Share

Bab 2. Kamu Juara Apa?

"Kamu itu enak saja bilang nggak sengaja. Pasti sengaja mau ngerjain orang tua, ya kan?" Bapak masih memegang erat gagang sapu sambil memandangku dengan rasa gemas.

Entah itu rasa gemas ingin mencubit, menjewer, atau menowelkan sapu ke betisku. Yang jelas, sekarang terpenting bagiku adalah lari menjauhi bapak.

Akhirnya, "Hap!" Bapak bisa menangkap lenganku.

"Ampun Pak, typo itu tadi!" Seruku pasrah saat bapak berhasil menangkap telingaku dan menariknya berulangkali seperti sebuah gagang pintu.

Huh, panas!

"Apa itu tipo, bapak ngertinya tipi," sahut bapak ketus

"Typo itu salah ketik, Pak. Layla nggak sengaja." Aku membela diri.

"Beneran salah ketik? Bukan sengaja ingin membuat Bapak malu pada pak Dokter?" tanya bapak sewot.

"Beneran Pak. Tadi bukan bermaksud untuk mempermalukan bapak, tapi memang permintaanku pada Om Minho, eh Pak Dokter!" Seruku sambil mencoba melepaskan telinga yang rasanya sudah seperti terkena jepit jemuran.

"Apa Nak? Anak masih ingusan sudah berani bermain cinta-cintaan? Tidak boleh! Belajar dulu yang rajin!"

"Nggeh Pak, ampun! Layla janji nggak bakal macam-macam kok. Layla cuma semacam aja," tukasku nyengir.

"Ada apa ini?" tanya ibu sambil membawa sepiring ikan gurame asam manis ke hadapan kami.

"Wah, alhamdulillah ya Allah, akhirnya Engkau memberi kesadaran pada ibu untuk meningkatkan status gizi hamba," seruku bahagia.

Saat tanganku terulur untuk mencolek pipi si gurami, tiba-tiba aku merasakan cubitan pedas tanpa manis mendarat di tangan.

"Aduh, apalagi ini? Tadi sudah dijewer, sekarang dicubit," protesku sambil menoleh ke arah ibu yang berkacak pinggang.

"Itu bukan buat kita, buat kita tuh masih di dapur," Ibu menunjuk ke arah kompor.

"Terus ini buat siapa?" tanyaku.

"Buat pak Dokter!" Sahut ibu pendek.

Tiba-tiba otakku terasa seperti diupgrade lagi.

"Bu, bagaimana kalau Layla yang jadi kurirnya?" tanyaku menawarkan diri.

Ibu memandangiku dengan mulut terbuka dan tak lama kemudian memegang keningku dengan telapak tangannya lalu memindahkan tangannya dari keningku ke ketiak ibu.

"Kamu habis kesambet apa, La?" tanya ibu bingung.

"Maksudnya?" tanyaku lebih bingung.

"Biasanya kan kamu paling alergi disuruh ibu ke warung buat beli garem atau terasi, apalagi kalau sudah di depan tivi atau pegang Hp, kok ini tiba-tiba menawarkan diri sih?" tanya ibu heran.

"Wah beda level itu Bu, kalau untuk beli garem atau terasi kan sudah biasa. Nah kalau ini untuk membeli cinta," sahutku nyengir.

"Ehem! Gak boleh. Kamu masih kelas tiga SMA gak boleh aneh-aneh. Fokus belajar aja. Biar diantar sama adik kamu." Bapak memandangku sewot.

"Lagipula pak Dokter itu sudah punya anak. Yang anak kecil perempuan usia 5 tahun itu anaknya dokter Marzuki, La. Bapak nggak bisa bayangin kalau kamu menjadi ibu sambung. Bisa ikutan pecicilan nanti anaknya pak Dokter," sahut Bapak lagi.

Sesaat aku tercengang. "Berarti kalau sudah punya anak, sudah punya istri juga?" tanyaku.

"Istrinya ... nggak ada!"

"Lho kok bisa?" tanya ibu dan aku berbarengan.

"Bisalah. Pak dokter sendiri yang cerita sama Bapak."

"Kemana istrinya, Pak? Kira-kira masih hidup atau sudah meninggal?" tanya Ibu lebih antusias daripada aku.

"Istri nya balikan sama mantan pacarnya saat anaknya usia dua tahun. Dan mulai dari saat itu dokter Marzuki belum bisa mencari pengganti nya."

"Mungkin trauma ya, Pak?" tanya Ibu dengan nada prihatin.

"Jelaslah. Lha ini tiba-tiba kok ada bocah tengil yang mau mendekati pak dokter. Kasihan nanti dokter Marzukinya kena sawan," sahut Bapak membuatku manyun.

"Ya Allah, Pak! Emangnya Layla ini demit! Layla ini manusia yang manis lho!" seruku tak mau kalah.

"Tunggu sebentar, Pak. Bapak sudah cerita banyak yang sama dokter Marzuki? Berarti bapak sudah tahu dong dokter Marzuki umur berapa?" tanya Ibu kepo.

"Umur tiga puluh tahun. Kenapa sih? Dari tadi ibu sama Layla kayak wartawan infotainment saja. Tahu nggak?" tanya Bapak sewot.

"Nah cocok itu. Nggak apa-apa selisih 12 tahun sama calon mantu Ibu. Kan kalau suami lebih tua bisa membimbing istri," sahut ibu terus membelaku.

Aku hanya senyum-senyum melihat lampu hijau dari ibu.

"Wes pokoknya enggak usah! Belajar, sekolah, kuliah, kerja, nabung. Baru bisa mikir cinta. Nggak usah nganter ikan-ikanan segala!"

'Yah, gagal deh untuk jadi kang kurir cinta,' batinku kecewa.

"Sebentar, sebentar! Ini maksudnya gimana? kan Layla cuma ingin nganter gurami saja, kok sampai dibilang aneh-aneh sih?" tanya ibu.

"Soalnya Layla naksir sama pak Dokter, Bu," jawab bapak. "Bocah belum tahu bedanya jahe sama lengkuas saja sok-sokan mau mencintai. Tuh, cintai saja bumbu dapur biar pinter masak," sahut bapak.

"Duh, bapak ember banget dah. Kenapa malah bilang ke ibu. Bisa-bisa aku mendapat jeweran gratis lagi."

"Walah Pak! Alhamdulillah, ayo dinikahkan saja kalau gitu, ibu pingin punya mantu sholih, ngganteng dan pekerjaan bagus. Cocok wes. Ayo disahkan saja! Ibu mendukung sepenuh hati, jantung dan ginjal," sahut ibu.

Aku melongo sambil tersenyum lebar.

"Akhirnya aku punya folower!"

"Lah, ibu ini gimana. Bukannya ibu dulu yang bercita-cita agar Layla setelah lulus SMA terus kuliah di kebidanan? Lalu nyari uang dulu setelah lulus kuliah? Kok ini malah disuruh nikah sih?" protes bapak.

Ibu tertawa. "Kalau anak kita nikah sama dokter, kan otomatis bisa langsung jadi bu dokter tanpa kuliah, Pak?" sahut ibu santai.

"Aduh ibu ini. Jangan bikin malu dong Bu. Masak Dokter Marzuki bisa naksir sama anak kita yang hobinya dikejar angsa dan manjat pohon sih. Bisa malu Bapak,"

"Bapak ini gimana sih. Kalau memang jodoh, ya buat apa malu. Sudah sana anterin guraminya pada dokter Marzuki!"

"Wah, siap laksanakan, Ndan!" sahutku bahagia.

"Sebentar, jangan pergi dulu. Kalau ada manusia beda jenis dan berdua-duaan, maka yang ketiganya adalah setan. Rama!" bapak berteriak memanggil adikku.

"Ya pak, ada apa?"

Rama keluar dari kamar sambil membenarkan kacamatanya yang melorot ke hidung.

"Temani kakak kamu mengantar gurami ke rumah Dokter Marzuki. Bisa?"

"Tentu saja bisa, Pak." Rama tersenyum.

"Pinter, pancen cah bagus. La, jangan kalah sama adik kamu. Masih kelas 3 SMP, tapi sudah hobi baca, patuh sama orangtua dan sering juara kelas."

"Lah, Layla juga juara kok Pak," tukasku sambil mencium tangan ibu dan mengambil ikan gurami yang sudah pindah tempat ke tupperwear lalu memberikannya pada adikku.

"Juara apa kamu, belajar aja jarang," sindir bapak.

"Juara manjat pohon mangga dan kali ini juara menaklukan hati dokter Marzuki," tukasku langsung berlari setelah mencium tangan bapak.

"Kabooor!"

"Oalah, bocah ayu tenan! Bapak doain ya kamu benar-benar jadi anak sholihah dan menjadi bidan yang baik dan benar!!"

Masih sempat kudengar ucapan bapak yang sepertinya bernada gemas padaku.

Aku berlari sekencang mungkin tanpa menunggu adikku yang masih tertinggal di belakang.

Aku melihat sepanjang jalan kenangan seperti penuh dengan mawar melati semuanya indah. Dan tiba-tiba terputar lagu India janam-janamnya Om Shah Rukh Khan dan Tante Kajol. Eaaakkk!!!

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status