Share

BAB 7. Bayang Masa Lalu

[Maret 2022]

Tabitha menatap dua tanaman kaktus yang ia beri nama Kha dan Bee dengan tatapan kosong. Meski kaktus-kaktus itu mengingatkannya pada Sakha−mantan suami Tabitha yang menghadiahkan tanaman itu saat anniversary pernikahan mereka yang kedua−dan selalu menyebabkan rasa sakit di dada, Tabitha tak tega membuang dua tanaman yang masih tumbuh dengan subur itu. Sehingga sampai hari ini, kedua tanaman itu masih Tabitha rawat dengan sepenuh hati meski harus menahan rasa sakit setiap kali bayangan tentang Sakha terlintas di kepalanya.

Pernah suatu hari Tabitha menyerahkan dua kaktus itu kepada ibunya untuk dirawat di rumah−beberapa minggu setelah resmi bercerai dari Sakha. Namun, selang dua minggu, mendadak ibunya mengabari jika kaktus-kaktus Tabitha nyaris mati. Tabitha langsung datang ke rumah ibunya untuk mengambil kembali dua kaktus itu−Tabitha bawa ke tempat kerjanya−dan ajaibnya mereka bisa kembali tumbuh dengan baik setelah satu bulan Tabitha mati-matian merawatnya.

Kejadian itu membuat Tabitha mengasihani dirinya sendiri. Padahal, ia bisa saja membiarkan kaktus-kaktus itu mati, seperti pernikahannya dengan Sakha yang sudah karam hampir setahun lamanya, agar ia bisa bangkit lagi. Berkenalan dengan orang baru dan memulai hidup baru tanpa baying-bayang masa lalu yang masih terus mengikutinya ke mana pun ia melangkah.

“Tha, minggu depan ada training khusus karyawan di Bali. Lo ikut ya,” tegur Jona. Salah satu senior di tempat kerjanya yang paling dekat dengan Tabitha.

Bayangan tentang Sakha langsung memudar dari pikiran Tabitha karena interupsi dari Jona.

“Kenapa bukan anak-anak baru aja yang ikut?”

“Ini buat yang udah senior. Lo butuh ikut banyak training sebelum naik jabatan.”

Tabitha langsung mencibir, “Bos kita nggak akan mungkin kasih gue kesempatan naik jabatan kecuali populasi laki-laki di dunia ini udah habis.”

“Kalau populasi laki-laki di dunia punah, berarti Bos juga punah dong? Kan dia laki,” sahut Jona sembari terkekeh.

Candaan Jona tidak membuat Tabitha ikut tertawa. Bertahun-tahun lamanya ia bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri kreatif itu, Tabitha stuck di posisi yang sama. Ia masih bertahan menjadi seorang content creator yang levelnya sama seperti karyawan yang baru bekerja di sana selama dua tahun−hanya gajinya saja yang sudah agak lebih tinggi setelah ia mengajukan offer ke HRD. Tabitha bahkan nyaris dipecat karena wanita itu sempat terpuruk gara-gara perceraiannya dengan Sakha yang berimbas ke produktivitasnya dalam bekerja.

Kala itu, Tabitha tidak peduli lagi jika seandainya ia dipecat. Sebab, untuk bangun dari atas tempat tidur setiap pagi saja rasanya sulit sekali. Belum lagi ia harus menghadapi Bos yang paling menyebalkan yang membuat Tabitha naik darah setiap saat. Tabitha tidak mempunyai tenaga untuk itu.

“Gue lagi males ke luar kota, Jo. Mending si Syabda aja tuh. Kan dia yang paling berambisi naik jabatan,” tukas Tabitha.

“Dia pernah beberapa kali diminta Bos buat ikut training, tapi malah sibuk nge-room sama cewek. Bos udah nggak bakal ngirim dia ke mana-mana. Dia satu-satunya makhluk laki-laki yang kayaknya nggak bakal dikasih naik jabatan sama si Bos gara-gara kelakuannya minus,” sahut Jona seraya berpura-pura muntah.

Tabitha tertawa.

“Padahal selama nggak bikin reputasi perusahaan jelek, bebeas aja dia mau ngapain.”

“Bebas sih bebas, Tha. Tapi kalau lo udah dikasih kepercayaan bos buat ikutan training, tapi malah enak-enak sama cewek di kamar hotel yang dibayarin kantor tuh namanya nggak tahu diri,” cibir Jona yang paling semangat jika sudah menggosipkan orang.

Tabitha lagi-lagi tertawa. “Emang udah nggak tertolong lagi tuh orang.”

“Pokoknya lo yang berangkat ya, Tha. Gue bisa jamin kalau nggak lama lo bakal dipromosiin sama si Bos buat naik jabatan. Semenjak dia rujuk sama istrinya kan udah mulai lebih bersahabat sama kita.”

“Sama lo doang kali, Jon! Sama gue enggak! Hobinya nyiksa gue, kayak majikan-majikan yang dzolim ke pembokatnya,” sembur Tabitha yang mendadak kesal karena tadi pagi ia kena semprot si Bos di depan para juniornya hanya karena kesalahan kecil saat ia presentasi.

Jona tertawa.

“Lo nggak dipecat dari sini setelah nyaris kena SP juga karena Bos yang backing lo. Kurang baik apa dia sama lo?”

“Nggak usah dibahas deh, itu udah kewajiban Bos buat pertahanin karyawan yang udah lama kerja di sini. Lagian itu pertama kalinya gue kerja nggak bener−”

“Kerjaan nggak bener lo itu bikin perusahaan nyaris rugi ratusan juga gara-gara klien mau batalin kontrak.”

Tabitha memutar bola matanya dengan jengah.

“Tapi akhirnya nggak jadi karena gue juga yang ngelobi mereka sampe mereka mau balik lagi ke kita.”

Jona mengangkat kedua tangan ke atas. Sebagai tanda ia menyerah melanjutkan perdebatan dengan Tabitha. Sebab, Jona tahu jika ia akan kalah berdebat dengan wanita itu. Lebih baik ia simpan tenaganya untuk meyakinkan Tabitha lagi soal training.

“Kalau lo mau ikut training, abis balik dari Bali gue traktir deh.”

“Kalau cuma traktir soto Mbok Darmi di belakang kantor sih gue ogah. Gue masih mampu beli sendiri,” jawab Tabitha, masih bersikukuh menolak.

“Ini si Bos yang minta gue ngomong sama lo, Tha. atau lo mau si Bos langsung yang ngomong sama lo biar mau ikut training.”

“Dih, pake ngancem segala,” gerutu Tabitha. “Gue beneran lagi males pergi-pergi, Jon. Kalau training-nya cuma di Bogor gue disuruh berangkat sekarang juga gue jabanin deh.”

“Lo bentar lagi ulang tahun, kan? Gue beliin barang yang lo mau deh. Sepatu atau tas? Gue kasih!”

“Ini kenapa lo yang ngebet banget pengen gue ikut training? Si Bos ngomong apa sama lo?” tuntut Tabitha yang langsung memasang ekspresi curiga.

“Gue cuma lagi baik aja. Waktu ulang tahun gue kemarin kan lo kasih gue jam tangan mahal. Gue juga mau sekali-kali jadi orang baik.”

“Lo mau jadi orang baik tapi pamrih gitu. Sama aja boong.”

“Udha ah, capek banget ngomong sama lo. Ayo makan siang sekarang aja. Seret nih tenggorokan gue gara-gara ngomong sama lo.”

“Gue bawa bekal. Lo turun aja sendiri, gue nitip jus mangga.”

“Astaga, pantes di Bos dzolim ke lo. Lo juga dzolim banget ke gue,” erang Jona, tetapi pada akhirnya tetap setuju dimintai tolong untuk membelikan Tabitha jus mangga seperti yang wanita itu minta.

Setelah Jona pergi, Tabitha kembali menatap dua kaktus yang berada di meja kerjanya. Sebenarnya, alasan Tabitha menolak ikut training bukan hanya karena ia malas bepergian, tetapi karena minggu depan adalah hari anniversary pernikahannya dengan Sakha yang kelima, jika saja mereka tidak bercerai. Tabitha tidak akan bisa fokus mengikuti training karena pikirannya selama beberapa hari terakhir ini saja sudah ruwet.

Bukan. Tabitha bukan ingin mengorek masa lalu dan menaburkan garam di atas lukanya yang belum kering dengan terus-menerus mengingat tentang apa pun yang berhubungan dengan Sakha. Tetapi ia tidak bisa. Sulit untuk tidak mengingat-ingat lagi tentang apa yang dulu ia miliki dengan Sakha selama empat tahun pernikahan−tujuh tahun jika masa-masa pacaran juga dihitung. Terlalu banyak kenangan indah−yang sekarang hanya membuat Tabitha sakit jika mengingatnya−yang tidak mudah dilupakan. Terlalu banyak momen membahagiakan yang bagi dengan Sakha dulu.

Memangnya, apa yang ingin Tabitha lakukan di hari anniversary pernikahannya yang sudah kandas itu?

Sejujurnya, Tabitha sendiri pun tidak tahu. Biasanya ia dan Sakha akan makan malam di restoran dengan suasana romantis−atau cukup di rumah saja, mendekor ruang makan dengan tema candle light dinner−lalu menonton film-film romantis di ruang santai di rumah mereka sembari cuddling dan kemudian ditutup dengan bercinta hingga lelah.

Tabitha dan Sakha resmi bercerai satu bulan sebelum tanggal anniversary pernikahan. Dan tahun lalu, Tabitha masih dalam keadaan sangat kacau setelah bercerai. Luka di hati Tabitha masih basah dan wanita itu harus diingatkan oleh tanggal pernikahannya yang seolah mengejek Tabitha karena yang tersisa hanyalah kenangan. Tidak ada yang bisa lagi dirayakan, kecuali kenyataan bahwa ia telah kehilangan Sakha dan kebahagiannya.

Hingga hari ini, luka itu masih ada. Dan untuk tahun-tahun yang akan datang, Tabitha cukup yakin bahwa luka itu akan tetap ada. Membersamai dirinya ke mana pun ia melangkah.

.

.

to be continued 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status