"Aku mau ke rumah ibu. Kunci motor?" Tangan menengadah saat sampai di persimpangan jalan kemarin waktu dia memaksaku naik di mobilnya. Kami sengaja pulang pagi hari ini untuk menghindari panasnya cuaca
"Motormu dah nyampe di rumah sekarang. Sudah nggak ada, kan?" Mas Rio memelankan mobil saat melewati rumah yang dititipin motorku, lalu melaju setelah membunyikan klakson untuk si pemilik rumah."Ngapain, sih, kamu bertindak semau saja, Mas? Padahal aku sudah beritahu ke ibu." Suaraku pasti terdengar parau, karena memang sekarang aku sedang menahan sesak."Makanya .... Kalau mau berbuat sesuatu, rundingin dulu sama suami," ucapnya sok menasehati tanpa ekspresi bersalah sama sekali.Ya ... Allah, mengapa engkau mempertemukan aku dengan makhluk seperti ini? Bisa beneran gila aku dibuatnya kalau gini terus."Turunin aku di sini!" sentakku tiba-tiba geram. Ini efek terlalu menahan amarah berkepanjangan."Aku yang ngatur di sini. Bukan kamu," ucapnya santai sambil fokus menyetir. Sepertinya dia nggak takut sama sekali dengan ancamanku."Percuma kamu berusaha. Pintunya sudah aku kunci otomatis," ucapnya lagi sama, saat aku berusaha membuka pintu mobil."Aku doain kamu menderita selamannya. Dasar suami dzolim!" Aku melangkahi kursi menuju kelas tengah sambil bersungut. Jengkel, amarah, benci, dan kelemahan berbaur jadi satu saat mengucap kalimat itu. Rasa yang membuncah ini betul-betul kuikhlaskan saat mendoakannya.Ah, begitu sulit menjaga akhlak dan hati saat nafsu amarah menguasai. Sungguh diri ini termasuk orang-orang yang merugi. Astagfirullah ....**Entah berapa lama berlalu, saat keributan kecil mengembalikan kesadaran. Rupanya sudah sampai di rumah.Kenapa dua sejoli itu bertengkar? Apa tidak malu dilihat orang? Kan harusnya dalam rumah menyelesaikan masalah? Bukan di halaman begini? Ah, sudahlah ... bukan urusanku.Setelah menurunkan kue-kue dan makanan yang dibungkusin sama mama tadi serta memasukkan di kulkas, kaki pun menuju peraduan. Banyak yang harus kufikirkan terutama tentang kepindahan.Prang ..Terdengar suara pecahan di lantai bersamaan dengan semakin sengitnya pertengkaran di luar. Mungkinkah aku yang menjadi sumber permasalahan Romeo dan Juliet itu? Ah, biarin aja. Yang penting tak merugikan diriku."Bulan ...!"Terdengar teriakan Mas Rio bersamaan dengan ketukan pintu di kamarku. Nadanya kali ini tak meninggi seperti biasa, malah seperti ringisan. Lantas suara gaduh pun seakan telah lenyap.Buka, tidak, buka, tidak. Buka aja, lah. Toh, andai mereka menyerangku dengan kata-kata seperti kemarin. Kan, tinggal angkat kaki saja. Barang-barangku telah ready tuk diangkut."Allahu Akbar ... Darah? Kenapa bisa sampai segini Ya Rabbi ...?"Cepat aku berlari mengambil kotak di penyimpanan. Tak kuhiraukan lagi pecahan kaca yang berserakan di lantai. Entah benda apa yang jadi korban amuk sasaran dua sejoli bertengkar hebat tadi."Cowok, kok, manja." Kalimatku tanpa iba, melihat Mas Rio meringis, saat membersihkan luka di pelipisnya.Sebenarnya, sih, tidak terlalu parah. Karena di bagian pelipis, jadi banyak darah yang keluar."Siapa bilang nggak sakit? Coba kamu!" E, e, ditolong malah ngajak berantem. Benar-benar membuat emosi jiwa."Siapa juga bilang gitu. Aku hanya bilang, jangan manja," jawabku mulai tersulut, tanpa sengaja menekan kapas di lukanya."Aduh," ringisnya lagi sambil menjauhkan kepalanya. Spontan aku merasa bersalah."So-sory," ujarku sambil tangan terus bergerak.Setelah selesai menutup kasa dan perekat, kini aku beralih ke pecahan yang tercecer tadi.Kemana juga Marta? Bukannya ini ulahnya?Benar-benar tak bertanggung jawab. Suami yang mencintainya setengah mati, malah dia tinggalkan begitu saja saat benar-benar membutuhkannya."Jadi ini sumber perang kalian?" tanyaku ke Mas Rio yang masih membersihkan ceceran darah di bagian tubuh lainnya.Pria itu melihat sekilas kertas yang kupegang tanpa memberi komentar. Aneh! Bisa-bisanya membawa poto pernikahan kami yang terbingkai kaca.Jelas aja istri tersayangnya tersinggung, dan ngamuk. Untung nggak bunuh diri.Eit! Jangan-jangan Marta tak ada di rumah karena pergi bunuh diri dengan cantik di tempat keramaian agar cepat viral? Jangan sampai Ya, Allah ....Setelah merasa tak ada lagi beling tersisa, aku membawa kertas tersebut ke dapur. Ini harus dibakar! Ngapain juga pria egois itu membawa kemari? Padahal benda ini sudah aman di dinding kamarnya di kampung."Jangan! Jangan!" Mas Rio muncul merampas kertas itu dari tanganku saat kompor sudah menyala."Buat apa kamu bawa foto itu kemari?" tanyaku menautkan alis dengan tatap penuh selidik. "Jangan-jangan kamu sudah jatuh cinta sama aku, ya?!" ujarku lagi memindai wajahnya dengan netra."Si-siapa bilang?" ujarnya seketika gagap."Sikapmu barusan yang bilang.""A-aku hanya mau menggantungnya di dinding. Antisipasi kalau tiba-tiba mama, papa, atau siapa saja yang datang berkunjung," jawabnya semakin gagap, lantas menarik lengan yang memegang foto itu ke bagian belakang pinggannya."Oh, ya?! Tapi sayang, hanya gambar itu saja yang akan mereka temua bila kemari, karena orangnya akan pindah dekat-dekat ini.""Tidak boleh! Aku nggak akan beri izin," sanggah Mas Rio cepat, dia menatapku tajam."Kenapa? Takut rahasiamu terbongkar? Atau takut nggak ada yang masakin kamu di rumah? Jangan egois, Mas!" Suaraku mulai serak. selalu begitu bila membayangkan masih di rumah ini dan menyaksikan kemesraan mereka."Pokoknya, tidak boleh, titik!" Lagi, Mas Rio berucap dengan nada penuh penekanan sambil membulatkan mata ke arahku. Benar-benar laki-laki arogan, aturannya terlalu banyak tapi sama sekali tak bisa dicontoh prilakunya."Ah, percuma bicara dengan lelaki egois seperti kamu," ucapku berlalu dengan cebikan bibir. Rasanya ingin mencakar-cakar wajah lelaki egois itu, atau membubuhkan sianida di piringnya saat membuatkannya makanan. Astagfirullah ... Masih waraskah aku?Ah, sungguh menjalani rumah tangga ajaib ini, membuat tensiku naik melebihi rata-rata. Bisa saja wajahku akan terlihat boros bila keadaan ini berlangsung lama.***Setelah melaksanakan salat Asar, ingatan tentang makanan dan kue yang dibawa dari kampung tadi pagi menuntun kaki ke dapur.Saat melewati ruang keluarga, tampak dua sejoli itu serius menyaksikan layar TV, lalu sekali-kali tertawa. Marta berbaring di sofa dan menggunakan paha Mas Rio sebagai bantal, sedang lelaki itu menyandarkan punggung di sandaran sofa. Mereka hanya melirikku sekilas dan kembali fokus ke TV. Pasangan aneh, baru saja bertengkar sampai berdarah-darah, tak cukup tiga jam, sudah terlupa. Bucin bin kuadrat, aku rasa itulah kalimat pas buat mereka.Biar sajalah! Setidak mengetahui mereka bergerak, berarti pelipis Mas Rio tak apa, pun Marta tidak bunuh diri seperti prasangka burukku tadi.Tentang sikap tak peduli mereka ke aku? Sepertinya diri akan membiasakan dianggap setan karena menjadi yang ketiga.Kupercepat pergerakan, mengambil yang kubutuhkan dan masuk kembali ke kamar. Entah kenapa sekarang ada yang tiba-tiba berdenyut di balik dada melihat adegan mesra mereka.Ada
Sontak teman-teman pada sibuk membully. Walau Mas Rio bersikap begitu, tapi hatiku tidak baik-baik saja. Intinya curiga!"Cie, cie, pengantin baru." Reta bertindak pimpinan pembully mulai melancarkan aksinya."Jadi baper, nih.""Mau juga nikah secepatnya.""Pesanan Si Bulan, ma, buat aku aja. Toh, dia bentar lagi makan daging mentah dan segar, eh."Ck! Bullyan mereka sukses membuatku merona. Namun, segera tersadar, bahwa ini hanya acting sementara. Tak apalah, Itu lebih baik, daripada lelaki yang konon bergelar suamiku ini, mempertontonkan kemesraan dengan istri keduanya di depan teman-temanku. Aku manut saja, selain tak ingin me-live-kan perdebatan gratis, pun ingin menunjukkan rumah tangga yang SAMAWA. Munafik memang.Sebelum mengikuti keinginan lelaki ajaib itu, terlebih dahulu meraih ransel di kursi dan berpamitan pada teman-teman. Kedipan mata dan senyum cengegesan mereka, melepas kepergianku. Aisht!Aku melipat dahi setelah menyadari Marta ada di mobil Mas Rio. Pertengkaran heba
"Sudahlah, Mas. Tidak usah terlalu banyak ka~"Belum sampai kalimatku, tubuh kami begitu saja berhadapan dan wajah memesona itu memangkas jarak. Awalnya hati menolak. Namun, perlakuannya yang lembut membuat tubuh menghianati hati. Mungkinkah aku telah jatuh lebih dalam ke jeratnya? Mungkinkah ketidak sukaanku melihat bersama istri terkasihnya adalah cemburu karena cinta? Siapapun itu, tolong sadarkan aku dari kebodohan yang hakiki. Gubrak.Suara pintu ditendang kasar, membuat aku dan Mas Rio berbalik bersamaan."Bukannya kamu berjanji, hanya sekali saja mendatangi dia?" Marta muncul dengan dada naik-turun menahan emosi, tatapnya nanar ke Mas Rio, lalu telunjuknya ke arahku.Gegas lelaki beristri dua itu, menarik Marta keluar. "Awas kau pagar makan tanaman! Perebut pacar orang!" umpat Marta sebelum benar-benar menghilang dari pintu. Tungkai serasa melemas menyaksikan dan mendengar suara teriakan histeris dan barang pecah dibanting. Lingkungan sekitar masa kanak-kanakku yang ramah, tak
Andai rejekiku sudah habis diturunkan dari langit, tentu amalanku juga akan tertutup untuk menaikkan ke sana. Itu pertanda, namaku tinggal kenangan di pahatan batu nisan. -----Motor berhenti di masjid, tak jauh dari lorong masuk ke kampung halamanku. Rumah ibadah ini memang paling sering kusinggahi ketika masih kuliah dulu, sampai marbotnya sudah mengenalku. Aku mengambil wudu sebelum masuk, dan langsung melaksanakan dua rakaat. Meski jauh dari kriteria wanita solihah, diri berusaha menjalankan sunnah sebagai pengganti ibadah wajib yang tertinggal. Ya, beginilan caraku mengharap ketenangan. Apalagi dalam masalah yang besar menekan jantung seperti sekarang. Andai tak ada setitik iman di dalam dada, mungkin aku sudah mencari jembatan untuk melompat ke bawah, mengakhiri segala derita, atau minum obat terlarang untuk mengosongkan pikiran. Astagfirullah hal adzim. Jangan sampai Ya, Allah. Selesai mendirikan rakaat, badan kusandarkan di tiang msjid sambil memegang ponsel. Siapa tahu a
Dalam perjalanan, tak ada pembicaraan yang menjurus antara aku dan Reta tentang masalahku, begitupun setelah salat berjamah qashar di mushalah yang disediakan. Mungkin dia menunggu kesiapan dan ketenanganku.Reta terkadang mengajak melucu atau menggoda tukang jajanan di kapal, hingga membuat aku dan penumpang lain ikut tertawa. Anak itu memang supel, energik, lincah, dan berjilbab modis. Sungguh berbanding terbalik denganku yang pendiam, introvert, dan berbusana longgar dengan jilbab lebar. Mungkin itu juga salah satu alasan Mas Rio jauh lebih memilih Marta daripada aku. Ah, mengingat sejoli tak bernurani itu, menciptakan pergolakan di dadaku. Kapal Feri bersandar setelah kurang enam jam melewati lautan. Hari telah gelap, jam menunjuk delapan malam. Setelah beristirahat dan makan sejenak, kami melanjutkan perjalanan dengan mengendarai mobil khusus penumpang. Jam sebelas tiga puluh, kami berpindah mobil lagi. Kali ini Reta berdebat dengan sopirnya."Kenapa nggak sekalian aja nyampe, b
"Di dalam kulkas banyak sayur dan makanan lainnya. Kamu masak itu juga," ujarnya membuyarkanku dari terpakuan, "Oo, ya, saya Gading, kakaknya Reta," katanya mengulurkan tangan, aku spontan bernafas lega. "S-saya Bulan, Mas," jawabku gagap efek salah sangka, pun tetap kutangkupkan tangan depan dada sebagai tanda penghormatan. Dia menarik lengannya kemudian berlalu dengan senyum samar di bibirnya.Setelah masakan jadi aku membangunkan Reta yang masih tidur-tiduran tanpa melepas mukena. "Makan, yuk!" Matanya langsung membulat mendengar kata makanan. "Yes!" serunya spontan bangkit. Aku menggeleng melihat polahnya. Anak ini, untung badannya tidak gemuk. Baru saja hendak menghempaskan bokong di kursi makan, Reta berlari saat mendengar suara mesin mobil menyalah, pun aku mengikutinya mengira ada kejadian. "Makasih yah, Bang! Lope-lope buat yu," katanya setelah meraih sebuah kunci dan beberapa lembar uang merah dari Mas Gading. Lelaki berpakaian dinas itu tersenyum masam, lalu mengangguk k
Dua pekan kemudian toko di samping 'Reta's Shoes" terpampang nama 'Pare Bangunan.' isinya berbagai macam alat-alat bangunan. Tehel, palfon, seng, wastafel, de el.el. terlalu banyak kalau disebutin, datang saja sendiri lihat, tokonya di jalan trans, pinggir jalan umum. Pengadaan barang bangunan ini tidak terlalu rumit. Namaku yang sudah dikenal di pusat pengambilan barang, sangat memudahkan. Apalagi aku pake nama toko keluarga di Parepare, jadi kesannya seperti cabang. Hanya harga yang naik sedikit karena jarak pengiriman. Cukup modal kepercayaan saja, setiap bulan tak boleh telat transfer walau cuma sehari. Nikmat mana yang aku dustakan? Semua usaha kami tempuh dalam Jangka lima bulan untuk mengiklankan toko, bukan kaleng-kaleng. Mempromosikan lewat FB, tiktok, intagram, koran, ke pasar-pasar, semua instansi, memasang baliho dari berbagai ukuran sepanjang jalan kenangan. Tim kampaye pemiliihan anggota dewan, kalah oleh kami. Semua pengendara yang melewati toko dapat kertas promosi.
Hening ....Hanya suara isakan aku dan Reta terdengar. Pelan Mas Gading duduk melantai dekat dinding, sama tempatku bersandar. Dia menatapku dari jarak dua meter. "Semua orang ada masalahnya, Bulan. Tapi menyelesaikan persoalan dengan mengakhiri hidup tidak benar. Apa bedanya kita dengan orang kafir? Hanya siksa abadi di neraka yang kita dapat setelahnya. Sungguh merugilah dengan amal ibadah selama ini." Kalimat lelaki enam tahun di atasku itu, sukses membuat badanku berguncang hebat. "Banyak orang di luaran sana menginginkan anak, sampai operasi dengan mengeluarkan dana ratusan juta. Karena itu harta termahal di dunia. Kenapa kamu menolaknya? Tak sedikit orang yang bisa melahirkan, mendidik, dan menghidupi darah daging mereka dengan status orang tua tunggal. Kenapa kamu malah down begini? Jangan membiarkan sakit hati, membuatmu menyesal seumur hidup. Pikirkan orang tua, saudara-saudara, Reta, bahkan aku yang menyangimu."Mas Gading menatapku kian teduh. Lalu merangkai senyuman da