Share

AKU DATANG, ELSA

Bab 4

“Apa tidak ada jalan lain, Dokter?” Sekuat tenaga Elsa menegarkan hati yang padahal sudah pecah berserakan. Ayahnya adalah kaki-kakinya selama ini. Ayahnya yang membantu mendirikan rumah makan itu. 

Apa lagi setelah ini? Setelah berita kehilangan asetnya, kini ia juga harus dihadapkan kenyataan jika sang ayah harus kehilangan kakinya. Hati Elsa benar-benar hancur.

Pria berjas putih dengan kacamata bertengger rendah di tulang hidungnya menggeleng lemah. Tanpa dokter menerangkan apa pun lagi, Elsa sudah sangat mengerti apa yang terjadi. Luka sang ayah sangat serius.

Ayahnya terjebak di lantai dua. Tidak bisa keluar karena lantai satu sudah penuh api. Semua jendela dan pintu di lantai dua tertutup rapat dan terkunci karena Fadli berniat pulang setelah memeriksa semua ruangan. Ledakan besar membuat ia panik dan berlari ke bawah. Nahas sesuatu yang sudah terbakar jatuh menimpa tubuhnya hingga kedua kakinya ikut terbakar. Dan setelah beberapa lama, tim damkar baru bisa mengevakuainya.

Adrian kembali memapah Elsa keluar ruangan dokter setelah selesai menandatangani semua berkas terkait operasi sang ayah. Amputasi kaki Fadli melengkapi musibah yang menimpa Elsa.

Tiba di luar ruangan, Elsa masih harus melihat Davina menangis meraung-raung dalam dekapan neneknya. Dinar memaksa memeluk anak itu, padahal Davina ingin menemui sang ibu. Saat melihat Elsa dan Irma keluar dari sana, Davina langsung berlari menghambur.

“Kenapa nangis, Sayang?” Elsa mengusap pipi basah sang anak setelah mensejajarkan dirinya.

“Vivi ndak mau sama Oma. Oma jahat, katanya ayah Vivi nanti Om Ian. Vivi ndak mau. Vivi mau Papa Aby.”

Elsa memejam kesal. Bahkan di saat seperti ini ibu mertuanya masih membahas hal seperti itu. Terhadap anak kecil pula. Ditaruh di mana otak wanita itu? Tidak tahukah jika keluarganya saat ini tengah terpuruk?

Elsa mengusap kepala sang anak, kemudian diajaknya duduk di kursi susun empat. Garis wajahnya yang sangat mirip David, membuatnya lebih sulit menyembuhkan luka hati akibat kepergian lelaki itu.

“Vivi nanti pulang sama Nenak, ya. Mama mau nungguin Kakek di sini. Kakek sakit.”

“Vivi ikut pulang dengan kami saja.” Dinar yang tanpa disadarai mengekor, menyela.

Elsa menoleh hingga tampak wajah ketus sang ibu mertua.

“Vivi mau ikut pulang dengan Oma?” Elsa bertanya lembut. Bagaimana pun Dinar neneknya Davina juga. Tidak salah jika ingin membantu mengurusnya. Terlebih dalam kondisi seperti ini.

“Ndak mau!” Davina menggeleng tegas. “Vivi ndak mau ikut Oma.”

Elsa menahan napas mendengar jawaban sang anak yang sangat kentara tidak menyukai Dinar.

“Kenapa, Sayang?” Elsa masih berusaha sabar.

“Iya, kenapa Vivi ndak mau ikut Oma? Nanti kita jalan-jalan ya, sama Papa Ian, sama Oma juga.” Dinar berubah lembut dengan memasang senyum manis dan duduk di samping sang cucu. Tangannya terangkat ingin meyentuh kepala Davina, tetapi anak itu gegas menghindar.”

“Om Ian, Oma. Bukan Papa!” Davina menegaskan dengan suara cadelnya yang terdengar lucu. “Papanya Vivi Papa Aby, bukan Om Ian,” lanjutnya yang membuat semua orang melebarkan mata. Kecuali Elsa yang menggeleng frustrasi. Tak menyangka jika sang anak akan berkata demikian.

Dinar yang mulut dan matanya sama-sama melebar, mengedarkan pandangan antara Elsa, Davina, dan Irma.

“Hei, siapa yang mengajarimu bicara seperti itu, Vivi?” Dinar bertanya tak percaya. “Apa mamamu? Atau nenekmu?” lanjutnya curiga.

Davina menggeleng dengan wajah polosnya.

“Itu tidak benar. Yang akan jadi papa kamu itu Papa Ian.”

“Ndak mau. Vivi mau Papa Aby, bukan Om Ian.”

Elsa memejam mendengar perdebatan cucu dan nenek itu. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran Dinar. Di saat seperti ini bahkan masih sempat membahas hal itu. Dengan anak kecil pula.

“Kalau kamu tidak mau Papa Ian, nanti tidak boleh tinggal di rumah kamu lagi.”

Bola mata Elsa kembali melebar. Bagaimana bisa Dinar berkata hal seperti itu terhadap anak kecil. Gegas Elsa membawa Davina ke dalam pangkuannya. Kemudian menyembunyikan wajah sang anak dalam pelukan.

“Ma, maaf sekali, aku mohon tidak membicarakan hal seperti itu. Keluarga kami tengah didera musibah, Ma. Tolong mengertilah.” Elsa mencoba meminta pengertian sang ibu mertua. Tatapan penuh permohonan dan putus asa ia hadiahkan untuk sang ibu mertua. Berharap wanita yang dulu sangat menyayanginya itu memiliki empati sedikit saja.

Dinar terdiam. Sesungguhnya ia iba melihat kondisi sang menantu yang didera musibah beruntun seperti ini. Elsa baginya bukan lagi menantu, tetapi sudah seperti anak kandung. Sayangnya, karena ada ketakutan bahwa wanita itu akan menikah lagi dan menikmati harta peninggalan David dengan suami barunya, ia berubah jadi setega ini. Elsa yang masih muda dan menarik, tentu masih sangat pantas dikejar banyak pria.

Kondisi sebenarnya sudah sangat kondusif. Dinar tidak bicara lagi, hanya duduk menyandar di bangku yang sama dengan Elsa. Terpisah kursi kosong di tengah. Davina memeluk nyaman sang ibu hingga hampir tertidur. Irma duduk menunduk di kursi terpisah, dan Adrian berdiri bersandar dinding di samping Dinar. Mereka menunggu kabar selanjutnya untuk proses operasi Fadli. Hingga kedatangan seseorang membuat segalanya berbeda.

Davina yang awalnya bersembunyi di balik ketiak sang ibu, menegakkan tubuh dengan semangat dan langsung berteriak senang.

“Papa Aby!” Tubuhnya melonjak-lonjak senang dengan kedua tangan terentang lebar. Anak itu kemudian turun dari pangkuan Elsa dan berlari menuju lelaki yang juga berdiri sembari merentangkan tangan. Adegan selanjutnya, keduanya berpelukan setelah lelaki yang tidak lain Abyasa berjongkok mensejajarkan diri.

Elsa semakin memejam. Masalah datang lagi, padahal baru saja tenang. Kenapa Abyasa harus datang di saat seperti ini?

Elsa yang tubuhnya sudah lemah dengan banyak pikiran semrawut dalam kepala, hanya bisa diam sembari menyandar. Hingga terdengar suara nyaring yang membuatnya frustrasi. Mau tidak mau wanita itu membuka mata, hingga tampak Dinar berdiri menghadang Abyasa yang menggendong Davina.

“Mau apa kamu ke sini? Mau membuat masalah?”

Elsa menahan napas. Rasanya semakin lelah jiwa raga.

“Vivi, ayo sini sama Oma.” Dinar mengambil paksa tubuh Davina dalam gendongan Abyasa. Tetapi anak itu mengelak, mengelinjang dan menyuruk di tengkuk Abyasa.

“Hei, apa-apaan kamu, Vivi. Kamu juga, jangan terus mempengaruhi cucuku, ya. Kamu sengaja mendekati anaknya agar bisa mendapatkan ibunya, kan?” Kini Dinar menunjur wajah Abyasa.

“Jangan membuat masalah. Ini rumah sakit, dan kami sedang kena musibah.” Dinar mengoceh tak karuan. Telunjuknya menunjuk-nunjuk wajah Abyasa saat tak berhasil merebut tubuh Davina.

“Maaf, Bu. Saya datang hanya karena empati kepada Elsa dan keluarganya.”

“Pura-pura empati padahal ingin menarik hati Elsa. Asal kamu tahu, ya. Elsa tidak akan menikah dengan kamu. Dia tidak akan menikah lagi dengan laki-laki mana pun selain dengan Adrian. Kakaknya David!” Kini telunjuk Dinar menunjuk Adrian yang masih berdiri di tempat semula.

Elsa yang kini dipeluk Irma-sang ibu, semakin memejamkan mata. Sudah terlalu banyak masalah yang menimpa, entah kenapa mereka malah menambah semakin runyam. Elsa semakin memejam setelah berkali-kali menelan ludah. Hingga terdengar langkah kaki mendekat disusul suara yang sangat familier. Suara Abyasa.

“Elsa, aku datang menawarkan bantuan.”

Elsa membuka mata. Menoleh cepat dengan memasang wajah marah.

“Saya tidak butuh bantuan Anda!” jawab Elsa tegas seraya menghujamkan tatapan tajam.

“Kebakaran restoranmu disinyalir karena faktor kesengajaan. Ada pihak yang sengaja membakarnya. Kamu harus melaporkan masalah ini.”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Duh siapa yg Setega dan jahat bgt sama Elsa
goodnovel comment avatar
Zubaidah Zubaidah
siapa tuh yg pnya dendam.sama Elsa...tega amat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status