Share

Pasangan Mantan yang Suka Ribut

"Aris! Ngapain?"

Tanyaku penasaran ada apa ia membangunkan ku tengah malam begini. Pekerjaanku baru di mulai esok pagi tapi mengapa ia datang jam segini. Apa ada tugas mendadak, batinku menerka.

Tak langsung menjawab, ia malah mendorong pintu agak keras.

"Buka! Aku mau  masuk!"

"Eh ...  eh, mau ngapain masuk! Tidak boleh!" jawabku cepat. Aku mulai takut dengan sikapnya.

Beberapa saat kami saling dorong, persis anak berumur lima tahun rebutan mainan. Tentu saja akhirnya aku yang kalah karena tenaganya lebih kuat. 

Aku terjengkang ke belakang, "ups, Aris!"

Teriakanku membuatnya berang. Matanya membulat seperti jengkol tua untuk gulai.

"Apa, sih, berisik!" gertaknya tak kalah kuat seolah tidak merasa bersalah sedikitpun melihatku tersungkur.

Kuusap pinggul kiri yang tadi membentur lantai, sakit. Aris sengaja melempar senyum mengejek mungkin senang melihatku meringis kesakitan, bahagia menyaksiakan diriku yang menderita seperti ini.

Kedua tangan ia simpul di depan dada bidang miliknya yang hanya di balut kaos dalam putih.

Ya ampun, pemandangan malam yang membuat mataku ternoda.

"Buka pintu saja lama!" ucapnya masih dengan nada la.

"Apa? Bukankah tugasku baru besok pagi di mulai, kenapa malam begini ... ,"  kalimatku sengaja di putus paksa dengan kode telunjuk yang ia tempelkan di bibir ranumnya.

"Tidak! Aku berubah pikiran, tugasmu akan di mulai malam ini!"

Gusti! Dia mau apa? 

Bayang-bayang horor melintasi fikiranku, aku takut dia berbuat nekat. Aku ... aku ... aku!

Tubuhku bergetar hebat.

Kedua telapak tangan kupakai untuk menutup muka, ngeri sekali membayangkan seandainya-seandainya.

"Bikinkan aku kopi, aku mau lembur!" perintahnya dengan gaya acuh.

Deg!

Bibirku membulat menyebut satu abjad, o.

Alhamdulillah, dalam hati aku bersyukur. Terlalu jauh rupanya tadi aku berimajinasi. Hhh.

Kubuka kembali penutup wajah dan melemparkan senyum lega untuknya, namun Aris tetaplah Aris. Keangkuhannya selalu menguasai hingga tatapan aneh yang ia balas untukku. Tak apalah, yang penting aku selamat.

Aku berdiri lagi dengan kepayahan, kuulurkan tangan ke ranjang untuk berpegangan. Aris melihatku dengan seksama, tak ada inisiatifnya untuk menolong. Hei, kamu manusia bukan, sih? Tidak ada empati sedikitpun!

"Apa harus aku, ada bibi, kan?"

"Aku maunya kamu! Asisten pribadi itu harus siap setiap saat!" tegasnya.

"Harus dua puluh empat jam?"

Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia malah mendelik. Sumpah Ris, ketampananmu itu sangat menolong. Kalau tidak, sudah kukunyah hidup-hidup dari tadi. 

Sengaja aku melangkah dengan meghentak, supaya dia tahu aku kesal. Apa iya, asisten pribadi harus begini? Dasar, Aris!

Awas! Akan kubalas nanti.

"Hei, bekerjalah dengan baik dan benar, Yuke! Kalau tidak mau kupotong gajimu nanti!" Ujarnya saat aku sudah beberapa langkah menuju dapur yang tadi jadi tempatku menghayal.

"Iya ... iya, berisik!" Sahutku tak kalah sengit. 

Oalah Aris, belum genap sehari semalam aku dirumahnya saja serasa sudah begitu tersiksa. Apalagi nanti. Aku membayangkan tugas  yang harus kujalani demi misi balas dendamku pada Bang Umar. Pasti akan jauh lebih merepotkan dari sekarang.

"Heh, di mana ia letakkan kopi?" 

Mataku kecarian, menyisir setiap rak bumbu dapur tapi tidak menemukan apapun.

"Aris!" 

Teriakanku membuatnya tergopoh-gopoh berlari menuju ke arahku. Haha ... rupanya bisa panik juga dia. Aku senang bukan main melihatnya cemas.

"Apa? Ada apa?" ucapnya gusar.

Aris memandangiku dari atas sampai bawah. Hah, asik sekali melihatnya panik seperti itu. Aura kegantengannya naik dua puluh kali lipat di bandingkan sebelumnya.

Ya ampun! Kok, ada sih, pria manis seperti ini. Dan lebih parahnya mulai hari ini aku harus terbiasa memandanginya, gratis! Hihihi.

Ya Allah, berdosakah aku?

"Woi"

Aris mengibaskan tangannya tepat di depan wajahku membuyarkan lamunan, tanpa sadar mulut ini menganga sedari tadi.

"Eh, apaan, sih! Singkirkan tanganmu!" tepisku kasar.

"Yuke! Ngapain tadi kamu teriak, hah? Bisa bangun semua orang  di rumah ini nanti!" Jawabnya kesal.

Ya ampun, Ris! Cemberutmu itu, lho!

"Eh, aku mencari kopi. Dimana?"

"Itu!" Aris menunjuk lemari cantik tepat di sebelah atas kompor. Lalu mengambilnya untukku.

"Ini, makanya di cari dulu, jangan teriak-teriak saja bisanya. Gunakan penglihatanmu dengan baik dan benar, mengerti!" sungutnya, sebelum ia berlalu membawa kejutekan tingkat sepuluhnya itu.

"Iya, tuan!" jawabku kesal.

****

"Nih!"

Kuletakkan secangkir kopi di atas meja tepat di samping laptopnya. Ia menyajikan senyum agak memaksa, heh, tumben. Tapi tidak mengapa, dari pada dia marah-marah bikin kepalaku mulas. Eh, pusing!

"Terimakasih, ya!" kataku menyindir.

Aris mendongak, menatapku kejam. Eh, apa aku salah?

"Mau kemana?" pertanyaan sadis tapi netranya kembali tertuju ke layar barang elektroniknya itu.

"Tidur, lah!" jawabku singkat.

"Apa aku menyuruhmu untuk tidur? Hemms!"

"Ya ampun, Ris! Apa lagi?"

"Duduk, temani aku disini sampai selesai!"

Gusti!

Gusti!

Gusti!

Katakan padaku, dari mana pria satu ini dulu terlahir, apakah di muntahkan dari batu belah? Aku memang butuh tempat tinggal, butuh uang tapi caranya yang seperti ini sungguh membuatku lama-lama bisa kena serangan jantung karena ia dengan sengaja selalu memancing emosiku.

"Kalau ngantuk tidurlah disitu saja!" sambungnya tanpa merubah ekspresi.

Terpaksa kuikuti kemauan bos baruku ini, sesekali kutarik kelopak mata yang suka meleleh sendiri. 

"Aku sudah siap, tidurlah di kamar." tanpa ba-bi-bu ia berlalu begitu saja tanpa menghiraukan aku yang sudah kepayahan untuk membuka mata.

Oh, baiklah. Akan kumulai mimpi indah di kamar mewah baruku. Selamat malam tuan Aris, desisku.

****

"Yuke! Buka!"

Ya ampun, masih jam  setengah lima pagi. Siapa yang menggedor-gedor pintu, mengganggu saja. Aku baru tidur dua jam malam ini, bahkan mimpiku barusan belum khatam, nanggung banget.

"Kenapa pintu tidak dikunci, hah?"

Tanya Aris yang tiba-tiba sudah berada dalam ruanganku. Aku yang super kaget dan belum sempat mengumpulkan nyawa secara utuh belingsutan. Entah seperti apa bentuk mukaku.

Kedua bola mata Aris seketika terbelalak seraya jari telunjuknya mengacung ke arahku,    "itu apa maksudnya? Sempurnakan kancing bajumu! Apa kamu sengaja mau mengodaku, hah? Sudah pintu tidak dikunci lagi!" ceramahnya pagi ini panjang lebar.

Dengan gugup aku meremas ujung atas bagian leher baju tidurku yang ternyata memang sedikit terbuka. Waduh, malu sekali aku.

"Mau kamu apa sih, Ris? Ngomel aja! Sana!"

Aku segera bangkit dan mendorongnya kelur dari kamar kemudian kututup dengan kencang pintu itu kembali, tak lupa aku menguncinya dengan teliti.

"Cepat mandi, siapkan dirimu dengan benar. Kita akan pergi!" suara Aris dari balik pintu memberi perintah.

Setengah jam waktu yang ia berikan, sangat cukup untukku. Tidak ada riasan menumpuk di wajahku yang apa adanya ini. Memang mau di rias pakai apa? Alat kosmetik tidak kumiliki satupun.

"Hai, Tante Yuke! Selamat pagi?" sambut Ema dengan wajahnya yang selalu ceria.

" Pagi juga, anak manis!" sahutku lembut tak kalah manis dari madu JT kemasan itu.

"Eh, hari ini kita mau pergi, lho, sama ayah Aris. Tante ikut, yah!" rayunya pintar sekali.

Aku hanya membalasnya dengan anggukan kecil dana senyum memaksa.

Tentu saja aku ikut, kemanapun ayah Aris-mu itu pergi. Bahkan aku ini adalah bayangannya mulai tadi malam, ucapku kesal dalam hati.

Sarapan pagi ini berjalan lancar, tidak ada keributan apalagi huru-hara antara aku dan Aris. Sedikit membuatku tenang.

Singkat cerita, akhirnya kami bertiga beserta satu orang sopir bribadi Aris sudah berada di dalam mobil hitam doff miliknya. Warnanya sesuai dengan pemiliknya, angker!

Aku dan Ema duduk di belakang, sedangkan Aris di depan di samping pak sopir yang belum aku ketahui namanya, nanti atau besok saja kenalannya. Sekarang belum terlalu penting.

Mobil terus melaju entah mau kemana, Ema asik memainkan gawainya. Anak muda jaman sekarang, memang begitu.

"Eh, Ayah! Kita mau kemana?" tanya Ema membuka percakapan, gaya bicaranya sedikit manja.

"Ikut saja kemana mobil ini membawamu!" tukasnya lembut.

Duh, Aris. Ternyata bisa juga kamu bicara seperti itu. 'Kan tambah luar biasa kalau begitu, gumamku.

"Kamu sedang membicarakan aku, Yuke?" tanyanya sadis membuatku gelagapan.

Hei, apa dia ini jin? Bisa mendengar suara hatiku? Wow!

"Siapa juga yang ngomongin kamu!" sahutku ketus.

"Aku tahu!" jawabnya singkat lebih sadis dari sebelumya.

"Ya ampun, Ayah, Tante! Dari kemarin ribut terus nggak selesai-selesai. Kalian ini kenapa, sih?" seru Ema menengahi, wajahnya penuh dengan keheranan.

"Tanya saja sama Tante barumu itu!" tukas Aris menyalahkanku.

"Hei, kenapa aku!" 

Tentu sangat tidak terima aku di bilang seperti itu, seolah-olah jadi kambing hitam. Bukannya dia yang selalu cari gara-gara denganku? 

Kupukul keras sandaran tempat duduknya dari belakang dengan kepalan tangan sampai ia terlonjak.

"Hei, Yuke! Kamu sudah gila apa? Aku bisa mati jantungan, hah!" teriak  Aris, kencang.

Aku merengut. Ema terbahak tapi kali ini lebih lepas, mungkin terlalu lucu baginya. Sementara pak sopir hanya senyum-senyum entah apa maknanya. Sedangkan Aris, tentu saja ia masih tetap manis walaupun sedikit manyun.

"Ya ampun, Ayah, Tante Yuke! Kalian ini lucu, deh. Cocok banget kalau jadi pasangan, saling-saling gitu. Ih, so sweet banget? Dari pada sama Tante Siska yang sok sosialita itu. Uh, males banget aku lihatnya, ups!"

Ema menghentikan kalimatnya dan menutup bibir mungil itu dengan dekapan telapak tangannya yang putih bersih. 

Aris dan aku spontan memandang gadis itu, tapi Aris berbeda. Bisa kubaca ada ancaman di balik sorot matanya yang tajam. Dan aku, tentu saja tanya besar yang ada dalam hatiku.

Siapakah Siska? Apa dia kekasih Aris?

Deg! Deg! Deg!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status