Share

MENIKAHI MANTAN SUAMI
MENIKAHI MANTAN SUAMI
Penulis: naftalenee

BAB 1. Kapal yang Karam

[November 2020]

"Kita cerai aja, Kha. Aku nggak bisa melakukan ini lagi. Aku nggak bisa ngelanjutin pernikahan kita."

Setelah seharian tidak terlihat di rumah, tidak bisa dihubungi−entah sengaja mematikan ponsel atau kebetulan baterai ponselnya habis−Tabitha akhirnya pulang, menerobos ruang kerja Sakha dan tiba-tiba mengatakan hal yang tak masuk di akal.

Sakha berbalik untuk menghadap sang istri yang menatapnya garang.

"Kamu bicara apa, sih, Bee? Kamu abis dari mana aja? Aku hubungin berkali-kali dari tadi tapi hape kamu nggak aktif."

Dan Sakha masih bisa menanggapinya dengan santai. Karena sehari-hari hidup bersama Tabitha, istrinya itu memang sering mengucapkan hal-hal yang tak masuk akal. Meski kali ini rasanya terlalu ganjal.

Tanpa menunggu jawaban Tabitha, Sakha memutar kursinya untuk kembali menghadap laptop yang menampilkan folder berisi foto-foto liburan dadakannya dengan Tabitha bulan lalu.

"Sini deh, Bee, aku kasih lihat sesuatu," lanjut Sakha tanpa menoleh ke arah Tabitha. "Aku udah kelar edit foto-foto kamu yang waktu kita jalan-jalan ke Dufan. You look so beautiful and sexy."

Namun, Tabitha seolah tak ingin mendengar lebih banyak lagi dari Sakha. Wanita itu hanya bergeming di tempat. Memegangi sebuah map di tangan dengan gemetar. Sakha tidak memperhatikan hal itu. Atau lebih tepatnya Sakha terllau abai hingga tak tampak peduli.

"Sakha, aku mau cerai," kata Tabitha sekali lagi.

Di detik selanjutnya Tabitha meletakkan map itu di atas keyboard laptop Sakha. Menghentikan gerakan jari Sakha di atas touchpad laptopnya.

Sementara itu Sakha masih belum menanggapi dengan serius. Sama sekali tidak memperhatikan ekspresi keruh dan muak di wajah Tabitha. Laki-laki itu menyingkirkan map yang disodorkan Tabitha tanpa membukanya. Kemudian melanjutkan sesi edit foto yang selalu bisa membuatnya abai akan sekitar.

Sesuatu hal yang biasanya tidak menjadi masalah, tetapi kali ini membuat Tabitha terlihat makin naik darah. Wanita itu kembali meletakkan map itu di atas keyboard laptop Sakha. Kali ini dengan sedikit sentakan.

Mau tak mau Sakha mengalihkan perhatiannya pada map asing itu.

"Ini apa sih, Bee?" tanya Sakha sambil mendongak sebentar untuk menatap Tabitha yang berdiri di samping kursinya. Namun, masih juga tak ia buka.

Lama Tabitha memandangi Sakha sebelum menjawab, "Surat gugatan cerai dari aku."

Dan setelah ketiga kalinya Tabitha menyebut kata cerai, Sakha baru mulai benar-benar memusatkan perhatiannya kepada istrinya. Kali ini wajahnya diliputi oleh kekagetan, ketidakpercayaan, dan tentu saja kebingungan.

"Bercanda kamu."

"Aku nggak bercanda, Kha."

Sakha meraih pergelangan tangan Tabitha dan dengan sabar bertanya, "Tabitha, kamu bicara apa sih? Cerita sama aku, kamu kenapa? Ada masalah apa sampai kamu begini?"

Tabitha menunjukkan ekspresi keras, ekspresi yang jarang wanita itu tunjukkan. Kemudian berkata dengan dingin, "Aku udah tanda tangan di situ. Kamu juga... tinggal tanda tangan aja."

Sakha terpaku selama beberapa saat. "You're out of your mind."

"Apa aku harus ulangi buat yang keempat kalinya biar makin jelas?" Tabitha menimpali dengan sinis.

Kemudian ia mengempaskan tangan Sakha hingga genggamannya terlepas. Tabitha mundur dua langkah. Menunduk sedikit untuk bisa menatap mata Sakha yang masih duduk di kursinya dan sekali lagi berkata, "Aku. Mau. Cerai."

Sakha harus bersusah payah menahan amarah yang timbul akibat permintaan gila istrinya.

"Aku sadar sepenuhnya dengan apa yang aku lakukan. Kalau kamu nggak mau tanda tangan, besok kamu bisa ketemu langsung dengan pengacaraku," tukas Tabitha yang kemudian berbalik untuk pergi.

Sakha buru-buru berdiri. "Wait, kamu mau ke mana, Bee?"

"Aku nggak mau tinggal di sini lagi. I'm out. Dan please, kamu sebaiknya berhenti manggil aku Bee. Aku muak kamu panggil dengan nama itu."

Sakha menahan pergelangan tangan Tabitha sebelum istrinya itu beranjak pergi. "Kamu nggak bisa pergi gitu aja tanpa kasih penjelasan kenapa kamu melakukan ini? We're so fine every day. Kenapa kamu tiba-tiba begini, Bee?"

"I told you to stop calling me Bee," sahut Tabitha dingin. "Dan ini nggak tiba-tiba. Aku udah mikirin semuanya matang-matang. I'm done with you. Aku nggak mau... aku nggak bisa hidup seatap sama kamu lagi."

Sakha mengernyit bingung. Sama sekali tidak paham akan perkataan Tabitha. "Memangnya apa yang udah kamu pikirin matang-matang?"

"Us."

Kernyitan di kening Sakha semakin dalam. Semakin tidak mengerti arah pembicaraan Tabitha.

"Kita? Aku nggak ngerti. Emangnya kita kenapa? Kita baik-baik aja, Bee. Setidaknya itu yang aku tahu."

Tabitha membasahi bibir bawahnya yang terasa kering sebelum menjawab, "Aku capek, Kha. We've tried for years dan aku masih nggak bisa kasih kamu anak sampai hari ini. And I'm sorry, aku nggak bisa melakukannya lagi, Kha. Aku capek dikejar-kejar kedua orang tua kita, dicekoki segala macam obat-obatan yang katanya manjur untuk memudahkan aku hamil. Aku udah nggak mau lagi."

Wajah Sakha pias. Sama sekali tidak menyangka Tabitha akan mengatakan itu tepat di depan mukanya.

"We can stop trying if you want to. All you have to do is ask, Tabitha. Aku selalu bilang sama kamu, kalau keputusan punya anak atau enggak bukan sepenuhnya menjadi keputusanku. Tapi keputusan kita berdua. Kalau kamu nggak mau punya anak, then I don't want to," ujar Sakha.

Tabitha menggeleng.

"Mungkin kamu bisa bilang begitu sekarang. Tapi gimana setahun, dua tahun, lima tahun, atau sepuluh ke depan di saat kamu mulai lelah hidup berdua sama aku tanpa ada anak? Kamu akan mulai menyalahkan aku karena aku egois. Kamu akan mulai membenci aku karena aku menyerah untuk punya anak. Dan kamu akan mulai menyesal karena udah membuang-buang waktu berharga kamu dengan hidup bersama perempuan nggak berguna yang menyia-nyiakan rahimnya."

"Apa memang selalu sedangkal itu pemikiran kamu tentang aku? Bahkan setelah tiga tahun kita menikah, hanya itu impresi kamu ke aku?"

Sakha menatap Tabitha dengan kekecewaan yang tak bisa ia perkirakan seberapa besarnya. Terlalu besar hingga meluap-luap memenuhi dadanya.

"Ini bukan pemikiran dangkal, Sakha. Tapi aku tahu, kalau itu akan terjadi suatu hari nanti. Aku hanya mempersingkat waktunya aja."

Sakha tersenyum getir. Ia masih tidak mengerti mengapa hidupnya yang selama bertahun-tahun ini begitu tenang dan damai bersama Tabitha—istri yang telah ia nikahi selama tiga tahun dan telah ia kenal lebih dari delapan tahun—mendadak kacau. Tabitha seperti sengaja menghentikan paksa segala hal baik yang mereka lalui selama bertahun-tahun bersama.

"Tabitha, please just be honest with me. Bilang sama aku kalau semua ucapan kamu ini hanya prank konyol karena kamu lagi pengen isengin aku."

"Mana ada orang nge-prank minta cerai, Sakha," ujar Tabitha datar.

Kepala Sakha mendadak pening luar biasa. Ia membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan perhatian. Sesuatu yang bisa ia pukuli hingga amarahnya tersalurkan. Namun, pada akhirnya ia hanya termangu di tempat. Ia setengah berpaling dan matanya tertuju pada foto Tabitha di layar laptopnya. Wanita itu tersenyum lebar, tampak ekspresif dan bahagia sekali saat itu. Berbanding terbalik dengan sosok yang ada di hadapannya kini, yang sama sekali tidak terlihat bahagia. Dan Sakha menginginkan wanitanya yang banyak tersenyum dan tertawa itu, yang entah pergi ke mana sosoknya, kembali kepadanya.

"I can't let you go," ujar Sakha yang mulai putus asa.

Sayangnya, Tabitha seakan tidak terpengaruh dengan kemurungan yang mewarnai wajah suaminya. Masih dengan nada dan ekspresi datar, wanita itu berucap, "Kamu harus melepaskan aku. Ini yang terbaik untuk kita berdua."

Sakha menggeleng lemah dan tertawa hambar. Wajahnya semakin muram. Suaranya makin lirih saat berkata, "Kalau kamu mau yang terbaik buat kita berdua, kamu akan tetap tinggal di sini bersamaku. Kita hidup berdua sampai maut memisahkan. That's how we live our life."

Tabitha menatap Sakha dengan sedih. "We can't do this anymore, Sakha."

"Nggak, Bee. Kita bukannya nggak bisa, tapi kamu... kamu nggak mau melakukan ini sama aku lagi. Because you don't love me anymore."

Dan itu bukanlah pertanyaan. Melainkan pernyataan Sakha yang membuat laki-laki itu semakin remuk redam.

Tabitha mengonfirmasi pernyataan Sakha tersebut dengan sambil menahan jatuhnya air mata yang sudah menggenangi pelupuk mata. Matanya tak bisa berbohong. Cinta itu masih ada di sana. Utuh. Hanya saja rasa percayanya yang sudah terlibas habis.

Pada akhirnya inilah yang Tabitha katakan, "No, kamu salah, Sakha. Kamu harus tahu... kalau aku selalu mencintai kamu. Aku sangat mencintai kamu sampai rasanya sakit. Ini terlalu sakit, Sakha. Aku nggak bisa melakukannya lagi. Aku nggak bisa lagi menjadi istri kamu dengan menanggung rasa sakit ini. I love you, I really do. Tapi aku nggak bisa mencintai kamu lagi."

"Oh my God, please stop saying bullshit things," lirih Sakha dalam kesakitan. Dan ia pun semakin tertunduk lesu, yang diam-diam juga melukai hati Tabitha.

"Why did you do this to me, Bee? Apa salahku?" sambung Sakha. Ia berbisik pelan sekali. Hatinya terluka dan berdenyut perih.

Sakha sama sekali tak pernah membayangkan kalau dalam hidupnya ia akan menghadapi ini. Di mana istri yang begitu ia cintai, Tabitha, tidak bisa lagi mencintainya. Fakta itu adalah hal yang paling tidak ingin Sakha dengar dan percayai.

"Aku minta maaf," ucap Tabitha kemudian.

"Maaf?" Sakha menjawab spontan dengan nada yang sangat dingin.

"Buat apa, Tabitha? Buat apa kamu minta maaf?" Kemudian ia tertawa sinis. "Kamu menyesal karena perasaan kamu buat aku udah nggak sama lagi? Atau karena gugatan kamu ke aku hanya karena kamu ngerasa kalau kamu udah nggak mencintai aku lagi? Kamu nggak bisa ngelakuin ini ke aku, Tabitha. Damn it! You are so mean!"

Tabitha memakukan tatapan pada suaminya−calon mantan suaminya.

"Aku minta maaf untuk semuanya. Aku minta maaf karena aku menyerah untuk punya anak. Aku minta maaf karena nggak bisa menepati janjiku untuk terus mencintai kamu. Dan juga aku minta maaf karena harus melakukan ini. Meninggalkan kamu. Melepaskan semua yang kita punya. Please, Sakha. Ceraikan aku," pinta Tabitha dengan putus asa.

"Fine," ujar Sakha yang nyaris tak terdengar. Ia seperti telah kehilangan separuh nyawanya.

"Aku melepaskanmu bukan karena aku nggak mencintai kamu lagi, Tabitha, tapi karena aku nggak mau kamu menderita." Sakha menguatkan hati saat kemudian ia berkata, "Kamu harus janji sama aku, Bee. Kalau kamu akan hidup lebih bahagia walau tanpa ada aku, supaya aku bisa merelakanmu pergi."

Ada tangis pilu yang susah payah ditahan. Ada jerit perih dari dasar hati yang susah payah diredam. Baik Sakha maupun Tabitha sama-sama hancur hingga jatuh ke titik terendah. Gugatan cerai itu menghancurkan hati keduanya hingga tak berbentuk.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Aliyah Rhein
so fresh and interesting story. keep going
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status