Share

KABAR BURUK

Bab 3

“Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana kondisi Bapak?” Dengan jantung yang terasa berhenti berdetak, Elsa menatap nanar sang ibu yang pucat dan gemetar.

“I-bu tidak tahu, Sa. Orang-orang di sana hanya bilang Bapak terjebak. Tidak sempat keluar.” Gagap dan gemetar, ibunya menjawab.

Bahkan Elsa tidak sempat menetralkan detak jantung. Ia meminta sang ibu membawa Davina untuk ikut ke rumah sakit. Pun dengan Dinar yang akhirnya ikut serta.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Elsa mengendalikan mobil dengan tangan gemetar dan hati kacau. Ia takut terjadi sesuatu dengan sang ayah. Tak dapat dibayangkan jika sampai tak tertolong.

“Elsa, hati-hati bawa mobilnya. Kamu mau kita celaka?” Dinar yang duduk di kursi belakang terus mengomel karena beberapa kali mobil mereka hampir bersenggolan dengan pengendara lain. Belum lagi pejalan kaki yang hampir tertabrak karena Elsa menerobos lampu merah.

Davina yang terpaksa dibawa pun terus menangis ketakutan karena sang ibu mengemudi dengan panik.

“Tahu begini tadi minta jemput sopir.” Dinar terus mengomel.

“Besan, bisa diam tidak? Omelan Besan justru membuat kosentrasi Elsa semakain buyar.” Irma yang tidak tahan besannya terus memarahi Elsa, akhirnya bersuara. Padahal biasanya ia segan.

“Aku mengomel karena anakmu membawa mobil ugal-ugalan. Aku belum mau mati ya, kalian kalau mau mati sekeluarga saja. Jangan ajak-ajak aku.”

Irma memilih diam setelahnya, karena ia tahu bila terus meladeni besannya, semakin membuat konsentrasi Elsa kacau. Ia lebih memilih menenangkan Davina dalam gendongannya.

‘Yang waras ngalah,’ batinnya.

Sesampainya di rumah sakit, Elsa berlari turun dari mobil menuju Instalasi Gawat Darurat di mana sang ayah masih ditangani dokter. Dari jauh terlihat beberapa karyawan yang baru direkrutnya, berwajah cemong dan pakaian menghitam menunggu di sana. Satu kesamaan dari wajah-wajah mereka. Cemas dan lelah.

“Bagaimana kondisi Bapak?” tanya Elsa di antara napas tersengalnya. Menatap satu per satu calon karyawan rumah makannya.

“Bapak masih ditangani dokter, Bu. Tubuhnya penuh luka bakar. Bapak terjebak di lantai dua, terlambat turun.”

Elsa memejam mendengar penjelasan salah satu karyawan laki-laki yang sejatinya akan menjadi tangan kanannya.

“Bagaimana ini bisa terjadi?” Elsa memburu.

“Tabung gas kita meledak, Bu. Dapur menjadi yang paling parah. Salah satu koki kita bahkan--”

“Bahkan apa?” Mata Elsa melebar, jantungnya berdetak semakin kencang.

“Langsung meninggal di tempat.”

Elsa menutup mulut dengan kelima jarinya. Bahkan kebakaran itu memakan korban jiwa.

Bagimana ini bisa terjadi? Rumah makan yang ia rintis dari nol agar memiliki aset pribadi selain harta peninggalan David pun kini ludes tak tersisa. Padahal memiliki restoran sendiri adalah mimpinya sejak lama agar ia bisa menghidupi kedua orang tuanya. Tidak terus tergantung dengan harta peninggalan suaminya.

Kini, semua sudah sirna. Kebocoran gas menjadi penyebab utama kebarakan hebat yang bukan saja membakar ruko miliknya, tetapi bangunan di sekitar ikut dilahap si jago merah, hingga menimbulkan banyak kerugian.

Saat Elsa memutuskan mendatangi TKP, tubuhnya pun terasa lemas dengan tulang-tulang bagai lolos dari persendian.

Bagaimana tidak? Bangunan ruko miliknya, juga beberapa ruko terdekat sudah berubah menjadi puing-puing bak lokasai perang. Semua hitam dan hangus, kepulan asap masih melangit, padahal petugas damkar sudah memadamkan api.

Beberapa karyawan yang menemani menahan tubuhnya karena ia sudah tidak sanggup berdiri di atas kakinya sendiri. Tubuhnya benar-benar lemas melihat usaha yang dirintisnya susah payah dengan mengesampingkan luka akibat kepergian David pun, kini hanya tinggal kenangan. Tidak ada yang tersisa dari rumah makannya.

“Bagaimana ini bisa terjadi?” gumamnya lemah seolah ditujukan untuk dirinya sendiri.

“Kami juga tidak tahu, Bu. Padahal semua sudah sesuai standar keamanan. Semua sudah melewati prosedur dan pengecekan pihak-pihak terkait.” Sang karyawan yang menemaninya dari rumah sakit merasa prihatin melihat kondisi Elsa. Ia tahu betul bagaimana perjuangan bosnya itu dalam merintis usaha.

Tubuh Elsa semakin lemah. Pandangan nanar tak lepas dari bangunan yang kini tinggal sisa-sisa menghitam. Elsa tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Kepalanya tidak bisa berpikir. Hidupnya terasa gelap seperti pekatnya asap yang mengepul dari sana.

Hidup menjanda dan harus menghidupi anak beserta kedua orang tuanya, awalnya tidak terasa berat karena memiliki peninggalan sang suami. Juga usaha yang tengah dirintisnya. Namun, sekarang semua terasa lelah ia pikul sendiri. Karena harta David yang terancam diambil ibu mertuanya, juga usaha pribadinya kini telah musnah.

Belum lagi ia harus menanggung biaya pengobatan seluruh karyawan yang terdampak dari kebarakan ini. Jangan lupakan santunan yang harus ia berikan kepad keluarga koki yang meninggal di tempat. Dan satu lagi, para pemilik ruko sebelah yang ikut terbakar, meminta ganti rugi.

Elsa merasa hidupnya terasa dibanting dari ketinggian hingga meluncur bebas ke dasar jurang.

Di saat tengah merasa nyaman bersama malaikat tak bersayapnya yaitu David, tanpa diduga Tuhan mengambilnya tanpa firasat apa pun. Padahal semasa hidupnya, lelaki itu berbesar hati menanggung keluarganya. Maka tidak berlebihan jika Elsa mengangap David malaikat hidupnya.

“Abang, kenapa pergi secepat ini? Aku sendiri di sini, Bang...” Tanpa sadar Elsa bergumam. Hatinya begitu nyeri mengingat kini tak memiliki tempat bersandar.

Elsa memejam. Tubuhnya semakin lemas, dadanya sesak, pandangannya gelap. Detik selanjutnya ia tak mengingat apa pun lagi.

Saat sadar, ia sudah berada dalam mobil yang begitu nyaman. Wangi minyak kayu putih menyeruak. Elsa mengerjap seraya memindai sekeliling. Mobil ini terasa familer, tetapi bukan miliknya.

“Kamu sudah bangun?” Suara seseorang memenuhi indra pendengarannya. Lelaki berwajah bak pinang dibelah dua dengan David, membantunya bangun. Lelaki yang tidak lain Adrian, kakak iparnya.

Elsa hanya mengangguk seraya menerima botol mineral yang disodorkan Adrian. Kemudian menghisap airnya dengan sedotan.

“Kamu pingsan, Elsa. Mama memberi tahu restoranmu kebakaran. Aku langsung ke sini.”

Lagi-lagi Elsa mengangguk. Tidak ada kata-kata yang ingin diucapkannya. Hingga pandangannya menangkap seseorang di luar sana yang tengah menatapnya sayu.

Elsa membuang pandangan. Abyasa berdiri di luar sana dengan jarak tidak begitu jauh. Tidak heran jika lelaki itu ada di sini, karena rukonya yang bersebelahan, juga ikut terbakar. Mungkin lelaki itu juga ingin meminta ganti rugi.

“Jika kau sudah sadar, kita langsung ke rumah sakit. Ayahmu butuh penanganan cepat. Dan ibumu tidak bisa memutuskan sendiri.” Adrian berkata lagi seraya keluar dan berpindah ke depan untuk mengemudi.

Lagi-lagi Elsa tidak menjawab. Ia hanya menurut apa pun yang dikatakan kakak iparnya itu. Bahkan selama perjalanan, saat Adrian menenangkannya, ia hanya memejam.

Selain memiliki fisik yang sangat mirip dengan David, Adrian juga sama baiknya dalam hal memperlakukannya. Lelaki yang lama menduda itu sudah layaknya kakak kandung bagi Elsa. Karenanya ia tidak mungkin menerima Adrian menjadi suami.

Adrian memapah Elsa menuju ruangan dokter yang menangani ayahnya. Di sana sang ibu sudah menunggu dengan wajah merah dan basah. Firasat Elsa mengatakan jika sesuatu yang serius terjadi dengan ayahnya. Benar saja, tak lama setelah ia duduk, dokter mengatakan sesuatu yang membuat dunianya runtuh berkali-kali.

“Maaf, Bu, dengan berat hati saya harus mengatakan jika ayah anda harus kehilangan kedua kakinya.”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Kasihan Elsa
goodnovel comment avatar
Zubaidah Zubaidah
bertubi2 amat ujian Elsa... padahal dulu mertuax sayang banget loh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status