Home / Romansa / RAHASIA MENANTU IDAMAN / DI RESTORAN BUKAN MAKAN TAPI KE TOILET?

Share

DI RESTORAN BUKAN MAKAN TAPI KE TOILET?

last update Huling Na-update: 2025-04-28 16:56:48

Ketika hasrat nggak bisa terus ditolak, dan akal sehat mulai kalah satu per satu.

Malam itu, suasana restoran mewah menggoda semua indera. Lampu-lampu gantung meneteskan cahaya keemasan, musik klasik bergulir pelan di latar belakang, dan di pojok ruangan, dua pasangan duduk dalam ketegangan yang tak bisa dipungkiri.

Di satu sisi, ada Kanya dan Irvan. Di sisi lainnya, Brian dan Sintia.

Mereka mulai membuka buku menu. Suasana meja makan terasa canggung tapi juga penuh ketegangan yang tersembunyi. Ada hal-hal yang nggak diucapkan, tapi terasa di udara.

Kanya melirik Brian diam-diam, lalu menatap Sintia sejenak dan tersenyum kecil.

Irvan, di sisi lain, tampak begitu menikmati momen itu. Ia sesekali mencuri pandang ke arah Kanya, sementara tangannya masih sibuk dengan ponsel yang terus bergetar.

Beberapa menit kemudian, pelayan datang mencatat pesanan mereka. Entah bagaimana, tanpa janjian, Kanya dan Brian memesan makanan yang sama—steak medium rare dan lemon tea hangat. Pelayan sampai menoleh dengan heran.

“Wah, kebetulan banget ya, pesanannya kembar,” ucapnya sambil tersenyum ramah.

Kanya dan Brian saling pandang. Keduanya sama-sama menarik napas, lalu pura-pura acuh.

“Iya, kebetulan,” gumam Brian datar.

“Selera sama,” ucap Kanya lirih sambil tersenyum miring.

Sintia tidak sadar. Tapi Irvan melirik tajam, seakan menangkap percikan yang belum padam di antara dua orang di hadapannya.

Beberapa menit berlalu. Makanan disajikan. Mereka mulai makan sambil berbincang ringan. Tapi, seperti takdir, momen yang menguji kesabaran pun datang lagi.

Sintia mengangkat ponselnya yang berdering.

“Maaf, sayang, aku angkat telepon dulu ya. Dari kantor.”

Brian mengangguk. “Oke.”

Tak lama, giliran Irvan menerima telepon juga. “Duh, sorry, ini soal kerjaan juga. Kanya, aku tinggal bentar ya.”

Kanya mengangguk sambil pura-pura manis. “Iya, Mas. Hati-hati jangan nyasar,” ujarnya pelan namun menohok.

Dan akhirnya... tersisa mereka berdua di meja makan.

Brian dan Kanya. Calon suami istri yang harusnya saling kenal, tapi lebih sering saling sindir.

Mereka bicara dengan tatapan. Saling tantang. Saling goda.

Dan malam itu, makan malam bukan satu-satunya menu yang sedang dipanaskan.

Kanya menyebut kata itu—“sayang”—penuh ironi. Tapi Brian justru terpicu. Dia membalas dengan komentar soal Irvan.

Kalimat saling serang itu hanya pembuka.

Karena ujung-ujungnya, Kanya menyentuh kaki Brian di bawah meja.

Pelan. Halus. Tapi menghantam.

Dan itu cukup bikin Brian panas dingin. Bukan karena suhu ruangan, tapi karena sentuhan yang terlalu jujur untuk disebut “iseng.”

“Kamu udah jago ya sekarang manggil orang sayang,” ucap Kanya santai, sambil memotong daging di piringnya.

“Biasa aja, udah sering,” sahut Brian ketus, tapi matanya tetap menatap Kanya.

Kanya terkekeh. “Lucu sih. Nggak cocok. Kayak kaus kaki belang dipakein ke jas Armani.”

“Mas Irvan juga cocok banget sih kamu panggil ‘Mas’ manja gitu,” balas Brian dengan nada sarkas.

“Cemburu?” Kanya tersenyum menggoda.

“Ngapain?” Brian berusaha menjaga ekspresi.

“Pura-pura kuat tuh susah ya. Aku ngerti,” bisik Kanya sambil menyilangkan kaki, dan secara tak sengaja—atau mungkin sengaja—kakinya menyentuh kaki Brian di bawah meja.

Brian meneguk airnya cepat, seolah untuk menenangkan diri. Tapi yang terasa malah panas naik ke kepala.

“Kamu itu ya...” gumam Brian kesal.

“Aku kenapa? Aku cuma duduk manis, loh. Yang gugup siapa?” bisik Kanya lagi, nadanya makin dalam, nyaris menggoda.

Brian ke toilet. Kabur. Mencoba mengatur napas.

Tapi Kanya datang.

Dan... pintu toilet pria terkunci dari dalam. Bukan sendirian. Tapi berdua.

•••

“Kamu beneran masuk ke toilet cowok?” bisik Brian panik.

Kanya tak menjawab. Ia berdiri sangat dekat, menyudutkan Brian hingga punggungnya menyentuh dinding toilet. Nafas mereka begitu dekat, aroma parfum Kanya menyeruak, lembut tapi menekan. Kanya mendongak sedikit, menatap lekat.

Mata mereka saling kunci. Napas bertemu di ruang sempit itu.

Lalu... Kanya mendorong Brian ke dinding dan berdiri sangat dekat.

Jarak hanya satu tarikan napas. Tapi jantung mereka seperti marathon di dada masing-masing.

“Apa yang kamu rasain waktu aku panggil Irvan ‘sayang’?” tanya Kanya pelan, nyaris berbisik di leher Brian.

Brian tak menjawab.

Kanya tersenyum miring.

“Jawab dong. Kalo enggak...”

Dan tiba-tiba, tangan Kanya menyentuh kerah kemeja Brian, merapikannya pelan, lalu menyentuh pipinya. Hangat. Lembut.

“Masih mau bilang ini cuma kebetulan?” tanya Kanya.

Brian menatap mata Kanya. Dalam. Terlalu dalam. “Enggak.”

Hanya itu jawabannya. Tapi dengan satu kata itu, tembok yang mereka bangun mulai retak.

Kanya menaiki pangkuan Brian, yang kini terduduk di kloset dengan napas memburu.

Sentuhan kulit bertemu kain. Aroma tubuh mereka bercampur jadi satu di udara yang makin panas.

Tapi...

Tatapan mereka seperti ciuman.

Genggaman pinggang itu lebih panas dari pelukan.

Denyut nadi mereka berbicara tanpa suara.

“Mas takut sama aku?” tanya Kanya sambil menempelkan dahinya ke dahi Brian.

“Takut... kalau aku terlalu menikmati ini,” jawab Brian jujur. Nafasnya memburu.

Kanya tersenyum. Menyeka keringat Brian.

Lalu... dia berbisik, “Malam ini cuma latihan. Kalo nanti udah halal... aku nggak bakal segan.”

Brian menelan ludah.

Brian berdiri mematung. “K-Kanya? Kamu?”

Suara paniknya terdengar pelan karena refleks menahan volume. Ia kaget setengah mati saat gadis itu mendorong pintu toilet pria dan langsung menguncinya dari dalam.

“Ssst!” bisik Kanya tajam, matanya menatap Brian tajam, nyaris menusuk.

“Kenapa kamu nggak suka waktu aku panggil Mas Irvan manja?” bisik Kanya, suaranya berat, pelan, dan dalam.

“Aku…” Brian tampak kehilangan kata.

“Kamu marah, kan?” ucap Kanya lagi, kali ini jarak wajah mereka tinggal sejengkal.

“Kamu juga, ya… kelihatan banget sewot waktu aku ngeledekin panggilan ‘sayang’ dari Sintia.”

Brian menelan ludah. “Ya, karena... karena itu—”

“Karena kamu nggak suka? Iya?” potong Kanya cepat. Matanya membara, tapi juga berkilau aneh—campuran antara amarah dan gairah.

Tanpa menunggu jawaban, Kanya mendorong Brian duduk di kloset duduk yang tertutup. Ia berdiri di depan pria itu, tubuhnya tegap namun menggoda.

“Ka-Kanya... kamu gila?” bisik Brian, tapi matanya terpaku.

Kanya perlahan duduk di pangkuan Brian, gerakannya terukur, menggoda, namun tetap berani.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • RAHASIA MENANTU IDAMAN    KANYA JADI INCARAN MUSUH LAMA

    Malam itu di sudut gelap dekat warung kopi tua yang sepi pelanggan, dua pria itu duduk di atas motor masing-masing, helm masih menggantung di setang. Rokok menyala di ujung jari mereka, dan obrolan pelan tapi penuh racun mengalir di antara kepulan asap. “Besok kita mulai rencana,” kata si pria bertubuh kekar, menyesap rokoknya pelan. “Kita culik, tapi nggak langsung. Kita bikin dia panik dulu.” “Penculikan, pemerasan, bisa dapet ratusan juta. Cewek kayak gitu pasti punya harga,” jawab temannya yang lebih kurus, matanya tajam memperhatikan layar ponsel yang menampilkan foto Kanya dari akun sosial medianya. “Masalahnya, dia tinggal sama cowok. Mungkin suami. Mungkin pacar.” “Kita pastiin dulu besok. Kalau perlu kita nginep depan gedung. Kita harus tahu siapa aja yang keluar masuk apartemen itu.” Mereka tertawa pelan. Tawa yang lebih mirip desisan ular ketimbang manusia. Sementara itu... Di dalam apartemen yang terang dan modern, Brian duduk rapi dengan kemeja putih yang atasnya u

  • RAHASIA MENANTU IDAMAN    ORANG YANG MENCURIGAKAN MUNCUL?

    Sementara itu di apartemen, Brian duduk di depan laptop dengan rambut sedikit acak-acakan dan kaos oblong berwarna abu-abu. Daniel duduk manis di pangkuannya, tangan kecilnya sibuk memainkan stabilo berwarna kuning. “Daniel, jangan ganggu mouse-nya Daddy dong…” Daniel menyeringai sambil menunjuk layar dan berucap, “Dino! Daddy, itu Dino!” “Bukan, itu grafik performa keuangan bulan ini, Nak…” Brian tersenyum lelah, namun matanya tetap hangat. “Tapi kalo kamu bilang Dino juga, ya udahlah…” Hari ini, mereka tidak hanya menjalankan peran. Mereka hidup di dalamnya. Kanya di depan kamera, Brian di balik layar, dan Daniel menjadi pusat dari semesta mereka berdua. ••• Siang itu, di apartemen yang mulai sunyi karena AC menyala lembut dan tirai ditutup setengah, Brian duduk di lantai sambil menyuapi Daniel yang enggan diam. Bayi gemuk itu lebih sibuk bermain dengan sendok dan menjatuhkan mangkuk kecil ke lantai. “Daniel, suap nih... Aaaa... pesawat mendarat di mulut!” suara Brian

  • RAHASIA MENANTU IDAMAN    KELUARGA SINTIA KECEWA. BRIAN SAMA KANYA SIBUK BUAT ANAK KE DUA.

    Rumah Sakit, malam hari Lampu di ruang IGD bersinar terang. Di luar, Ibu Silvi duduk dengan mata sembab, sementara Pak Erik berjalan mondar-mandir dengan wajah tegang. Dokter baru saja keluar dan menjelaskan bahwa Sintia masih belum sadar akibat overdosis dan benturan dari kecelakaan. Ibu Silvi dengan suara gemetar, “Dia cuma butuh ditanya kabarnya. Sekedar ‘kamu nggak apa-apa’, gitu aja nggak ada...” Pak Erik menahan amarah, “Brian... bocah itu. Dulu sopan. Dulu perhatian. Tapi sekarang?! Ditelepon pun jawabannya cuma ‘maaf, Brian nggak bisa kesana’. Lalu ditutup.” Ibu Silvi menghapus air matanya. Ibu Silvi berucap, “kamu pikir dia kayak gini karena siapa? Karena disakitin, karena dikhianatin? Tapi dia perempuan, Erik. Sekalipun salah, masih pantas dikasih waktu bicara.” Pak Erik duduk akhirnya, diam sejenak sebelum dia berkata, “kalau anak itu bisa tega ninggalin perempuan yang pernah dia tunangin begitu aja... berarti hatinya udah dibagi ke yang lain.” ••• Daniel suda

  • RAHASIA MENANTU IDAMAN    MANTAN BRIAN DATANG LAGI?

    LOBBY KANTOR NHB – JAM 14.10 SIANG Suasana kantor elite NHB mendadak gaduh. Security yang biasa bersikap tenang langsung siaga waktu seorang wanita berdandan glamor datang masuk tanpa appointment. Sintia. Dengan high heels menggedor lantai, rambut terurai, dan wajah penuh amarah yang ditutup senyum palsu. “Maaf, Mbak. Nggak bisa sembarangan masuk—” “Gue tunangannya Brian!” hardik Sintia, langsung melenggang ke lift eksekutif. Satpam bingung, tapi tetap ikutin dari belakang. RUANGAN BRIAN – LANTAI 12 Brian yang sedang review katalog lookbook baru tiba-tiba berdiri pas pintu ruangannya dibuka paksa. “Sayang, kita bisa ngomong baik-baik nggak?” Suara Sintia mendayu-dayu. Nggak cocok sama cara dia maksa masuk. Brian berdiri pelan. Tarik napas. Lalu menatap wanita itu dari ujung kaki sampai kepala seolah dia lagi lihat sesuatu yang menjijikkan. “Satpam.” Nada suaranya datar. “Brian?!” “Keluarin dia.” Dua satpam masuk dan langsung mengarah ke Sintia. “Brian! Lo

  • RAHASIA MENANTU IDAMAN    IMBAS PENGKHIANATAN IRVAN KE BRIAN.

    PAGI DADDY DAN GRAFIK Pagi itu, aroma tumisan sayur dan telur orak-arik khas buatan Kanya menguar dari dapur. Kanya mengenakan apron lucu bergambar dinosaurus—bukan karena hobi, tapi karena Daniel yang milih waktu mereka belanja bareng. Di meja makan, kotak bekal stainless steel udah disusun rapi, isinya lengkap: nasi, ayam bumbu kecap, sayuran, dan potongan buah. Sementara itu, suara cipratan air terdengar dari kamar mandi. “Daniel... sabunnya jangan di makan, ya sayang…” teriak Kanya sambil nyalain hair dryer, lalu buru-buru ke kamar mandi. Daniel duduk di dalam ember mandi warna biru laut, tubuh gempalnya penuh busa, dan wajahnya senyum-senyum sambil ngerespon mainan bebek karet yang tenggelam di antara gelembung sabun. Di depan kaca wastafel, Brian berdiri dengan wajah serius, rambut masih sedikit basah. Pakaian kantor udah rapi, dasi tinggal disesuaikan. Tapi tangannya masih pegang ponsel yang menampilkan grafik progres proyek. “Kalau kita pakai pendekatan minimalis, g

  • RAHASIA MENANTU IDAMAN    DARI MASA LALU MUNCUL

    “Maksudnya... kita pura-pura pernah punya masa lalu?” tanya Kanya sambil nyuapin Daniel suapan terakhir.Brian angguk sambil peluk Daniel makin erat.“Kita ketemu lagi baru-baru ini. Reconnect. Kamu bawa Daniel. Aku syok, tapi mutusin buat tanggung jawab. Cerita kayak gini masih bisa dimaafin... dibanding kalau kita jujur soal kekerasan itu.”Kanya diem. Matanya berkaca-kaca.“Tapi aku bohongin mama papa, Mas...”“Aku juga. Tapi bohongin demi kebaikan mereka. Kita yang nanggung. Daniel nggak akan ngerti nanti—yang penting dia tumbuh dalam cinta.”Kanya taruh sendok dan tatap Brian penuh rasa percaya. “Oke... deal, Mas.”Brian senyum, lalu gendong Daniel tinggi-tinggi.“Deal. Kita tutup masa lalu kamu, kita mulai dari cerita versi kita.”Daniel tertawa-tawa kegirangan diangkat ke udara. Kanya ikut tertawa sambil ngelap mulut si kecil.“Yang penting kita bertiga... bareng terus,” ucap Kanya.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status