat semuanya," ujarnya seraya mengarahkan kamera pada rangkaian bunga dan tumpukan kue yang tersaji dengan indah di atas meja. Dengan hati yang berbunga, ia membagikan momen itu pada snapgram dan story WhatsAppnya, ingin semua tahu betapa ia bersyukur dan beruntung memiliki orang tua seperti mereka. Semesta seakan bergema menyaksikan kehangatan keluarga itu, seolah turut merayakan kebahagiaan yang sederhana namun begitu dalam. Irvan menjadi saksi pertama yang melihat snap itu, seakan-akan dia terhipnotis oleh kebahagiaan yang terpancar dari wajah Kanya. Dengan hati yang berdebar, ia segera mengirimkan pesan selamat, "Makasih mas Irvan. Udah pulang mas?" "Baru aja nyampe, Kanya. Kamu lagi apa? Sibuk atau mau istirahat?" "Ehm... aku slagi bersihin makeup, mas. Mas lagi ngapain ?" Irvan merasa detak jantungnya meningkat, "nggak lagi ngapain sih, cuma mau dengerin suara kamu aja, boleh kan?" "ya jelas boleh dong, mas," "Oke.. kebetulan kamu udah sampe rumah, aku tenang Jadinya. Aku boleh telepon kamu?" "Boleh, mas. 5 menit lagi!" Dialog itu berakhir, tapi gelombang kecemasan dan antisipasi menggelayuti hati Irvan. Pikirannya melayang pada suara Kanya yang akan segera mengalun melalui sambungan telepon, menambah kemesraan yang tak terhingga di malam itu. Meskipun ia tak tahu apakah Kanya memberikan cinta padanya. Tak lama kemudian, Irvan menghubungi Kanya via suara, "Hai..." Irvan menyapa. "Hai mas..." Kanya menyahut. "Bingung mau ngomong apa," ucap Irvan. "Emang kenapa mas? Ngomong aja nggak papa kok," ucap Kanya. "Kamu ngantuk nggak?" tanya Irvan. "Belum sih mas, cuma baring aja, sambil liat acara tv, sambil dengerin mas ngomong, sama peluk bantal," ucap Kanya. "Oke... ehm... kamu besok kemana? Ada acara nggak?" tanya Irvan. "Besok aku ada kerjaan sih mas. Kenapa mas?" Kanya kembali melempar tanya. "Malemnya, ada kerjaan nggak?" tanya Irvan. "Malemnya sih nggak ada mas. Paling habis ngantor aku balik kerumah. Emang kenapa mas?" ucap Kanya. "Aku boleh ketemu kamu lagi? Maaf kalo kamu kurang suka," ucap Irvan. "Boleh kok mas. Mas mau kerumah atau kemana?" tanya Kanya. "Serius nih, boleh?" Irvan terdengar ragu. "Ya boleh mas, kenapa nggak?" ucap Kanya yang meyakinkan Irvan. "Yes!" Irvan bersyukur. "Yes apa nih mas? Hahaha..." Kanya tertawa. "Oh... maaf, aku seneng banget bisa ketemu kamu, sorry Kanya. Ehm... besok akumau ketemu kamu lagi, di... Aku nggak tau, tapi kita jalan aja, gimana?" ucap Irvan. "Jalan kemana mas?" tanya Kanya. "Tapi kamu jangan bawa motor," ucap Irvan. "Ehm? Oh maksudnya mas mau jemput aku?" tanya Kanya. "Iya, boleh kan?" ucap Irvan. "Boleh sih mas, tapi aku ngantor dulu besok pagi jam 7," ucap Kanya. "Jam 7 ya," ucap Irvan. "Iya mas, kenapa?" tanya Kanya. "Aku juga jam segitu sih ngantor, ya udah aku pesenin kamu taksi besok pagi, biar nanti pas pulang kerja aku jemput kamu," ucap Irvan. "Oke... boleh, aku pesen taksi sendiri nggak papa kali mas," sahut Kanya. "No... jangan, aku aja. Kamu kasih alamatnya rumah kamu dan kantor kamu, anggep aja itu aku yang jemput kamu," ucap Irvan. "Hahaha... oke. Boleh. Nanti aku kirim alamatnya mas," ucap Kanya. "Oke... ehm... Kanya?" Irvan terdengar ingin kembali berbincang-bincang. "Iya mas?" Kanya menyahut. "Kita temenan boleh kan?" ucap Irvan. "Boleh banget dong, mas..." sahut Kanya. "Oke. Ehm... ya udah kamu tidur, udah malem. Besok pagi kita kerja. Kamu jaga kesehatan ya, Kanya," ucap Irvan. "Iya mas... mas juga ya. Sampe ketemu besok ya mas," sahut Kanya. "Siap nyonya." ucap Irvan di akhir kalimat. Irvan tengah jatuh cinta. •••• keesokan harinya. Pagi itu, Kanya, Brian, Irvan, tampak sibuk mempersiapkan diri untuk bekerja. Kanya terlihat cantik dan memukau. Ia mengenakan setelan kemeja cantik bermotif bunga kecil berwarna pink dan biru muda, bagian kancing yang sengaja terbuka sehingga terlihat seksi pada bagian dadanya. Kemeja itu ia masukan ke dalam celana panjang, batas pinggang tinggi menutup perut ratanya, dengan mode kulot berwarna krem, juga high-heels cantik berwarna senada dengan tas yang ia kenakan. Rambut yang ia gerai dan sedikit bergelombang, menambah keanggunan dirinya. Sama halnya Brian, ia terlihat gagah dengan setelan jas, tatanan rambut yang rapi juga fashionable itu, memang pantas untuknya. Taksi datang, Irvan sudah memesannya untuk Kanya. Pergilah Kanya menuju kantor tempat ia bekerja. Si cantik ini terlihat sumringah. Melirik jam ditangan, sambil sedikit menarik lengan panjang yang sedikit menutupi jam tangan cantik itu. Sampai di kantor, Kanya segera duduk di ruangannya menunggu Intan selaku manager. "Oke, wow... kamu cantik banget Kanya," Intan memuji Kanya. "Thanks, mam," ucap Kanya. "Oke, kita berangkat, semua udah disiapin kan?" tanya Intan. "Semuanya udah siap!" Kanya bersemangat. "Let's go!" sahut Intan. Pagi itu, Kanya bersama Intan pergi menuju ke tempat dimana akan ada pertemuan penting. "Semangat Kanya, kamu pasti bisa dan jangan malu maluin mami ya?" ucap Intan. "Siap, mam!" ucap Kanya sambil sesekali melirik cermin untuk melihat penampilannya. "Kamu cantik banget, lebih cantik dari biasanya loh. Duh, bisa gaet manager perusahaan nih? Atau CEO yang deketin kamu," ucap Intan, menerka. "Hahaha, nggak lah mam, mana mau mereka sama aku," ucap Kanya yang tak begitu percaya diri. Tiba di perusahaan The NHB, Kanya menjadi pusat perhatian para staf yang melintas dan berpapasan dengan dirinya. Mereka bertanya-tanya dan menebak siapa dirinya dan bercakap-cakap, "Itu model, kan?" "Iya." "Gila cantik banget, kulitnya mulus gitu," "Wajar lah, model," "Tapi bisa semulus itu," "Terus enak liatnya ya, nggak bosen, kulitnya coklat gitu," "Iya," Tiba di ruangan meeting, Kanya dan Intan disambut oleh beberapa staf lain yang telah hadir lebih dulu. Mereka berjabat tangan dan duduk disatu meja di ruangan yang bernuansa serba abu dan hitam, dengan jendela kaca berukuran besar dan tirai yang sengaja di buka melebar agar cahaya matahari pagi lebih menghiasi ruangan. Masuklah Steve dan Irvan, Kanya tersenyum saat melihat Irvan, Irvan melempar senyum pada Kanya dan saling melambaikan tangan. Mereka berjabat tangan, tak terkecuali Irvan dan Kanya. Keduanya tertawa kecil karena telah mengenal Irvan sebelumnya. "Sorry, saya telat," ucap Brian yang baru saja masuk ruangan dengan membawa laptop. "Nah ini, Brian. Dia adalah Manager perusahaan kita saat ini. Silahkan Brian, perkenalkan diri kamu," ucap Steve. "Baik, selamat pagi, maaf sebelumnya tadi saya terlambat karena ada berkas yang saya hampir lupa bawa. Ehm..." kalimat Brian terhenti saat melihat Kanya. Kanya pun tampak terkejut saat mengetahui jika Brian adalah manager di perusahaan itu. Keduanya saling pandang sejenak namun Kanya terlihat enggan terlalu lama memandangi Brian walau ia sangat ingin. Brian pun, merasakan hal yang sama, namun ia tetap meneruskan kembali apa yang ingin ia sampaikan. "Kenapa dia sih yang jadi managernya?" tanya Kanya pelan dalam hatinya. Brian terlihat sangat profesional, meski ia tak bisa menampik jika calon istrinya memang seorang yang sangat cantik dan menggoda iman.Bertemu tatapan yang sama, momen-momen singkat itu menjadi arena pertarungan emosi tak terucap di antara mereka. Mata mereka seolah bertaut, mengakui keberadaan satu sama lain meski dari kejauhan. Di sisi lain, Irvan yang berdiri di kejauhan, matanya berbinar menatap Kanya, wanita yang dicintainya dan kini menjadi Brand Ambassador perusahaan tempatnya bekerja. Kebanggaan tergambar jelas di wajahnya. Kanya, dengan sapaan hangatnya, tenggelam dalam obrolan ringan bersama seorang Brand Ambassador lain yang tak kalah memukau. Kecantikannya bukan sekadar paras, tetapi juga kilau di matanya yang bisa menarik perhatian siapa saja, termasuk Brian yang tampil mempesona. Hatinya tahu, kehadiran pria itu terlalu berharga untuk sekedar dilirik dan dilupakan. Brian, dengan semua pesonanya, adalah bagian dari pesona yang tak mungkin ia lewatkan dengan begitu saja.Brian berjuang keras untuk mempertahankan fokusnya, mencoba melawan godaan untuk menoleh ke arah Kanya. Namun, matanya mengkhianati usah
Malam itu, atmosfer restoran mewah terasa semakin memukau dengan dekorasi yang berkilauan. Kanya dan Irvan memasuki tempat tersebut, langkah mereka serasi dalam gaun dan setelan yang mereka kenakan. "Kanya, mau duduk di mana?" tanya Irvan dengan nada penuh perhatian. "Ehm... di sana, Mas Irvan. Kayaknya sudut itu keren buat foto," Kanya menunjuk ke sebuah meja di pojok yang terlihat romantis dengan cahaya lilin yang menari-nari. "Oke," sahut Irvan. Seraya tersenyum, dia meraih tangan Kanya. Tiba-tiba, ponselnya berdering."Duh, sorry, Aku anterin kamu duluan kesana," ucap Irvan, sambil memberikan kode agar Kanya menunggu. Meski malam itu sejatinya adalah malam mereka, tetapi panggilan yang tak terduga itu menguji kesabaran Irvan sendiri.Irvan mengantar Kanya pada bangku yang mereka inginkan, Kanya duduk dan meletakkan tas disampingnya. Irvan menerima panggilan telepon dan menjauh dari Kanya."Ya pak, gimana pak?" ucap Irvan pada telepon.Kanya melihat sekeliling, lampu cantik, alunan
Kembali bak orang normal, keduanya duduk bersama dengan Irvan dan Sintia dan mencoba menikmati makanan yang tertunda. Tatapan Kanya terfokus pada Brian, Brian menundukkan wajahnya.Entah apa yang di perbincangkan oleh Irvan dan Sintia, keduanya merasa hanya mereka saja yang ada saat ini, yang lain seolah tak kasat mata.Namun, saat terdengar suara Sintia yang memanggil Brian dengan sebutan,"Sayang, nanti kamu temenin aku ya?"DEGBrian mendadak panas dingin, apalagi saat melihat Kanya yang mengepalkan tangan sambil menopang dagu."Iya nanti aku temenin kamu," sahut Brian dengan jantung yang berdebar."Oh... iya sayang... nanti kita habis dari sana, kita bakal pergi ke..." ucap Sintia yang terus menggunakan imbuhan sayang pada tiap kalimat.Terus saja Kanya menghitung jumlah kalimat sayang itu, semakin mau mati rasanya Brianz saat melihat Kanya yang menatapnya dengan tajam, sementara Irvan tengah berbincang ringan, Kanya seolah tak menghiraukan apa yang Irvan celotehkan."Sayang..."
"Ada hal penting yang harus kita omongin, Mas," Kanya menegaskan, nada suaranya penuh ketegasan seiring dia menggulung lengan tuniknya lebih tinggi. Ekspresi wajahnya menunjukkan kegawatan yang tidak bisa ditawar lagi. Brian menatapnya balik dengan tatapan yang tidak kalah serius, jantungnya berdegup kencang seolah bisa pecah kapan saja. Dengan gerakan tegas, ia membuka beberapa kancing kemejanya, tanda bahwa tekanan yang dia rasakan mulai tak tertahankan. "Dan aku juga perlu ngomong sesuatu yang sangat penting sama kamu," ujar Brian, suaranya terdengar berat, penuh dengan beban yang seolah telah lama dipendam.Dengan langkah yang begitu cepat, mereka berdua berjalan bersisian ke arah parkiran. Brian kemudian dengan sigap menarik tangan Kanya, membawanya menuju mobilnya yang parkir di ujung. Suasana tegang terasa menggantung di udara seakan tiap langkah mereka bertambah berat.Brian membuka pintu mobil dan dengan sedikit paksa, ia menuntun Kanya agar masuk. Kanya menurut, namun begi
"Bri, nanti malam anterin mama sama papa ya." Isi pesan itu. "Kemana ma?" Brian membalasnya. "Kerumah temen mama, kita udah lama nggak ketemu, bisa kan?" Ibunya membalas lagi. "Ehm... tumben ma? Biasanya pergi berdua?" Isi balasan pesan dari Brian. "Ih, nurut aja deh, sekali kali ini. Pokoknya mama tunggu nanti jam 8 malam kita pergi, Brian jemput kerumah mama sama papa ya," balasan pesan dari ibunya. "Ya udah, tunggu aja ya ma," Brian membalas pesan itu. "Tumben, biasanya nggak gini?" Brian bergumam sambil menatap layar ponsel yang baru saja menampilkan pesan dari ibu. Brian mengerutkan dahi, mencoba memahami nada pesan itu. Ada sesuatu yang terasa berbeda kali ini. Namun, Brian tidak bisa memastikan apa. Apakah ada yang sedang terjadi di rumah? Atau ibunya hanya mencoba menyampaikan sesuatu yang penting dengan cara yang tak biasa? Kenapa tiba-tiba Brian merasa tidak tenang dan Brian menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayangan buruk yang mulai memenuhi kepala. P
Mereka berdua terlihat akrab, tapi itu dimata kedua orang tua mereka masing-masing. "Liat, mereka cocok," Ucap Ratna pada Indira. "Senengnya, artinya kita bakal besanan dan punya cucu," ucap Indira dengan rona wajah bahagia. Nyatanya? "kamu jangan pernah mikir, aku bakal mau nikah sama kamu!" tegas Brian. "Hahaha, udahlah mas, biasanya yang awalnya suka nolak, justru nanti jadi sayang dan nggak mau pisah," ucap Kanya. "Nggak akan," Brian menjawab dengan yakin. "Akan! Kamu bakal cinta sama aku. Titik!" ucap Kanya, tegas. "Ah!" Brian kesal. Brian meninggalkan Kanya ke ruang tamu, Kanya menyusul dan mereka bertemu kembali di ruang tamu. "Tante, Om, mama, papa, Kanya nggak mau jadi istri mas Brian," ucap Kanya, sambil duduk menyilang kaki dan tersenyum manja. "Brian juga nggak mau," ucap Brian tak mau kalah. Keluarga Brian pun meninggalkan kediaman keluarga, setelah mendengar penolakan perjodohan itu. "Gimana Bri? Kok pada nolak?" ucap ibunya dengan kecewa. "Lagian dia juga
"Kanya, besok kamu ke kantor dulu, terus bareng mami kita ke perusahaan yang mendapuk kamu jadi BA mereka, oke!" ucap Intan pada Kanya."Oke, mam," sahut Kanya."Ehm, terus nanti ada beberapa tanda tangan kontrak yang harus kamu tanda tanganin, juga nanti ada meeting bareng team mereka, pokoknya kamu bakal sibuk banget besok. Jaga kesehatan kamu, tetep makan makanan sehat, pola makan di jaga, mami minta kamu tetep rajin latian, karena kamu udah tau kan jadwal foto produk pakaian juga udah beberapa yang harus kita kerjain," ucap Intan yang menjabarkan isi kontrak."Oke, mam," sahut Kanya."Inget pesen mami, jangan mengecewakan agency kita, jaga nama baik perusahaan dan nama kamu," ucap Intan, lagi."Iya mam, Kanya sebisa mungkin jalanin apa yang udah seharusnya ada di kontrak kerja," jawab Kanya dengan percaya diri."Bagus, jangan sampai kamu terpengaruh sama hal yang diluar kuasa mami. Kamu tau kan? Beberapa temen kamu, yang hidupnya aneh-aneh itu, akhirnya gimana?" Intan bertanya."
"Ada hal penting yang harus kita omongin, Mas," Kanya menegaskan, nada suaranya penuh ketegasan seiring dia menggulung lengan tuniknya lebih tinggi. Ekspresi wajahnya menunjukkan kegawatan yang tidak bisa ditawar lagi. Brian menatapnya balik dengan tatapan yang tidak kalah serius, jantungnya berdegup kencang seolah bisa pecah kapan saja. Dengan gerakan tegas, ia membuka beberapa kancing kemejanya, tanda bahwa tekanan yang dia rasakan mulai tak tertahankan. "Dan aku juga perlu ngomong sesuatu yang sangat penting sama kamu," ujar Brian, suaranya terdengar berat, penuh dengan beban yang seolah telah lama dipendam.Dengan langkah yang begitu cepat, mereka berdua berjalan bersisian ke arah parkiran. Brian kemudian dengan sigap menarik tangan Kanya, membawanya menuju mobilnya yang parkir di ujung. Suasana tegang terasa menggantung di udara seakan tiap langkah mereka bertambah berat.Brian membuka pintu mobil dan dengan sedikit paksa, ia menuntun Kanya agar masuk. Kanya menurut, namun begi
Kembali bak orang normal, keduanya duduk bersama dengan Irvan dan Sintia dan mencoba menikmati makanan yang tertunda. Tatapan Kanya terfokus pada Brian, Brian menundukkan wajahnya.Entah apa yang di perbincangkan oleh Irvan dan Sintia, keduanya merasa hanya mereka saja yang ada saat ini, yang lain seolah tak kasat mata.Namun, saat terdengar suara Sintia yang memanggil Brian dengan sebutan,"Sayang, nanti kamu temenin aku ya?"DEGBrian mendadak panas dingin, apalagi saat melihat Kanya yang mengepalkan tangan sambil menopang dagu."Iya nanti aku temenin kamu," sahut Brian dengan jantung yang berdebar."Oh... iya sayang... nanti kita habis dari sana, kita bakal pergi ke..." ucap Sintia yang terus menggunakan imbuhan sayang pada tiap kalimat.Terus saja Kanya menghitung jumlah kalimat sayang itu, semakin mau mati rasanya Brianz saat melihat Kanya yang menatapnya dengan tajam, sementara Irvan tengah berbincang ringan, Kanya seolah tak menghiraukan apa yang Irvan celotehkan."Sayang..."
Malam itu, atmosfer restoran mewah terasa semakin memukau dengan dekorasi yang berkilauan. Kanya dan Irvan memasuki tempat tersebut, langkah mereka serasi dalam gaun dan setelan yang mereka kenakan. "Kanya, mau duduk di mana?" tanya Irvan dengan nada penuh perhatian. "Ehm... di sana, Mas Irvan. Kayaknya sudut itu keren buat foto," Kanya menunjuk ke sebuah meja di pojok yang terlihat romantis dengan cahaya lilin yang menari-nari. "Oke," sahut Irvan. Seraya tersenyum, dia meraih tangan Kanya. Tiba-tiba, ponselnya berdering."Duh, sorry, Aku anterin kamu duluan kesana," ucap Irvan, sambil memberikan kode agar Kanya menunggu. Meski malam itu sejatinya adalah malam mereka, tetapi panggilan yang tak terduga itu menguji kesabaran Irvan sendiri.Irvan mengantar Kanya pada bangku yang mereka inginkan, Kanya duduk dan meletakkan tas disampingnya. Irvan menerima panggilan telepon dan menjauh dari Kanya."Ya pak, gimana pak?" ucap Irvan pada telepon.Kanya melihat sekeliling, lampu cantik, alunan
Bertemu tatapan yang sama, momen-momen singkat itu menjadi arena pertarungan emosi tak terucap di antara mereka. Mata mereka seolah bertaut, mengakui keberadaan satu sama lain meski dari kejauhan. Di sisi lain, Irvan yang berdiri di kejauhan, matanya berbinar menatap Kanya, wanita yang dicintainya dan kini menjadi Brand Ambassador perusahaan tempatnya bekerja. Kebanggaan tergambar jelas di wajahnya. Kanya, dengan sapaan hangatnya, tenggelam dalam obrolan ringan bersama seorang Brand Ambassador lain yang tak kalah memukau. Kecantikannya bukan sekadar paras, tetapi juga kilau di matanya yang bisa menarik perhatian siapa saja, termasuk Brian yang tampil mempesona. Hatinya tahu, kehadiran pria itu terlalu berharga untuk sekedar dilirik dan dilupakan. Brian, dengan semua pesonanya, adalah bagian dari pesona yang tak mungkin ia lewatkan dengan begitu saja.Brian berjuang keras untuk mempertahankan fokusnya, mencoba melawan godaan untuk menoleh ke arah Kanya. Namun, matanya mengkhianati usah
Dari kejauhan, Irvan melempar senyum pada Kanya, senyum itu berbalas. Kanya pun tersenyum saat melihat senyuman itu untuknya."Senyum terus," ucap Brian, pada Irvan."Kayaknya gue jatuh cinta, BRI," sahut Irvan."Wow, siapa yang bisa bikin lu jatuh cinta? Yakin?" Brian terdengar ragu."Kalo ini nggak mau gue lepasin. Jantung gue, detaknya nggak karuan pas ketemu dia. Kita juga tukeran nomor hape tadi. Jodoh gue kayaknya," Irvan percaya diri."Bagus dong, deketin lah," ucap Brian."Pasti Bri, jangan sampe keduluan sama lelaki mana pun. Nggak terima gue kalo ada yang lebih dari gue," ucap Irvan, penuh ambisi."Iya deh, iya. Gue doain lu dapetin tuh cewek, jangan lu lepasin," ucap Brian."Thanks bro. Lu tau lah selera gue, ini cewek selera gue banget, Brian," ucap Irvan."Ngerti gue, emang gimana sih orangnya?" Brian penasaran."Disana tuh, tuh! Dia lagi rame-ramean juga," ucap Irvan sambil melihat ke arah Kanya."Mana?" tanya Brian yang terlihat ingin tahu."Itu Bri, pake baju kaos puti
"Kanya, besok kamu ke kantor dulu, terus bareng mami kita ke perusahaan yang mendapuk kamu jadi BA mereka, oke!" ucap Intan pada Kanya."Oke, mam," sahut Kanya."Ehm, terus nanti ada beberapa tanda tangan kontrak yang harus kamu tanda tanganin, juga nanti ada meeting bareng team mereka, pokoknya kamu bakal sibuk banget besok. Jaga kesehatan kamu, tetep makan makanan sehat, pola makan di jaga, mami minta kamu tetep rajin latian, karena kamu udah tau kan jadwal foto produk pakaian juga udah beberapa yang harus kita kerjain," ucap Intan yang menjabarkan isi kontrak."Oke, mam," sahut Kanya."Inget pesen mami, jangan mengecewakan agency kita, jaga nama baik perusahaan dan nama kamu," ucap Intan, lagi."Iya mam, Kanya sebisa mungkin jalanin apa yang udah seharusnya ada di kontrak kerja," jawab Kanya dengan percaya diri."Bagus, jangan sampai kamu terpengaruh sama hal yang diluar kuasa mami. Kamu tau kan? Beberapa temen kamu, yang hidupnya aneh-aneh itu, akhirnya gimana?" Intan bertanya."
Mereka berdua terlihat akrab, tapi itu dimata kedua orang tua mereka masing-masing. "Liat, mereka cocok," Ucap Ratna pada Indira. "Senengnya, artinya kita bakal besanan dan punya cucu," ucap Indira dengan rona wajah bahagia. Nyatanya? "kamu jangan pernah mikir, aku bakal mau nikah sama kamu!" tegas Brian. "Hahaha, udahlah mas, biasanya yang awalnya suka nolak, justru nanti jadi sayang dan nggak mau pisah," ucap Kanya. "Nggak akan," Brian menjawab dengan yakin. "Akan! Kamu bakal cinta sama aku. Titik!" ucap Kanya, tegas. "Ah!" Brian kesal. Brian meninggalkan Kanya ke ruang tamu, Kanya menyusul dan mereka bertemu kembali di ruang tamu. "Tante, Om, mama, papa, Kanya nggak mau jadi istri mas Brian," ucap Kanya, sambil duduk menyilang kaki dan tersenyum manja. "Brian juga nggak mau," ucap Brian tak mau kalah. Keluarga Brian pun meninggalkan kediaman keluarga, setelah mendengar penolakan perjodohan itu. "Gimana Bri? Kok pada nolak?" ucap ibunya dengan kecewa. "Lagian dia juga
"Bri, nanti malam anterin mama sama papa ya." Isi pesan itu. "Kemana ma?" Brian membalasnya. "Kerumah temen mama, kita udah lama nggak ketemu, bisa kan?" Ibunya membalas lagi. "Ehm... tumben ma? Biasanya pergi berdua?" Isi balasan pesan dari Brian. "Ih, nurut aja deh, sekali kali ini. Pokoknya mama tunggu nanti jam 8 malam kita pergi, Brian jemput kerumah mama sama papa ya," balasan pesan dari ibunya. "Ya udah, tunggu aja ya ma," Brian membalas pesan itu. "Tumben, biasanya nggak gini?" Brian bergumam sambil menatap layar ponsel yang baru saja menampilkan pesan dari ibu. Brian mengerutkan dahi, mencoba memahami nada pesan itu. Ada sesuatu yang terasa berbeda kali ini. Namun, Brian tidak bisa memastikan apa. Apakah ada yang sedang terjadi di rumah? Atau ibunya hanya mencoba menyampaikan sesuatu yang penting dengan cara yang tak biasa? Kenapa tiba-tiba Brian merasa tidak tenang dan Brian menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayangan buruk yang mulai memenuhi kepala. P