Share

Terpaksa Jadi Asisten Pribadi

"Mbak, biar saja Bibi nanti yang ngerjain itu," kata  Ema mengagetkan sekaligus membuyarkan hayalanku jadi orang kaya.

"Eh ... sudah siap, kok!" jawabku tergagap.

"Mbak sudah kenal ,ya, sama ayah Aris?"

Bola mataku membulat diiringi senyum licik.

Ah, andai saja anak ini tahu kisahku dulu bersama ayahnya yang menyebalkan itu pasti dia akan merasakan kejengkelan yang hakiki, sama seperti yang kurasakan saat ini.

"Eh, iya, Ema. Apa benar kamu anaknya Aris?"

Nekat kusampaikan pertanyaan ini, sedari tadi memang sangat mengganjal. Soalnya cepat sekali dia punya anak gadis sedang usianya cuma beda beberapa tahun saja dariku dan saat aku menikah sama Bang Umar dulu kayaknya dia juga belum berumah tangga, sungguh aneh.

Ema menatapku dan memberikan hadiah indah, yaitu senyum manis yang enggan pergi dari wajah imutnya.

"Sebenarnya, aku ini anaknya Abang ayah Aris. Tapi ayahku sudah tiada, makanya aku memanggilnya ayah, lagipula aku sekolah dekat sini. Jadinya tinggal disini sambil bantu-bantu mengurus rumah, soalnya ayah Aris kadang suka nggak pulang," terang gadis itu panjang kali lebar jadi luas.

"Jadi dia belum punya anak?" tanyaku lagi penasaran.

Gadis itu tergelak lirih, "punya anak dari mana, Tante? Nikah aja belum," sahutnya sambil tersipu.

"Ooh, begitu?" balasku tanda mengerti.

Gadis ini ramah sekali, sesaat kuingat dia anaknya abangnya Aris? Berarti anaknya  Bang Adi, ya. Dan dia sudah almarhum sekarang. Oh, kasih tak sampaiku. 

Mudah-mudahan surga tempatmu, bisikku berdoa.

"Eh, kalau begitu aku manggilnya Tante saja, ya. Masa sih, mbak. Kan, kurang etis, ya."

Aku hanya membalasnya dengan senyum seujung gunting, kecil plus runcing. Hhh!

Ya Allah, tawaran gadis ini membuatku merasa sudah uzur saja. Apa wajahku sebegitu tua sampai Ema berinisiatif memanggilku Tante?

Ah, tentu saja. Wajah ini belum pernah tersentuh produk skincare sama sekali setelah menikah. Bang Umar terlalu medit padaku, jangankan untuk perawatan tubuh, bisa selamat makan sepekan saja sudah sangat beruntung.

Aku kembali ke ruang tamu dan Ema pun kembali ke kamarnya, mungkin belajar atau apa aku juga tidak tahu.

Belum lagi duduk, Aris sudah mengintimidasiku dengan tatapan bengis khas mata elangnya.

Jelas saja aku mendengus kesal, cihh!

Kaki ini tiba-tiba terhenti sendiri.

"Kenapa berdiri disitu? Duduk!"

Tanpa  senyum ia menghardikku, meskipun aku tahu betul ia tidak sedang marah namun tetap saja hatiku terasa sakit. Kapan dia bisa bicara dengan kata-kata lembut, pantas saja dia belum menikah hingga kini. Wanita mana yang tahan sama ocehan sadisnya itu. Aku saja yang karena terpaksa dan itupun karena aku sudah kenal lahir batin sehingga kuat  menghadapinya.

"Kapan mau pulang?"

"Ris!"

Ya Allah, nangis darah hatiku mendengar pertanyaan itu. Sungguh kejam dirimu, Ris.

"Kenapa kaget? Tak mengapa kan, aku bertanya seperti itu?" tukasnya dingin tanpa senyum sedikitpun.

Duh Gusti!

Ini cobaan atau ujian untukku. Batinku meraung-raung tidak karuan. Ingin rasanya kukarungin saja pria satu ini lalu simpan dalam lemari. Oh!

"Ris, aku tidak punya tempat tinggal. Aku juga tidak punya siapapun, kamu tahu, kan?"

Mencoba sedikit memelas, barangkali bisa luluh sedikit saja batu es setinggi gunung Everest yang membeku di hatinya.

"Maksudmu mau tinggal disini, iya? Boleh, tapi ...."

Ia sengaja menyekat kalimatnya membuatku penasaran sambil terus memutar-mutar ponselnya dengan himpitan jari. Senyum culasnya terlihat jelas, pasti ada satu hal gila yang ia inginkan. Dasar curang!

"Tapi apa?"

"Tapi pakai syarat, dan itu berat. Sanggup?"

Pertanyaannya menambah beban jantungku semakin berat untuk berdetak. Kukira aku sudah tewas ternyata belum. Hhh!

"Syarat apa, Ris?"

Gusti Allah, kurendahkan hatiku demi tempat tinggal. Lindungi aku dari keegoisan manusia aneh satu ini, pintaku.

"Hhmm. Hahahaha ...."

Aris  terbahak seperti sedang mendapat kemenangan telak. Tangannya di tepuk-tepuk kan ke paha kekarnya itu.

Astaghfirullah!

Apa-apaan dia tertawa begitu, jantungku berubah arah. Sekarang berdentum kencang. Ya, Allah, mudah-mudahan pria ini tidak benar-benar gila.Jujur aku mulai ketakutan dan pikiranku kacau balau.

"Heh, stop. Katakan apa maumu?" tanyaku lantang menghentikan tawanya seketika.

Kembali ia menusuk mataku dengan tatapannya yang super tajam, setajam jarum pentul.

"Aku serius. Melihatmu ketakutan aku jadi terhibur, terimakasih." Tandasnya sepele.

What? 

Barusan dia bilang apa? Ya Tuhan! Ketakutannku dia anggap hiburan? Dasar aneh. Geram sekali aku, ingin rasanya menelannya secara utuh. Hhh!

"Aku butuh orang yang selalu ada untukku, bisa?" tawarnya serius.

"Maksudnya?" sahutku bingung.

"Emm, pekerjaanku banyak. Jadwalku juga padat. Aku butuh orang yang bisa mengurus semua keperluanku. Itu kalau sanggup?"

Sungguh, ini berat. Tapi demi tempat tinggal sementara akan ku coba terima tawaran itu.

"Maksudmu ja ...?"

"Asisten pribadi!" jawabnya singkat.

Kuremas-remas jemariku, asisten pribadi? Apa aku harus menyiapkan barang pribadinya juga?

Terbayang sudah di otakku, itu menjijikkan.

"Apa yang kamu pikirkan, Yuke? Menolak? Kamu tidak butuh tempat tinggal? Tidak butuh uang? Hemms?" tersenyum licik.

"Apa aku juga harus menyiapkan barang pribadimu juga? Uups!" 

Akhirnya terlontar juga pertanyaan bodoh itu. Tak sanggup rasanya aku mengangkat wajah, malu.

"Tentu saja!"  sahut  Aris singkat, padat berkhasiat. Eh, tepat maksudnya.

Aris benar-benar menikmati ketidak berdayaanku dan aku tidak punya pilihan. Tidak ada kesempatan untuk berfikir panjang saat ini. Ah, setidaknya aku punya gaji nanti. Bisalah untuk bergaya sedikit, memperbaiki penampilanku supaya Bang Umar tahu betapa cantiknya diriku nanti dan akan kupastikan  dia akan menyesal sampai jungkir balik. Hhh!

Bersiap-siaplah, Abang!

Aku akan berubah menjadi wanita paling cantik sejagad raya ini. Akan ku acak-acak rambut ikalnya itu biar nambah krebo.

"Hahaha ...," tawa girangku tidak tertahan lagi.

"Woii! Yuke! Masih waras kah kamu?"

Deg!

Gertakan Aris menyadarkanku dari hayalan tingkat tinggi. Astaghfirullah, Yuke!

"Tidur sana, besok pekerjaanmu di mulai. Itu kamar tamu!" perintah Aris.

Ia beringsut, meninggalkankan diriku yang masih linglung seperti orang amnesia. 

Oh, baiklah! Aku akan tidur.

Terimakasih, Ris, untuk kebaikanmu hari ini. Masalah besok kita lihat saja besok, itu tidak penting bagiku. 

Akhirnya, aku dapat kesempatan untuk tidur di ranjang nyaman. Oh, ternyata begini rasanya. Saking nyamannya aku sampai lupa cara untuk memejamkan mata padahal ingin cepat rasanya aku terlelap. Pasti mimpi indah akan datang untukku, namun bukan bersama Bang Umar. Cihh!

Aku tak Sudi!

Dokk! Dokk! Dokk!

Hei, siapa malam-malam begini mengetuk pintu kamar wanita, tidak sopan. Kututup aplikasi paling pintar sedunia berlogo huruf 'g', tadi aku sedang mencari tutorial cara tidur di kamar nyaman dengan baik dan benar supaya sesuai dengan tempatnya. Tapi gedoran pintu tak tahu adab itu memaksaku untuk menutup aplikasi itu untuk sementara.

Segera kulangkahkan kaki dengan penuh curiga menuju pintu dan membukanya sedikit, kukeluarkan separuh kepala mengintip siapa yang ada diluar.

"Aris? Ngapain?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status