“Clara, cepat bangun! Bukain pintunya.”
Suara teriakan dari mama Clara terus terdengar diiringi dengan beberapa ketukan pada pintu kamar bertuliskan ‘Kamar Princess Clara Magenta’
Tapi sang pemilik kamar justru mengabaikan panggilan mamanya. Gadis itu sebenarnya sudah terbangun tapi kelopak matanya serasa enggan untuk terbuka. Rasanya malas sekali untuk bangun. Jadi Clara membiarkan mamanya terus berteriak di sana.
Perkara kena semprot omelan mamanya, itu urusan belakangan saja. Yang jelas Clara ingin tidur kembali.
Tapi sialnya, suara mamanya terus terdengar.
Mama Clara tampak masih betah berada di pintu dan terus mencoba membangunkannya.
Kring...
Sial. Clara mengumpat dalam hatinya.
Baik mamanya maupun alarm di kamarnya, memang tidak bisa membiarkannya untuk tidur sebentar saja.
Bukannya bangun, Clara malah menyumpal kedua telingannya dengan menggunakan bantal. Ia gelojotan, malas untuk bangun pagi.
“Clara ini untuk yang terakhir kalinya mama memanggilmu. Jangan sampai mama menyuruh pak Toyib mendobrak pintu ini,” ancam mama Clara.
Di dalam kamar, Clara spontan membuka matanya. Mendengar ancaman mamanya membuat Clara sekejap langsung bangun dan beranjak dari kasur nyamannya.
‘Mama ih, kenapa sih pake acara manggil-manggil pak Toyib segala?’ batin Clara kesal.
Clara mau nggak mau harus segera segera bangun. Clara di antara kasur dan selimut selalu membuatnya merasa nyaman. Memang definisi hubungan segitiga yang terasa nyaman, siapapun tidak akan ada yang marah kecuali jika sang mama datang dan membuat Clara harus pergi meninggalkan mereka.
Clara membuka pintu kamarnya, paginya yang cerah ia sambut dengan melihat wajah masam mamanya. Ia menghela nafas bersiap untuk mendengar omelan mamanya.
“Apa sih mah, pagi-pagi wajahnya masam begitu.”
Mata mama Clara membulat. “Pagi katamu. Heran deh lihat kamu Clara, gimana nanti nasib ibu mertuamu dapat menantu kayak gini.”
“Mertua apaan sih? Kan Clara belum nikah?”
“Terserah, sekarang lihat jam di sana Clara. Tengok sudah pukul berapa?”
Clara mengendikkan bahunya acuh. Mana dia tau sekarang sudah pukul berapa, yang Clara ingat kalau semalam dia menyetel alarm pukul 11.00 untuk membangunkannya karena Clara ingin menonton drakor favoritnya yang baru-baru ini sedang tayang.
“Nggak tau mah. Lagian kenapa sih bangunin Clara. Kan semalam Clara sudah bilang kalau hari ini Clara nggak ke kampus. Pak Baron dosen Clara lagi ke Selangor.”
Mama Clara menghela nafas sabar. Ia sangat jengah menghadapi sikap putri satu-satunya. Begini hasilnya kalau sudah dimanjakan oleh papanya sedari kecil. “Astaga Clara, meskipun kamu tidak pergi ke kampus, tapi biasakan untuk bangun cepat di pagi hari. Gimana nanti nasib suamimu kalau kebiasaanmu terbawa sampai kamu sudah menikah,” omel mama Clara.
“Mama kenapa sih dari tadi bawaanya mama mertualah, suamilah?”
“Hidup nggak usah diperumit ma. Kalau pun nggak ada yang suka dengan sikap Clara, mending sekalian nggak usah menikah. Ribet banget,” jawabnya santai.
Pletak
Satu jentikan maut melayang di keningnya Clara membuat gadis itu meringis kesakitan akibat ulah mamanya.
“Mama ih... sakit loh.”
Clara mengusap-usap jidat cantiknya sembari membagusi poninya lalu menatap kesal pada mamanya.
“Kan, poni anti badai Clara jadi rusak. Ah mama ih, suka banget buat mood Clara jadi down,”
“Biarin.”
“Gausah nikah-gausah nikah. Mulutnya pengen mama cubit. Mau dicap perawan tua sama tetangga, hah?”
‘Mana gue pikirin apa kata tetangga. Selagi bukan uang dia yang ngehidupi gue, apa urusannya?’
Clara merengut kesal. “Jadi mama mau apa sekarang?”
Clara berjalan menuju meja hiasnya dan bercermin untuk melihat apakah poninya baik-baik saja.
“Jangan berkaca, cepat beresin kamarmu lalu mandi. Siap itu bantuin mama masak. Nanti malam papamu kedatangan tamu penting.”
Clara menatap malas ke arah mamanya, “Siapa sih?”
“Nggak tau. Kata papa teman lamanya.”
“Ck. Tumben-tumbenan. Ada acara apaan sih?”
“Teman papamu mau melamar kamu?”
“Apa!? Aku?”
“Iya. Jadi siapa lagi. Nggak mungkin mama.”
“Sama om-om gitu. Nggak maulah. Udah tua lagi kayak papa. Clara nggak mau,” tolaknya langsung. Masa dia harus nikah sama pria yang seusia papanya. Sama teman papanya pula lagi. Ogah. Ingat kata Tiara Andini ‘masih banyak ikan di laut’ Kenapa harus sama om-om?
Memang selera mantu orang tuanya kelewatan banget parahnya. Clara jadi mengendik ngeri memikirkan hal itu.
“Astaga siapa yang bilang udah tua?”
“Mama barusan.”
Mama Clara menepuk jidatnya. “Maksud mama orang tuanya mau melamar kamu untuk putranya. Ya kali sama papanya. Orang papanya masih punya istri. Kamu nanti mama aduin lo. Tadi kamu bilang papa udah tua. Tau rasa nanti uang sakumu dikurangi.”
“Kan memang udah tua mama.”
“Jangan bilang suami mama udah tua. Mama marah ini loh.”
Bi Asih yang datang ke kamar untuk memanggil nyonya-nya untuk menanyakan sesuatu perihal bumbu dapur hanya mematung di antara mereka, terdiam menyaksikan perdebatan kedua majikannya.
“Nyonya bumbunya sudah siap, jadi dimasakkan nyonya?” ujarnya mengingatkan tujuannya mendatangi kamar nona Clara.
“Jadi,” lalu mama Clara menatapi Clara yang ingin duduk di tepi kasur, membuat Clara membatalkan niatnya untuk duduk, “Setelah kamu selesai membereskan kamarmu dan mandi, langsung turun ke dapur bantuin mama.”
“Bibi tolong bantuin Clara ya,” mata Clara memandang harap pada bik Asih.
“Nggak usah bi, biarkan dia yang membereskan kamarnya sendiri,” seru mama Clara melarang bik Asih yang ingin bergerak membantu putrinya.
“Heran deh masa udah besar kamarnya masih bik Asih yang beresin. Padahal sebentar lagi sudah mau jadi istri orang."
‘Kan itu udah tugasnya bi Asih, Ma. Jadi apa gunanya di gaji.’
Clara hanya bisa menyampaikan itu dalam hatinya karena tidak ingin di semprot oleh omongan pedas mamanya.
Tunggu?
“Jadi Clara benar-benar mau dijodohkan?”
Apa-apaan ini? Dirinya saja belum memberi keputusan.
“Iya. Papamu dan papanya sudah berteman lama, jadi nggak usah banyak tanya, sekarang belajar cara membersihkan kamarmu sendiri, biar pas kamu nikah, kamu nggak pusing sendiri.”
“Kamu contoh mama, lihat gimana mama mengurus rumah, papamu dan kamu. Makanya papamu sangat sayang sama mama.”
Mendengar ucapan mamanya, Clara menunjukkan ekspresi julidnya alias bombastic said eyes ke arah mamanya.
“Ayo bi.”
Langkah Mama Clara terhenti lalu ia menoleh ke belakang melihat Clara yang masih mematung di ambang pintu. “Awas tidur lagi. 15 menit kamu nggak turun-turun juga, nggak perlu nunggu lama-lama lagi, detik itu juga mama langsung nikahkah kamu sama anaknya biar kamu cepat keluar dari rumah ini. Mama stres ngadapin kelakuan Clara.”
‘Stres-stres. Di kasih anak malah stres. Nggak ada anak nanti stres juga.’
Setelah keduanya benar-benar pergi Clara menutup pintu kamarnya cukup keras karena kesal. “Enak aja nyuruh aku pindah. Kupastikan rencanamu gagal mama. Lihat aja nanti. Aku nggak mau nikah. Clara masih ingin bebas dan belum siap mengurus suami.”
***
Di dalam ruangan yang ber AC, seseorang tengah membaca dokumen penting di meja kerjanya.
Terdengar suara ketukan pintu membuat perhatian pria itu teralihkan dan menoleh ke sumber suara.
“Masuk,” ucap pria itu dengan suara cukup berat tapi terdengar tegas.
Pintu terbuka dan seseorang berpakaian formal sama sepertinya memasuki ruangan pria tersebut.
“Ada apa? Aku sudah memperingati untuk jangan menganggu—"
Ucapanya terhenti ketika sang asisten justru menyodorkan ponsel padanya.
“Ini nyonya yang menelpon tuan.”
Haris mendekati tuannya dan memberikan ponsel miliknya.
“Ya ma, ada apa?”
“Kenapa kamu tidak mengangkat telpon mama?”
“Aku sibuk. Kan mama tau kalau aku sedang menyelesaikan urusanku di sini.”
“Ya mama tau. Tapi masa kamu nggak punya waktu sejenak untuk menelpon mama. Kasih kabar kek apa kek.”
“Kalau soal itu aku minta maaf mah. Oh ya papa dimana?”
“Lagi di kantor. Kamu jangan lama-lama di sana. Ingat mama dan papa sudah merencanakan untuk melamar putri teman papamu.”
“Mah kan aku sudah bilang kalau aku tidak setuju dengan rencana bodoh mama dan papa. Please jangan lakukan itu deh,” pintanya pada sang mama.
“Mama nggak bisa menolak permintaan papamu. Lagian usia kamu sudah cukup untuk menikah sayang. Jadi cepat selesaikan urusanmu di sana, nanti malam kami akan berkunjung ke rumah calon istrimu.”
“Tapi ma—”
“Nggak ada tapi-tapian. Sudah dulu ya mama mau pergi keluar beli sesuatu untuk mama bawa buat calon mantu mama.”
Dengan cepat Haris mengambil ponselnya kala melihat tuannya memandang benda pipih itu dengan tatapan kesal bercampur marah. Ia hanya tidak ingin ponselnya menjadi sasaran empuk untuk meluapkan semua rasa yang sedang dipendam oleh tuannya.
“Tuan… apa saya sudah boleh keluar? Maksud saya... apa ada yang tuan perlukan lagi?” tanyanya penuh kehati-hatian. Haris bertanya seperti itu siapa tau tuannya masih membutuhkan bantuannya.
“Tidak ada. Kau bisa keluar,” serunya pada Haris.
“Baik tuan kalau begitu saya permisi keluar dulu.”
Haris beranjak dari tempatnya dan menutup pintu ruangan itu dengan hati-hati. Ia sangat tau kalau tuannya sedang dalam mood yang tidak baik saat ini.
“Kita lihat nanti apa dia masih mau menikah denganku,” ucapnya sambil menatap lekat pada dokumen yang sedang ia pegang itu.
***
Bersambung
Sebuah mobil SUV hitam memasuki halaman kediaman orang tua Clara. Keluarga Kanigara akhirnya tiba dan di sambut hangat oleh ibu dan ayahnya Clara sementara gadis yang ingin dijodohkan itu masih berada di dalam kamarnya. Sangat tidak sopan. “Senang bertemu denganmu tuan Kanigara.” “Oh bung jangan memanggilku seperti itu.” Reinard membalas pelukan Martin—temannya. Ia terlihat senang dengan kedatangan teman lamanya. Tak lupa Martin memperkenalkan istrinya pada mereka. “Ini Sara. Dan Sara ini Reinard dan Carissa.” Mereka pun saling menjabat tangan sembari memperkenalkan diri. Martin terlihat bangga melihat temannya. Tidak hanya di Jakarta Reinard mampu membangun kerajaan bisnisnya berkembang pesat di Bali. Kunjungan mereka ke kediamannya sangat di sambut baik oleh Martin dan istrinya. “Kau makin sukses saja,” ujar Martin. “Kau juga bung.” “Iya, tapi tidak sesukses dirimu.” “Sudah syukurin saja apa yang sudah Tuhan beri.” Para istri hanya menyimak pembicaraan suaminya mereka. Te
Suasana ruang tamu mendadak hening setelah Clara mengutarakan pendapatnya. Sementara anggota Kanigara menghela nafas. Ada kesalahpahaman di sini dan itu harus segera diluruskan. “Bukan begitu sayang. Bukan sama Sebastian, ya kali sama putra kedua tante ini. Kan dia masih sekolah.” Carissa menuntun Clara duduk ke sofa yang kosong dan muat untuk mereka berdua. “Maksudnya?” Kini giliran Clara yang mendadak lemot, seperti yang ia tuduh pada bi Asih. “Sebenarnya tante dan om melamar kamu untuk nikah sama putra pertama kami bukan sama Ian. Cuma malam ini dia tidak bisa datang karena mengurus perpindahan dari Singapura.” “Oh dia benar-benar jadi kuliah di sana?” tanya Martin yang sedari tadi hanya menyimak sama seperti istrinya. Ia juga sempat mengira kalau putrinya akan dilamar untuk putra keduanya. Jelas hal itu membuat Martin tidak setuju. Tapi dia memilih diam menunggu respon dan keputusan dari Clara dulu siapa tau putrinya benar-benar suka dan mau menerima lamaran itu. Reinard m
Di malam hari dekat gerbang kediaman Magenta terlihat dua orang berpakaian hitam dengan memakai penutup kepala layaknya seorang pencuri mencoba membuka pintu gerbang tersebut. “Gerbangnya nggak dikunci sek.” “Kita kayak pencuri anjrit.” “Lebih tepatnya penguntit pesek.” “Stop panggil gue pesek napa,” serunya tidak suka. “Kan memang faktanya begitu sayang. Sudah... kita debatnya nanti aja. Ayo masuk... keburu penjaganya datang.” Kedua orang itu melewati pos jaga. Terlihat di sana seseorang sudah tertidur pulas di dalam pos tersebut. “Pelan-pelan. Tungguin gue,” ucap orang itu memanggil temannya yang berjalan cepat di depannya. “Kurasa ini terlalu berlebihan nggak? Mending kita langsung masuk ke rumahnya secara baik-baik daripada ngendap-endap gini.” Orang yang berjalan paling depan menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang. “Itu memang bagus, tapi aku suka ide ini, lebih menantang dan menegangkan tau,” “Ntar lo tanggung jawab ya kalau bokap sama nyokap gue sampai tau
Sudah dua minggu berlalu setelah acara lamaran malam. Clara dengan berat hati mau nggak mau harus menerimanya ketika sang papa justru menyetujui lamaran tersebut. Rencananya acara pertunangan akan dilakukan setelah kepulangan pria bernama Georgino Kanigara kembali ke Jakarta. Di pagi hari yang cerah, suasana di Kanigara University sudah terlihat ramai berdatangan mahasiswa yang berlalu lalang mengisi kawasan kampus tersebut. Ada yang sudah memulai aktivitas belajar mengajarnya, ada juga yang masih menunggu kehadiran sang dosen yang belum kunjung hadir ke ruang kelas belajar mereka. “Anjir, pagi-pagi gue udah dibuat olahraga sama nih kampus.” Clara tampak sedang menaiki tangga menuju lantai tiga gedung fakultas Ekonomi Bisnis. “Untung kelas gue ada di lantai tiga.” “Pakai lift napa sih. Masa di gedung sebelah udah dibuat liftnya. Dasar tuh petinggi-petinggi kampus pilih kasih banget.” Sepanjang menaiki tangga, Clara terus mengomel. Tak hanya itu, sesekali Clara juga menyempat di
“Ma,” seru Georgino memanggil mamanya.Hari sudah menjelang sore, setelah tidur sebentar Georgino terbangun dan langsung turun ke bawah menemui mamanya.Georgino berjalan cepat menuruni anak tangga lalu mengedarkan pandanganya mencari keberadaan sang mama.“Mama dimana?”Georgino mencoba pergi ke ruang santai, siapa tau mamanya sedang menonton drakor di sana, pikir Georgino. Tapi hasilnya nihil, Georgino tidak mendapati mamanya ada di sana.‘Kemana, apa lagi di dapur?’Tanpa menunggu lama Georgino turun ke dapur untuk memastikan.“Gino kamu udah bangun.”Ketika ingin masuk ke dapur, Georgino tersentak kaget mendengar suara mamanya dari arah belakangnya, “Mama dari mana saja sih, Gino dari tadi nyariin," raut wajahnya terlihat kesal sekali, mungkin karena dibuat terkejut sama mamanya.Lain dengan Carissa justru terlihat kebingungan, “Mama nggak kem
“Bisa tepos bokong gue kalau lama-lama duduk di sini,” gerutu Clara. Dia sedang menunggu seseorang di salah satu kursi beton yang tersedia tak jauh dari gerbang utama Universitas Kanigara sembari mengipas-ngipas karena kegerahan.‘Menunggu sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku.’Clara justru jadi bernyanyi dalam hatinya.Seseorang yang diutus untuk menjemputnya belum menunjukkan tanda-tanda akan kedatangan dari orang tersebut.Kedua teman Clara sudah pulang duluan sekitar sepuluh menit yang lalu. Makanya Clara duduk sendirian di sana.“Kenapa lama sekali? Nggak tau apa menunggu itu capek banget,” hanya itulah yang bisa Clara lakukan, menggerutu lalu kesal sendiri.“Tau gitu, aku nebeng sama Tasya tadi.”Clara jadi melamun dengan tatapan yang memandang lurus ke arah gerbang.Lalu tak lama kemudian Clara menajamkan penglihatannya ketika melihat sebuah mobil mewah berwarna mer
‘Sebastian panjang umurnya,’ pikir Clara. Orang yang sedang mereka bicarakan akhirnya datang juga. Sementara Sebastian di dalam mobilnya dengan tatapan heran melihat Clara sedang menunjuk ke arahnya. “Ngapain lagi nih orang?” Di sisi lain, Carissa berjalan maju mendekati mobil itu membuat Sebastian jadi menghentikan mobilnya sejengkal tepat di depan mamanya. Terlihat Carissa langsung mengitari mobilnya menuju pintu tempat Sebastian berada. Sebastian menoleh ke samping melihat mamanya. “Ian... keluar mama bilang,” ujar Carissa sambil terus mengetuk kaca jendela mobilnya. Sebastian di dalam mobil mengabaikan perkataan mamanya, dia justru memalingkan wajah dan melihat ke arah Clara sedang memeletkan lidah ke arahnya, “Gue nggak tau dia sudah ngomong apa sama mama. Awas kau Clara.” Kemudian Sebastian menoleh ke samping dan melihat wajah mamanya, “Firasat gue nggak enak lagi.” “Ian buka pintunya,” perin
“Selamat datang di rumah kami sayang,” seru Carissa ketika pintu besar rumah itu sudah terbuka, “Semoga kamu nyaman menginap di sini ya.”Clara mengangguk pelan dan tampak ragu. Clara tidak tau apakah dirinya akan merasa nyaman atau tidak di sana apalagi mengingat ada Sebastian di rumah itu.Dan jangan lupa juga dengan calon suaminya. Siapa tau keduanya memiliki sikap yang tak jauh berbeda, sama-sama menjengkelkan.Ah... memikirkan itu Clara jadi mendadak merasa jadi tidak betah. Padahal dia akan memasuki rumah besar tersebut.‘Tidak-tidak, kau sendiri yang menyetujuinya Clara.’Karena menghargai Carissa yang berstatus lebih tua darinya, Clara jadi setuju untuk menginap beberapa hari di sana sembari menunggu kepulangan orang tuanya dari Bali.Raut wajah Clara yang tadi tampak sedang berkeluh kesah seketika berubah menjadi full senyum ketika memasuki rumah besar itu yang tampak seperti istana.Kini Clara berdiri tercengang merasa takjub melihat rumah besar milik keluarga Kanigara. Des