Udara di dalam toko buku mendadak terasa dingin, meski di luar matahari sore masih menyinari jalanan. Suara lonceng kecil di atas pintu yang baru saja berdering masih bergema di telinga Alya.Tubuhnya kaku. Tangannya yang tadi sedang memegang buku jatuh begitu saja ke lantai, membuat bunyi keras yang memecah keheningan.Ardi yang duduk di kursi dekat kasir langsung berdiri. Matanya menatap tajam ke arah pria yang baru saja masuk.Raka.Wajahnya nyaris tidak berubah—tatapan mata yang dalam, senyum tipis yang sulit ditebak, dan auranya yang selalu membuat Alya merasa tercekik.“Lama sekali ya, Ly,” suara Raka berat, namun terbungkus manis. “Aku kangen.”Alya mundur selangkah. Tubuhnya bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.“Kenapa… kamu di sini?” suaranya serak, penuh ketakutan.Raka melangkah pelan, menutup payung hitam yang masih meneteskan sisa air. Ia meletakkannya di rak dekat pintu seolah toko itu miliknya sendiri.“Karena kamu nggak pernah datang mencariku. Jadi aku yang harus dat
Malam itu, hujan turun deras. Toko buku Alya sudah lama tutup, namun lampu di ruang belakang masih menyala. Alya duduk di kursi kayu, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Di tangannya, secangkir teh hangat sudah kehilangan uapnya.“Kenapa aku merasa... dia ada di luar sana?” bisiknya lirih.Perasaan itu bukan sekadar firasat. Sejak beberapa hari terakhir, Alya merasa ada yang mengawasi setiap langkahnya. Pintu toko pernah diketuk di tengah malam, namun saat ia membuka, tak ada siapa pun. Ponselnya juga sering menerima pesan kosong, hanya berisi titik-titik.Ardi, yang sore tadi sempat berkunjung, berpesan:> “Kalau ada apa-apa, jangan ragu hubungi aku. Aku nggak mau kamu hadapi semua ini sendirian.”Namun, Alya terlalu sering menyembunyikan ketakutannya. Ia tidak ingin membebani Ardi dengan bayang-bayang masa lalu yang seakan tak mau pergi.Drrrttt...Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dengan tangan bergetar, Alya membuka.“Aku masih di sini. Kamu tidak bisa lari dariku,
Bel pintu toko berdering lembut ketika pintu kaca didorong. Ardi muncul dengan wajah cemas, masih mengenakan kemeja kerja yang belum sempat ia rapikan.“Alya…” suaranya serak, mata langsung menyapu ruangan, memastikan semuanya baik-baik saja.Alya berdiri tergesa, mencoba menyembunyikan ketakutannya. Tapi tatapannya yang gugup, tangannya yang gemetar, dan mata sembabnya terlalu jelas untuk disembunyikan.“Ada apa? Kamu kenapa manggil aku buru-buru gini?” tanya Ardi, melangkah mendekat.Alya menghela napas, lalu berusaha tersenyum samar. “Aku… cuma merasa ada yang aneh. Kayak ada orang yang ngeliatin toko ini dari luar.”Ardi menatapnya serius. “Kamu yakin? Siapa?”Alya menggigit bibir, keraguan dan ketakutan bercampur. “Aku nggak lihat jelas… tapi aku rasa itu Raka.”Mata Ardi langsung menegang, rahangnya mengeras. “Dia lagi? Alya, aku nggak bisa diem aja kalau dia udah mulai gangguin kamu kayak gini.”Alya menunduk, air mata menggenang. “Aku takut, Di. Rasanya dia nggak akan berhenti
Udara di dalam toko mendadak berat, seakan setiap oksigen lenyap dari ruangan. Alya berdiri kaku di belakang Ardi, kedua tangannya bergetar tak terkendali. Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia yakin keduanya bisa mendengarnya.Raka melangkah pelan, matanya tak lepas dari Ardi. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi tatapan matanya menusuk. “Jadi, ini orang yang bikin Alya berubah?”Ardi tetap tenang, meski sorot matanya waspada. “Aku nggak bikin dia berubah. Dia berhak bahagia dengan caranya sendiri. Kamu nggak punya hak buat nahan dia.”Raka terkekeh pendek, nada suaranya penuh ejekan. “Kamu pikir kamu siapa? Baru datang sebentar, sudah berani sok jadi pahlawan. Alya itu… milikku.”Kata-kata itu menusuk Alya, membuat dadanya sesak. Ia ingin berteriak bahwa dirinya bukan milik siapa pun, tapi ketakutan membungkam suaranya.Ardi, yang merasakan kegelisahan Alya, berdiri lebih tegak. “Dia bukan milikmu, Raka. Dia manusia, bukan barang. Kalau kamu benar-benar peduli sama dia, kamu n
Raka menutup laptopnya dengan kasar. Ruangan apartemennya berantakan: kertas-kertas kerja berserakan, asbak penuh puntung rokok, dan gelas kopi dingin yang belum disentuh. Sejak Alya jarang menghubunginya, pikirannya semakin tak tenang.Ia memegang ponselnya, membuka chat Alya yang akhir-akhir ini dipenuhi tanda centang biru tanpa balasan. Rahangnya mengeras.Dia berubah. Alya nggak pernah kayak gini sebelumnya…Raka berdiri, berjalan mondar-mandir. Hatinya dipenuhi gelisah bercampur amarah. “Jangan bilang dia punya orang lain,” gumamnya, suara rendah tapi sarat ancaman.Ia mencoba menenangkan diri, tapi semakin dipikirkan, semakin darahnya mendidih. Ingatan tentang Alya yang selalu menuruti kata-katanya dulu membuatnya semakin frustasi. Kini, perempuan itu berani menjauh.Tiba-tiba, ponselnya berbunyi—sebuah notifikasi foto dari teman lamanya, Dani. Raka membuka pesan itu, dan darahnya serasa berhenti mengalir.Foto Alya.Bersama seorang pria.Di sebuah kafe.Tersenyum.Jantungnya be
Malam itu, Alya tak bisa tidur. Setelah tangisan panjang dan pelukan hangat Ardi, dadanya masih terasa sesak. Kata-kata Raka masih bergema, tapi ada juga suara Ardi yang menenangkan. Dua suara itu bertabrakan dalam benaknya, membuatnya terjebak dalam dilema yang tak berujung.Keesokan paginya, Alya memutuskan untuk datang ke kafe tempat ia sering menulis. Ia butuh suasana lain, jauh dari rumah yang penuh bayangan Raka. Saat ia membuka laptop, pikirannya tetap saja tidak bisa fokus. Jari-jarinya mengetik beberapa kalimat, lalu terhenti.Tak lama, seseorang duduk di depannya. Ardi. Dengan senyum tipis, ia meletakkan secangkir cappuccino di meja Alya.“Aku tahu kamu pasti butuh ini,” katanya lembut.Alya tertegun. “Kamu… ngikutin aku?”Ardi terkekeh pelan. “Nggak lah. Aku cuma kebetulan lewat, terus lihat kamu di sini. Jadi kupikir… boleh kan aku nemenin kamu?”Alya ingin menolak, tapi ada bagian kecil dari dirinya yang lega. Kehadiran Ardi membuat ruang hatinya yang sesak terasa sedikit