Share

MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA
MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA
Author: ananda zhia

Bab 1. Pertemuan Pertama

Sejuknya angin sore yang sepoi-sepoi tidak membuatku merasakan hal yang sama. Karena baru saja menghadapi kenyataan pahit bahwa cem-cemanku lebih memilih teman sekelasku.

"Apes banget sih. Deketin aku, tapi ternyata suka sama temenku! Huh!" rutukku sebal dengan menendang kaleng soda kosong sejauh-jauhnya.

Klontang..!

"Ngooookkk!"

"Ngooookkk!"

"Astaghfirullahal'adziim!" Aku terkejut saat menyadari kaleng yang kutendang mengenai sekawanan preman desa. Dan angsa-angsa itu tampak marah, bersuara riuh rendah memandangiku yang seolah tertangkap basah baru saja maling ayam.

"Ngoookk!"

Hewan berleher panjang berbulu putih itu mulai melotot ke arahku dan mengejarku tanpa ampun.

"Ya Allah! Tolong!" Aku berlari pontang panting saat sekawanan angsa mengejarku dengan ganas.

"Gimana sih doa mengusir Angsa?" Aku mencoba berpikir sambil berlari terengah-engah.

Tak kuhiraukan jilbab yang miring-miring di kepala. Semakin cepat aku berlari, rasanya hewan berbulu putih itu pun semakin cepat mengejar. Bahkan salah satu diantaranya sempat menyambar rokku yang berkibar-kibar membuat semangatku berlari semakin berkobar.

"Allahummabariklana fiimarozaqtana waqina 'adzaa bannar!" seruku cepat.

Tapi bukannya menjauh, preman kampung itu justru semakin gencar mengejar.

"Ya Allah, tolonglah hambaMu yang jomblo ini dan sering nyari jodoh di kolom komentar f******k orang!" aku berdoa dalam hati.

Aku berlari sambil mencari pertolongan. Tapi nihil, semua warga kampung pasti sedang salat asar di masjid.

"Hih, ini semua gara-gara Rangga sampai aku bolos salat di masjid dan dikejar angsa," runtukku lagi.

Aku melihat angsa itu mendekat. Dan saat aku melihat ada sebatang pohon mangga di halaman sebuah rumah, tanpa pikir panjang aku segera menaikinya.

"Hup..hup..hup!"

Aku memanjat pohon mangga itu dengan bersemangat. Cantik-cantik gini aku dulu mantan juara PPK alias Panjat Pinang Kampung.

"Duh, gini amat sih nasib. Baru saja digosting sama cem-ceman sekarang dikejar angsa, ya Allah," batinku sambil melihat ke bawah.

"Weekkk, weeekk!" Aku menjulurkan lidah pada para angsa yang sedang bernyanyi dibawah.

"Heh, kapok Lu. Layla dilawan!" tukasku seraya mengambil mangga mentah lalu melempari angsa itu dari atas.

Angsa-angsa itu mendongak seraya memandangku penuh dendam.

"Rasain. Nggak bisa nyosor aku kan Luh!"

Aku tertawa-tawa lalu tiba-tiba mataku tertumbuk pada sebuah mangga masak yang letaknya jauh di atas kepala.

Air liur tanpa terasa mengalir. Dengan refleks aku memanjat ke atas pohon yang lebih tinggi untuk mengambil harum manis itu.

Begitu terpegang oleh tangan, aku mengusap mangga dengan penuh cinta.

"Duh, kalau makan langsung entar dikira maling. Gak dimakan langsung kok menggoda imun."

Aku memandangi mangga itu dengan bingung.

"Ah, dimakan dulu deh, lagian kan rumah ini sudah lama kosong. Masak iya aku minta ijin makan mangga sama demitnya."

Aku mengupas kulit mangga dengan gigi. Lalu langsung menggigiti dagingnya dengan nikmat. Enak bener nih, makan mangga sambil nangkring langsung di dahan pohonnya.

Tiba-tiba, sesuatu terjatuh di tangan. Refleks aku meliriknya. "Aargghh! ulat bulu jahan*m!"

Aku mengibas-kibaskan tanganku dan tanpa sadar kakiku tak menginjak dahan dengan benar.

"Krosaaakk!"

Aku terjun bebas dari dahan pohon mangga dan memejamkan mata sambil membayangkan aku mendarat diatas kasur springbed.

Aaaaarghh.

"Mbak, awaaassss!"

Sekonyong-konyong sepasang tangan menangkapku saat jatuh.

Buugghhh!

"Astaghfirullah," aku mendengar suara bening di sebelahku.

Aku masih memejamkan mata. "Apa aku sudah meninggal dan sekarang digendong oleh malaikat? Tapi kenapa malaikatnya bisa beristighfar?"

"Ya Allah, Layla! Turun kamu, gak punya malu, menyamankan diri digendong Pak Dokter! Pak Dokter, turunkan saja Layla, Pak. Dia suka bercanda."

Aku terkejut.

Lah, kok suara bapak! Aku membuka mata. Dan alamak! Kok ada oppa Le min ho* sedang menggendong aku tadi bagaimana ceritanya!?

Aku terkejut dan senang. Sesaat aku seakan mendengar lagu India saat berpandangan dengan Om Minho. Tapi tak lama kemudian sebuah jeweran mampir di kuping.

"Mudun Nduk. Ojo ngelunjak!"

"Ampun, Pak." Aku bergegas turun dari tangan Om Minho eh siapa tadi namanya, pak dokter ding.

Aku melihat terpesona ke arah pak dokter yang langsung menundukkan kepala.

"Heh, Layla. Bisa bolong dahi pak dokter kalau kamu pandangi terus menerus!" seru bapak lagi.

"Eh iya Pak," tukasku lantas melipir dan memberi jalan pada bapak dan dokter ganteng itu. Om dokter itu menggandeng seorang bocah perempuan kecil yang menatapku dengan ekspresi penasaran.

Aku segera melambaikan tangan dan menunjukkan senyum manisku pada bocah itu.

"Lah, kok masuk rumah kosong itu," gumamku bingung. "Tapi siapa ya bocah itu? Masa sih om dokter sudah punya anak? Terus mana ya istrinya? Jangan-jangan duda."

Baru saja ingin menuntaskan rasa kepo dengan mengikuti bapak, tiba-tiba suara perempuan yang menurutku tercantik di dunia terdengar melengking, "Anak ini bukannya salat di masjid, malah main disini. Pulang dulu, rumahnya belum disapu!"

Aku menoleh dan melihat ibu yang masih mengenakan mukena berkacak pinggang di hadapanku.

"Hm, hilang kesempatan untuk menjadi eonni deh," gumamku lalu nyengir dan ngeloyor pulang ke rumah.

***

"Pak, jadi rumah di dekat sawah itu sudah ada penghuninya?" tanyaku hati-hati saat bapak sedang duduk di teras rumah.

Sepiring pisang goreng di atas meja, di samping tempat duduk bapak tampak menggoda. Tapi aku tidak akan tergoda oleh rayuan pisang goreng itu. Sebelum kabar tentang pak Dokter menjadi jelas, aku tidak akan memakannya. Tapi aku harus main jaim dalam menanyakan hal itu.

Jangan sampai bapak curiga kalau aku ada perasaan dengan pak Dokter. Bisa segera dinikahkan nih. Kan enak. Eh!

"Hm." Hanya itu jawaban bapak sambil mengotak-atik Hp.

"Pak, pelit banget sih jawabannya,"

"Sebentar, ini Bapak harus mengatur ulang jadwal perkenalan pak Dokter hari ini di balai desa. Tapi Bapak kesulitan mengirim pesan w******p," kata bapak.

Bapak memang baru saja dibelikan Hp baru oleh kakak perempuan ku yang bekerja di kota.

Mendengar nama pak Dokter, otakku langsung naik level jadi pentium 4.

"Biar Layla yang ngetik Pak," tukasku penuh percaya diri.

Bapak pun mengulurkan ponselnya padaku.

"Ayo tulis sesuai yang Bapak diktekan!"

"Siap!" tukasku cepat sambil membuka aplikasi w******p di ponsel bapak.

"Siapa nama dokter yang baru datang tadi, Pak?" tanyaku.

"Dokter Marzuki," jawab bapak singkat.

Aku segera mencari nama kontak dokter Marzuki dan dengan segera menemukannya. Radarku memang tidak pernah lemot dalam urusan jodoh. Eh!

"Jadi, apa yang harus Layla ketik Pak?" tanyaku. Bapak lalu mengatakan sederet kalimat dan aku segera mengetiknya di ponsel bapak.

[Assalamu'alaikum Dokter, bisa tidak melakukan perkenalan di hati ini?]

"Sudah Pak," aku mengembalikan ponsel bapak sambil tersenyum.

"Oke La, terimakasih."

Belum sempat aku mengangguk, tiba-tiba ponsel bapak berbunyi.

"Assalamualaikum, gimana pak Dokter?" tanya bapak setelah menekan loudspeaker.

"Wa'alaikumsalam. Maksudnya saya harus berkenalan dengan hati siapa ya Pak?" terdengar suara dokter Marzuki dari seberang.

"Lah, kok bisa hati? Maksud saya perkenalan di hari ini dengan para warga di balai desa," kata bapak memandangiku dengan wajah garang, membuat hatiku berdebar-debar dan waspada.

"Oh, hari ya. Soalnya di pesan w******p kok ditulisnya hati ini. Makanya, saya bingung hati siapa yang harus saya kenal?" tukas pak Dokter tertawa.

Wajah bapak memerah. Sementara aku bersiap menjinjing rok semata kakiku dan kabur keluar halaman.

Dan benar saja, setelah Bapak mengakhiri panggilan teleponnya, beliau langsung berdiri dan mengambil ancang-ancang untuk mengejarku yang telah menjauh dari teras rumah.

"Layla! Aneh-aneh saja kamu!" seru bapak sambil mengacungkan sapu lidi yang teronggok tak bersalah di pojok rumah ke arahku.

"Ampun Pak. Layla bercanda!"

Aku berlari menghindar dari ayunan sapu yang Bapak pegang sambil tertawa-tawa.

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status