Share

BAB 3. Let You Go... Or Not?

[Maret 2021]

“Lo kenapa belum siap-siap, Kha?” tanya Alex saat muncul di rumah Sakha saat hari masih cukup pagi. Matahari bahkan masih malu-malu menampakkan diri.

“Lo jam segini ngapain ke sini?”

Dari tempatnya duduk, Sakha balik bertanya seraya sedikit mendongak untuk menatap Alex, sahabat sekaligus pengacara yang mengurus perceraiannya dengan Tabitha. Tatapan laki-laki itu kosong, seolah tidak pernah ada kehidupan yang menyenangkan selama tiga puluh tahun ia hidup di dunia. Sebelum pertanyaannya terjawab ia sudah kembali berpaling ke layar TV yang sedang menayangkan iklan.

“Lo mandi, gih. Biar kita nggak telat,” ucap Alex lagi.

Sahabat Sakha yang hari ini mengenakan setelan jas necis itu tampak tidak terganggu dengan sambutan dingin sahabatnya. Sebab, Alex sudah cukup terbiasa menghadapi Sakha yang bersikap cuek dan tidak peduli terhadap sekitarnya selama beberapa bulan terakhir. 

“Ke mana?”

Sakha kembali mengajukan pertanyaan. Kali ini tanpa menatap Alex.

Meski Sakha sudah tahu ke mana mereka akan pergi hari ini, Alex tetap menjawab, “Ke pengadilan. Hari ini sidang terakhir.”

Jawaban yang dilontarkan oleh Alex membuat Sakha tercenung.

Ya, benar. Hari ini, jika proses sidang berjalan dengan lancar, Sakha akan resmi berpisah dengan Tabitha. Statusnya sebagai seorang suami akan kadaluarsa. Sakha tak lagi punya hak untuk mengklaim dirinya sebagai manusia paling beruntung di muka bumi karena memiliki seorang istri bernama Tabitha. Sakha tidak akan bisa menyombongkan diri di depan sahabat-sahabatnya tentang kehidupan rumah tangganya yang harmonis. Dan yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa Sakha tidak bisa mewujudkan apa yang dulu ia dan Tabitha impikan. Memiliki keluarga kecil yang akan selalu bersama dan ada untuk satu sama lain dalam keadaan apa pun. Impian itu telah kandas.

“Kha−”

“Gue hari ini ada urusan,” sela Sakha. Masih tanpa menatap Alex.

Sekali lagi, Sakha memilih untuk tidak datang. Sebab, terlalu berat baginya untuk bertemu dengan Tabitha jika hanya untuk saling mengucapkan selamat tinggal. 

Alex bergeser ke depan Sakha hingga menghalangi pandangan laki-laki itu yang pura-pura fokus menatap layar TV.

“Gue tahu lo hari ini nggak ada jadwal ke mana-mana. Udah dua minggu lebih lo nggak pergi ke mana-mana,” tukas Alex.

Sakha bangkit dari duduknya seraya mendorong Alex agar menyingkir dari hadapannya.

“Hari ini gue ada urusan,” balas Sakha lagi. Laki-laki itu meninggalkan ruang keluarga untuk menuju kamarnya.

Alex mengekor di belakang Sakha.

“Gue nggak yakin urusan lo lebih penting daripada−”

Sakha berhenti berjalan, dengan cepat berbalik untuk menatap Alex−membuat Alex refleks mundur dua langkah.

Sakha pun menukas dengan sengit, “Iya. Urusan gue lebih penting. Kalaupun urusan gue nggak penting, gue lebih milih buat ngurus urusan nggak penting gue daripada harus datang ke pengadilan cuma buat denger hakim meresmikan perceraian gue dan Tabitha.”

Alex bisa melihat perubahan raut wajah Sakha yang sekarang tampak memerah menahan amarah dan rasa sakit di saat yang bersamaan. Alex menghela napas. Tampak prihatin dan tidak tega melihat sahabatnya yang terlihat sangat putus ada dan frustrasi. Sakha juga tidak lagi memiliki gairah untuk menjalani kesehariannya, terhitung sejak Sakha datang kepadanya dan menceritakan tentang gugatan cerai yang dilayangkan Tabitha.

“Gimana gue bisa datang ke sana, Lex? Gue nggak sanggup harus berhadapan sama Tabitha lagi. Gue nggak bisa,” ucap Sakha yang tampak sangat frustrasi.

Campur aduk emosi memenuhi mata Sakha. Sakha menunduk dan menatap cincin kawin yang masih melingkar di jari manisnya dengan nanar.

“Kalau gue ketemu Tabitha, gue nggak yakin bisa lepasin dia, Lex. She’s my life. She’s my everything. And I can’t let her go,” sambung Sakha dengan suara yang perlahan mengecil hingga nyaris tak terdengar.

Alex diam cukup lama. Hatinya ikut sakit melihat Sakha yang rapuh.

“Gue udah bilang soal permintaan Tabitha, kan?” ucap Alex hati-hati.

“Tabitha nggak mau ketemu sama lo setidaknya selama setahun setelah kalian resmi cerai. Dan ini juga udah hampir setengah tahun lo nggak ketemu Tabitha. Lo yakin mau mengakhiri hubungan kalian dengan cara kayak gini?”

Dada Sakha terasa panas dan sesak. Kalimat terakhir yang diucapkan Alex membuat Sakha tertampar kenyataan berkali-kali. Hubungannya dengan Tabitha sudah berakhir. Bahkan, jika waktu diputar kembali selama seribu kali, Sakha yakin bahwa Tabitha tetap bersikukuh pada pilihannya untuk berpisah. Hanya Sakha yang terus menyangkal. Hanya Sakha yang tidak ingin apa yang mereka miliki sepenuhnya hilang. Hanya Sakha yang tidak ingin hubungan mereka berakhir.

***

Tidak seharusnya Sakha berpikir tentang bagaimana cantiknya Tabitha saat laki-laki itu melihat Tabitha lagi untuk pertama kalinya setelah hampir enam bulan mereka tidak bertemu. Seharusnya, Sakha membenci Tabitha karena wanita itu masih tampil menakjubkan meski hubungannya dengan Sakha sedang tidak baik-baik saja. Sangat berbanding terbalik dengan Sakha yang terlihat kuyu dan menyedihkan. Sayangnya, Sakha tidak bisa membenci Tabitha. Meski wanita itu membuat dirinya merana selama beberapa bulan terakhir, tidak ada kebencian yang tumbuh di hati Sakha. Sebab, Tabitha tidak layak untuk dibenci. Tabitha ada di dunia ini untuk dicintai.

“She looks so perfect, as always,” gumam Alex yang membuat Sakha berdecak. Alex melirik Sakha dan tertawa kecil. “Your life is falling apart because of her, but here you are. Adoring her like she’d never broke your heart.”

Sakha mendesah panjang. Ia tidak bisa mengalihkan tatapan dari Tabitha yang tampak sedang berbincang dengan pengacaranya.

Hati Sakha merintih kesakitan mengetahui kenyataan bahwa rasa rindu menyerangnya dengan gila-gilaan. Jika tidak ingat bahwa hari ini adalah hari terakhir di mana mereka menjadi pasangan suami istri yang sah, Sakha sudah akan berlari mendekat ke arah Tabitha dan memeluk wanita itu erat-erat. Sakha juga tidak akan ragu-ragu mencium Tabitha meski mereka sedang berada di muka umum. 

Seolah tahu bahwa ada yang sedang menatapnya, Tabitha menoleh hingga bersitatap langsung dengan mata Sakha yang menyorot sedih dan penuh kerinduan.

Dari jarak beberapa meter yang memisahkan mereka, Sakha bisa melihat dengan jelas perubahan raut wajah Tabitha. Ada kerinduan dan kesedihan yang beradu. Menyiratkan bahwa tidak hanya dirinya sendiri yang tersakiti dengan keadaan mereka saat ini.

***

Sakha bersumpah bahwa ini akan menjadi kali pertama dan terakhirnya ia mau menginjakkan kaki di pengadilan agama. Sebab, berada di sebuah ruangan yang menjadi saksi selesainya hubungan antara dirinya dengan Tabitha membuat Sakha hancur lebur. Ia bahkan nyaris tidak bisa menggerakkan jarinya saat hakim mengetuk palu, meresmikan perpisahannya dengan Tabitha di mata hukum. Sakha tidak ingin percaya bahwa pernikahannya dengan Tabitha benar-benar sudah karam.

“Kha, ayo balik,” ajak Alex yang sedari tadi menunggu Sakha untuk bangkit dari tempatnya duduk.

It’s over, Lex. I can’t believe it’s over,” lirih Sakha dengan tatapan kosong yang mengarah ke depan.

Di dalam ruangan itu sudah tidak ada siapa-siapa kecuali Saha dan Alex. Tabitha dan pengacaranya sudah keluar beberapa saat lalu.

“Tabitha nungguin lo di depan,” ucap Alex. Ia tidak sedang bersikap abai terhadap apa yang sedang sahabatnya rasakan. Laki-laki itu hanya tidak tahu harus bereaksi seperti apa untuk menunjukkan keprihatinannya terhadap Sakha.

“Lo yakin nggak mau say goodbye ke Tabitha sebelum dia benar-benar pergi?”

Sakha spontan mengumpat saat mendengar Alex mengucapkan kalimat itu. “Tell me how. Kasih tahu gimana caranya supaya gue bisa merelakan Tabitha pergi dari hidup gue.”

Alex meremas pundak Sakha. “Lo beneran nggak mau ngomong apa-apa ke Tabitha?”

Sakha mengusap wajahnya dengan kasar sebelum kemudian bangkit untuk meninggalkan ruangan yang membuatnya trauma itu.

Sesampainya di luar, ia langsung berhadapan dengan Tabitha yang sudah tidak ditemani pengacaranya.

Tidak ada satu pun kata yang mampu terucap. Bibir Sakha terkunci rapat.

Tabitha yang lebih dulu memangkas jarak dan menyapa, “Hai.”

Jika Tabitha bukan sosok yang ia cintai. Jika Tabitha bukan seorang wanita, Sakha pasti sudah melayangkan pukulan di wajahnya hingga babak belur. Sakha marah. Ia marah sekali. Bagaimana bisa Tabitha menyapanya dengan begitu santai seolah-olah mereka berteman? Demi Tuhan mereka baru saja resmi bercerai.

Sakha masih bungkam. Bibirnya terlalu kelu. Jika ia buka suara, yang pertama terucap pasti kata rindu. Sayangnya, Sakha tahu bahwa Tabitha tidak mengharapkan itu.

Thank you for coming here,” ujar Tabitha yang terlihat lega seolah selama ini mengharapkan kedatangan Sakha pada sidang perceraian mereka. “Kamu sehat, kan?” tanya Tabitha kemudian.

Bagi Sakha, pertanyaan yang dilontarkan Tabitha sangat lucu. Namun, tentu saja Sakha tidak tertawa. Jika Tabitha bertanya tentang keadaan fisiknya saat ini, Sakha akan menjawab bahwa seluruh tubuhnya sakit dan tidak berdaya. Jika ini tentang keadaan batinnya, Sakha akan menjawab bahwa ia terlalu sakit hingga nyaris mati rasa. Sederhananya, Sakha sama sekali tidak baik-baik saja. Fisik dan batinnya sakit. Dan itu semua karena Tabitha. Karena Tabitha meninggalkannya.

“Beberapa waktu lalu Ibu cerita kalau kamu sempat diopname rumah sakit,” ucap Tabitha. “Tolong… jangan sakit lagi.”

Sakha mengepalkan tangan kuat-kuat. Setiap kata yang diucapkan Tabitha membuat jantungnya terbelah dan berdenyut menyakitkan.

Saat Sakha masih tak juga mengucapkan sepatah kata pun, wanita itu pun pamit untuk pergi. “Please, have a good life, Sakha,” ucap Tabitha tulus seraya tersenyum. Senyum getir yang memporak-porandakan perasaan.

“Bee,” panggil Sakha sebelum Tabitha melangkah pergi. “Boleh aku peluk kamu untuk yang terakhir kali?”

Tabitha memandang lurus tepat ke manik mata Sakha. Tatapannya begitu teduh, tetapi juga sedih dan penuh luka di saat yang bersamaan. Tanpa menjawab pertanyaan itu, Tabitha maju satu langkah dan memeluk Sakha.

Air mata Sakha jatuh begitu saja saat kembali merasakan hangatnya rengkuhan Tabitha. Mengetahui kenyataan bahwa ia tidak akan bisa lagi memeluk dan mencium Tabitha, hatinya tercubit perih. Sekujur tubuhnya meneriakkan rasa sakit yang tak terperi.

“Kamu harus bahagia, Bee. Janji sama aku, kamu harus bahagia. Kalau kamu nggak bahagia, aku akan sangat membenci diriku sendiri karena melepaskan kamu,” bisik Sakha dengan suara tercekat. Sakha mengecup puncak kepala Tabitha berkali-kali. Dan air matanya jatuh lagi meski laki-laki itu sudah menahannya sekuat hati.

Tabitha menarik diri setelah pelukan itu bertahan cukup lama, namun Sakha masih belum mau melepaskan. Ia dekap Tabitha erat-erat hingga dadanya sesak.

Let me go, Sakha,” mohon Tabitha dengan suara pecah. “Please, let me go.

Sakha membenci situasi ini, di mana ia harus melepaskan Tabitha meski hatinya tidak ingin melakukannya. Sakha lebih membenci dirinya sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menahan Tabitha agar wanita itu mau tetap tinggal di sisinya.

Saat pelukan itu akhirnya terurai dan Tabitha berbalik pergi dengan air mata yang bercucuran di pipi, Sakha menyadari bahwa hidupnya setelah ini tidak akan sama lagi. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Andi Andriani
Baca dr awal sampai tiba di part ini, airmata ga brenti2 ngalir. serius ini nyeseknya sampe sini. Tanggung jawab thorr !! mata aku bengkak ,tissue aku hbs gara2 kamu.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status