Wajah Laila memucat. 'Duh, kenapa Bapak ada di depan pintu? Jangan-jangan bapak marah karena aku pulang terlalu malam? Padahal kan biasanya aku tidak pernah pulang semalam ini?' gumam Laila dalam hati. Laila merasakan jantungnya semakin berdebar lebih kencang. Saat berjalan dengan dokter Marzuki saja degup jantungnya sudah tidak karuan, sekarang dia harus menghadapi bapaknya yang tengah berdiri dengan wajah sangar. 'Duh, mana sih ibu dan Rama? Kan tadi ibu yang nitip martabak dan Rama nitip batagor. Kenapa nggak nunggu kedatanganku di luar rumah? Malah bapak yang lagi nungguin. Mana wajahnya serem. Duh!' Langkah Laila dan dokter Marzuki semakin dekat dengan pak Jaka."Assalamualaikum pak Jaka, maaf sekali kalau saya terlalu malam untuk mengantarkan Laila pulang." Dokter Marzuki mengulurkan tangannya ke arah Pak Jaka. Pak Jaka hanya tersenyum sedikit dan mengangguk. Pandangan nya melunak saat melihat Yasmin yang tengah tertidur. "Anak dokter sudah tidur rupanya. Apa anak saya mer
"Astaghfirullah, Juleha dan Ayu?! Apa maksudmu dengan mengatakan aku open BO?" tanya Laila meradang. Dia merengsek maju ke arah kedua teman SMAnya itu. "Apa yang akan kamu lakukan, hah?" tantang Juleha saat Laila mendekat ke arahnya dan Ayu. "Heh, dengerin baik-baik ya. Allah itu memberikan mulut dan lidah pada manusia untuk berdzikir dan menyebut nama Allah. Bukan malah memfitnah orang sana sini!""Ck, jangan sok suci, La! Kamu ngapain saja semalaman dengan dokter Marzuki? Semalam pasti habis digrepe-grepe sama dokter Marzuki kan? Sekarang jangan sok nasihatin kami deh!"Laila mendelik dan berkacak pinggang."Astaghfirullah, Ayu! Mulutmu itu nggak pernah sekolah? Lemes banget kalau ngomong! Daripada kalian memfitnah ku yang bukan-bukan, mending kalian instrospeksi deh. Kalian kan sudah lama gonta ganti pacar, coba hitung berapa kali kalian bersentuhan atau berciuman dengan pacar kalian? Jangan-jangan untuk menutupi pergaulan kalian yang di luar batas, kalian malah menuduhku melak
"Ayo semuanya duduk!" Instruksi Bu Tika tegas setelah dia lebih dulu duduk di kursi kebesaran nya. Laila dan ketiga temannya saling melirik. Keempat siswi itu masih ragu untuk duduk di depan bu Tika. "Lho, kok diam? Ayo duduk!" instruksi Bu Tika dengan suara mengintimidasi. Refleks, Laila dan ketiga temannya segera duduk dengan patuh. 'Duh, nasib gini amat sih? Selama tiga tahun tidak pernah masuk ke ruang BK, kenapa sekarang saat kelas tiga masuk BK. Kalau sampai bapak ibu tahu, bisa habis dua kali aku,' bisik hati Laila. "Jadi katakan, kenapa kalian berkelahi?" tanya Bu Tika dengan lembut tapi tegas dan menatap satu persatu wajah murid di hadapannya. Laila mengangkat wajah. Terkejut dengan pendengaran nya. Awalnya dia menyangka kalau salah mendengar karena suara Bu Tika berubah lembut, berbeda dengan saat ada di hadapan banyak siswa tadi. Pun berbeda dengan gosip yang beredar. "Itu Bu, Laila mengatai saya murahan karena saya pacaran dengan anak kuliahan. Jadi saya balas dong
Laila seketika melongo melihat penampilan dokter Marzuki yang sedang memakai baju koko warna putih. Aroma parfum dokter muda yang lembut tapi maskulin itu menggoda hidung Laila saat jarak diantara keduanya mendekat."Assalamualaikum, pak Jaka, mbak La, mas Rama," sapa dokter Marzuki. "Waalaikumsalam, dokter. Apa ada yang bisa saya bantu? Tapi nanti setelah salat Jumat ya?"Dokter Marzuki tersenyum pada ketiga orang yang berada di depan rumah itu, membuat jantung Laila terasa tidak aman. "Sebenarnya saya minta maaf. Semalam Yasmin dan mbak La sudah berjanji akan bermain layang-layang. Dan hari ini Yasmin menagih janjinya sampai rewel. Jadi ..,""Astaghfirullah! Dokter, saya lupa! Maaf. Ayo Dek, masuk ke dalam dulu. Nanti main layang-layang nya setelah orang-orang selesai salat Jumat ya?" sahut Laila memotong ucapan dokter Marzuki sambil menepuk jidatnya. Dia sungguh lupa dengan janjinya pada Yasmin. Tentu saja karena Laila sudah terlalu lelah setelah mendapat hukuman menyikat kamar
Yasmin menangis dengan keras. Merasakan sikunya yang panas dan perih. "Astaghfirullah!" pekik Laila terkejut. Gadis itu menghambur ke arah Yasmin yang sedang jatuh terjerembab di tengah lapangan. Tak dihiraukannya layang-layang yang sedang diterbangkan nya terlepas dari tangan. "Yasmin! Apa kamu nggak apa-apa, Dek?" tanya Laila dengan ekspresi wajah cemas. Dalam hatinya, Laila merasa takut jika dokter Marzuki marah karena Laila dianggap lalai menjaga anaknya. Laila membantu Yasmin duduk dari posisi tengkurap nya. Lalu dilihatnya lutut dan siku Yasmin yang berdarah. "Ya Allah, kamu terluka, Dek! Ayo kita pulang dulu!" seru Laila seraya menggendong Yasmin. "Tapi bagaimana dengan layang-layang nya? Layang-layang nya terbang kan? Kita nggak bisa main layang-layang lagi dong?" rengek Yasmin diantara isak tangisnya. Dia merasa lukanya begitu sakit. Tapi dia juga tidak mau kalau layang-layang nya lepas dan terbang menghilang. "Kamu harus diobati dulu. Baru kita bisa beli layang-layang
"Mbak La, apa mbak La mau menjadi mamanya Yasmin?" Laila menatap Yasmin tercengang. "Yasmin, mbak La ..,""Ehem, Laila, kamu sudah selesai mengobati Yasmin belum?" Mendadak terdengar suara pak Jaka dari arah kamarnya. "Eh, bapak. Laila masih belum selesai membersihkan lukanya Yasmin, belum diplester juga."Laila menunjuk ke arah lutut dan siku Yasmin yang masih memerah. "Kalau begitu kamu segera bersihkan dan plester lukanya lalu antar kan pulang pada papanya," instruksi pak Jaka. "Tapi Pak, mungkin Yasmin masih ingin bermain sama aku?""Ck, kamu itu sudah kelas tiga SMA, jangan main terus. Sekali lagi bapak bilang obati luka Yasmin dan antar dia pulang!""O-oke, Pak. Laila akan melakukan apa kata Bapak," sahut Laila. Dia lalu fokus membersihkan luka Yasmin. Sedangkan pak Jaka berlalu dari hadapan Laila dan Yasmin. "Kamu pernah nggak diobati sama papa pas terluka seperti ini?" tanya Laila pada Yasmin. Laila mengoleskan revanol di kapas, lalu membubuhkan nya perlahan di tubuh Yas
"Nggak usah repot-repot, Ma. Marzuki nggak mau kalau nanti Yasmin mempunyai ibu sambung yang jahat. Atau nanti istri baru Marzuki minggat sama mantannya. Big No, Ma!""Astaga, Marzuki! Hentikan trauma kamu itu! Nggak semua perempuan itu jahat. Ada kok perempuan yang santun, baik dan tanggung jawab."Hening sejenak. Anak beranak itu sibuk dengan pikiran masing-masing. "Marzuki, oke lah kalau kamu tidak mau menikah karena trauma kamu itu. Tapi menurut mama yang terpenting sekarang adalah kamu mendapat asisten rumah tangga untuk menemani Yasmin. Kasihan anak kamu kalau harus menemanimu kerja di puskesmas. Yasmin kan juga butuh teman saat di rumah. Kamu juga butuh orang yang bisa mencuci, menyetrika dan memasak untukmu kan?""Iya Ma. Tapi Marzuki belum mendapatkan asisten rumah tangga itu. Padahal Marzuki sudah memberikan mencari dan bertanya kesana kemari mencari asisten rumah tangga. Tapi belom ada yang mendaftar. Marzuki harus gimana dong?" Mamanya menghela nafas panjang. "Kalau b
"Oh, iya. Silakan masuk. Bawa saja kopernya ke dalam. Saya tunjukkan kamar untuk kamu," ujar Marzuki seraya melangkah lebih dulu ke dalam rumah. Inem mengikuti langkah Marzuki dan melihat sekeliling rumahnya. Pandangan lalu terantuk pada Yasmin yang juga menatapnya. "Maaf kalau lancang, tapi kata pemilik yayasan, dokter tinggal sendiri dengan anaknya tanpa istri ya?" tanya Inem hati-hati. Marzuki yang sedang berjalan di hadapan Inem berhenti, lalu menoleh sejenak pada asisten rumah tangga barunya itu. "Iya," sahut Marzuki pendek lalu melanjutkan langkahnya ke kamar terakhir yang paling dekat dengan dapur. "Ini kamar kamu. Silakan kamu simpan baju atau barang-barang kamu di sana. Lalu segera ke ruang tengah. Ada yang ingin saya bicarakan," ujar Marzuki. "Baik, Pak."Inem lalu memasuki kamar itu dan meletakkan barang-barang nya di sana. Setelah itu, dia lalu menuju ke ruang tengah sesuai dengan instruksi dari Marzuki.Marzuki yang sedang duduk di samping Yasmin menatap Inem yang d