Share

Bab 6

Kalau dugaanku benar, Aliwafa dan Alwafa adalah orang yang sama. Maka ini waktu yang tepat untuk mencari tahu siapakah sosok itu.

"Mas yang temani, ya?" kataku sungguh-sungguh.

"Loh, masih belum selesai juga masalah yang tadi?" Bu Indah menarik kursi untuknya duduk, sedangkan Pak Bahar kelihatan heran.

"Ada masalah apa?" katanya ikut menimbrung.

Seharusnya Putri tidak akan menolak jika permintaan langsung datang dari sang ayah. Aku tersenyum hangat, menatap Pak Bahar dengan rasa penuh hormat. Putri pikir mungkin hanya dia yang bisa bermain-main.

"Gak ada yang serius, kok, Pak. Putri mau pergi ketemu kawannya. Saya cuma khawatir apalagi kaki Putri belum sepenuhnya pulih. Jadi saya mau menemani dia ke luar."

"Loh, suami perhatian gini kenapa ditolak, Put? Mama aja gak pernah digituin sama ayah." Aku semakin melebarkan senyum ketika tahu mendapatkan dukungan dari Bu Indah.

Pak Bahar tidak merasa tersinggung dengan ucapan istrinya barusan. Laki-laki pemilik kumis tebal itu memilih mengangguk mengiyakan aku.

"Benar kata Zaki, Put. Lebih baik kamu ditemani sama dia. Toh, gak akan ada ruginya juga. Zaki bisa mengantar juga menjaga kamu supaya gak kenapa-kenapa."

"Tapi aku bukan anak kecil, ih." Putri semakin mempertunjukkan rasa tak sukanya padaku lewat sorot mata.

"Apa salahnya mengikuti ucapan Zaki? Dia itu suami kamu, Putri." Pak Bahar menekankan sekali lagi.

Dua lawan satu, aku menang telak. Putri tidak lagi berkelit, hanya menyiapkan piring makanku dengan perasaan jengkel. Jengkelnya itu bahkan menjalar hingga ke dalam kamar kami.

"Aku gak mau mas ikut!" ketusnya.

"Kenapa? Masalahnya apa?"

"Mas, plis, deh, gak usah sok peduli gini. Bikin kesel tau gak." Putri melipat kedua tangannya di depan dada. Ini kemarahannya yang paling besar dibanding sebelum-sebelumnya. Matanya berkilat, wajahnya benar-benar masam.

Aku sudah bertekad untuk tak akan gentar.

Aku yang tengah membaca buku di ranjang segera mengehentikan aktivitas. Kututup buku dengan agak keras. Putri yang berada di ujung ranjang menantang tatapanku.

"Kasih saya alasan yang bagus, Putri!" Ternyata aku tidak bisa bersabar lebih lama. Lama-lama aku pun ikut jengkel karena perlakuannya.

Tidak ada jawaban. Rupanya masih kukuh dengan pendiriannya.

Aku berusaha untuk menenangkan diri. Berbicara dengan amarah tidak akan menyelesaikan apapun.

"Mas tahu kamu punya pacar, Dik. Kamu pikir dengan bersikap kekanak-kanakan begini akan menyelesaikan masalah kita?" Aku berusaha untuk menahan diri agar tidak benar-benar meledak. Aku sangat kecewa sekarang ini. Sisi lain, aku juga masih mengharapkan sosok yang mematung di tempatnya itu.

"Jelasin ke Mas. Apa yang sebenarnya terjadi. Mas mau tahu langsung dari kamu. Oh ya, siapa yang mau kamu temui? Benar Alwafa, atau sebenarnya Aliwafa?" Aku mencecarnya dengan banyak pertanyaan. Aku tadi hampir lepas kendali lagi kalau saja tak ingat sedang tak di rumah kami.

"Jadi Mas udah tau semuanya?" Sudut bibir wanita itu sedikit bergetar seolah tak kuasa untuk berbicara satu patah kata apapun, tetapi harus tetap dipaksakan berbicara.

Aku mengangguk. Tak ada gunanya juga terus kusembunyikan. Lambat laun nanti juga akan terbongkar dengan sendirinya.

"Baguslah kalau begitu," katanya seperti tanpa bersalah, "jadi aku gak terlalu berdosa karena harus terus berpura-pura."

Tertegun. Aku tidak menyangka dia akan menjawab demikian. Dalam perhatiannya, apakah tidak ada aku barang sedikit?

Aku ternyata tak setegar yang dibayangkan. Aku harus jujur bahwa setitik air mata telah jatuh bebas di atas buku yang kupegang. Ini sangat menyakitkan.

"Terima kasih karena sudah berpura-pura, Putri. Sayang sekali saya ke kamu tidak bisa begitu."

"Mas jangan lebay, deh. Gak usah kita perpanjang lagi masalah ini. Aku harus siap-siap." Putri segera beranjak dan memilih baju di lemari setelah mengecek jam tangannya. Tidak lagi menghiraukan kehadiranku.

"Mas tanya, kamu harus jawab jujur. Aliwafa dan Rizal itu siapa?" Aku meminta kebenaran. Rasanya tak cukup jika tidak mendengarnya langsung dari wanita itu.

Putri menoleh ke arahku. "Kekasihku. Lagian mereka orang yang sama."

"Saat ini kamu mau menemui dia?"

"Ya."

***

Aku kacau sampai tak bisa lagi memikirkan siapakah yang harus disalahkan. Satu sisi aku memang berhasil mendapat wanita itu. Sisi lain, aku merasa tak benar-benar memilikinya.

Putri pergi lima menit yang lalu dengan menyisakan luka di kamar ini. Sepuluh menit kemudian telponku berdering dari salah satu pegawai di toko.

Pegawaiku bilang ada pesanan tidak terduga yang melibatkan aku di dalamnya. Proyek besar yang sayang untuk dilewatkan. Mau tidak mau, artinya aku harus kembali. Lagian sepertinya itu pilihan baik ketimbang aku harus bertahan lebih lama di rumah ini. Kepulanganku bahkan tak mengabari Putri. Hanya Bu Indah yang repot-repot menyiapkanku bekal sebelum pulang.

Aku berusaha fokus menyetir juga mengenyampingkan Putri yang akan menghambat pekerjaanku. Aku harus bersikap profesional. Sayangnya dunia ini terlalu sempit. Pesanan yang kami terima ternyata salah satunya berasal dari rumah sakit tempat Putri dahulu bekerja.

Aku tidak mengerti, tapi ini bukan kali pertama. Entah kenapa setiap kali bermasalah, hal-hal berkaitan dengan masalah itu juga akan datang menghampiri.

Ya, aku hanya tak mengerti.

Malamku kini lebih sunyi dari biasanya. Aku baru selesai memanaskan masakan yang diberi Bu Indah. Tadinya untuk makan siang, tapi tidak sempat karena banyaknya pekerjaan.

Di meja makan kini hanya ada aku, tidak ada lagi masakan dari Putri. Ah, mengingat nama itu membuatku tidak lagi tergugah untuk makan. Rasanya hambar sekali.

Ponsel di samping piringku ikut sepi, padahal aku sangat berharap Putri mengirimkan pesan di sana. Untuk sekadar khawatir atau mengingatkan makan sebagaimana pasangan pada umumnya.

***

Aku bangun dengan kantong mata menghitam. Cangkir-cangkir kopi yang menemaniku tadi malam berserakan di atas meja. Semalaman aku tidak tidur.

Aku beranjak dari sofa untuk membersihkan diri. Hari ini ada pekerjaan lagi yang harus kuselesaikan, bahkan harus ikut mengawasi pengangkutan material ke rumah sakit.

Rumah sakit itu berada di luar daerah. Namun, tidak terlalu jauh kalau lewat jalan tol di kota yang memang berada di perbatasan.

Di cuaca yang terik ini, kepalaku agak sedikit sakit. Pekerjaan masih belum selesai, tapi aku sudah meminta untuk beristirahat lebih dahulu. Aku menjelajahi kantin rumah sakit, mencari makanan dan minuman. Aku pikir sakit kepala ini berasal akibat tak makan dan tidur dengan baik.

Dari tempatku duduk, aku dapat melihat banyak orang keluar masuk kantin. Di antara mereka memakai jas putih seperti dokter pada umumnya.

Aku pernah mendengar bahwa tidak mudah mendapatkan gelar untuk menjadi mereka. Perlu perjuangan dan pengorbanan lebih banyak. Mungkin juga seperti Rizal yang sampai bisa mengorbankan kekasihnya? Haha, abaikan saja. Aku hanya sedang iri dan ingin menghibur diri.

Sakit kepalaku agak mendingan setelah makan. Mata yang awalnya juga ikut berkunang-kunang sekarang sudah lebih baik untuk memperhatikan sosok yang mirip kekasih Putri itu.

Dunia ini sempit sekali. Setidaknya untukku.

***

Tbc

Salam sayang,

Olia❤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status