Pagi hari.
Kanya tampil maksimal. Kemeja floral yang manis tapi seksi, kulot high-waist warna krem, heels senada, dan rambut digerai elegan. Ia tampak seperti CEO muda yang siap menaklukkan dunia. Sementara Irvan? Udah nyiapin semuanya. Taksi udah dipesan buat Kanya. Dan Brian? Gagah, rapi, siap kerja. Tapi jantungnya... belum siap. Di perusahaan The NHB, Kanya jadi pusat perhatian. Staf-staf bergumam: “Itu model ya? Cantik banget.” “Kulitnya glowing parah.” “Keliatannya humble lagi.” Kanya masuk ruang meeting bareng Intan. Beberapa staf menyambut, lalu… masuklah Irvan. Senyum mereka ketemu lagi. Mata mereka saling sapa. “Halo, Jin Vespa,” bisik Irvan pelan saat mereka berjabat tangan. Tak lama kemudian... Pintu terbuka. Brian masuk. Semua mata tertuju padanya. Tapi Brian? Pandangannya langsung nabrak ke Kanya. Kanya juga melirik cepat… lalu menunduk. Tangannya otomatis... ngelurusin kerah bajunya. Ngelirik kukunya. Narik napas. Steve berdiri. “Kenalin, ini Brian. Manager utama project ini.” Brian mengangguk. “Maaf telat. Saya... hampir lupa bawa file.” Lalu... matanya dan mata Kanya bertemu. Sunyi. Sejenak. “Kenapa dia yang jadi manajer?” Kanya bertanya dalam hati. Tapi ia tersenyum... seprofesional mungkin. Brian pun begitu. Tapi dalam dadanya, perang dimulai gara-gara dikasih senyum sama si seksi pagi gini. Mereka calon suami istri. Tapi hari itu… Mereka harus kenalan… Sebagai dua orang asing. ••• “Antara yang Gengsi dan yang Terbakar Dalam Diam” Suara heels Kanya memantul lembut di lantai marmer perusahaan The NHB. Langkahnya cepat, tapi hati dan pikirannya belum bisa lari dari satu nama: Brian. Entah kenapa, sejak tadi dia ngerasa pandangan laki-laki itu kayak magnet. Gak nyolot, gak genit, tapi tajam dan panas. Seolah mata Brian adalah versi lain dari mulutnya—lebih jujur dan gak tahu caranya pura-pura. Dan yang paling ngeselin? Brian kayak nahan sesuatu. Sesekali dia ngelirik Kanya. Sekilas, tapi cukup bikin Kanya gak bisa fokus sama presentasi yang baru aja dimulai. Sementara Irvan duduk di sisi kiri Brian, masih dengan semangat dan senyum yang nyaris kekanakan setiap kali menatap Kanya. “Cakep banget ya dia,” bisik Irvan pelan ke Brian. Brian hanya mengangguk singkat. Tapi saat Kanya membungkuk sedikit untuk mengambil bolpoin yang jatuh dari meja, Brian langsung nelen ludah. Blus tipis bunga-bunga yang dia pakai kebuka sedikit di bagian dada. Bukan vulgar, tapi cukup buat bayangan liar mampir di kepala cowok manapun. Dan dia? Bukan pengecualian. Sial. Dia salah satu cowok itu. --- Usai meeting, ruangan sedikit kosong. Sebagian staf keluar duluan. Irvan lagi ngobrol bareng Steve dan beberapa staf lain. Kanya baru aja berdiri dari kursi saat suara bariton itu terdengar rendah di belakangnya. “Kamu nyaman ya kerja di tempat yang sama sama aku?” Kanya langsung berbalik. Brian berdiri di ambang pintu, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana panjang hitamnya. Dasi dia dilepas, kancing atas terbuka, dan mata tajam itu... nggak kedip. Kanya meneguk ludah. “Lah, emangnya kita kerja bareng? Bukannya kamu cuma manager proyek?” jawabnya sinis, walau nada suaranya goyah. Brian mendekat. Cuma dua langkah. Tapi itu cukup buat Kanya kehilangan jarak amannya. “Dari sekian banyak orang, kenapa harus kamu?” gumam Brian. Suaranya lirih, tapi berat dan bikin deg-degan. Kanya mengangkat dagu, menantang, “Harusnya aku yang nanya, Mas. Kenapa kamu nggak bilang kalo kamu kerja di sini?” “Karena aku pikir... aku bisa pura-pura gak kenal kamu.” Mereka saling tatap. Satu detik. Dua detik. Lalu Kanya ketawa, sinis. “Ya udah. Pura-pura terus aja. Toh emang dari awal juga pura-puranya udah jago, Mas.” Brian menarik napas panjang. Lalu tangan kanan dia terulur cepat, meraih pergelangan tangan Kanya dan menariknya pelan ke sisi ruangan. Tepat ke belakang partisi kaca, di mana tak seorang pun bisa lihat mereka. “Mas?!” bisik Kanya yang kaget waktu tau Mas calon suaminya itu narik tangan dia. Brian mendekat, tapi masih jaga jarak. Tatapannya turun ke bibir Kanya yang seolah-olah bilang minta di cium? wow. “Kamu tau nggak, betapa nyebelin kamu hari ini?” Kanya menegakkan tubuhnya, tapi nggak mundur dan malah semakin membuat dirinya mempesona. “Kenapa? Karena aku cantik dan kamu gak bisa ngelupain itu atau lebih daripada itu?” “Bukan cuma karena kamu cantik,” bisik Brian. “Tapi karena kamu tahu gimana caranya bikin cowok kehilangan logika tanpa harus buka baju.” Darah Kanya mendesir waktu denger bentuk pengakuan jujur dari Mas Manager. “Mas Brian... bukannya kamu sama...” “Ya, aku masih sama Sintia,” kata Brian cepat, seperti ingin menegaskan ke dirinya sendiri. “Tapi anjing banget rasanya harus pura-pura nggak liat kamu.” Kanya menggigit bibir bawahnya. “Terus mau kamu apa, Mas?” Brian nggak jawab. Tangannya sempat bergerak pelan ke dagu Kanya, tapi dia urungkan. “Udah, kamu pergi sana. Sebelum aku kehilangan akal sehat beneran. dan kita...” Kanya menahan napas. Lalu perlahan menjauh, tapi sempat berbisik pelan di dekat telinga Brian: “Sayangnya, Mas... kamu udah kehilangan itu sejak pertama kita saling pandang. aku bisa ngerasain ada hasrat gede banget dari kamu. and I am ready to accept that desire.” Dan dia pergi, meninggalkan Brian yang terdiam di tempat. Dadanya sesak. Bukan karena marah. Tapi karena… rasa yang terus dia bantah—makin membesar. "how did she know that i have a lust? ah damn! why? why harus Kanya!“ ••• Pertemuan panas itu bikin Kanya jadi melamun. Di mobil, Kanya nyender di jendela. Matanya kosong. Ponsel di tangannya bunyi. Nama Irvan muncul dan kirim pesan ke dia. “Udah free? Aku mau ngajak kamu makan malam. Please bilang iya.” Kanya senyum tipis. bukan nggak suka, bukan juga nolak. Dia nggak jawab langsung pertanyaan Irvan. semacam nunggu momen mood dia balik lagi. Hatinya gundah. Karena laki-laki yang harusnya dia benci, justru jadi orang yang terus hadir di pikirannya dan yang dia tungguin pesannya. Bukan Irvan. Tapi Brian.Malam itu di sudut gelap dekat warung kopi tua yang sepi pelanggan, dua pria itu duduk di atas motor masing-masing, helm masih menggantung di setang. Rokok menyala di ujung jari mereka, dan obrolan pelan tapi penuh racun mengalir di antara kepulan asap. “Besok kita mulai rencana,” kata si pria bertubuh kekar, menyesap rokoknya pelan. “Kita culik, tapi nggak langsung. Kita bikin dia panik dulu.” “Penculikan, pemerasan, bisa dapet ratusan juta. Cewek kayak gitu pasti punya harga,” jawab temannya yang lebih kurus, matanya tajam memperhatikan layar ponsel yang menampilkan foto Kanya dari akun sosial medianya. “Masalahnya, dia tinggal sama cowok. Mungkin suami. Mungkin pacar.” “Kita pastiin dulu besok. Kalau perlu kita nginep depan gedung. Kita harus tahu siapa aja yang keluar masuk apartemen itu.” Mereka tertawa pelan. Tawa yang lebih mirip desisan ular ketimbang manusia. Sementara itu... Di dalam apartemen yang terang dan modern, Brian duduk rapi dengan kemeja putih yang atasnya u
Sementara itu di apartemen, Brian duduk di depan laptop dengan rambut sedikit acak-acakan dan kaos oblong berwarna abu-abu. Daniel duduk manis di pangkuannya, tangan kecilnya sibuk memainkan stabilo berwarna kuning. “Daniel, jangan ganggu mouse-nya Daddy dong…” Daniel menyeringai sambil menunjuk layar dan berucap, “Dino! Daddy, itu Dino!” “Bukan, itu grafik performa keuangan bulan ini, Nak…” Brian tersenyum lelah, namun matanya tetap hangat. “Tapi kalo kamu bilang Dino juga, ya udahlah…” Hari ini, mereka tidak hanya menjalankan peran. Mereka hidup di dalamnya. Kanya di depan kamera, Brian di balik layar, dan Daniel menjadi pusat dari semesta mereka berdua. ••• Siang itu, di apartemen yang mulai sunyi karena AC menyala lembut dan tirai ditutup setengah, Brian duduk di lantai sambil menyuapi Daniel yang enggan diam. Bayi gemuk itu lebih sibuk bermain dengan sendok dan menjatuhkan mangkuk kecil ke lantai. “Daniel, suap nih... Aaaa... pesawat mendarat di mulut!” suara Brian
Rumah Sakit, malam hari Lampu di ruang IGD bersinar terang. Di luar, Ibu Silvi duduk dengan mata sembab, sementara Pak Erik berjalan mondar-mandir dengan wajah tegang. Dokter baru saja keluar dan menjelaskan bahwa Sintia masih belum sadar akibat overdosis dan benturan dari kecelakaan. Ibu Silvi dengan suara gemetar, “Dia cuma butuh ditanya kabarnya. Sekedar ‘kamu nggak apa-apa’, gitu aja nggak ada...” Pak Erik menahan amarah, “Brian... bocah itu. Dulu sopan. Dulu perhatian. Tapi sekarang?! Ditelepon pun jawabannya cuma ‘maaf, Brian nggak bisa kesana’. Lalu ditutup.” Ibu Silvi menghapus air matanya. Ibu Silvi berucap, “kamu pikir dia kayak gini karena siapa? Karena disakitin, karena dikhianatin? Tapi dia perempuan, Erik. Sekalipun salah, masih pantas dikasih waktu bicara.” Pak Erik duduk akhirnya, diam sejenak sebelum dia berkata, “kalau anak itu bisa tega ninggalin perempuan yang pernah dia tunangin begitu aja... berarti hatinya udah dibagi ke yang lain.” ••• Daniel suda
LOBBY KANTOR NHB – JAM 14.10 SIANG Suasana kantor elite NHB mendadak gaduh. Security yang biasa bersikap tenang langsung siaga waktu seorang wanita berdandan glamor datang masuk tanpa appointment. Sintia. Dengan high heels menggedor lantai, rambut terurai, dan wajah penuh amarah yang ditutup senyum palsu. “Maaf, Mbak. Nggak bisa sembarangan masuk—” “Gue tunangannya Brian!” hardik Sintia, langsung melenggang ke lift eksekutif. Satpam bingung, tapi tetap ikutin dari belakang. RUANGAN BRIAN – LANTAI 12 Brian yang sedang review katalog lookbook baru tiba-tiba berdiri pas pintu ruangannya dibuka paksa. “Sayang, kita bisa ngomong baik-baik nggak?” Suara Sintia mendayu-dayu. Nggak cocok sama cara dia maksa masuk. Brian berdiri pelan. Tarik napas. Lalu menatap wanita itu dari ujung kaki sampai kepala seolah dia lagi lihat sesuatu yang menjijikkan. “Satpam.” Nada suaranya datar. “Brian?!” “Keluarin dia.” Dua satpam masuk dan langsung mengarah ke Sintia. “Brian! Lo
PAGI DADDY DAN GRAFIK Pagi itu, aroma tumisan sayur dan telur orak-arik khas buatan Kanya menguar dari dapur. Kanya mengenakan apron lucu bergambar dinosaurus—bukan karena hobi, tapi karena Daniel yang milih waktu mereka belanja bareng. Di meja makan, kotak bekal stainless steel udah disusun rapi, isinya lengkap: nasi, ayam bumbu kecap, sayuran, dan potongan buah. Sementara itu, suara cipratan air terdengar dari kamar mandi. “Daniel... sabunnya jangan di makan, ya sayang…” teriak Kanya sambil nyalain hair dryer, lalu buru-buru ke kamar mandi. Daniel duduk di dalam ember mandi warna biru laut, tubuh gempalnya penuh busa, dan wajahnya senyum-senyum sambil ngerespon mainan bebek karet yang tenggelam di antara gelembung sabun. Di depan kaca wastafel, Brian berdiri dengan wajah serius, rambut masih sedikit basah. Pakaian kantor udah rapi, dasi tinggal disesuaikan. Tapi tangannya masih pegang ponsel yang menampilkan grafik progres proyek. “Kalau kita pakai pendekatan minimalis, g
“Maksudnya... kita pura-pura pernah punya masa lalu?” tanya Kanya sambil nyuapin Daniel suapan terakhir.Brian angguk sambil peluk Daniel makin erat.“Kita ketemu lagi baru-baru ini. Reconnect. Kamu bawa Daniel. Aku syok, tapi mutusin buat tanggung jawab. Cerita kayak gini masih bisa dimaafin... dibanding kalau kita jujur soal kekerasan itu.”Kanya diem. Matanya berkaca-kaca.“Tapi aku bohongin mama papa, Mas...”“Aku juga. Tapi bohongin demi kebaikan mereka. Kita yang nanggung. Daniel nggak akan ngerti nanti—yang penting dia tumbuh dalam cinta.”Kanya taruh sendok dan tatap Brian penuh rasa percaya. “Oke... deal, Mas.”Brian senyum, lalu gendong Daniel tinggi-tinggi.“Deal. Kita tutup masa lalu kamu, kita mulai dari cerita versi kita.”Daniel tertawa-tawa kegirangan diangkat ke udara. Kanya ikut tertawa sambil ngelap mulut si kecil.“Yang penting kita bertiga... bareng terus,” ucap Kanya.