Kedua mata laki-laki masih saja mengamati Pandu yang terus berada didekapan Mawar dari balik pohon. Mawar adalah wanita yang cukup dekat dengannya. Parasnya sangat cantik. Apalagi lekukan tubuhnya seperti biola. Sangat sempurna.
“Pandu, kenapa denganmu?” batin laki-laki itu terus mengamati dengan saksama.
“Aduh, gimana ini. Tidak ada orang sama sekali,” gumam sang wanita yang menyelamatkan Pandu dengan panik. Kedua mata iris cokelatnya mengamati semua arah, hingga menemukan dokar di sudut jalan. Dia bangkit, berlari memanggil pengendara dokar yang asik menikmati rokok.
“Pak, ada yang sakit. Antar aku ke rumah sakit. Nanti aku kasih uang banyak,” ucap Mawar memberikan kedipan matanya.
“Iya, Neng,” jawab pengendara menelan saliva melihat wanita seksi dengan dandanan menor di hadapannya.
Pengendara itu berjalan cepat mengikuti Mawar, hingga spontan melotot melihat sosok Pandu di hadapannya. “Raden Pandu? Kok bisa di sini? Gawat ini kalau ketahuan Romo,” ucapnya keras kemudian menepuk jidatnya.
“Bawa aku pergi, Nyonya. Aku tidak mau pulang,” balas Pandu lemas.
Pengendara dan Mawar saling memandang.
“Tolong, aku mohon. Bawa aku pergi sebelum mereka menemukan aku,” ucap Pandu sekali lagi.
“Pak, bawa ke tempatku,” balas Mawar.
“Tapi … rumah mbak ‘kan, rumah … bordir?” Sang pengendara menggeleng keras. Dia tidak berani melakukannya. Romo akan murka jika mengetahuinya.
“Aku akan memberimu uang banyak,” kata Pandu sekali lagi menatap pengendara yang masih terpaku.
“Pak, bawa kami.” Kecupan singkat mendarat di pipi kanan pengendara dari Mawar. Seketika itu juga pengendara mengangguk dan membantu Pandu untuk menaiki dokarnya. Sang pengendara melesatkan dokar itu dengan kencang.
“Pandu, kau? Aku harus mengikutinya.” Laki-laki itu mengikuti Pandu dengan cepat.
Jakarta, Rabu, 8 April 1963 pukul 21.00.
Malam terperangkap dalam senyap, gelap, pekat. Rembulan dan bintang tertutup awan gelap hingga cahayanya tak mampu menerangi langit. Arum berdiri di trotoar jalanan utama, menggeleng pelan.
“Kau harus menikahi seorang wanita. Ibu sudah memberikanmu waktu. Ketiga anakmu itu membutuhkan seorang wanita yang bisa mengurus mereka. Lihatlah, anak-anakmu itu! Mereka menderita!”
Teriakan mendadak dari seorang wanita anggun cukup tua bersanggul rapi, memakai kebaya biru laut berpadu jarit mewah berpayet mengkilap, mengejutkan Arum yang masih berdiri tegak. Wanita itu menarik lengan seorang pria berkumis, memakai kemeja batik mahal yang masih saja berjalan cepat berusaha menghindar.
“Nyai, kenapa memaksa? Aku masih saja tidak bisa bersama wanita. Cintaku hanya untuk Mariati. Aku tidak bisa melupakan--”
“Cukup! Mariati sudah meninggal satu tahun lalu. Semua keluarga ingin kau menikah. Kami sepakat tidak mempedulikan kasta. Yang terpenting, kamu bisa membawa istri, Wojo!”
“Ibu, aku harus menikahi siapa? Semua wanita hanya menginginkan hartaku yang segunung itu. Mereka tidak akan bisa mengurus anak-anakku. Biarkan saja semua pelayan mengurus mereka. Lagi pula, para pelayan sudah bersama anak-anak sejak lahir. Mereka lebih hafal. Daripada Ibu baru.”
Arum berusaha mengabaikan keributan yang berada di hadapannya. “Jam berapa sekarang?” gumamnya sembari melirik jam tangan di pergelangan tangan kanannya.
Arum terus menunggu angkot yang akan lewat. Kota Jakarta sangat padat penduduk. Setiap hari dia harus melewati tiga jalanan besar, untuk sampai di tempatnya bekerja.
Sejak sampai di Jakarta, Arum dan Saras tinggal di rumah Sekar Sari, adik dari Saras. Arum tidak mau menumpang gratis di sana. Dia ingin bekerja. Kebetulan kantor Sekar di hotel berbintang, membutuhkan pegawai di bagian cleaning service. Dengan bersemangat, Arum menerima pekerjaan itu. Biasanya Arum bersama Sekar pulang bersama setelah jam kerja selesai pada sore hari. Namun, karena sekarang dia lembur, Arum harus pulang sendiri.
“Tapi, sekarang situasinya berbeda. Semua keluarga besar Soewojo menginginkan setiap keluarga memiliki pasangan. Jika tidak seperti itu, akan dianggap membuat keluarga menjadi sial! Kamu mau miskin?!” sentak wanita tua anggun itu. Amarahnya meledak. Ia jengkel dengan sikap keras kepala anaknya.
Sang pria bersedekap, hingga melirik Arum yang melotot menatapnya. Pandangan pria itu membuat Arum resah. Namun, dia tidak bisa pergi karena tempatnya berpijak itu biasanya dilewati angkot yang sudah dia tunggu.
“Dia, wanita itu,” tunjuk pria itu yang bernama Wojo kepada Arum. “Sepertinya cocok untukku. Kamu mau nikah ama aku? Tentu saja, aku pria kaya. Ibu, dia saja yang menikahiku,” lanjutnya kemudian berlalu begitu saja.
“Jangan bodoh, Wojo! Dalam situasi genting ini, kenapa kau asal-asalan?!”
Wojo menghentikan langkah, tidak jadi memasuki mobilnya. Dia menatap ibunya yang menepuk-nepuk dada karena sesak melihat perlakuan dirinya.
“Aku tak peduli, Ibu! Yang penting aku menikah. Dia saja! Lihatlah, dia akan manis jika didandani!” Setelah berteriak, Wojo memasuki mobilnya. Dia melesat dengan kencang.
Arum mendengus. Mata cokelatnya seolah membara dan siap memuntahkan lahar panas. “Apa?!” lanjutnya berteriak. Arum bergegas ingin melangkah. Langkah itu terhenti. Dirinya tertahan jemari seseorang yang sudah mencengkeram lengan kanannya.
“Siapa namamu, Cah Ayu? Saya Nyai Niye Soewojo Ningrat. Panjang namanya. Panggil saja Nyai Niye. Kamu mau ke mana, Nduk?”
Arum masih terpaku. Dia tidak mengerti dengan kejadian mengejutkan hari ini. Tapi, sosok wanita di hadapannya sekarang ini sangat ramah. Jika mengabaikan, sama saja tidak sopan.
“Maafkan saya, Nyai. Nama saya, Arum. Dari tadi saya menunggu angkot. Saya mau pulang,” jawab Arum pelan. Sementara Nyai Niye masih saja mengamatinya dari atas sampai bawah.
“Ayu luar biasa. Ini memang pertanda baik. Untung saja aku mengikuti Wojo. Akhirnya menemukan calon istrinya,” gumam Nyai tersenyum.
Arum menggeleng keras. Tentu saja perkataan wanita di depannya barusan itu tidak masuk akal. Arum menarik napas, berusaha mengabaikan. Sebaiknya dia segera pulang dan melupakan kejadian ini.
“Maafkan saya, Nyai. Saya harus pulang,” ucap Arum dengan sedikit tersenyum. Lesung pipinya yang terlihat, membuat Nyai Niye semakin terpana.
“Ini luar biasa. Bahkan Mariati saja kalah ayu sama kamu,” katanya mendadak.
“Apa?” Arum kembali menggeleng keras. “Nyai, saya permisi,” imbuhnya bergegas melangkah. Arum ingin terbebas dari situasi ini.
“Tunggu!” Nyai mengarahkan tangannya, membuat beberapa pesuruh yang berdiri di sebelahnya menghadang Arum yang sontak melotot.
“Nyai, kenapa menghadangku?” tanya Arum sangat panik.
“Kau, sangat cocok untuk anakku, Wojo,” balas Nyai semakin tersenyum.
“Apa?”
Arum semakin tidak mengerti dengan situasi rumit yang terjadi. Dia bergemetar mendengar keinginan wanita yang sama sekali tidak dikenalnya.“Nyai, aku mohon. Aku hanya ingin pulang. Kita berpisah di sini saja.” Arum merasa lega. Nyai akhirnya mengarahkan tangan agar para pesuruh garang itu menyingkir dari hadapannya.“Aku mau mengantarmu. Ini sudah sangat malam. Tidak baik gadis perawan berjalan sendirian. Ayo, Nduk. Kita masuk ke dalam mobil. Jangan takut. Aku tidak akan menculikmu.”Arum diam beberapa saat. Apakah dia harus menerima tawaran itu? Sementara, memang sepertinya sudah tidak ada angkot yang akan lewat karena malam semakin larut. Arum perlahan menganggukkan kepalanya. Nyai Niye tersenyum, mengarahkan tangannya agar Arum masuk ke dalam mobil sedan mewah berwarna hitam miliknya.Di dalam mobil, kedua mata Arum masih saja mengedar. Dia terpana melihat mobil mewah yang dinaikinya. Pandangannya terhenti saat melihat Nyai Niy
Ciuman hangat semakin terasa. Bibir wanita tercantik yang sudah dinikmati semua pria itu, terasa hangat. Baru kali ini dia merasakan ciuman penuh rasa yang membasahi bibirnya. Ciuman dengan perasaan tulus. Sedikit lumatan lembut dari Pandu, semakin membuat Mawar mendesah.“Arum, aku sangat menginginkanmu,” desah Pandu pelan. Ciumannya semakin dalam. Pandu menatap wajah Mawar dengan tersenyum. Sang wanita tidak kuasa menahannya. Bibirnya terus bermain indah melayani Raden tertampan yang meluapkan bayangan cintanya.“Kekasihku. Berikan bibir merekahmu. Aku tak kuasa menahannya. Selama ini, aku selalu membayangkanmu. Ijinkan malam ini aku memilikimu.”Tengkuk leher Mawar semakin dicengkeraman jemari kuat Raden. Pandu sangat bahagia dengan bayangannya bersama Arum. Kegilaannya bagaikan kisah Majnun yang haus akan cinta dan hasrat untuk sang kekasih. Lidahnya semakin melesak masuk ke dalam. Bayangan sosok Arum sudah menghantuinya di tubuh Mawa
Arum hanya terdiam. Mulutnya tertutup rapat. Bagaimanapun juga, dia tidak bisa melarikan diri dari masalah ini. Saras hanya memandangnya. Hingga beberapa detik, dia meninggalkan kamar Arum. Dalam batinnya, Sarah mengetahui Arum memendam amarah.“Aku pastikan, kau perlahan akan mulai menerima dan menikmati kedudukanmu nanti, Arum,” batin Saras terus berlalu.“Sumpah sudah mulai terwujud. Apakah kekasihku Pandu memang akan kehilangan nyawa saat aku benar-benar menikahi lelaki itu?” Arum bangkit dari duduknya. Dia berjalan cepat mendekati jendela kamarnya.“Brak!” Dia membukanya dengan keras. Tangisan pecah dia keluarkan di sana. Suara jeritan yang melengking, telah bercampur di udara. “Argh! Pandu …”Sekar yang melihat kesedihan Arum dari jendela kamarnya, hanya bisa memandang pasrah keponakannya itu. “Arum, bertahanlah,” batinnya berselimut resah.***Yogyakarta, waktu tengah
Acara lamaran tidak terduga segera dilaksanakan. Keluarga besar Soewojo semakin tersenyum melihat sosok Arum yang akhirnya muncul.“Adakah keajaiban yang bisa membawaku pergi dari sini?” batin Arum menunduk dalam kesedihan.Ketakutan bercampur gemetar mengiringi langkah Arum. Sedikit polesan di wajahnya, semakin menambah kecantikan alaminya. Masih dengan menunduk, Arum duduk tepat di hadapan pria mapan berumur jauh lebih tua darinya. Namun, ketampanan masih saja terlihat di sana.Tubuhnya tegap. Kumis tipis semakin menambah aura kegagahan yang pasti membuat hawa terpana jika mendapat lirikannya. Umur yang sudah memasuki usia matang di atas tiga puluh tahun, semakin membuatnya terlihat menawan.“Sangat cantik mempesona. Lihatlah pilihanmu itu, Wojo. Ibu tidak menyangka kau bisa memilih gadis yang pas untuk menggantikan posisi Mariati.” Nyai Niye selalu saja tersenyum. Sementara, Wojo semakin tidak menyangka. Sindiran ibunya itu bena
Sabrina meremas secarik kertas berisikan kalimat romantis yang dituliskan Pandu untuk Arum. Dia semakin memendam amarahnya. “Aku tidak akan pernah membuat mereka bertemu di sana. Aku akan mencegahnya,” gumamnya masih dipenuhi amarah kecemburuan.Sabrina dari dulu sudah dijodohkan dengan sosok Pandu. Saat bersekolah, Sabrina selalu saja merasakan cemburu saat melihat Pandu bersama Arum. Saras saat itu cukup kaya saat suaminya masih hidup dan bekerja menjadi seorang dokter terkenal. Pandu selalu senang melihat Ayah Arum menolong semua orang yang sakit. Hingga dia menemui Romo dan mengatakan keinginannya untuk menjadi seorang dokter. Pandu sangat senang Romo menyambut cita-citanya dengan baik.Namun, sejak kematian Ayah Arum, Pandu semakin sedih melihat Arum harus berhenti dari sekolah. Sekolah hanya kalangan elit yang bisa masuk ke sana. Saras sudah tidak bisa membiayai Arum seorang diri. Apalagi Saras saat itu bekerja untuk Nyai Ani di rumah megahnya.
Pandu dengan tegas akan menerpa semua bahaya yang menghadang. Tidak peduli dinding sangat tinggi akan menghalanginya, rasa cinta semakin kuat untuk merobohkan semua itu. Pandu akan memupuskan tradisi turun temurun keluarga akibat kasta yang sama sekali tidak beralasan untuk memaksakan cinta.“Kau sudah mengibarkan bendera perang yang sangat kejam sahabatku,” ucap Ardi. Dia hanya menatap sahabatnya itu yang diselimuti cinta membara.“Aku tidak peduli semua panah akan menembus ke dalam jantungku. Aku akan berusaha mengakhiri peperangan ini,” balas Pandu dengan sedikit senyuman. “Berikan surat yang aku tuliskan itu, saat kau berhasil masuk menemuinya, Ardi. Itulah yang akan kita lakukan sebelum pernikahan itu berlangsung. Bukankah kau membawanya?” lanjut Pandu membuat Ardi terperanjat.“Surat? Aku akan mengambilnya,” balas Ardi. Dengan segera dia merogoh kantong jaketnya. Namun, tidak menemukannya. “Aku …
Nyai bangkit dari sujudnya. Dia terus mengetuk pintu rumah Wati.“Wati, aku mohon! Kau seorang ibu. Kau pasti akan melakukan hal yang sama jika berada di posisiku!” teriaknya keras tanpa henti.Wati yang berada di belakang pintu, terus berpikir. Wati tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam masalah Nyai. Dia tidak mau masa depan Sunarsih terancam. Bagaimanapun juga, kekuasaan Nyai bisa melakukan segalanya.Wati memutuskan untuk membuka pintu kembali. Nyai melebarkan kedua matanya, terus memohon agar Wati bisa membantunya.“Wati, kau seorang ibu sama seperti diriku. Bagaimana jika kau berada di posisiku? Wati … aku mohon.”“Masalahnya bisa selesai dengan cepat. Kau hanya merestui hubungan mereka, maka kau akan mendapatkan anakmu kembali. Bisakah kau melakukan itu?”Nyai terdiam saat Wati memberikan sarannya. Wati semakin memberikan pelototannya, menunggu jawaban Nyai yang tak kunjung terlontar dari mu
Hati Pandu bergetar. Dia hanya memandang sosok Wojo tanpa berucap, membuat calon suami Arum itu mengernyit. Ardi spontan menerima uluran tangan Wojo untuk berjabat tangan. “Tidak masalah. Kami juga bersalah berada di tengah jalanan.” Wojo masih mengamati Pandu yang terus memandangnya dengan serius. “Baiklah, semoga hari kalian bahagia,” balas Wojo kembali memasuki mobilnya dan berlalu. Ardi menarik Pandu untuk membawanya pergi dari sana. Mawar hanya diam, mengikuti kedua Raden itu dari belakang. “Apa kau sudah gila? Kenapa kau seperti itu? Pandu!” teriak Ardi keras. Pandu memegang kepalanya. Dia semakin frustasi. “Dia … dia calon suami Arum. Katakan! Bagaimana aku harus menghadapi lelaki yang akan mengambil kesucian wanita pujaanku?!” teriak Pandu. Para pejalan kaki yang melintas, spontan memandang mereka dengan berbisik. Mawar seketika itu menarik lengan Ardi dan mendekatinya. “Ardi, kau tahu sendiri Raden mengalami frustasi d