[Maret 2022]
Tabitha menatap dua tanaman kaktus yang ia beri nama Kha dan Bee dengan tatapan kosong. Meski kaktus-kaktus itu mengingatkannya pada Sakha−mantan suami Tabitha yang menghadiahkan tanaman itu saat anniversary pernikahan mereka yang kedua−dan selalu menyebabkan rasa sakit di dada, Tabitha tak tega membuang dua tanaman yang masih tumbuh dengan subur itu. Sehingga sampai hari ini, kedua tanaman itu masih Tabitha rawat dengan sepenuh hati meski harus menahan rasa sakit setiap kali bayangan tentang Sakha terlintas di kepalanya.
Pernah suatu hari Tabitha menyerahkan dua kaktus itu kepada ibunya untuk dirawat di rumah−beberapa minggu setelah resmi bercerai dari Sakha. Namun, selang dua minggu, mendadak ibunya mengabari jika kaktus-kaktus Tabitha nyaris mati. Tabitha langsung datang ke rumah ibunya untuk mengambil kembali dua kaktus itu−Tabitha bawa ke tempat kerjanya−dan ajaibnya mereka bisa kembali tumbuh dengan baik setelah satu bulan Tabitha mati-matian merawatnya.
Kejadian itu membuat Tabitha mengasihani dirinya sendiri. Padahal, ia bisa saja membiarkan kaktus-kaktus itu mati, seperti pernikahannya dengan Sakha yang sudah karam hampir setahun lamanya, agar ia bisa bangkit lagi. Berkenalan dengan orang baru dan memulai hidup baru tanpa baying-bayang masa lalu yang masih terus mengikutinya ke mana pun ia melangkah.
“Tha, minggu depan ada training khusus karyawan di Bali. Lo ikut ya,” tegur Jona. Salah satu senior di tempat kerjanya yang paling dekat dengan Tabitha.
Bayangan tentang Sakha langsung memudar dari pikiran Tabitha karena interupsi dari Jona.
“Kenapa bukan anak-anak baru aja yang ikut?”
“Ini buat yang udah senior. Lo butuh ikut banyak training sebelum naik jabatan.”
Tabitha langsung mencibir, “Bos kita nggak akan mungkin kasih gue kesempatan naik jabatan kecuali populasi laki-laki di dunia ini udah habis.”
“Kalau populasi laki-laki di dunia punah, berarti Bos juga punah dong? Kan dia laki,” sahut Jona sembari terkekeh.
Candaan Jona tidak membuat Tabitha ikut tertawa. Bertahun-tahun lamanya ia bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri kreatif itu, Tabitha stuck di posisi yang sama. Ia masih bertahan menjadi seorang content creator yang levelnya sama seperti karyawan yang baru bekerja di sana selama dua tahun−hanya gajinya saja yang sudah agak lebih tinggi setelah ia mengajukan offer ke HRD. Tabitha bahkan nyaris dipecat karena wanita itu sempat terpuruk gara-gara perceraiannya dengan Sakha yang berimbas ke produktivitasnya dalam bekerja.
Kala itu, Tabitha tidak peduli lagi jika seandainya ia dipecat. Sebab, untuk bangun dari atas tempat tidur setiap pagi saja rasanya sulit sekali. Belum lagi ia harus menghadapi Bos yang paling menyebalkan yang membuat Tabitha naik darah setiap saat. Tabitha tidak mempunyai tenaga untuk itu.
“Gue lagi males ke luar kota, Jo. Mending si Syabda aja tuh. Kan dia yang paling berambisi naik jabatan,” tukas Tabitha.
“Dia pernah beberapa kali diminta Bos buat ikut training, tapi malah sibuk nge-room sama cewek. Bos udah nggak bakal ngirim dia ke mana-mana. Dia satu-satunya makhluk laki-laki yang kayaknya nggak bakal dikasih naik jabatan sama si Bos gara-gara kelakuannya minus,” sahut Jona seraya berpura-pura muntah.
Tabitha tertawa.
“Padahal selama nggak bikin reputasi perusahaan jelek, bebeas aja dia mau ngapain.”
“Bebas sih bebas, Tha. Tapi kalau lo udah dikasih kepercayaan bos buat ikutan training, tapi malah enak-enak sama cewek di kamar hotel yang dibayarin kantor tuh namanya nggak tahu diri,” cibir Jona yang paling semangat jika sudah menggosipkan orang.
Tabitha lagi-lagi tertawa. “Emang udah nggak tertolong lagi tuh orang.”
“Pokoknya lo yang berangkat ya, Tha. Gue bisa jamin kalau nggak lama lo bakal dipromosiin sama si Bos buat naik jabatan. Semenjak dia rujuk sama istrinya kan udah mulai lebih bersahabat sama kita.”
“Sama lo doang kali, Jon! Sama gue enggak! Hobinya nyiksa gue, kayak majikan-majikan yang dzolim ke pembokatnya,” sembur Tabitha yang mendadak kesal karena tadi pagi ia kena semprot si Bos di depan para juniornya hanya karena kesalahan kecil saat ia presentasi.
Jona tertawa.
“Lo nggak dipecat dari sini setelah nyaris kena SP juga karena Bos yang backing lo. Kurang baik apa dia sama lo?”
“Nggak usah dibahas deh, itu udah kewajiban Bos buat pertahanin karyawan yang udah lama kerja di sini. Lagian itu pertama kalinya gue kerja nggak bener−”
“Kerjaan nggak bener lo itu bikin perusahaan nyaris rugi ratusan juga gara-gara klien mau batalin kontrak.”
Tabitha memutar bola matanya dengan jengah.
“Tapi akhirnya nggak jadi karena gue juga yang ngelobi mereka sampe mereka mau balik lagi ke kita.”
Jona mengangkat kedua tangan ke atas. Sebagai tanda ia menyerah melanjutkan perdebatan dengan Tabitha. Sebab, Jona tahu jika ia akan kalah berdebat dengan wanita itu. Lebih baik ia simpan tenaganya untuk meyakinkan Tabitha lagi soal training.
“Kalau lo mau ikut training, abis balik dari Bali gue traktir deh.”
“Kalau cuma traktir soto Mbok Darmi di belakang kantor sih gue ogah. Gue masih mampu beli sendiri,” jawab Tabitha, masih bersikukuh menolak.
“Ini si Bos yang minta gue ngomong sama lo, Tha. atau lo mau si Bos langsung yang ngomong sama lo biar mau ikut training.”
“Dih, pake ngancem segala,” gerutu Tabitha. “Gue beneran lagi males pergi-pergi, Jon. Kalau training-nya cuma di Bogor gue disuruh berangkat sekarang juga gue jabanin deh.”
“Lo bentar lagi ulang tahun, kan? Gue beliin barang yang lo mau deh. Sepatu atau tas? Gue kasih!”
“Ini kenapa lo yang ngebet banget pengen gue ikut training? Si Bos ngomong apa sama lo?” tuntut Tabitha yang langsung memasang ekspresi curiga.
“Gue cuma lagi baik aja. Waktu ulang tahun gue kemarin kan lo kasih gue jam tangan mahal. Gue juga mau sekali-kali jadi orang baik.”
“Lo mau jadi orang baik tapi pamrih gitu. Sama aja boong.”
“Udha ah, capek banget ngomong sama lo. Ayo makan siang sekarang aja. Seret nih tenggorokan gue gara-gara ngomong sama lo.”
“Gue bawa bekal. Lo turun aja sendiri, gue nitip jus mangga.”
“Astaga, pantes di Bos dzolim ke lo. Lo juga dzolim banget ke gue,” erang Jona, tetapi pada akhirnya tetap setuju dimintai tolong untuk membelikan Tabitha jus mangga seperti yang wanita itu minta.
Setelah Jona pergi, Tabitha kembali menatap dua kaktus yang berada di meja kerjanya. Sebenarnya, alasan Tabitha menolak ikut training bukan hanya karena ia malas bepergian, tetapi karena minggu depan adalah hari anniversary pernikahannya dengan Sakha yang kelima, jika saja mereka tidak bercerai. Tabitha tidak akan bisa fokus mengikuti training karena pikirannya selama beberapa hari terakhir ini saja sudah ruwet.
Bukan. Tabitha bukan ingin mengorek masa lalu dan menaburkan garam di atas lukanya yang belum kering dengan terus-menerus mengingat tentang apa pun yang berhubungan dengan Sakha. Tetapi ia tidak bisa. Sulit untuk tidak mengingat-ingat lagi tentang apa yang dulu ia miliki dengan Sakha selama empat tahun pernikahan−tujuh tahun jika masa-masa pacaran juga dihitung. Terlalu banyak kenangan indah−yang sekarang hanya membuat Tabitha sakit jika mengingatnya−yang tidak mudah dilupakan. Terlalu banyak momen membahagiakan yang bagi dengan Sakha dulu.
Memangnya, apa yang ingin Tabitha lakukan di hari anniversary pernikahannya yang sudah kandas itu?
Sejujurnya, Tabitha sendiri pun tidak tahu. Biasanya ia dan Sakha akan makan malam di restoran dengan suasana romantis−atau cukup di rumah saja, mendekor ruang makan dengan tema candle light dinner−lalu menonton film-film romantis di ruang santai di rumah mereka sembari cuddling dan kemudian ditutup dengan bercinta hingga lelah.
Tabitha dan Sakha resmi bercerai satu bulan sebelum tanggal anniversary pernikahan. Dan tahun lalu, Tabitha masih dalam keadaan sangat kacau setelah bercerai. Luka di hati Tabitha masih basah dan wanita itu harus diingatkan oleh tanggal pernikahannya yang seolah mengejek Tabitha karena yang tersisa hanyalah kenangan. Tidak ada yang bisa lagi dirayakan, kecuali kenyataan bahwa ia telah kehilangan Sakha dan kebahagiannya.
Hingga hari ini, luka itu masih ada. Dan untuk tahun-tahun yang akan datang, Tabitha cukup yakin bahwa luka itu akan tetap ada. Membersamai dirinya ke mana pun ia melangkah.
.
.
to be continued
Tabitha tersenyum miris. Bukannya memakan bekal yang ia bawa dari rumah, Tabitha malah meraih ponselnya yang sejak tadi tergeletak di meja kerjanya dan membuka salah satu akun sosial medianya. Selama ini, Tabitha hanya memanfaatkan sosial media untuk mengikuti trend terkini yang berhubungan dengan pekerjaannya di bidang kreatif itu. Namun, dalam beberapa minggu terakhir ini Tabitha mendadak semakin sering membuka second account yang sengaja ia buat untuk kepentingan pribadi. Hal itu bermula sejak Tabitha tak sengaja melihat mantan suaminya mengunggah sebuah foto di suatu tempat yang ingin wanita itu datangi tetapi belum kesampaian. Sakha mengunggah foto pemandangan kota Yunani ketika senja. Saat matahari sudah nyaris tenggelam sepenuhnya di peraduan. Foto yang diunggah Sakha itu tidak bisa Tabitha abaikan begitu saja. Sebab, caption di unggahan itu langsung menarik perhatian Tabitha. Sakha menuliskan sepenggal lirik lagu milik Secondhand Serenade yang berjudul Your Call. . 🎵And I’
[April 2022]Sakha menatap nanar cincin kawinnya dengan Tabitha yang masih ia simpan meski sudah bercerai dari wanita itu selama setahun. Cincin itu yang dulunya menghuni jari manis Sakha. Tidak pernah laki-laki itu lepaskan, karena itu adalah salah satu bukti−selain buku nikah−bahwa ia telah mengikatkan diri pada sebuah ikatan sakral bernama pernikahan dengan wanita yang ia cintai.Setelah bercerai, Sakha masih mengenakan cincin itu selama lebih dari satu bulan. Sakha baru melepaskan cincin itu saat beberapa kali Ibu menegurnya. Bahkan Ibu menyuruh Sakha agar menjual cincin itu saja, tetapi Sakha tidak melakukannya. Sakha menyimpan cincin kawin itu di sudut lemari yang paling jauh agar tidak tergelitik untuk mengenakannya lagi.Hari ini adalah hari spesial.Sangat spesial bagi Sakha jika saja pernikahannya dengan Tabitha tidak kandas di tengah jalan. Tepat di hari ini, Sakha resmi menjadikan Tabitha sebagai kekasihnya, delapan tahun yang lalu. Dan juga lima tahun lalu, Sakha meminang
“Ini udah setahun, kan?” tanya Albert yang menyandarkan tubuh di sofa dengan tubuh sedikit melorot.Kaki Albert terjulur lurus di lantai yang berlapis karpet. Laki-laki itu terlalu kekenyangan setelah menyantap berbagai menu makanan cepat saja yang tadi ia dan Alex bawa saat Sakha meminta mereka untuk datang.Meski Alex tadi bercanda soal ajakannya untuk merayakan kegalauan Sakha, Albert menganggapnya serius. Laki-laki itu mengajak Alex membeli banyak makanan dan berkaleng-kaleng soda. Saat tiba di rumah Sakha, Albert bahkan begitu saja mengatakan bahwa laki-laki itu tahu kalau hari ini adalah hari anniversary pernikahan Sakha dan Tabitha.Kata Albert, daripada hanya bersedih sendirian dan mengurung diri di kamar, akan lebih baik jika merayakan kemuramannya bersama sahabat-sahabatnya yang selalu bersabar menghadapi bagaimana merananya Sakha pada tanggal-tanggal pentingnya bersama Tabitha. Sakha sempat mengumpati Albert karena tak berhenti mengejeknya, tetapi tak urung laki-laki itu be
Rasanya seperti sudah setahun lamanya Sakha tidak menginjakkan kaki di kantor pusat NatGeo. Tetapi, nyatanya Sakha memang jarang ke kantor bahkan nyaris tidak pernah, kecuali saat diminta untuk datang menghadiri meeting penting atau dipanggil oleh Bos Besar. Sebab, pekerjaannya menuntut laki-laki itu untuk lebih sering berada di luar ruangan. Sehari-harinya bersinggungan dengan sinar matahari.Hari ini, Sakha datang ke kantor karena pagi-pagi sekali tadi sudah dihubungi sekretaris bosnya untuk membahas sesuatu yang penting. Sakha mau tidak mau menyeret kakinya ke kantor dengan malas-malasan. Masih dengan mata mengantuk, Sakha masuk ke dalam lift yang akan mengantarkan laki-laki itu menuju lantai 5.Ada beberapa wajah familiar yang Sakha kenali saat keluar dari lift dan melewati bilik-bilik ruang kerja yang sebagian besar kosong. Sakha juga punya satu bilik di sana, tetapi nyaris tidak pernah Sakha singgahi karena terlalu sibuk bekerja di lapangan. Sakha menyapa mereka singkat dan lang
Sakha butuh waktu untuk memproses informasi yang diserapnya pagi ini, saat matanya bahkan masih terasa berat karena kurang tidur. Saat selesai mengedit foto subuh tadi, Sakha hanya berencana untuk hunting foto sebentar, lalu menghabiskan waktunya untuk tidur. Menghimpun energi yang telah terkuras karena beberapa hari terakhir ia sibuk ke sana kemari untuk memotret. Berangkat pagi buta dan pulang tengah malam. Bahkan sempat tidak pulang selama dua hari hanya untuk mendapatkan satu dua lembar foto yang sempurna dari angle yang berbeda. “Kira-kira berapa lama proyek ini berlangsung?” Sakha memecah keheningan. Pramudya yang sudah sibuk dengan tablet di tangannya itu mendongak. “Bisa sebulan atau dua bulan. Tergantung kalian bisa kerja cepat atau tidak. Targetnya maksimal enam bulan harus sudah selesai.” Kerja cepat yang dimaksud Pramudya bukan hanya menyelesaikan tugas yang diberikan dengan hasil seadanya. Tetapi harus SEMPURNA. Setidaknya itu yang menjadi pegangan Sakha dalam menggel
Karena masih belum tahu seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek barunya bersama gabungan tim dari berbagai cabang NatGeo di dunia, Sakha bingung harus mengepak apa saja. Sakha juga belum tahu negara mana saja yang harus didatangi. Sehingga ia tidak punya referensi pakaian yang cocok untuk dibawa. Yang membuat Sakha sejak tadi hanya berdiri di depan lemari dengan dua pintu yang terbuka lebar adalah kenangan sialan yang dengan lancang mampir ke otaknya.Sakha sudah lama sekali tak bepergian jauh. Setiap kali harus ke luar kota atau ke luar negeri, ada Tabitha yang membantu mengepak pakaian dan barang-barang yang ia perlukan. Tabitha selalu tahu apa yang Sakha butuhkan. Sakha nyaris tidak pernah protes karena Tabitha mengepak dengan rapi dan ajaibnya, kopernya muat menampung banyak. Sekarang, Tabitha sudah tidak ada dalam hidupnya. Itu artinya Sakha harus mengepak keperluannya seorang sendiri.Sakha pun menurunkan beberapa pakaian yang sudah terlipat rapi di lemari
Rupanya, bertemu kembali dengan orang-orang terdekatnya dahulu, saat masih menikah dengan Sakha, tidak sesulit dan seberat yang selama ini Tabitha bayangkan. Atau mungkin karena sekarang Tabitha sudah mulai berusaha mengikhlaskan apa yang telah terjadi di masa lalu sehingga bisa mengiyakan ajakan Alex tanpa banyak overthinking.Saat resmi bercerai dari Sakha, Tabitha berjanji hanya akan menjauh dari kawan-kawan lamanya–yang juga teman Sakha–selama satu tahun sebagai proses penyembuhan. Sebab, Tabitha yakin sekali jika ia akan terus merasa sakit jika bersinggungan dengan kawan-kawannya yang satu sirkel dengan Sakha juga. Mau tidak mau, pasti ada akan pembicaraan yang entah sengaja atau tidak terucap yang membuat Tabitha dan Sakha berada di posisi serba salah. Tabitha pun tak yakin tak akan menangis jika berada di sekitar mereka saat emosinya masih sangat labil.Dan hari ini, Tabitha merasa cukup yakin bisa menikmati pertemuan i Meski masih ada rasa sakit hingga sekarang, nyatanya Tabit
“Lo nggak menyedihkan, Tha,” koreksi Albert. Tampak tidak senang melihat Tabitha yang sedikit murung. “Menurut gue sih wajar. Lo pernah punya kenangan manis di sana dan lo mau menyimpan itu buat lo sendiri. Nggak ada yang salah dengan hal itu. Dan itu hak lo juga mau ““Thanks, Al.” Tabitha terkekeh. Menciptakan ekspresi bertanya di wajah Albert. “Dipikir-pikir lagi ternyata gue kangen ngobrol dan curhat sama lo.”Albert tersenyum lebar. “Gue emang ngangenin sih. Berarti kita bisa nongkrong bareng lagi besok-besok, kan?”Tabitha mengangguk ringan. Malah, tadinya Tabitha yang ingin mengajak Albert nongkrong lagi kapan-kapan. Hanya saja Tabitha merasa agak canggung untuk mengajak duluan. Sebab, setelah bercerai dari Sakha, Tabitha paling keras menolak kehadiran Albert hingga laki-laki itu pun akhirnya menyerah dan tidak pernah lagi mengganggu Tabitha. Pertemuan hari ini pun karena inisiatif Alex. Tabitha sempat mengira jika Albert tidak akan mau ikut karena obrolan terakhir mereka sebel