Share

Bab 5

"Ada apa, Zaki?" tanya Pak Bahar sesaat aku kembali duduk menemaninya.

"Cuma orang salah alamat, Pak," bohongku. Setelahnya Pak Bahar tampak bersungut kesal seolah ini bukan yang pertama kali terjadi.

Aku bersiap untuk menutup rapat kisah hari ini, bahkan pada Putri sekali pun. Mawar itu kuberikan pada tukang ojek agar membawanya pergi sejauh mungkin. Sebelummya aku sudah mengambil foto beberapa hal terkait dengan penyelidikanku nantinya.

Selepas mengobrol dengan Pak Bahar, aku segera menghubungi toko bunga pesananku. Aku sangat yakin logo yang ada di buket bunga misterius itu sama dengan logo toko bunga yang kupesan.

Aku menunggu pihak toko membalas pesan. Tidak lama kemudian, mereka mengatakan bahwa bunga itu memang berasal dari toko mereka. 

[Siapa pengirimnya?]

[Maaf, tapi kami tidak bisa memberikan identitas pembeli]

[Ini penting, menyangkut rumah tangga saya. Ada orang iseng yang mengirimkan bunga dengan kartu ucapan yang bisa membuat kami salah paham] Aku menjelaskan panjang lebar. 

Pihak toko hanya membaca pesanku untuk waktu yang cukup lama. Kupikir mereka sedang berdiskusi karena situasi ini cukup darurat.

Aku harap-harap cemas karena lima menit setelahnya masih belum ada balasan. Aku sudah punya niatan untuk datang langsung ke toko itu demi mencari penjelasan. Namun, penasaranku terbayarkan karena pada menit berikutnya pihak toko membalas pesanku.

[Pembeli bunga atas nama Aliwafa31]

Tertegun. Aku memutar otak dengan keras. Menurutku jika orang dengan nama Aliwafa ini sekadar main-main, mana mungkin dia akan memakai nama asli sebagai username.

[Batalkan pengiriman bunga ke alamat saya besok. Silakan berikan bunga itu kepada orang lain]

Pada akhirnya semua bertambah kacau. Putri rupanya benar menyembunyikan sesuatu padaku. Secepatnya akan kubongkar rahasia wanita itu agar mengerti kenapa sikapnya selama ini selalu menyakiti hati. Namun, betapa pun dia bersikap demikian, aku juga selalu siap menjadi tempatnya pulang.

***

Kulihat Putri sudah bisa berjalan lebih leluasa. Dia mengetok pintu kamar hanya untuk menyuruhku makan malam. Parahnya sejak tahu aku selalu di kamar, dia juga tidak pernah masuk ke sini. Bisa jadi sedang menghindariku terlebih ada banyak hal tak terduga hari ini.

Aliwafa .... Nama itu seperti berdengung di kepalaku terlebih ketika menatap wajah Putri yang tengah menyendokkan nasi ke piringku. Wanita yang tampak tenang itu berbanding terbalik dengan apa yang ada di dalamnya. Dia sosok yang penuh misteri.

Malam ini mengawali kembali kami tidur di ranjang yang sama. Putri tidur lebih dahulu, sedangkan aku memastikan dia benar-benar sudah tertidur. Aku ingin sekali mengecek ponsel wanita itu, mengetahui apakah ada Aliwafa dalam kontaknya.

Aku hampir terlena ketika mendengar dengkuran halusnya. Putri sudah terlelap dengan baik. Jadi, segera kuambil ponselnya. 

Hal mudah bagiku untuk membobol ponselnya. Aku pernah melihat dia memakai keamanan sidik jari. Kalau saja bangun, pasti wanita itu akan sangat marah aku sudah menyentuh tangannya.

Segera kucari di kontaknya nama Aliwafa. Lucunya tak kutemukan nama itu, sedangkan rasanya tak mungkin sosok itu tidak ada kaitannya dengan Putri. Akhirnya aku beranjak ke aplikasi W******p. Di sana ternyata pesanku rupanya sudah tertimbun, digantikan pesan-pesan lain. Salah satu pesan menarik perhatianku. Obrolan itu disematkan oleh Putri dengan nama Rizal.

Ini semakin membingungkan untukku. Namun kemudian balik tergugu saat membaca obrolan mereka. Terlebih ucapan Putri yang membuatku begitu sesak.

[Aku selalu berdoa supaya kita bisa sama-sama lagi, Zal. Pernikahan ini seharusnya gak pernah ada]

[Put, aku cinta sama kamu. Seharusnya aku yang diposisi suamimu]

[Aku juga cinta kamu. Aku bakalan cari cara supaya kamu bisa diposisi itu. Aku janji]

Membacanya membuat hatiku benar-benar nyeri. Katakanlah Aliwafa murni dari keisengan. Tapi bagaimana dengan Rizal dan keistimewaan yang diberikan Putri padanya?

Kesimpulan yang bisa kutangkap laki-laki itu adalah kekasih Putri. Terlihat dari bagaimana keduanya saling mencurahkan kasih sayang di atas pernikahanku yang menurut mereka seharusnya tidak pernah ada.

Dari foto profilnya kupikir laki-laki itu seorang dokter. Dia memakai jas putih dengan wajah yang sama tenangnya seperti Putri. Mungkinkah dulu mereka satu rumah sakit? 

Tidak ingin terlalu hanyut dalam kesedihan, aku segera menyalin nomor telpon Rizal. Lalu kembali meletakkan ponsel wanita itu ke tempat semula. Aku takut Putri terbangun terlebih daritadi dia terus merubah posisi tidurnya.

Sekarang pertanyaannya. Aku harus apa?

Kusandarkan diri di headboard ranjang. Secara intens menatap wajah Putri, tidak pernah menyangka hubungan kami lebih rumit dari yang kubayangkan. Ini tak lagi tentang cara membuatnya jatuh cinta. Aku bahkan kesusahan memikirkan penyelesaian masalah ini. Belum lagi harus menghadapi Putri besok dan di masa yang akan datang.

***

Entah fajar yang menyingsing terlalu cepat, atau aku yang tak dapat tidur nyenyak. Aku bangun dalam keadaan berantakan luar dalam. Selesai solat subuh dan membersihkan badan, aku memilih untuk menikmati jalanan dari balkon.

Cukup lama aku berdiam diri di sana. Pukul 6.30, Putri mencariku dan menyuruh untuk sarapan. Ketika sampai di ruang makan, hanya ada Bu Indah yang tengah menata sajian di atas meja.

"Putrinya mana, Bu?" tanyaku.

"Ke kamar. Katanya sih ada urusan."

Aku tak lagi melanjutkan obrolan. Pikiranku melayang ke mana-mana. Salah satunya mengenai ucapan Bu Indah dulu.

"Bu, Putri memang tidak pernah pacaran sebelumnya?"

Tidak ada keraguan. Bu Indah mengangguk mantap. "Iya, gak pernah pacaran. Orang ibu sama bapak melarang. Lagian buat apa pacaran segala. Tidak bermanfaat."

"Kalau yang melamar Putri?" Kalimat itu mencelos keluar dari mulutku.

Sekilas Bu Indah menatapku, lalu tampak mengingat-ingat sesuatu. "Pernah ada satu orang, sih, yang melamar Putri. Kayaknya dulu dokter, tapi bapak menolak. Bapak pengennya Putri menikah sama orang yang bisa nerusin bisnisnya."

Hahaha. Aku hampir tertawa sumbang, mendadak merasa hanya menang dalam urusan bisnis saja.

"Kenapa bertanya?"

"Cuma penasaran, Bu."

Aku yakin orang yang di maksud itu sebenarnya Rizal, kekasih Putri. Rizal melamar Putri, tapi mendapatkan penolakan dari Pak Bahar. Hubungan keduanya terus berlanjut sembunyi-sembunyi. Sayangnya Putri kemudian dijodohkan denganku.

Ya, memang harus kuakui tak mudah menaklukan Pak Bahar. Dia sosok yang keras kepala dan suka memaksa. Tapi sekalinya muncul kepercayaan darinya, maka orang itu akan diperlakukan sangat istimewa.

Putri baru tiba di ruang makan. Menampilkan raut muka masam padaku yang meski disembunyikan tetap saja kelihatan. Dia seperti menampilkan kesan: kamu apakan buket bungaku kemarin? Aku marah tahu!

Lucunya tidak sampai lima menit, ketika dia duduk di depanku, senyumnya bangkit. Tidak salah lagi, pasti dia dulunya mantan anak teater.

"Mas, habis ini aku boleh pergi ke luar gak? Aku mo ketemuan sama temen," tanyanya.

Kenapa susah sekali untuk percaya?

"Mas yang temani." Mumpung ada Ibu, aku tidak akan mudah mengiyakan permintaannya.

"Mas, ih. Mana bisa gitu. Ntar yang ada malah canggung."

"Namanya siapa? Yang mau kamu temui itu, Dik?" 

Putri tampak kehabisan kata-kata.

"Ibu mau panggil Bapak dulu buat sarapan, ya."

Putri terselamatkan oleh Bu Indah yang pergi mendatangi suaminya.

"Bukan urusan Mas," ketusnya.

"Urusan saya. Kamu istri saya."

"Gak peduli."

Kami sama-sama saling sinis.

Sekembalinya Bu Indah, yang juga diiringi Pak Bahar aku kembali menanyakan hal yang sama. Aku mengambil kesempatan yang bagus. Sekali ini aku ingin membuat wanita itu kalah. Kira-kira apa yang akan dilakukannya?

"Dik, mau ketemu siapa?" Aku bahkan sengaja memperkeras suara.

Putri sepertinya tambah tak suka padaku. Tapi dia sudah siap dengan jawaban yang untuk kesekian kali membuat keningku berkerut dalam.

"Cewek, Mas. Namanya Alwafa."

***

Jangan lupa berlangganan ges.

Salam sayang,

Olia❤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status