Bab 1
“Sudah berapa kali saya katakan, saya tidak suka Anda menemui Davina, Pak Abyasa! Kenapa Anda terus saja mengganggunya?” Elsa berseru dengan suara tertahan. Wanita itu baru pulang dari rumah makan yang baru dirintisnya, tetapi langsung mendapati seorang lelaki tengah menemani Davina di teras rumah.
Lelaki yang duduk lesehan sambil mendengarkan segala celoteh gadis kecil usia tiga tahunan, mendongak dan langsung tersenyum lebar mendapati Elsa sudah berdiri di belakangnya.
Saking asyik menemani Davina bermain, Abyasa tidak menyadari jika wanita yang ditunggunya sudah pulang. Lelaki tersebut bahkan tidak mendengar suara mobil masuk halaman.
“Hai, sudah pulang?” tanyanya berdiri menyambut Elsa.
Elsa mendengus seraya membuang pandangan. Entah sudah berapa puluh kali ia mengatakan kepada lelaki itu agar tidak membawakan mainan untuk puteri kecil buah cintanya dengan mendiang David-mantan suaminya yang meninggal beberapa bulan lalu. Namun, nyatanya Abyasa selalu melakukan hal yang sama. Alasannya karena ia menyukai Davina yang cantik dan lucu.
Dengan melewati Abyasa, Elsa langsung menghampiri gadis kecil yang bersorak riang. Wajah mungil itu tampak semringah menyadari dirinya datang. Elsa berjongkok sebelum memeluk dan menciumi Davina.
“Vivi, nenek di mana, Sayang? Vivi masuk dulu, ya. Main sama nenek di dalam.”
Gadis kecil kerkuncir dua melepaskan pelukan sang ibu, sebelum mengacungkan sebuah boneka cantik bergaun indah.
“Vivi lagi main boneka sama Papa Aby, Ma. Lihat, bonekanya cantik, kan? Secantik Vivi. Papa Aby yang beliin, Ma,” ujarnya polos dengan lidah cadelnya. Tubuh mungilnya berjingkrak menandakan hatinya senang. Namun itu sukses membuat kedua bola mata Elsa membola sempurna.
“Papa?” gumam wanita itu tak percaya.
“Iya, Ma. Vivi mau Papa Aby jadi papaku. Papa Aby juga mau kok, jadi papaku. Boleh ya, Ma?” Gadis kecil memasang wajah penuh harap.
Serta-merta Elsa mendongak ke arah lelaki bercambang yang berdiri menjulang di hadapannya. Lelaki yang sejatinya ingin ia hindari seumur hidup. Namun, dengan tidak tahu malu terus menempelinya. Kini, bahkan menggunakan Davina untuk mengusik hidupnya.
Elsa berdiri kasar setelah menghela napas, kemudian mengambil Davina ke dalam gendongan hingga menjatuhkan boneka dari tangan mungilnya.
“Vivi sama nenek dulu, ya,” ucapnya seraya ingin membawa putri kecilnya ke dalam. Namun, tanpa terduga Davina menggelinjang, menolak digendong. Anak itu meronta minta diturunkan.
“Vivi mau main sama Papa Aby, Ma. Vivi nggak mau masuk!” Gadis kecil meronta dan menangis. Tangannya terulur seolah ingin meraih Abyasa yang berdiri mematung di belakang sana.
Elsa tidak mempedulikan tangisan Davina. Ia membawa paksa sang anak masuk dan memberikan kepada sang ibu yang berlari tergopoh-gopoh.
“Kenapa Vivi?” tanya wanita paruh baya bepostur mirip Elsa.
“Sudah berapa kali aku bilang, Bu? Jangan biarkan laki-laki itu mendekati Davina!” Elsa menekan suara, berusaha mengendalikan emosi yang ingin meledak. Namun, tidak mungkin berteriak meluapkan kekesalan terhadap Abyasa di depan sang ibu dan anak semata wayangnya.
“Lihatlah, laki-laki itu bahkan sudah berhasil mempengaruhi Vivi, hingga tidak mau menurut padaku,” lanjut Elsa putus asa.
“Maaf, tadi Ibu mau mengangkat jemuran, Sa. Sudah mendung, takut keburu hujan. Jadi, Vivi Ibu titipkan sama Pak Abyasa.” Ibunya memasang wajah menyesal.
Elsa memejam sebentar sebelum menarik napas panjang.
“Ya sudah, aku mau menemui dia dulu, titip Davina ya, Bu. Jangan biarkan dia ke depan lagi.” Setelah berkata demikian dan menyerahkan tubuh Davina, Elsa berniat menemui Abyasa kembali. Namun, cekalan tangan sang ibu, membuatnya urung melangkah.
“Kenapa, Bu?” Kening Elsa berkerut.
“Tidak bisakah kau memberi satu kesemapatan lagi untuk Pak Abyasa, Sa?”
“Maksud Ibu?” Kening Elsa semakin berkerut. Ia mencurigai sesuatu.
Satu embusan napas kasar keluar dari mulut Irma. “Ibu lihat Pak Aby sangat tulus, Sa. Dia sangat menyesali perbuatannya di masa lalu, dan dia sudah menunjukkan kesungguhannya memperbaiki diri. Tidakkah kau ingin memberinya kesempatan?”
Elsa kembali memejam. Mendengar ucapan sang ibu semakin menumbuhkan kebencian kepada Abyasa. Ia sangat yakin jika lelaki itu sudah berhasil menyebarkan racunnya, hingga semua keluarganya berpihak kepadanya.
“Lihatlah, ia bukan hanya berhasil mengendalikan Davina. Tapi ia juga sudah sukses mempengaruhi Ibu agar berpihak padanya dan menentangku. Ini yang aku takutkan sejak awal, Bu. Makanya aku selalu mewanti-wanti Ibu agar tidak menerima dia jika aku tidak di rumah.” Elsa semakin putus asa. Wanita itu mengangkat kedua tangannya seolah ingin meremas kepala walaupun pada akhirnya hanya mengepal di kedua sisi telinga.
“Sudahlah, aku ke depan dulu, Bu,” ujarnya akhirnya dengan lembut.
Namun, lagi-lagi Irma menahan tangan sang anak. Ada perubahan sangat kentara di wajahnya. Sesuatu ingin dikatakannya, tetapi terlihat ragu.
“Sa …,” ujarnya akhirnya.
Elsa mendekatkan kepala memindai wajah sang ibu. “Ada apa, Bu? Apa ada yang serius?”
Sang ibu berkedip lemah. “Tadi ibu mertuamu ke sini.”
Elsa melebarkan bola mata. “Lalu?”
“Dia ketemu dan bicara dengan Pak Aby.”
Elsa menelan ludah dengan susah payah.
“Pak Aby berterus terang kepada ibu mertuamu ingin menikahimu lagi.”
Elsa bergeming dengan wajah memucat.
“Ibu mertuamu murka, Sa. Berteriak-teriak di teras memaki Pak Aby. Sesumbar jika kamu tidak akan menikah dengan laki-laki lain selain dengan kakak iparmu. Dia juga bilang jika pun kamu menikah lagi, hanya akan naik ranjang.”
Elsa memejam kuat, apa yang ia takutkan pun terjadi.
“Ibu mertuamu juga menyebut sore ini akan datang lagi bersama pengacara.”
“Pengacara?” Elsa bertanya dengan napas yang mulai tersengal.
“Ya, ia akan mengambil rumah ini dan semua aset mendiang suamimu karena kamu sudah berani dekat dengan laki-laki lain padahal kita baru memperingati seratus hari kepergian David.”
“Tapi, Bu. Aku tidak ingin menikah dengan laki-laki mana pun. Aku bahkan marah melihat lelaki itu terus-terusan datang.” Telunjuk bergetar Elsa menunjuk teras di mana Abyasa masih di sana.
“Iya, tapi ibu mertuamu tahunya kamu kembali menjalin hubungan dengan Pak Aby. Sementara Bu Dinar maunya kamu menikah dengan kakak iparmu. Sepertinya kamu dalam masalah, Sa. Bu Dinar hanya akan memberimu dua pilihan. Menikah dengan kakak iparmu, maka semua peninggalan David aman, atau kamu boleh menikah dengan orang lain, tapi semua harta David termasuk Davina akan mereka ambil.”
Elsa kembali memejam. Kemarahan terhadap Abyasa semakin membumbung. Abyasa membuat ibu mertuanya salah faham. Lelaki itu membuat semua menjadi runyam. Padahal, selama ini Elsa sedang berusaha meyakinkan ibu mertuanya jika ia tidak akan menikah lagi dalam waktu dekat, karena David baru saja pergi. Kini semua menjadi runyam karena ulah Abyasa.
Elsa berjalan menuju teras dengan langkah-langkah kasar. Kekesalan terhadap lelaki itu tidak dapat disembunyikan.
“Pak Abyasa, apa maksud Anda mengatakan kepada ibu mertua saya, kita akan menikah?” Wanita itu langsung mendamprat Aby begitu tiba di hadapannya.
“Sungguh saya tidak mengerti dengan jalan pikiran Anda. Kenapa Anda terus mengusik hidup saya? Tidakkah Anda punya rasa malu sedikit saja? Setelah apa yang Anda lakukan di masa lalu, Anda masih saja membuat hidup saya rumit. Padahal saya baru ditinggalkan suami!” Elsa emosional, suaranya bahkan bergetar walaupun tidak keras.
Abyasa yang menyadari betapa luka yang ia ciptakan dulu begitu dalam hingga sulit bagi Elsa memaafkannya, hanya bisa menatap nanar sebelum akhirnya menunduk.
“Maaf,” ucapnya lemah. Penyesalan tersirat jelas.
Elsa ingin membuka mulutnya saat dari luar pagar terdengar suara gemuruh yang sangat berisik. Serta-merta ia mengalihkan pandangan hingga terlihat serombongan pria dan wanita memasuki pekarangan rumahnya, dengan wanita paruh baya berjalan paling depan dan bicara berapi-api.
“Lihatlah mereka, Pak RT dan warga semua!” teriak seseorang yang berjalan paling depan. Telunjuknya mengarah Elsa dan Abyasa.
“Padahal anak saya baru saja meninggal. Tapi istrinya sudah membawa laki-laki lain ke rumah anak saya. Saya yakin mereka sudah berbuat tidak senonoh karena laki-laki itu datang hampir setiap hari!”
Bab 2“Apa yang Mama pikirkan? Kenapa harus membawa Pak RT dan warga ke sini?” Elsa bertanya dengan air mata berlinang. Hatinya sakit diperlakukan seperti pasangan mesum seperti ini. Warga menggerebek dirinya dan Abyasa. Belum lagi teriakan mereka yang mengatai dirinya janda gatal, murahan, penggoda Om-om senang, dan masih banyak masih lagi.“Itu buat efek jera saja agar kamu tidak membawa lagi laki-laki ke rumah ini. Ingat Elsa, ini rumah peninggalan anakku. Aku tidak suka kau pakai untuk berbuat mesum.” Wanita bertubuh tambun dan rambut hampir memutih semua bicara dengan wajah merengut. Tidak ada raut bersalah atau iba mengingat sejak tadi Elsa terus menangis setelah ditegur ketua RT dan diteriaki warga.“Mama bicara apa? Aku tidak pernah membawa laki-laki masuk rumah ini. Apalagi sampai berbuat mesum. Demi Tuhan Ma, bahkan sakit karena ditinggalkan Bang David masih terasa, aku tidak ingin berurusan dengan yang namanya laki-laki lagi.” Masih di antara tangisan, Elsa menjelaskan.“Ta
Bab 3“Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana kondisi Bapak?” Dengan jantung yang terasa berhenti berdetak, Elsa menatap nanar sang ibu yang pucat dan gemetar.“I-bu tidak tahu, Sa. Orang-orang di sana hanya bilang Bapak terjebak. Tidak sempat keluar.” Gagap dan gemetar, ibunya menjawab.Bahkan Elsa tidak sempat menetralkan detak jantung. Ia meminta sang ibu membawa Davina untuk ikut ke rumah sakit. Pun dengan Dinar yang akhirnya ikut serta.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Elsa mengendalikan mobil dengan tangan gemetar dan hati kacau. Ia takut terjadi sesuatu dengan sang ayah. Tak dapat dibayangkan jika sampai tak tertolong.“Elsa, hati-hati bawa mobilnya. Kamu mau kita celaka?” Dinar yang duduk di kursi belakang terus mengomel karena beberapa kali mobil mereka hampir bersenggolan dengan pengendara lain. Belum lagi pejalan kaki yang hampir tertabrak karena Elsa menerobos lampu merah.Davina yang terpaksa dibawa pun terus menangis ketakutan karena sang ibu mengemudi dengan pani
Bab 4“Apa tidak ada jalan lain, Dokter?” Sekuat tenaga Elsa menegarkan hati yang padahal sudah pecah berserakan. Ayahnya adalah kaki-kakinya selama ini. Ayahnya yang membantu mendirikan rumah makan itu. Apa lagi setelah ini? Setelah berita kehilangan asetnya, kini ia juga harus dihadapkan kenyataan jika sang ayah harus kehilangan kakinya. Hati Elsa benar-benar hancur.Pria berjas putih dengan kacamata bertengger rendah di tulang hidungnya menggeleng lemah. Tanpa dokter menerangkan apa pun lagi, Elsa sudah sangat mengerti apa yang terjadi. Luka sang ayah sangat serius.Ayahnya terjebak di lantai dua. Tidak bisa keluar karena lantai satu sudah penuh api. Semua jendela dan pintu di lantai dua tertutup rapat dan terkunci karena Fadli berniat pulang setelah memeriksa semua ruangan. Ledakan besar membuat ia panik dan berlari ke bawah. Nahas sesuatu yang sudah terbakar jatuh menimpa tubuhnya hingga kedua kakinya ikut terbakar. Dan setelah beberapa lama, tim damkar baru bisa mengevakuainya.
Bab 5“Aku akan membantumu mengusut kasus ini sampai tuntas, Elsa.” Abyasa yang masih menggendong Davina, menegaskan.“Jika kau tidak suka, anggap saja ini untuk keluargamu. Untuk Davina dan kedua orang tuamu,” lanjutnya saat sadar sorot tidak suka di mata Elsa.“Aku hanya ingin keadilan untuk kalian. Karena ini bukan murni kecelakaan. Ini kesengajaan.” Suara Abyasa lembut dan meyakinkan.Elsa membuang muka. Walaupun sangat marah dengan Abyasa, tetapi tak ayal perkataan lelaki itu mengusik hatinya. Kesengajaan? Ada dalang di balik kebakaran itu? Siapa yang sudah tega melakukan kepadanya?Elsa memang belum bersedia memberi keterangan apa pun terhadap petugas kepolisian. Selain masih sangat shock, kondisi sang ayah yang urgent membuatnya harus mendahulukan keselamatnya. Urusan dengan polisi bisa diurus belakangan. Karyawan yang meninggal di tempat pun, belum ia lihat kondisinya.“Kesengajaan?” Dinar yang menyusul, menyela. Keningnya berkerut dalam. “Apa maksudnya dengan kesengajaan?”Ab
6“Aku malah curiga kebakaran yang menimpa restoranku ada hubungan dengan Mama.” Elsa membalas sinis.Mata Dinar melebar sempurna, bahkan seolah ingin loncat dari rongganya. Wajahnya merah padam dengan otot pelipis terlihat berdenyut. Wanita paruh baya itu ingin menyerang Elsa, tetapi dengan sigap Adrian menghadangnya. Memeluk sang ibu dan menenangkannya agar tidak terjadi keributan lain.“Ma, sudahlah. Jangan tambah masalah lagi. Kasihan Elsa, lihat ia bahkan butuh pengobatan karena penyerangan wanita tadi.”“Itu salahnya sendiri kenapa ia tidak becus, tidak perhatian terhadap karyawannya. Dan memang benar apa yang dikatakan wanita tadi, jika Elsa bodoh. Untuk apa mendirikan lagi restoran baru, padahal restoran peninggalan David sudah cukup untuk menghidupi dirinya dan Davina,” sergah Dinar yang sibuk ingin melepaskan diri.“Sudah, sebaiknya Mama diam dulu untuk saat ini. Elsa baru saja tenang. Vivi juga ketakutan, kan? Jangan buat mereka semakin menderita,” ujar Adrian lagi bijak.“
7“Ma, aku mohon sudahi semua.”Sore ini Elsa sengaja mendatangi rumah sang ibu mertua setelah proses operasi sang ayah dinyatakan lancar. Walaupun pria paruh baya yang hampir seluruh tubuhnya dipenuhi luka bakar itu belum sadarkan diri, tetapi setidaknya dokter menyatakan masa kritisnya telah lewat.Elsa bisa meluangkan waktu untuk mengurus kasus yang tiba-tiba saja menimpa Abyasa.Lelaki itu ditangkap polisi di sekitar rumah sakit dengan alasan yang tidak masuk akal. Dalang kebakaran rukonya, juga penculikan anak. Padahal Abyasa tengah mengasuh Davina saat itu. Dan Davina sendiri sangat riang bermain ditemani laki-laki itu.Belakangan Elsa tahu jika sang ibu mertua yang melaporkan Abyasa ke polisi. Sangat tidak masuk akal. Hanya karena tidak ingin ia menikah dengan laki-laki itu, sang ibu mertua sampai membuat laporan palsu. Ya, palsu menurut Elsa karena Abyasa tidak pernah menculik Davina sama sekali. Anak itu sangat senang jika bersama Abyasa. Saat penangkapan kemarin, gadis kecil
8“Apa yang Mama lakukan?” Adrian yang beberapa detik lalu hanya mematung, gegas mengambil tas Elsa. Lalu memasukkan barang-barang yang dibuat berantakan oleh sang ibu kembali ke dalam tas.Sementara Elsa yang masih kaget dan tidak percaya dengan yang baru saja terjadi, masih bediri dengan wajah pias dan jantung yang bekerja lebih cepat. Semua terjadi begitu cepat, hingga ia tak bisa berubuat apa-apa. Matanya mengerjap setelah beberapa lama, kedua tangan memegangi dada di mana di dalamnya ramai berbagai perasaan yang berbaur.“Ma, kembalikan semua milik Elsa. Ini tidak benar.” Adrian maju setelah barang-barang yang semula berserakan di lantai telah kembali berada di dalam tas. Kemudian menadahkan tangan, meminta sang ibu mengembalikan semua yang sudah dirampasnya dari dompet Elsa.Alih-alih menuruti permintaan Adrian, Dinar melipat kedua tangan di dada. Salah satu ujung bibirnya terangkat, hingga menciptakan lengkungan sinis di sana.“Enak saja, Mama tidak akan mengembalikan semuanya.
9“Pemilik rumah? Siapa maksud kalian?” Elsa menatap tajam semua orang itu dengan kening yang berkerut. Pun dengan Adrian yang sudah menyusul.“Aku pemilik rumah ini. Ini rumah suamiku. Aku bahkan bisa menunjukkan surat-surat resminya.” Elsa nyolot. Tentu saja ia tidak terima tiba-tiba diusir dari rumahnya sendiri. Oleh orang-orang asing pula yang ia yakin mereka bodyguard. Terlihat dari perawakannya yang mirip satu sama lain.“Kami tidak perlu mengatakannya. Silakan pergi dari sini. Kami sudah membereskan barang-barang Anda semua.” Salah satu dari mereka yang menjadi perwakilan menunjuk beberapa koper yang ditumpuk asal.“Enak saja kalian bicara. Aku pastikan tidak akan pergi dari rumah ini. Aku bahkan bisa mempolisikan kalian atas tindakan ini!” Elsa mulai tersulut emosi. Lelah jiwa raga membuatnya cepat terpancing. Wanita itu ingin merangsek masuk, mencoba menembus para pengawal itu. Sayangnya mereka tidak memberi jalan, bahkan salah satunya ingin menyentuh tangan Elsa untuk ditari