Home / Rumah Tangga / MENANTU PILIHAN (TAMAT) / BAB 1: (POV RAIHAN) Kenapa Harus Wanita Bercadar Itu?

Share

MENANTU PILIHAN (TAMAT)
MENANTU PILIHAN (TAMAT)
Author: Andri Lestari

BAB 1: (POV RAIHAN) Kenapa Harus Wanita Bercadar Itu?

Author: Andri Lestari
last update Last Updated: 2022-09-19 00:34:56

(POV RAIHAN)

"Apa ngga ada wanita lain, Bu? Kenapa harus dia?" Aku mengajukan protes pada Ibu. Wajar, ya. Aku merasa dizalimi kali ini. Tanpa menanyakan padaku terlebih dahulu, Ibu mengambil keputusan sendiri. Memaksaku ikut ke rumah salah seorang pembantu kami dulu, Bik Sumi.

"Dia anak baik. Cocok menjadi istrimu, Nak."

Cocok, sih, cocok, tapi bukan dengan dia juga kali, Bu. Anak pembantu, gaya berpakaian kuno, masih terlalu muda, belum tentu juga cantik.

"Dia cantik, kok," ujar Ibu setengah berbisik. Wanita paruh baya yang duduk di sampingku ini seperti bisa membaca isi hatiku.

"Cantik dari mana? Wajahnya saja ditutup begitu. Korengan kali, ngga?" umpatku kesal.

"Hussh! Jangan asal ngomong."

Aku dan Ibu masih berbisik-bisik. Sesekali aku melirik ke arah wanita yang duduk di depanku. Posisi kami di halangi dengan sebuah meja kayu bulat. Didampingi oleh kedua orang tuanya, wanita yang kuketahui bernama Aira tersebut lebih sering menunduk. Aku sama sekali tidak bisa melihat wajahnya, ada selembar kain yang digunakan untuk menutupi wajah hingga bawah mata.

"Bu, batalkan saja. Atau aku saja yang batalkan, ya!" seruku tanpa menggubris tatapan heran mereka.

"Kamu jangan macam-macam, Raihan. Kalau kamu menolak, ibu bisa sakit dan kamu nggak akan pernah berjumpa dengan ibu lagi," ancam Ibu. Walau masih berbisik, tapi suaranya terkesan tegas.

Alamak, Bu, Ibu!

Aku pun menurunkan ego. Hanya Ibu yang kumiliki saat ini di dunia. Karena doanya, aku bisa sukses seperti sekarang ini. Karena doa Ibu pula, aku hampir tidak pernah mengalami masa-masa sulit di dalam hidupku. Hanya saat bapak meninggal, aku merasa sangat terpuruk. Namun, Ibu bagaikan malaikat tak bersayap berdiri tegak menguatkanku. Di tengah kesedihan hatinya, Ibu yang pada saat itu masih muda rela bekerja keras untuk menopang hidup kami.

"Masih mau macam-macam, Raihan?" tanya Ibu sembari menyikut pinggangku.

Aku kaget dan lamunanku pun buyar seketika. Mataku bersirobok dengan kedua bola mata milik Aira. Namun, aku tak bisa membaca bagaimana ekspresinya, karena tanpa menunggu hitungan menit, gadis berkerudung hitam itu kembali menjatuhkan pandangannya.

"Bagaimana, Nak Raihan? Jika Nak Raihan ngga keberatan dan ingin melanjutkan ke tahap selanjutnya, kami persilakan Nak Raihan untuk melihat wajah Aira terlebih dahulu." Pak Ahmad, yang tidak lain adalah Abahnya Aira pun buka suara.

"Wah! Bisa begitu? Kalau nanti setelah melihat wajahnya dan saya membatalkan, bagaimana?" tanyaku tanpa pikir panjang.

'Auwww!'

Kakiku terasa sakit. Ini pasti kerjaan Ibu. Siapa lagi orangnya. Toh, yang berada di dekatku sekarang hanya wanita yang sangat kucintai ini. Ia menginjak kakiku keras.

"Kenapa, sih, Bu?" Aku mendekatkan badan ke arahnya. Kami kembali saling berbisik.

"Kamu itu ngga bisa, ya, kalau ngga mempermalukan ibu?" tanya Ibu. Aku bisa membaca gurat kekecewaan dari nada suaranya.

"Tak perlulah itu, Pak Ahmad. Aku tau bagaimana Aira. Aku juga tau wajahnya. Dulu 'kan sering Bik Sumi bawa dia ke rumah. Waktu bantu-bantu saya bikin kue. Si Raihan ini saja yang ngga pernah perhatikan."

Mendengar ucapan Ibu, aku mulai mengingat-ingat kapan melihat gadis itu. Rasa-rasa aku belum pernah berkenalan dengan seorang gadis bernama Aira. Pun aku sejak kuliah serinh meninggalkan Ibu di rumah bersama Bik Sumi. Jadi kapan bertemu dengan anaknya Bik Sumi? Ini Ibu sudah mulai ngaco, nih!

"Kapan, Bu? Kok aku kurang ingat, ya?" tanyaku berusaha meyakinkan.

"Ya ampun. Dulu! Waktu Aira masih SD."

"Ibu! Jangan bercanda," ujarku merasa dipermainkan Ibu.

"Lho, mana ada ibu bercanda. Dulu Aira kecil 'kan suka dibawa Bim Sumi ke rumah. Pernah sekali kamu marahin karena dia pinjam sepeda kamu."

"Oh, jadi dia si Aira yang itu?" tanyaku ketus.

"Iya. Sudah tau, 'kan? Jadi pernikahan bisa disegerakan."

"Belum. Aku masih penjajakan dulu." Aku masih bersikeras agar perjodohan itu dibatalkan.

"Penjajakan apa? Kamu terima beres pokoknya. Semua ibu yang atur. Mulai dari seserahan, pesta dan lain sebagainya. Pokoknya kamu nikah sama Aira. Pokoknya segera. Pokoknya kamu ngga boleh nolak. Pokoknya ...,"

"Pokoknya aku harus dengerin Ibu!" potongku cepat.

"Nah! Itu pinter!"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 50: (POV RAIHAN) (TAMAT)

    "Menuruti emosi dan keras kepala hanya akan merugikan, dan penyesalan adalah hadiah yang tepat untuk diterima."***Aku duduk termenung di depan gundukan tanah Merah yang masih basah. Aroma khas dari tanah yang disiram rintik hujan menyapa lembut di indra penciuman. Para pelayat yang lain sudah meninggalkan tanah pekuburan. Hanya aku, Abah, Mak, Ibu serta beberapa tetangga dekat yang masih bertahan.Kami masih khusyu dengan doa masing-masing. Terutama aku, banyak hal yang masih kupertanyakan pada Tuhan, juga banyak hal yang akan kupinta pada-Nya. "Raihan, sudah. Kita pulang. Sebentar lagi hujan lebat," ujar Abah. Sebelah tangannya berada di pundakku. Aku bergeming. Hanya menggeleng saja tanpa menoleh ke arah Abah. "Besok dilanjut lagi, Nak Raihan. Kamu juga harus istirahat. Semalam kamu belum tidur." Kudengar suara Mak ikut menimpali. "Aku masih ingin ngobrol dengan Aira, Mak, Bah. Aku masih mau di sini.""Ya sudah. Kami pergi terlebih dahulu, ya. Ibu tunggu di rumah mertuamu."Aku

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 49: (POV RAIHAN)

    "Aira....!"Aku berteriak nyalang. Bungkusan rujak di dalam kantong lepas di tangan. Mak dan Abah berbalik badan. Tangis keduanya semakin menjadi saat melihatku masih berdiri di belakang mereka.Aku menubruk tubuh Aira dan segera mengangkatnya sambil berlari ke luar rumah. Darah segar masih saja tampak mengalir menyentuh telapak kaki wanita yang sudah sangat pucat ini. Panik dan bingung membuatku tak bisa berpikir jernih. Di belakangku Mak dan Abah masih menangis sambil ikut berlari mengikutiku. "Aira. Bangun, Sayang. Ini Mas datang. Mas bawa rujak pesananmu, Sayang."Aku menunggu Abah dan Mak masuk di bangku belakang. Kemudian aku meletakkan Aira perlahan di atas pangkuan mereka. "Raihan. Cepat, Nak. Aira sudah sangat lemah."Tanganku gemetar saat memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Tubuhku pun telah basah oleh keringat dingin. "Bah, ajak Aira bicara. Buat dia selalu sadar."Entah ilmu dari mana itu, yang ada di pikiranku adalah Aira harus sadar. Jangan sampai dia tertidur selama

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 48: (POV RAIHAN)

    POV RAIHAN***Setelah menghabiskan waktu satu jam menelepon Aira setelah subuh tadi, pagi ini aku berkemas dengan semangat. Tak sabar ingin menyelesaikan pekerjaan dan segera menjemput Aira di Surabaya. Aku ingin memeluknya dan bersimpuh di kaki wanita itu. Kesalahanku padanya sudah menggunung. Kuhadapi meja makan seorang diri. Biasanya selalu ada Aira menemani. Kali ini aku sarapan tanpa ditemani tatapan penuh cinta istriku. Aku sungguh menyesal telah menyia-nyiakannya beberapa hari ini. Mendiamkan Aira tanpa mempedulikannya sama sekali. Ponsel bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dan segera kubuka. Aku berharap itu adalah Aira. Benar saja, sebuah pesan masuk dari istriku. [Apa Mas masih menyimpan rasa untuk Safia?]Apakah dia masih belum percaya dengan penjelasanku kemarin? Yang dilihat oleh Aira di dekat lampu lalu lintas itu bukanlah sebuah kesengajaan. Lagi pula Safia telah menjadi istri orang. Dia adalah masa lalu yang sudah kukubur dalam-dalam. Jika pun sekarang aku be

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 47: (POV RAIHAN)

    "Pak, para klien sudah berkumpul di restoran, bapak di mana?" tanya Omar di seberang telepon. Aku menancap gas agar tak terlambat. Masih tersisa setengah jam lagi."Iya. 15 menit lagi. Minta mereka untuk menunggu sebentar lagi.""Bu Aira bagaimana?""Mereka sudah pergi. Kami selisih di jalan."Aku baru saja dari kafe yang disebutkan Aira tadi malam. Namun, setiba di sana, menurut karyawan kafe, mereka baru saja keluar dari tempat tersebut. Aku tidak menemukan siapa pun. Bermaksud menelepon Aira, ponselku pun tertinggal di dalam mobil. Begitu berada di dalam mobil, aku malah lupa menghubungi Aira karena panik mengejar waktu agar tak terlambat. Benar saja, ternyata para klien telah menunggu di restoran bersama Omar."Pak, saya boleh minta tolong? Safia di dalam taksi sekarang hendak menemuiku. Menurut Safia, sopir taksi tersebut sedang terburu-buru. Anaknya meninggal. Bisa Pak Raihan menunggu Safia sebentar. Posisinya ngga jauh dari posisi bapak sekarang.""Wah, kenapa dia ngga menumpa

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 46

    Berulang kali Aira menghubungi suaminya, akan tetapi Raihan tidak memberikan respon apa-apa. Aira merasa khawatir, karena sebentar lagi mereka akan tiba di lokasi tempat yang telah ditentukan. Adit juga telah mengirim pesan di IG sejak tadi, lelaki itu memberitahukan pada Aira jika ia telah tiba sejak tadi dan sedang menunggu kedatangan Aira. "Lu yakin, Ai, mau jumpa Adit tanpa suami lu?" tanya Lita. Wanita itu telah melambankan laju mobilnya. Aira tak menjawab. Ia hanya menaikkan bahu pertanda bimbang. "Ngga pa-pa, deh! Kalau suami lu memang ngga bisa datang, kami saja yang akan menghandel semuanya," ucap Sania kemudian. Aira merasa tak mungkin membatalkan pertemuan dengan Adit. Ini adalah kesempatannya untuk berbicara dengan lelaki itu. Padahal sudah sejak tadi malam Aira memberitahukan pada Raihan, agar lelaki itu bisa meluangkan sedikit waktu untuk pertemuan yang telah direncanakan. Namun, dia malah tak bisa dihubungi. Aira memantapkan diri untuk keluar dan segera menemui Adi

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 45: (POV AIRA)

    POV AIRA***Mas Raihan meneleponku. Dia marah karena Lita serta Sania menghubunginya. Dua sahabatku itu memang keras kepala. Sudah kukatakan agar jangan menghubungi Mas Raihan, tapi mereka tetap melakukannya. Percuma menelepon Mas Raihan, apa lagi menjelaskan semuanya tanpa bukti yang akurat. Mas Raihan tidak akan percaya karena dia mengira jika aku dan kedua sahabatku pasti bersekongkol. Aku tetap menghubungi Adit dan menetapkan jadwal pertemuan kami besok. Dari cara-cara lelaki membalas pesanku, dia terlihat sangat antusias. [Wow! Akhirnya aku bisa melepaskan rindu bersamamu, Cantik!]Muak aku membaca pesan balasan dari Adit. Kita lihat saja besok apa yang akan terjadi. [Kamu memang jahat, Dit. Tega sekali mau merusak rumah tanggaku.]Aku membalas pesan lelaki itu. [Lho! Aku ngga suka lihat suamimu, Ai!]Terserah juga dia mau bilang apa, aku akan menyelesaikan semuanya besok. Mas Raihan juga telah kuajak untuk ikut serta. Lelah rasanya berlarut-larut dalam masalah ini. Ditambah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status