Share

HAMPA

“Dalam kamus hidupku, ndak ada yang namanya perjodohan. Aku orang yang bebas menentukan pilihan dalam menjalani kehidupan. Aku mau menikah denganmu itu karena ibu. Jadi, hingga saat ini aku ndak mencintaimu. Mungkin lebih tepatnya belum mencintaimu.” Kalimat itu yang pernah Hendra lontarkan di saat awal pernikahannya dengan Lita.

Semenjak itu Hendra dan Lita menjalani kehidupan berumah tangganya secara senyap. Tak ada tegur sapa. Tak ada saling bicara. Walaupun mereka tinggal dalam satu kamar. Mereka hanya saling bertukar senyum, saat berada di luar kamar. Di depan kedua orang tua mereka. Bahkan saat di pesta pernikahan, di situlah mereka akan memerankan sandiwaranya. Namun setelahnya, perang dingin bermula lagi bila berada kembali di kamar.

Bila melihat keserasiannya, semua wanita pasti akan iri. Ingin seperti Lita yang mempunyai suami bertubuh atletis, kulit bersih, hidung bangir dan berwajah bersih. Menunjukkan bahwa ia memiliki keturunan darah biru. Sebuah keturunan bangsawan yang kaya raya. Memiliki perkebunan kopi yang luas, warisan dari nenek moyangnya. Hingga hartanya tumpah ruah, tak habis dimakan hingga tujuh turunan.

Namun mereka tak pernah tahu, sudah berapa banyak air mata yang Lita tumpahkan. Mereka pun tak pernah tahu sudah berapa kali dia ingin pergi meninggalkan pernikahannya, tapi dia sudah terlanjur mencintai bapak dan ibu mertuanya. Kasih sayang mereka sudah seperti kasih sayang kedua orang tuanya sendiri. Terutama ibu mertua.

Perkebunan kopi pun mereka serahkan kepada Lita sebagai penerus tunggal untuk mengurusnya. Karena Hendara, tak begitu peduli dengan perkebunan yang turun temurun ini. Dia lebih memilih untuk mengurus dunia fotografinya yang tak disukai oleh Pak Wiryo, bapaknya. Karena menurutnya dunia itu sama sekali tak menunjang usaha perkebunan yang sudah mandarah daging.

Hendra melihat Lita sedang bercengkrama dengan ibunya di ruang tengah. Sesekali terdengar gelak tawa mereka yang saling bersahutan. Ia tak peduli apa saja yang tengah mereka bahas. Dia langsung saja ngeloyor masuk ke kamar dan meletakkan tas di atas nakas.

Semula Hendra berniat membuka baju. Namun baru saja melepas kancing-kancingnya, gawai yang berada di kantong bajunya berdering.

Segera dia merogoh dan menemukan benda itu. “Piye (bagaimana), Tris? Maya sudah bisa dihubungi apa belum?” tanya Hendra kepada Trisno yang berada di ujung telpon. Salah satu teamnya dalam pengerjaan fotografi di salah satu daerah yang terkenal pemandangannya yang indah dan eksotik di Labuhanbajo.

Dereng (belum), Mas. Mbak Maya masih susah di hubungi. Untuk sementara gimana kalau kita paka Rose saja dulu. Soalnya dia kan juga tadinya asistennya mbak Maya, jadi paling tidak dia tahu tehnik untuk mengaplikasikan gambar-gambar yang kita ambil nanti,” jelas Trisno.

“Kamu atur saja. Yang penting dia sanggup mengerjakan secara detil dan bisa diajak kerjasama seperti Maya,” ucap Hendra menyetujui usulan Trisno.

Mboten (tidak) usah khawatir. Dijamin, Mas,” jawab Trisno meyakinkan Hendra.

“Ya, sudah kalau begitu. Jaga kesehatan. Jangan lupa istirahat dan makan.” Hendra mengingatkan setelah itu dia menutup telpon dan meletakkan benda pipih itu di atas nakas.

Hendra membuka tasnya dan mengambil laptop. Lalu menyalakan dan memangkunya di atas sofa.

Beberapa menit kemudian Lita menyusul masuk dengan membawa segelas air hangat. “Airnya, Mas,” beri tahu Lita.

“Hem,” jawab Hendra singkat tanpa melihat. Lelaki itu masih saja memerhatikan layar laptopnya dengan serius.

Lita meletakkan gelas yang berisi air putih hangat itu di atas nakas. Kemudian bergegas menyiapkan baju gantinya dan meletakkan di atas ranjang, lalu beranjak ke kamar mandi menyiapkan handuk bersih dan mengatur air hangat yang akan di gunakan Hendra. Namun lelaki itu bergeming. Tak sepatah kata pun yang terlontar dari mulutnya.

Lita duduk di dekat jendela sambil membaca buku novelnya yang baru saja dia beli di sebuah toko buku. Sambil menikmati cakrawala yang dihiasi bulan purnama. Tampak begitu cantik. Namun, tak secantik nasib Lita semenjak menjadi istri Hendra.

Sesaat kemudian Hendra berdiri. Dia meletakkan laptopnya di atas sofa dalam kondisi masih menyala. Meneguk air putih yang telah dibawakan Lita hingga habis. Rasa gerah membuatnya ingin segera membersihkan diri, supaya segar dan bisa kembali menekuri pekerjaannya yang tertunda.

Lelaki itu masuk ke kamar mandi dan mulai melakukan ritualnya. Air hangat yang telah diatur Lita mengalir melalui shower, membuatnya sedikit terlena dan menikmati setiap kucurannya yang membasuh seluruh tubuh hingga ke bagian sela-selanya.

Setelah ritual itu selesai, Hendra pun keluar dengan membebatkan handuk di pinggang. Rambutnya yang gondrong dan basah, menunjukkan auran ketampanannya semakin terpancar. Membuat wanita mana saja yang melihatnya terkesimak. Hingga tak sanggup berkedip.

Hendra menyambar pakaian yang ada di atas tempat tidur. Seperti yang sudah-sudah dia lakukan, tak ada rasa sungkan sedikit pun lelaki itu membuka handuknya begitu saja. Lalu, mengenakan bajunya di depan Lita yang sudah terbenam di balik selimut. Seolah-olah tak ada seorang pun di dalam kamar kecuali dirinya.

Semula, dia akan kembali ke sofanya untuk melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Namun, Hendra mengurungkan niatnya. Dia melangkah mendekati Lita. Mengamati sebentar wajah istrinya. Seraya ingin membisikkan suatu kalimat untuknya.

Aku tahu ini bukan salahmu. Kamu ndak punya pilihan selain manut (nurut). Apa lagi orang tuaku sudah begitu percaya dan sangat mengandalkanmu untuk mengurus perkebunan mereka. Karena mereka sudah menganggap bahwa aku tak bisa apa-apa. Maafkan aku yang masih belum bisa mencintaimu, hingga detik ini.

Kembali Hendra memandangi Lita yang sudah berselimut, dari ujung kaki hingga kepalanya. Melihat kening Lita yang basah karena keringat, Hendra berniat untuk mengusapnya. Namun, hal itu ia urungkan. Dia takut perempuan itu akan terbangun. Alhasil dia pun meninggalkannya dan kembali ke sofa.

Hendra mengambil gawai yang semula ia letakkan di atas nakas. Ia melihat Maya Rinjani telah meneleponnya. Dia berniat untuk membalas telepon itu, namun ada kejanggalan di aplikasi whatsapp-nya. Pesan singkat dari Maya Rinjani sudah terbuka. Padahal Hendra merasa belum membaca pesan singkat terakhirnya.

Apakah Lita yang sudah membukanya? Kalau iya, berarti dia tahu hubunganku dengan Maya? Hendra bertanya dalam hati. Dia mengangkat kepala. Menatap Lita yang telah tertidur membelakanginya. Dia memicingkan mata, mencoba meraba perasaan istrinya ketika membaca pesan singkat dari Maya.

Hendra berdiri lagi dari sofanya untuk membalas telepon Maya. Saat tersambung dia berjalan menuju jendela yang masih terbuka. Menghadap ke luar, dengan maksud agar suaranya tak mengganggu Lita yang sedang tertidur.

Akan tetapi, Hendra salah. Dalam diam dan terjaga, Lita menekan semua yang ia ketahui. Matanya memang terpejam karena menghindar agar Hendra tak tahu kalau sebenarnya hatinya sedang dibakar api cemburu, setelah dia memberanikan diri untuk membuka gawai suaminya. Saat empunya benda itu sedang mandi.

“Maaf, May. Tadi aku lagi mandi dan ndak dengar ada suara telepon masuk. Bagaimana, kabar kamu? Baik, to? Jaga kesehatan. Jangan sampai sakit,” ucap Hendra penuh perhatian.

Lita yang bersembunyi di balik selimut menggigit bibir sekuatnya. Buliran airmata bergulir satu persatu membasahai kain yang membungkus bantalnya. Dia masih bisa mendengar suara Hendra yang berbicara dengan Maya. Walau suaranya sayup tapi dia masih bisa mendengarnya dengan jelas. Itu, bagaikan sembilu yang menghunjam dengan perlahan tepat di jantungnya hingga terkoyak. Sakit dan perih.

Bersambung ……

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status