[Desember, 2020]
?Jikalau kau cinta
Benar-benar cinta
Jangan katakan
Kamu tidak cinta?
Lirik lagu yang terlantun dari radio itu seperti tengah menyindir Tabitha yang beberapa saat lalu baru saja keluar dari ruang sidang. Ruang eksekusi yang nantinya akan mengantarkan Tabitha pada gerbang perpisahan yang sesungguhnya.
Berat. Rasanya sangat berat harus melewati proses yang baru saja dimulai itu. Tadi, saat melangkahkan kaki ke parkiran, Tabitha tiba-tiba terhuyung dan nyaris ambruk. Ia sudah akan tersungkur jika tidak refleks berpegangan pada tembok. Hari ini adalah sidang pertama yang akan membebaskan wanita itu dari status menikah menjadi janda−status yang sesungguhnya sangat ia benci−yang hanya dihadirinya seorang diri.
Sakha, yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya itu, tidak hadir ke persidangan. Tidak pernah sama sekali bahkan sejak proses mediasi. Tabitha tidak tahu di mana Sakha berada sekarang. Tabitha juga tidak tahu kabarnya sama sekali. Laki-laki itu meninggalkan rumah mereka−dengan membawa pakaiannya dan barang-barang pribadinya−tiga hari setelah Tabitha melayangkan gugatan cerai. Selama tiga hari itu, Sakha sudah berkali-kali memohon bahkan sampai berlutut di hadapan Tabitha agar istrinya itu mau membatalkan gugatan. Namun, keputusan Tabitha untuk bercerai sudah bulat. Ia sudah cukup tersiksa. Ia tidak bisa menatap Sakha tanpa rasa sakit yang menusuk-nusuk dada. Sehingga mau beribu kali pun Sakha memohon, Tabitha tetap tidak akan berubah pikiran.
Tahu bahwa usahanya tidak membuahkan hasil, dengan sangat terpaksa Sakha pun mengalah dan mengabulkan apa yang Tabitha inginkan. Sakha langsung melayangkan talak tiga di hadapan Tabitha yang tergugu dalam tangis, lalu Sakha pergi tanpa pernah menoleh lagi. Meninggalkan Tabitha menangis pilu sendirian. Hari itu jugalah, mereka terakhir bertemu.
Tabitha sempat merasa yakin bahwa Sakha akan datang saat proses mediasi. Mengingat bagaimana laki-laki itu memohon pada Tabitha agar mereka tidak berpisah, Tabitha pikir Sakha masih ingin mempertahankan bahtera rumah tangga mereka dan akan datang saat mediasi. Sebab, seperti yang dikatakan oleh pengacaranya, cukup banyak pasangan menikah yang tidak jadi bercerai atau setidaknya mau mempertimbangkan perpisahan mereka melalui proses mediasi. Sayangnya, Sakha tidak datang. Di hari pertama mediasi, Tabitha menunggu lebih dari tiga jam, tetapi Sakha sama sekali tidak menunjukkan diri. Di kesempatan berikutnya, Sakha tidak muncul lagi. Hingga tiba hari ini, dua minggu setelah proses mediasi yang gagal itu, Tabitha datang ke sidang pertama perceraian mereka. Dan sudah bisa ditebak, Sakha tidak juga datang. Dari pihak Sakha hanya diwakili oleh pengacaranya.
?Jangan sampai hingga waktu perpisahan tiba
Dan semua yang tersisa hanyalah air mata
Hanya air mata?
Tabitha tersenyum miris. Air mata meleleh saat menyadari isi lagu itu sangat tepat dengan keadaannya saat ini. Ketika perpisahan sudah benar-benar di depan mata, Tabitha menyadari bahwa perpisahan ini akan menjadi trauma besar baginya. Tidak ada yang menyukai perpisahan. Tabitha pun tidak. Tetapi, berpisah dengan Sakha adalah pilihan yang harus ia ambil agar ia tidak terkungkung dalam rasa sakit yang nyaris membuatnya mati rasa.
“Kamu tahu apa yang paling aku benci di dunia ini, Bee?”
Tabitha menghentikan mobil di tepi jalan saat mengingat pertanyaan yang dilontarkan oleh Sakha dulu, ketika ia dan Sakha sempat hampir putus karena kekeraskepalaan mereka masing-masing membuat masalah-masalah yang mereka hadapi tidak kunjung terselesaikan dan keduanya sudah mulai muak bertengkar hingga saling menyakiti dengan kata-kata. Namun, saat hubungan mereka sudah berada di ujung tanduk, entah bagaimana caranya Sakha bisa membuat Tabitha kembali memikirkan momen-momen berharga mereka sehingga mereka tetap bertahan hingga pada akhirnya menikah.
“Perpisahan,” bisik Sakha.
“Setiap pertemuan pasti akan berujung pada perpisahan, Sakha. Itu nggak bisa dihindari,” balas Tabitha retorik.
“Perpisahan yang nggak bisa dihindari itu kematian, Bee. Selain kematian, masih bisa dihindari.” Sakha menggeleng lalu mengoreksi ucapannya, “Aku lebih suka menggunakan istilah ‘mengusahakan hubungan sebaik mungkin’ jadi kita nggak perlu menghindari perpisahan. Karena selama kita mengusahakan hubungan kita dengan baik, kita akan dijauhkan dari perpisahan.”
Tabitha melongo dan menyahut, “Kamu ngomong apa sih, Sakha? Aku nggak paham.”
Sakha menyentil kening Tabitha karena gemas lalu menjawab, “It may sounds cliché, tapi aku nggak mau kita putus cuma gara-gara kita nggak bisa menyelesaikan masalah di antara kita. Let me be by your side, Bee, until the death do us apart.”
Terpampang jelas di ingatan Tabitha saat wanita itu tersenyum penuh haru karena ia pun tidak ingin berpisah dari Sakha hanya karena sudah muak menghadapi masalah-masalah yang menimpa hubungan mereka. Tabitha sadar bahwa tidak seharusnya ia melarikan diri dari masalah di antara mereka. Sebab, jika itu yang ia lakukan, maka jika suatu saat menghadapi hal yang sama, ia akan terus melarikan diri. Dan Tabitha tidak ingin begitu. Ia ingin dan berjanji tidak akan lari dari masalah. Ia akan menghadapi masalah-masalah itu bersama Sakha di sisinya.
“It’s not cliché, Sakha,” balas Tabitha kala itu. “Ayo, kita hadapi bersama, apa pun itu yang menghadang kita di depan sana. I will never let you go.”
Sakha tersenyum. Senyum lebar yang membuat ketampanan laki-laki itu bertambah berkali-kali lipat. Membuat Tabitha jatuh cinta semakin dalam. Tabitha tidak pernah tahu bagaimana sebuah senyum bisa membuat dirinya jatuh cinta habis-habisan. Yang Tabitha tahu, hanya Sakha yang bisa melakukannya. Hanya Sakha yang membuat Tabitha dengan suka rela menyerahkan hatinya di tangan laki-laki itu hanya karena melihat sosok itu tersenyum kepadanya. Hanya kepadanya.
?Ke mana pun kau acuh
Cinta tak pernah rapuh
Berpaling pun tak mampu hilangkan cinta
Percayalah?
Tabitha kembali memijak bumi saat mendengar isi dari baris lirik lagu itu, air mata Tabitha mengalir semakin deras. Cintanya kepada Sakha ternyata begitu besar. Tetapi ia salah. Setelah dipisahkan, ia justru semakin sadar kalau tidak akan ada yang bisa membuat ia berhenti mencintai Sakha. Hatinya sudah ia serahkan kepada Sakha sejak ia memutuskan untuk jatuh cinta kepada laki-laki itu. Dan saat Tabitha memilih pergi dari Sakha, ia lupa mengambil kembali hatinya.
Saat berbelok ke jalan yang akan membawanya pulang ke rumah orang tuanya, ada telepon masuk dari kontak yang ia namai ‘Ibu Mertua’.
Ingin rasanya Tabitha menolak panggilan itu karena masih tidak punya muka untuk menghadapi calon mantan ibu mertuanya. Tidak hanya Tabitha dan Sakha yang tersakiti karena perpisahan mereka, tetapi kedua orang tuanya dan juga ibu mertuanya pun tersakiti.
“Assalamu’alaikum, Bu,” ucap Tabitha dengan nada tercekat
“Wa’alaikumsalam. Lagi di mana, Tha?” tanya Ibu.
“Ini lagi di jalan, Bu. Mau pulang ke rumah Mama.”
Setelah Tabitha menjawab demikian, terdapat jeda yang cukup lama sebelum ibu mertuanya kembali bersuara.
“Ibu minta maaf hari ini nggak bisa datang,” kata Ibu lirih.
Tabitha mencengkeram kemudi kuat-kuat. Hatinya sakit mendengar suara Ibu yang penuh sesal. Namun, sesungguhnya Tabitha bersyukur karena Ibu tidak datang. Sebab, ia tidak tahu harus berkata apa jika harus berhadapan dengan ibu mertuanya setelah apa yang terjadi pada pernikahannya dengan Sakha. Tabitha juga tidak sanggup melihat sorot kekecewaan dan kesedihan mendalam di mata ibu mertuanya. Seperti beberapa minggu lalu saat Ibu mendatangi dirinya dan menanyakan alasan Tabitha ingin bercerai dengan Sakha. Saat itu, Tabitha hanya bisa menangis di depan Ibu yang pada akhirnya juga ikut menangis. Hingga hari ini, Tabitha tidak menjelaskan apa pun kepada ibu mertuanya bahkan orang tua Tabitha sendiri pun tidak benar-benarc tahu alasan Tabitha memutuskan untuk menceraikan Sakha.
“Nggak apa-apa, Bu,” jawab Tabitha lirih setelah beberapa saat terdiam karena pikirannya terdistraksi sesaat.
“Sebenarnya minggu lalu Sakha masuk rumah sakit, Nduk. Jadi nggak bisa datang,” terang Ibu dengan nada sedih yang kentara. Membuat Tabitha luluh lantak.
“Bagaimana keadaan Sakha sekarang, Bu?” tanya Tabitha. Berusaha menahan air matanya yang hampir kembali jatuh.
“Sudah tinggal pemulihan saja, Tha,” jawab Ibu tanpa memberikan penjelasan lain.
Tabitha menguatkan hari dan kembali bersuara, “Bitha boleh ke sana, Bu?”
Terdengar helaan napas dari seberang telepon yang membuat Tabitha langsung tahu jawabannya sebelum Ibu menjawab.
“Nanti Ibu tanya Sakha dulu ya, Nduk,” Ibu menjawab beberapa detik kemudian.
Tabitha tersenyum kecut. Tidak ada obrolan basa-basi lagi setelah itu. Tabitha tidak tahu harus berkata apa dan ibu mertuanya pun sepertinya tidak ingin terlalu lama berbincang dengannya. Keakraban yang pernah mereka miliki sebagai ibu mertua dan menantu telah luntur. Yang tersisa hanya kecanggungan. Dan sekali lagi, Tabitha kehilangan sosok penting dalam hidupnya karena keputusan yang ia pilih.
Seperti yang sudah Tabitha perkirakan, saat Ibu mengabari setengah jam kemudian, Sakha tidak mengizinkannya datang. Sakha tidak mau bertemu dengan dirinya.
Meski Tabitha sangat ingin melihat Sakha dan mengetahui keadaan laki-laki itu, mau tidak mau Tabitha harus terima. Bahwa ini adalah salah satu konsekuensi pahit yang harus ia hadapi.
[Yunani 2026] Tabitha terbangun dari tidurnya karena mendengar suara debur ombak yang menyapa telinga. Ketika kedua matanya telah sepenuhnya terbuka, wanita itu langsung dihadapkan pada pemandangan indah yang membuat senyum manisnya terukir. Yaitu punggung liat suaminya yang tak terbalut sehelai kain menjadi yang pertama Tabitha lihat. Laki-laki itu berdiri membelakanginya, dengan kedua tangan bersandar di pagar balkon kamar. Senyumnya melebar kala sang suami menyadari kalau ia telah bangun dan sosok itu berbalik untuk menatapnya. "Selamat pagi, Istriku." Sapaan itu membuat wajah Tabitha memerah. Gara-gara panggilan yang terdengar manis itu juga kemarin Tabitha berakhir telanjang di atas tempat tidur sesaat setelah mereka tiba di kamar dengan pemandangan menakjubkan itu. Mereka bergumul di atas ranjang hingga tengah malam, sama-sama banjir peluh dan kelelahan, tetapi banjir kenikmatan. Tanpa sempat menikmati pemandangan yang disuguhkan salah satu pulau di Yunani yang menjadi dest
Pada pernikahan pertamanya dengan Sakha, banyak tangis yang diam-diam Tabitha pendam setiap kali wanita itu kembali mendapatkan tamu bulanan. Pada saat memasuki tahun kedua pernikahan, Tabitha masih belum terlalu mempermasalahkannya. Ia masih bisa berpikir positif dan menganggap bahwa ia belum siap menjadi ibu. Bahwa ia masih diberi waktu oleh Tuhan untuk menyiapkan mental. Tabitha memilih menikmati hari demi harinya bersama Sakha. Merajut cinta yang terus bertumbuh seiring berjalannya waktu.Tabitha baru mulai khawatir saat tahun ketiga, sudah mulai ikut promil, tetapi malam-malam penuh cintanya bersama Sakha tak juga menghadirkan bayi di dalam perutnya. Terlebih mengetahui Sakha yang sudah sangat mengharapkan kehadiran anak, Tabitha jadi gundah gulana.Hati Tabitha remuk setiap kali Sakha mengecup perutnya dan membisikkan doa agar usahanya membuahkan hasil, tetapi esok harinya Tabitha mendapati bercak merah di celana dalamnya. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika Tabitha sudah t
Rachel Kalila Ramadhani."Halo, anak Ayah."Sakha memandangi bayi mungil yang masih merah dari balik kaca dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah sejak berpuluh-puluh menit ia berdiri di sana. Ia sangat bahagia karena akhirnya bisa menyambut buah cintanya bersama Tabitha, tetapi juga teramat patah hati karena tidak bisa langsung merengkuh anak gadisnya yang masih harus mendapatkan beberapa penanganan medis khusus.Karena sudah harus lahir beberapa minggu sebelum HPL, berat badannya saat ini hanya 2,4 kilogram. Laju pernapasannya masih belum teratur sehingga harus dibantu alat pernapasan yang terpasang di hidungnya. Istrinya saat ini sedang beristirahat di kamar inap setelah operasi caesar yang harus dilaluinya karena kondisi medis darurat.Tadi, saat harus mendengar berita itu disampaikan oleh dokter dan istrinya menangis karena mengkhawatirkan kondisi bayinya, Sakha nyaris ikut meneteskan air mata. Ia benar-benar tidak tega melihat sang istri yang menahan sakit di perut sekaligus terte
"Lho, Bee? Kok belum ganti baju?" Sakha mengernyit bingung melihat istrinya belum selesai bersiap-siap. Istrinya masih mengenakan jubah mandi seperti satu jam yang lalu. Bedanya, wajahnya sekarang sudah full make-up. Menambah kesan cantik yang memikat Sakha meski hanya melihat wajah istrinya dari samping. "Aku bingung mau pakai baju apa," gumam Tabitha. Masih betah memandangi deretan gaun di dalam lemari yang pintunya telah terbuka lebar-lebar. "Semalam bukannya udah kamu siapin sama baju aku sekalian, Bee?" Tidak hanya itu. Sebenarnya sudah sejak jauh-jauh hari Tabitha membeli gaun--yang serasi dengan batik yang dikenakan Sakha sekarang--untuk dipakai saat resepsi pernikahan Haga dan Meg. Sakha mendekat kepada istrinya dan ikut melongok ke dalam lemari lalu meraih gaun berwarna salem yang langsung terlihat di matanya. "Pakai ini, kan?" Tabitha merengut saat melihat ke arah suaminya. "Aku kelihatan makin gendut kalau pakai ini. Mau pakai yang lain tapi bingung. Semua baju yang
Mata Tabitha mulai berkaca-kaca karena tidak bisa menahan rasa haru yang mengisi dadanya karena dua nama yang sarat makna indah yang sudah disiapkan oleh suaminya itu. Saat menyinggung soal nama anak tadi dan mendengar fakta kalau suaminya telah menyiapkan dua nama untuk calon anak mereka, Tabitha sama sekali tidak berekspektasi tinggi. Tetapi begitu mendengar Sakha mengucapkan dua nama itu dengan tatapan penuh cinta, bahkan sampai menjelaskan arti namanya masing-masing, Tabitha langsung tahu bahwa Sakha telah mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Tidak asal mencomot nama dari internet karena tampak bagus dipadu-padankan. Dan hal itu membuat Tabitha semakin tak bisa menahan air matanya. "Bee, kok nangis? Kamu nggak suka, ya?" Sakha mendadak panik. Tampak rasa khawatir yang pekat membayangi wajahnya. Ia langsung mencerocos panjang lebar. "Aku nggak akan maksa kamu pakai nama itu kalau nama yang aku siapin nggak sesuai harapan kamu kok. Maaf, Bee. Udah ya? Jangan nangis lagi. Kala
"Kalian kenapa lebay banget, sih? Gue nggak papa kali!" keluh Albert yang sama sekali tidak terlihat baik-baik saja, seperti yang diucapkannya barusan.Laki-laki itu masih telungkup di atas tempat tidur, hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Aroma tidak sedap karena sisa-sisa alkohol memenuhi kamarnya yang terang benderang karena cahaya dari lampu."Lo nggak inget semalem nelepon gue sampai nyaris dua jam? Kuping gue sampai panas denger lo ngomong sambil kumur-kumur!" cibir Ranis seraya membuka gorden dan jendela.Sementara Tabitha menyingkirkan pakaian-pakaian kotor milik Albert yang bertebaran di lantai. Memasukkannya ke dalam keranjang kotor yang ada di dekat pintu kamar mandi.Bukannya merasa bersalah, Albert malah cengengesan. "Masa, sih?""Lo bikin gue kurang tidur gara-gara nungguin Sakha nggak balik-balik tau nggak!" omel Tabitha menimpali keluhan Ranis yang diganggu malam-malam oleh curhatan Albert di telepon. "Kenapa jadi gue yang salah? Sakha yang inisiatif nemenin g