"Menyingkir! Aku ingin lewat," kesal Nara dengan mendorong kuat tubuh suaminya yang menghalangi jalan. Intinya Nara marah, merajuk sebab kelakuan suaminya tadi. Ia akui suaminya sangat cerdas dalam hal apapun, tetepi untuk urusan cinta serta cemburu entah kenapa suaminya sangat minus. Bahkan dibawah kata bodoh! Menyebalkan. "Kenapa jadi kau yang marah?" Zaveir menaikkan sebelah alis, menolak memberikan jalan pada Nara. Dia menghadang, berdiri tepat di depan Nara. Jika Nara berjalan ke kanan, Zavier akan mengikut. Begitu sebaliknya jika Nara berjalan ke kiri maka dia akan berjalan ke kiri. "Mas masih bisa nanya begitu?" Nara berkacak pinggang, mengerutkan kening sembari menatap tak percaya pada Zavier. "Aku dihukum akibat sebuah kesalahan yang nggak aku perbuat. Trus Mas nanya kenapa aku marah?" omen Nara, memukul dada bidang suaminya cukup kuat. Zavier menggaruk tengkuk, menatap ragu bercampur salah tingkah. Ah, makhluk menggemaskan yang sedang marah ini sangat imut. Bolehkah dia k
"Mi Nara!" Zaveir berubah haluan, tidak jadi menemui anaknya dan memilih mengejar istrinya. Sial! Apa Nara marah padanya karena dipaksa untuk melayaninya tadi malam? Tapi Zavier merasa tidak memaksa. Dia merayu dan menggoda Nara supaya …- Apa dia melakukan kesalahan lain oleh sebab itu Nara berniat kabur? ***Nara menyeret koper besar menuju pintu utama rumah. Raut mukanya datar, sedikit lelah secara bersamaan. Akhir akhir ini Nara memang kurang vit, mungkin karena aktivitasnya. Selain mengurus suami dan anak, Nara juga sibuk mengurus bisnis aksesoris yang dia geluti. "Tolong kopernya dijaga sebentar, Pak," ucap Nara pada seorang bodyguard yang berjaga di sana. Bodyguard tersebut tampak bingung akan tetapi memilih menganggukkan kepala. Nara berniat kembali masuk untuk mengurus putranya dan suaminya, akan tetapi tiba-tiba saja …-"Kau mau kemana?!" dingin Zavier, sudah berada tepat di hadapan Nara–jarak yang sangat dekat. Nara melotot horor melihat penampilan suaminya. "Mas--"Bu
Zavier melayangkan tatapan tajam ke arah putranya, dia mendekat ke arah Danzel–menjinjing kerah baju seragam putranya tersebut kemudian membawa anak itu dengannya. "Help me, Mommy …." Danzel berteriak, antara takut tetapi gembira secara bersamaan. Dia suka digendong oleh Daddynya. "Mas Zavier, lepaskan X," teriak Nara, ingin menyusul tetapi terlambat sebab Zavier dan Danzel sudah masuk dalam lift. Sedangkan Zavier, setelah dalam kamar mandi, dia menurunkan tubuh putranya lalu memperlihatkan sampo miliknya pada sang putranya. "Bisa jelaskan kenapa sampo Daddy isinya sabun pencuci piring?" Danzel mundur beberapa langkah, muka anak tersebut cemas dengan kening yang sudah mengeluarkan keringat dingin. "Niat X baik," jawab Danzel cepat, antara gugup dan takut pada Daddynya. "Mas!" Nara tiba-tiba muncul, saking khawatirnya dia dengan putranya dia langsung bergegas naik ke atas. Suaminya ini sedikit gila dan suka hilang kendali, oleh sebab itu Nara cemas Zaveir melakukan sesuatu pada pu
"Permisi." Erika berkata sopan dan lembut, meletakkan kotak bekalnya di meja–ikut bergabung makan siang dengan staf lama. "Aku boleh gabung kan?""Iya, silahkan," jawab salah satu staf. Sejenak Erika diam, menikmati makan siang dengan elegan. Setelah itu, dia mulai memperhatikan sekitar serta keadaan. Ada yang ingin dia tanyakan pada para staf di sini. "Kalian tahu tidak tentang kehidupan pribadi Tuan Zavier? Maksudku, dia pria yang sangat mempesona dan sangat tampan. Tetapi Big Boss terlihat sangat dingin, apalagi pada lawan jenis," ucap Erika, memancing keadaan. Hal yang dia ingin gali adalah siapa kekasih Zavier dan bagaimana hubungan pria itu dengan kekasihnya. Dengan mengetahui info tersebut, Erika tahu harus bersikap dan berbuat seperti apa untuk mendapatkan sang Big boss. "Inggita, sekretarisnya, dia sangat cantik dan tubuhnya juga bagus. Tetepi tak ada skandal antara Big Boss dengan Inggita. Kemarin, Big Boss bertemu dengan klien–Nona Cantik dan sangat seksi, dan lagi-lagi B
"Bagaimana bisa kau sampai di sini?" tanya Zavier, membawa Danzel dalam gendongannya. Dia marah tetapi melihat wajah menggemaskan putranya, Zavier luluh seketika. Terlebih tingkah Danzel yang-- mengingatkan Zavier pada seseorang. Danzel ingin menjawab perkataan daddynya, akan tetapi anak perempuan tadi tiba-tiba berlari ke arahnya dan sang daddy. Anak itu langsung memeluk kaki Zavier. "Papa … dia jahat pada Angel. Dia memberikan permen rasa pedas padaku. Huaaa … lidahku terasa terbakar, Papa," tangis Angel, memeluk kaki Zavier dengan erat.Danzel menunduk untuk menatap gadis kecil yang memeluk kaki daddynya. Wajah cerah anak itu langsung berganti dengan raut muka muram bercampur marah. Apa? Anak ini memanggil daddynya dengan sebutan Papa? "Menjauh," ucap Inggita dengan nada tegas, menarik anak tersebut agar menjauh dari sang tuan. Dilihat dari tampang muka Big Bossnya, dia bisa merasakan kemarahan yang besar. Begitu juga dengan anak di gendongan tuannya, terlihat menahan marah–per
"Mas, kunci mobilku di mana?" tanya Nara setelah berada di ruangan suaminya. Hanya ada dia di sana, Kenan dan Inggita keluar–berpapasan dengannya saat menuju ke ruangan ini. "Ambil." Zavier menyunggingkan smirk tipis, meletakkan kunci mobil istrinya tersebut di atas meja–di sebelahnya yang sedang sibuk dengan sebuah dokumen. "Hah." Nara menghela napas. 'Aku yakin ini tidak akan mudah,' batinnya sembari berjalan mendekat ke arah sang suami. Ketika dia telah tiba di sebelah Zavier, Nara buru-buru mengambil kunci tersebut. Namun, seperti yang Nara tebak, ini tidak akan mudah. Yah, Zavier tiba-tiba dengan cepat meraih pinggangnya dan menarik Nara secara paksa–membuat Nara berakhir duduk di atas pangkuan suaminya. "Mas, anak-anak sudah menunggu …-"Ucapan Nara terhenti, Zavier menangkup pipinya lalu dengan cepat mendaratkan bibirnya di sana. Pria itu secara tidak sabaran melumat bibir mungil Nara, meraupnya tergesa-gesa dan penuh gairah. Seperti biasa, Zavier suka dengan rasanya yang m
"Pindah sebentar," titah Zavier pada putranya, "ada hal yang Daddy ingin bicarakan dengan Mom …-" Ucapnya Zavier langsung berhenti, menatap dongkol bercampur kesal pada putranya yang sudah pindah. Yah, anak itu menurut dan benar-benar pindah. Danzel pindah ke pangkuan Nara. Hell! Sama saja. Rasanya bahkan ini lebih menjengkelkan dibandingkan dengan Danzel yang duduk diantara dia dan Nara. "Mommy, X akan duduk di sini. Boleh," ucap Danzel setelah pindah duduk di pangkuan sang mommy. Tahu Daddynya geram padanya, Danzel langsung meminta bantuan pada sang mommy. Nara menganggukkan kepala. "Boleh, Sayang," jawab Nara, dengan lembut dan penuh kasih sayang memasukkan jeruk ke mulut putranya. Sedangkan Danzel, dia dengan senang hati menerima suapan jeruk tersebut. "Mi Nara." Zaveir memanggil, nadanya penuh tekanan dan peringatan. Dia kesal karena Nara mengabaikannya. "Kalau bukan Mas duluan kasih dia kesempatan, dia mana berani menyuruh anaknya memanggil Mas papa." Nara berkata dengan
"Halo, ini Abang. Adik ada di dalam?"Deg deg deg Mata Nara membelalak lebar, langsung menggendong Danzel lalu membawa putranya tersebut keluar dari ruangannya. Dia cukup malu pada Karina dan staf lain. "Sayang, jangan gitu," tegur Nara setelah membawa putranya keluar ruangan."Kenapa? Mommy yang mengatakan jika adik ada dalam perut. Berarti Adik X ada di perut Mommy bukan?" polos anak itu. Nara menghela napas pelan. "Iya, harus dikasih oleh Tuhan dulu ke perut Mommy baru adiknya ada. Sekarang Tuhan belum memberi, dan nggak ada adik di perut Mommy, Nak.""Bagaimana caranya agar Tuhan memberi X adik, Mommy?""Berdoa," jawab Nara cepat. "Ayo, kita pulang," lanjutnya. Nara memutuskan membawa putranya pulang sebab tak yakin dia akan fokus bekerja jika Danzel terus membahas hal tadi. Dia pamit pada Karina dan staf lainnya. Setelah pulang, Nara beristirahat sejenak. Sedangkan putranya bermain di pinggir kolam. Byuaaarrr'Suara seseorang terjebur terdengar, Nara menoleh ke luar dan men