"Sudah tanya abi dan Simbah?" tanyaku yang diangguki Nailah cepat."Hore ..., kita lets go!" Heboh Azmi dan Nailah ketika motor telah melaju. Sampai di tujuan, toko sudah terbuka. Pak Saleh menjadi orang kepercayaanku mengurus dan menjaga beserta semua isinya, kecuali bagian kasir hanya aku dan Reta yang boleh di area sana. Mungkin kalau darurat, lelaki kepala empat itu akan jadi pengganti. Toko diistirahatkan selama waktu salat. Semua pekerja diminta menunaikan kewajibannya sebagai hamba. Bukan sok agamais yang dikejar. Menjalankan perintah, itu yang kami mau biasakan."Ada yang nyari di luar, Bu!" ujar Pak Saleh dari luar bersamaan dengan suara ketukan pintu. Ah, bapak itu, sudah kuminta jangan panggil ibu, masih juga tak bisa berubah. Padahal umurku belum terlalu tua, dua puluh empat tahun tujuh bulan, jauh dibawa usia Pak Saleh. Terserah beliau sajalah, yang penting dia bahagia. Atas toko bangunan ini, sengaja direnov. Ada satu kamar pribadiku bersama anak-anak, satu kamar unt
Belum sempat memperbaiki posisi jantung, lelaki pencipta debar itu keluar dengan menggendong Azmi, sementara Nailah mengikutinya. Mata kami sempat bersirobok sejenak sebelum dia meletakkan Azmi di kursi dekatnya, lantas dia pun duduk. Sekarang kami berhadapan, terasa sangat canggung luar biasa, bahkan Reta sempat tersedak. Mungkinkah karena kehadiran lelaki pemilik wajah dan postur tubuh nyaris sempurna itu? Huft ... Sebenarnya tak ingin menerka-nerka, tapi keadaan memaksa melakukannya.Kami memulai makan tanpa bersuara, tepatnya aku pribadi tak ingin mengeluarkan suara, Reta pun ikut-ikutan melakukan hal sama, hanya Nailah dan Azmi yang terdengar heboh. Ah, aku benci suasana kaku begini, Reta terlihat lebih banyak menunduk dan sekali-kali mencuri pandang pada lelaki di seberang meja, padahal aslinya dialah pemimpin barisan kehebohan Nailah dan Azmi yang sebenarnya selama ini."Mbah hari ini ceritanya sukuran, karena Nailah dan abinya akan resmi menemani Simbah di sini." Mbah Halim
"Kok bisa, ya, anak ini mirip banget kamu?""Iyya, jadi heran, kok, persis amat.""Jangan-jangan anak ini hasil dari pembuangan sembaranganmu, Brow!""Cari informasi siapa tahu beneran ini anak lo!"Tubuh makin tak bisa bergerak mendengar berbagai komentar teman-teman Mas Rio. Persendianku seakan hilang fungsi, hanya mata dan pendengaran yang awas ke tempat berjarak sepuluh meter itu. Sementara dalam gendongan sang ayah, Azmi bereaksi gemes ketika orang-orang sekeliling menggoda, memegang pipi, dan bahkan ada yang menciumnya. Andai tahu lelaki pemicu emosi jiwa itu ada di sini, aku tidak bakalan pernah mau ikut sama Reta. Jadi niat awalku yang ingin ikut melihat-lihat, membeli juga satu unit bila tabungan terkumpul, akhirnya jadi ambyar total. "Namanya siapa anak guanteng?" Mas Rio memencet pelan hidung Azmi. "Azmi." Bocah itu menyingkirkan tangan Mas Rio lalu mengusap hidungnya yang mulai kemerahan. Sontak terdengar gelak tawa di sekitarnya. "Papa dan mamanya mana, Sayang?" tany
"Maaf! Bukan maksudku membentakmu. A-aku ...." Mas Gading menatapku lamat. Mungkin dia mengira aku tersinggung. Ini pertama kali dia bernada keras di depanku. Sekaligus pertama berbicara empat mata seperti sekarang. "Aku yang seharusnya meminta maaf, tlah lancang mencampuri ranah pribadimu. Ini kulakukan demi amanah, sekaligus punya alasan ke Mbak Amira telah menyampaikan permintaanya," jawabku jujur, sambil menangkupkan kedua tangan depan dada, tanda permohonan maaf. Kami terdiam, merasai pikiran masing-masing. Hanya celotehan Azmi yang terdengar menanggapi permainannya sendiri. "Kalau kamu tak ingin bersama dia lagi. Ijinkan aku menggantikannya." Deght! Refleks mataku memindai Mas Gading, mencari kebenaran dari ucapannya. Sepertinya dia tidak main-main. Jadi ungkapan yang pernah dia lontarkan? Bahwa dia cemburu bila aku memandang laki-laki lain, itu bukan canda? Perhatian? Sikapnya yang melindungi? Adalah eksplementasi isi hatinya? Terus, kerengganannya dengan Mbak Amira? Terseb
Jam dua belas siang kami sampai. Aku dan Reta memilih singgah di toko, sementara Mas Gading entah ke mana. Banyak yang harus kulakukan sekarang, terutama petunjuk toko ke Pak Saleh selepas keberangkatanku besok.Kepala kembali pening memikirkan semua yang terjadi. Pertemuan Azmi dengan ayahnya, pernyataan Mas Gading, dan kini harus tiba-tiba harus pulang segera.Sambil memijit kening, terlihat sosok Amira masuk di jam yang sama kemarin. Daftar masalahku bertambah lagi. Huft ...Meski enggan sekaligus tak enak hati, aku tetap menyambut wanita berpakaian modis itu. Pernyataan Mas Gading tadi, membuatku kehilanga kata sekaligus dililit bersalah untuk memulai percakapan dengannya. Ah, cinta itu memang aneh. Di saat ada seseorang mengharap, malah hati memilih yang lain. Mungkin itulah gambaran Mas Gading dan Amira. Namun, di waktu memantapkan satu hati, seeorang itu tak membuka hati. Mungkin aku dan Mas Rio di barisan ini."Kalau Mbak benar-benar ingin memilikinya, mulailah dengan berubah
"Ummi dan Azmi lama nggak di sana?" tanya Nailah yang duduk dekatku sambil bercanda dengan Azmi. Untung anak itu ikut, jadi kehebohannya bersama Azmi mengurangi kekakuan sekarang. Setidaknya itu yang kurasa. "Tergantung kesehatan nenek di sana, Sayang?""Kalau nenek lama sembuhnya? Jadi?" Gadis kecil itu mengerucutkan bibir. "Nailah? Kok gitu sih tanyanya?" Simbah yang duduk di depan menimpali. Sedang abinya tetap seperti biasa. Datar, dingin, dan no koment, apalagi like, share, dan suscribe. Aisht! "Nggak papa, sih, Mbah. Cuman gimana kalau Nailah rindu?" Gadis bermata bak barbie itu menunduk, ada mendung di balik wajah cantiknya. Azmi ikut-lkutan diam dan memandang Nailah. "Kan ada video call, Sayang," kataku menariknya naik di pangkuan paha kanan dan Azmi di sebelahnya. Mungkin seringnya bersama membuat kami saling merindukan. Simbah geleng-geleng, sementara abinya hanya melirik sejenak lewat kaca spion dalam, lalu kembali ke sifat aslinya. "Ummi janji setiap hari VC," ujarku
Waktu menunjuk angka sembilan malam, saat mobil memasuki kawasan rumah sakit yang telah disebutkan Rina, bersamaan panggilan telepon adik pertamaku itu mengalun. Akhirnya kabar yang kutunggu tiba."Bapak masuk ruang ICU, Mbak!" ujar Rina terisak. "Kami baru saja sampai." "Aku keluar kalau begitu." Rina menutup telepon sepihak. "Mas, jangan pergi sebelum Bulan kembali," ujarku sambil menangkupkan tangan ke depan dada tanda memohon. Azman menatap kakaknya minta persetujuan, sedang lelaki datar yang duduk depan kemudi itu terdiam sejenak lalu mengangguk.Dengan cepat aku membuka pintu ketika mobil telah terparkir. Aku bimbang antara menggendong Azmi atau tidak yang sementara terlelap."Biar aku yang antarkan Azmi masuk." Ini pertama kali lelaki dingin itu mengajakku bicara. Memang aneh, tapi tak apalah, kuikuti saja keinginannya. Baru saja keluar dari mobil dan memperbaiki posisi berdiri setelah duduk lama, dua sosok bayangan tergesa mendekat. Aku fikir Rina atau adikku yang lainnya
"M-maaf, Mas. Kirain Nailah." Tanganku refleks memutus sepihak sambungan telepon, rasanya ingin menutup wajah dengan panci karena malunya.Sambil menetralisir rasa grogi dan malu yang beraduk, gegas kaki menuju arah yang dimaksud. Samping kiri, kanan, dan belakang rumah sakit ini memiliki taman-taman minimalis. Selain mempercantik bangunan, juga berfungsi mengademkan mata, dan sekaligus obat terapi. Azmi dan Nailah yang main kejar-kejaran, langsung berlari mendekat setelah melihatku, sementara Rina, lelaki datar, dan Azman tampaknya bercerita serius. Ah, anak itu. Aku saja yang hampir seharian bersama mereka, hanya dua, tiga patah yang tersambung. Rina? Seperti sudah bertemu lama saja. Kuakui memang, adikku itu pandai bergaul, dinamis, dan supel. Sungguh berbanding terbalik dengan kakaknya yang introvert dan sedikit bicara. "Okey, kalau begitu. Kami pamit melanjutkan perjalanan," ucap Azman seraya berdiri, diikuti Abi Nailah bersamaan aku baru saja hendak bergabung. "Ingat, ya, Ma