Share

BAB 4

Author: Lotus putih
last update Last Updated: 2024-10-13 14:54:49

“Baiklah,” kata Lian akhirnya, suaranya tetap tegas. “Tapi jika ada yang mencurigakan, aku akan langsung menarikmu pergi.”

Pria itu mengangguk, dan wajahnya terlihat lebih tenang. “Terima kasih. Aku hanya ingin menjelaskan situasi yang terjadi.”

Mei Yan mengambil napas dalam-dalam. “Apa yang ingin kau jelaskan?” tanyanya, berusaha untuk tidak terdengar terlalu tegang.

“Aku tahu kau mungkin merasa terancam dengan kehadiranku. Tapi aku tidak bermaksud buruk,” pria itu berkata, suaranya tenang dan dalam. “Aku sudah melihatmu beberapa kali di taman, dan aku tahu kau mengalami masa sulit. Aku… ingin membantumu.”

“Bantuan? Dari siapa kau?” tanya Mei Yan skeptis. “Kau tidak mengenalku.”

“Memang benar. Aku tidak mengenalmu dengan baik. Tapi aku merasa ada sesuatu yang… berbeda tentangmu. Sesuatu yang membuatku ingin membantu. Namaku Jinhai,” pria itu memperkenalkan diri.

“Jinhai…” Mei Yan mengulang namanya pelan, mencoba mencerna informasi baru ini. Dia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya, tetapi dia juga tahu harus berhati-hati. “Apa yang kau ketahui tentangku?”

“Cukup banyak,” jawab Jinhai. “Aku tahu tentang kesulitan yang kau hadapi, tentang keluargamu, dan tentang sakit yang kau derita. Aku tidak ingin mengganggumu, tetapi aku bisa membantu.”

Mei Yan merasa dinding pertahanannya mulai retak. “Bagaimana kau tahu semua itu?” Dia bisa merasakan keringat dingin di tengkuknya, terkejut dan sedikit takut.

“Karena aku juga pernah mengalami hal yang sama. Aku tahu bagaimana rasanya merasa sendirian dan diabaikan. Aku tidak ingin kau melewati itu tanpa dukungan. Jika kau mau, aku bisa membantumu menemukan cara untuk menghadapinya,” Jinhai menjelaskan.

Lian bersuara, “Bagaimana kami bisa mempercayaimu? Semua ini terdengar terlalu baik untuk menjadi kenyataan.”

“Karena aku tahu betapa sulitnya menghadapi semua ini sendirian. Dan aku tidak ingin melihat orang lain mengalami apa yang aku alami,” jawab Jinhai dengan tulus.

Mei Yan merasakan ada kejujuran dalam kata-katanya, tetapi keraguan tetap menyelimuti pikirannya. “Mengapa kau ingin membantu saya? Apa motivasimu?”

“Karena aku peduli. Aku tahu betapa berharganya dukungan dari orang lain ketika kita merasa terjebak dalam kesedihan. Dan karena aku percaya kita semua layak mendapatkan kesempatan kedua,” kata Jinhai, matanya bersinar dengan keyakinan.

Perkataan itu menggugah perasaan Mei Yan. Dia merasa terhubung, tetapi di saat yang sama, keraguan masih menghantuinya. Apa yang bisa dia lakukan?

“Jinhai, apa yang kau sarankan?” tanya Mei Yan akhirnya.

“Bergabunglah denganku. Aku bisa membawamu ke tempat yang lebih baik, tempat di mana kau bisa berbagi dan menemukan orang-orang yang bisa mengerti apa yang kau rasakan. Tidak ada tekanan, hanya jika kau merasa siap,” jawab Jinhai dengan lembut.

Mei Yan merasa bingung. Tiba-tiba semua yang dia jalani, semua rasa sakit dan kesepian, seakan ada harapan di depan matanya. Namun, apakah ini aman? Apakah dia harus mempercayai seorang stranger?

Dia melihat Lian, yang masih mengawasi Jinhai dengan kecurigaan. “Mei Yan, ingat, kita tidak tahu siapa dia. Hati-hati.”

“Aku tahu,” jawab Mei Yan pelan. “Tapi… aku merasa seolah ini adalah kesempatan yang tidak bisa kutolak.”

“Aku hanya ingin kau berbahagia, Mei Yan. Apa pun keputusanmu, aku akan mendukungmu,” Lian akhirnya berkata, nada suaranya lembut, meski tetap ada rasa khawatir.

Mei Yan tersenyum. “Terima kasih, Lian. Aku akan berpikir tentang ini.”

“Baiklah, ambil waktu yang kau butuhkan. Jika kau merasa siap, ini alamatku,” Jinhai berkata sambil menyerahkan selembar kertas kuno yang terlipat dengan rapi. “Hubungi aku kapan saja. Aku akan menunggumu di sana.”

Dengan ragu, Mei Yan menerima kertas itu, merasakan tekstur halus di tangannya. “Terima kasih,” ujarnya pelan.

Saat Jinhai mulai menjauh, Mei Yan merasa ada satu pertanyaan yang mengganjal di benaknya. “Jinhai, kenapa kau datang ke taman? Apakah kau hanya menunggu untuk melihatku?”

Jinhai berhenti sejenak dan menoleh. “Aku hanya berusaha menemukan cara untuk menjangkau seseorang yang merasa terasing. Terkadang, aku merasa kita bisa membantu satu sama lain.”

Kemudian, dia pergi, meninggalkan Mei Yan dan Lian di bawah langit sore yang mulai gelap.

“Apakah kau benar-benar akan menghubunginya?” tanya Lian, masih skeptis.

Mei Yan mengangguk. “Aku tidak tahu. Tapi mungkin, hanya mungkin, dia bisa membantuku menemukan arah.”

Lian menghela napas. “Baiklah, tetapi

Mei Yan menghela napas panjang, merasakan beban di dadanya semakin berat setelah percakapan dengan Jinhai. Ada sesuatu tentang pria itu yang menarik perhatiannya, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran yang tak terelakkan. Dia tahu bahwa Lian sangat peduli padanya, dan sahabatnya itu selalu bersikap protektif, tetapi Mei Yan merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa ingin tahu biasa.

“Baiklah, tetapi… aku ingin kau berhati-hati, Mei Yan. Kita tidak tahu siapa dia dan apa niatnya yang sebenarnya,” kata Lian, nada suaranya penuh keprihatinan.

“Aku mengerti, Lian. Tapi aku merasa seolah-olah dia bisa membantuku. Kau tahu betapa sulitnya semua ini,” Mei Yan menjawab, suaranya meredup. “Aku merasa terjebak dan tidak tahu ke mana harus pergi.”

Lian menatap Mei Yan, mencerminkan rasa empati yang mendalam. “Aku tahu. Kita semua merasa terjebak kadang-kadang. Tapi mari kita lakukan ini bersama. Kita bisa mencari cara lain, daripada mengambil risiko dengan orang yang tidak kita kenal.”

Mei Yan mengangguk, tetapi di dalam hatinya, dia merasa ada kesempatan yang ingin dia ambil. “Mungkin aku bisa menulis surat untuk Jinhai. Itu bisa jadi cara untuk berkomunikasi tanpa bertemu langsung.”

Lian terkejut. “Surat? Apa kau yakin? Bagaimana jika dia tidak menjawab? Atau lebih buruk lagi, jika dia punya niat jahat?”

“Dia tidak terlihat seperti orang jahat. Dan meskipun begitu, aku merasa perlu mencoba. Aku sudah terlalu lama merasa terasing dan sendirian,” jawab Mei Yan, matanya bersinar dengan harapan.

Setelah berdiskusi, Mei Yan akhirnya memutuskan untuk menulis surat. Malam itu, di kamar kecilnya yang gelap, dia mengambil selembar kertas dari laci dan mulai menulis. Kata-kata mengalir dari pikirannya, mencurahkan semua perasaan yang terpendam.

---

Kepada Jinhai,

Aku tidak tahu apa yang membuatmu ingin membantuku, tetapi aku ingin berterima kasih karena telah menjangkau dan berbicara padaku di taman. Kau benar, aku merasa terasing dan kesepian. Rasanya sulit untuk mengungkapkan apa yang aku alami, dan aku sering merasa tidak ada yang bisa mengerti.

Jika kau bersedia, aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu dan bagaimana kau bisa membantuku. Mungkin kita bisa bertemu di taman lagi?

Sebelumnya, aku tidak pernah berpikir untuk meminta bantuan dari orang asing. Tapi sekarang, aku merasa seolah-olah ini adalah kesempatan yang tidak bisa aku tolak.

Semoga kau tidak keberatan menerima surat ini.

Hormatku,

Mei Yan

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENAWAR TAKDIR    bab 55

    Pagi yang SepiCahaya matahari perlahan menyusup melalui celah jendela, menerangi kamar sederhana tempat Mey Yan beristirahat. Namun, matanya sudah terbuka sejak lama. Semalaman ia tidak tidur nyenyak, pikirannya terus dipenuhi oleh kejadian tadi malam.Ia mendengar langkah kaki pelan di luar kamarnya, mungkin seorang prajurit yang sedang bertugas. Tidak lama kemudian, suara Xiao Yu terdengar, membangunkannya dengan lembut.“Nyonya, apakah ingin sarapan sekarang?”Mey Yan menghela napas. “Tidak perlu, Xiao Yu. Aku tidak lapar.”Xiao Yu menatapnya khawatir. “Tapi Nyonya harus tetap makan. Hari ini cuaca cukup dingin.”Mey Yan tersenyum tipis. “Nanti saja.”Xiao Yu masih tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk dan meninggalkan kamar. Setelah Xiao Yu pergi, Mey Yan duduk di tepi tempat tidur, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong.Ia merasa lelah.Bukan hanya fisiknya, tetapi juga hatinya.Ia mengira bahwa dengan datang ke perkemahan, semuanya akan menjadi lebih jelas. Bahwa ia a

  • MENAWAR TAKDIR    bab 54

    Mey Yan tetap diam dalam pelukan Zhao. Hatinya masih dipenuhi perasaan yang bercampur aduk, tetapi setidaknya, kata-kata suaminya tadi memberinya sedikit kelegaan.“Jadi…” Zhao bersuara setelah beberapa saat, tangannya perlahan melepas pelukannya meski masih menggenggam bahu Mey Yan. “Apa kau akan tetap di sini malam ini, atau hanya ingin memastikan aku baik-baik saja lalu pergi?”Mey Yan menatapnya ragu. Keputusan awalnya memang hanya untuk datang, melihat dengan mata kepala sendiri, lalu pulang. Tapi sekarang setelah berada di sini… ia tidak yakin bisa pergi begitu saja.“Aku…”“Jika kau mau tinggal, aku akan meminta seseorang menyiapkan tempat untukmu,” potong Zhao, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Mey Yan menggigit bibirnya. Ada kehangatan dalam nada suara Zhao, sesuatu yang jarang ia tunjukkan dengan jelas.“Baiklah,” jawabnya akhirnya. “Aku akan tinggal malam ini.”Senyum kecil muncul di wajah Zhao sebelum ia mengangguk dan melangkah keluar, memanggil seorang praju

  • MENAWAR TAKDIR    bab 53

    Perjalanan ke PerkemahanMey Yan duduk di dalam tandu, matanya menatap tirai yang sedikit terbuka, memperlihatkan jalan tanah yang semakin jauh dari kediaman keluarganya. Perjalanan ke perkemahan tidak terlalu jauh, tetapi cukup untuk membuat pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.Ia sudah memutuskan untuk datang, tetapi pertanyaan dalam benaknya belum juga mereda.Bagaimana jika ternyata kekhawatirannya benar? Bagaimana jika Zhao dan Lady Lin memang memiliki sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan sekadar kata-kata?Ia mengepalkan jemarinya di atas pangkuan, berusaha menahan kegelisahan.Di sebelahnya, Xiao Yu sesekali melirik tuannya dengan cemas. “Nyonya, apakah Anda baik-baik saja?”Mey Yan tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja.”Xiao Yu menunduk, tetapi tetap terlihat khawatir. “Jika ada sesuatu yang tidak menyenangkan di sana… kita bisa kembali kapan saja.”Mey Yan mengangguk, tetapi hatinya tahu bahwa ia tidak akan kembali tanpa mendapatkan jawaban.---Di Gerbang Perkemahan

  • MENAWAR TAKDIR    bab 52

    Pagi itu, saat mentari baru saja muncul di ufuk timur, Mey Yan sudah bersiap. Ia mengenakan pakaian yang lebih sederhana daripada biasanya, namun tetap menunjukkan statusnya sebagai seorang nyonya. Rambutnya disanggul rapi, hanya dihiasi sebuah jepit giok sederhana.Di halaman depan, sebuah tandu telah disiapkan, didampingi oleh beberapa pengawal keluarga Mey. Ia tidak bisa pergi sendirian, tentu saja, tetapi kali ini ia memilih untuk membawa sedikit orang agar tidak terlalu menarik perhatian.Ibunya berdiri di dekat pintu, menatapnya dengan penuh kasih. “Hati-hati di perjalanan, Mey Yan. Ingatlah, apapun yang kau temukan di sana, jangan biarkan emosi menguasai dirimu.”Mey Yan mengangguk. “Aku mengerti, Ibu.”Dengan langkah mantap, ia naik ke dalam tandu. Perjalanan ke perkemahan memakan waktu beberapa jam, dan sepanjang jalan, pikirannya terus dipenuhi berbagai kemungkinan. Apakah Zhao benar-benar berkata jujur? Ataukah ia hanya mencoba menenangkannya?Saat tandu mulai mendekati per

  • MENAWAR TAKDIR    bab 51

    Sepanjang perjalanan kembali ke kediaman mereka, Mey Yan duduk diam di dalam tandu. Hatinya masih gelisah, bukan hanya karena pertemuan tadi, tapi juga karena tatapan Lady Lin yang seakan menyimpan sesuatu.Di sampingnya, Zhao juga tidak banyak bicara. Tangannya menggenggam tangan Mey Yan, memberikan kehangatan, tetapi pikirannya jelas masih dipenuhi banyak hal."Kamu marah?" suara Zhao akhirnya memecah keheningan.Mey Yan menggeleng pelan. "Bukan marah… hanya merasa lelah. Sepertinya apa pun yang kita lakukan, selalu ada orang yang ingin menjatuhkan kita."Zhao menghela napas, lalu menarik Mey Yan lebih dekat ke dalam dekapannya. "Aku tahu. Tapi aku tidak akan membiarkan siapa pun mengusikmu. Apalagi seseorang seperti Lady Lin."Mey Yan menatapnya. "Tuan yakin tidak ada yang terjadi di antara kalian?"Zhao mengernyit, tampak kesal karena pertanyaan itu muncul lagi. "Mey Yan…""Aku hanya ingin mendengar jawaban langsung darimu."Zhao mengangguk. "Tidak ada apa-apa. Dia memang sering d

  • MENAWAR TAKDIR    bab 50

    Zhao menggenggam tangan Mey Yan lebih erat, seolah ingin meyakinkannya bahwa ia ada di sini, bahwa tak ada yang perlu ia ragukan. Namun, sebelum keduanya bisa tenggelam lebih jauh dalam ketenangan sesaat itu, ketukan pelan di pintu menginterupsi keheningan mereka. Mey Yan menoleh ke arah pintu, sedikit terkejut. Zhao melepaskan genggaman tangannya dengan enggan sebelum akhirnya berdiri. "Masuk," katanya dengan suara dalam. Seorang pelayan masuk dengan kepala tertunduk, membawa sebuah surat di tangannya. "Tuan, ini pesan dari Permaisuri. Beliau ingin bertemu dengan Anda segera." Zhao menerima surat itu dan membuka gulungannya dengan tenang, tetapi matanya dengan cepat menangkap isi pesan yang ditulis dengan tinta merah. Ia mengernyit, lalu menggulung kembali surat itu dengan ekspresi tak terbaca. "Aku harus pergi," katanya pada Mey Yan, suaranya lebih dingin dari sebelumnya. Mey Yan menatapnya, mencoba membaca ekspresi suaminya. "Ada apa?" tanyanya dengan suara khawatir. Zha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status