Share

BAB 6. A Glimpse of Us

[Oktober 2021]

Juda adalah teman mengobrol yang menyenangkan. Itu adalah kesan pertama yang Sakha dapatkan setelah satu jam mengobrol dengan wanita itu. Mereka berdua bekerja di bidang yang berbeda. Sakha adalah fotografer profesional yang bekerja di NatGeo, sementara Juda adalah seorang akuntan yang bekerja di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta. Namun, obrolan di antara mereka bisa mengalir lancar. Sakha bahkan tertawa beberapa kali−selama setahun terakhir Sakha nyaris lupa caranya tersenyum dan tertawa lepas−karena lelucon yang dibuat oleh Juda. Bahkan saat Juda mengucapkan kata-kata sarkas pun Sakha bisa terhibur.

Selama mengobrol sama sekali tidak ada pembahasan tentang ke mana arah hubungan mereka ke depannya, sebab sejak mereka berkenalan di awal Juda menegaskan bahwa pertemuan itu murni karena permintaan orang tua. Sakha pun tidak mempermasalahkan itu karena ia pun tidak menaruh ekspektasi tinggi pada pertemuannya dengan wanita yang dijodohkan dengannya itu. Juda baru mulai membahas tentang itu saat mereka sudah mau pulang, karena mau tidak mau Sakha dan Juda tetap harus melaporkan hasil kencan mereka hari itu kepada ibu masing-masing.

It’s really nice to know you, Sakha,” ucap Juda setelah menyeruput minumannya hingga hanya menyisakan balok-balok es yang belum mencair di gelasnya.

Wanita itu dan Sakha sudah bersiap-siap untuk pergi dari kafe tempat mereka nongkrong cukup lama setelah tadi makan siang bersama di sebuah restoran yang sudah direservasi atas nama ibunya Juda.

Sakha tersenyum tipis.

 “Yeah, me too. Sejujurnya ini pertama kalinya saya nge-date−kalau memang ini cukup pantas disebut proper date−setelah saya bercerai. Semoga hari ini nggak terlalu mengecewakan. Saya sudah lupa gimana caranya berkencan dengan seorang wanita dengan benar,” sahut Sakha sebelum pikirannya semakin bercabang ke mana-mana.

“Jadi, bagaimana kesan setelah ngobrol cukup banyak topik dengan partner nge-date kamu hari ini?” tanya Juda.

“Saya nggak tahu apa ini pantas diucapkan di kencan pertama, tapi sepertinya saya dan kamu cocok buat berteman.”

Juda tertawa kecil. “Jadi saya cuma cocok jadi teman ya? Bukan sebagai pasangan hidup?”

Sakha langsung tampak serba salah.

“Maaf, maksud saya bukan begitu,” ujar Sakha dengan tak enak hati. “Saya cuma nggak yakin dengan diri saya sendiri. Bukan ke kamu. Bukan berarti saya menganggap kamu bukan pasangan yang cocok untuk saya padahal kita belum memulai apa-apa.”

Juda mengibaskan tangan dengan santai.

“Nggak masalah. No hard feeling, Sakha. Saya hari ini memang berusaha menjadi teman ngobrol yang baik dan asyik tapi sengaja nggak membahas hal-hal serius soal hubungan, supaya partner nge-date saya nggak berharap banyak ke saya. Beberapa kali cukup berhasil karena saya dianggap lebih cocok jadi teman curhat aja.”

“Kalau boleh jujur, sebenarnya saya belum benar-benar siap memulai hubungan baru dengan seseorang. Saya rasa akan lebih sopan kalau saya ketemu kamu dulu untuk bilang langsung,” balas Sakha.

Meski Sakha tidak berkeinginan melangkah lebih jauh bersama Juda, ia tetap tidak mau dipandang buruk karena sikapnya.

“Sebenarnya, ada yang mau saya bilang ke kamu juga hari ini.” Juda mencondongkan tubuh ke depan dan melanjutkan ucapannya dengan setengah berbisik−seolah tak ingin ada orang lain yang mendengar.

“Seminggu setelah kamu batal ke rumah saya waktu itu, sebenarnya saya ketemu lagi dengan mantan pacar saya di acara reuni SMA saya dulu.”

Wow! So you guys are getting back together?” tanya Sakha yang langsung paham cerita singkat dari teman kencannya itu.

“Yeah, wow.” Juda meringis. “Agak complicated sih, tapi kurang lebih begitu. Saya juga masih nggak nyangka saya masih mau balikan dengan mantan pacar saya yang dulu pernah saya sumpahin macam-macam waktu putus.”

Juda mengendikkan bahu. Dari raut wajah dan gerak-gerik tubuhnya, wanita itu tidak terlihat santai. “See? Saya rasa cukup adil. Kamu belum siap memulai hubungan, sementara saya juga sudah bersama orang lain. Jadi, kita memang cocoknya berteman saja.”

Juda memang terlihat sangat santai dari sejak awal mereka berkenalan. Juda adalah tipe orang yang easy going dan mudah bergaul sehingga Sakha tidak harus terlalu keras memikirkan topik obrolan agar tidak canggung. Tidak jauh berbeda ketika dulu ia pertama kali berkenalan dengan Tabitha. Segalanya tampak berjalan dengan mulus.

Namun, Juda bukan Tabitha.

Tidak ada desir-desir halus yang menggelitik dada saat Sakha bicara sambil menatap mata Juda. Tidak ada jutaan kupu-kupu beterbangan di perutnya saat mendengar tawa Juda. Tidak ada rasa ingin memiliki yang begitu besar saat duduk berhadapan dengan Juda.

Seperti yang Ibu katakan, dari cara Juda membawakan diri di depannya, Sakha bisa menilai bahwa Juda adalah wanita yang baik, sopan, dan tidak neko-neko. Lagi-lagi Sakha tidak bisa untuk tidak membandingkan Juda dengan Tabitha. Tabitha juga wanita yang berbudi pekerti baik, sopan, dan sederhana. Banyak di luar sana yang juga memiliki sifat yang sama dengan Juda maupun Tabitha.

Namun, hanya Tabitha yang membuat Sakha tidak mampu dan tidak mau berpaling. Hanya Tabitha yang membuatnya jatuh cinta habis-habisan. Memang benar adanya bahwa saat pertama kali berkenalan dengan Tabitha, Sakha tidak langsung jatuh cinta pada wanita itu. Butuh proses selama beberapa bulan dari mulai tertarik untuk mengenal Tabitha lebih dalam dan menyadari bahwa ia mulai jatuh cinta ketika semakin dekat seorang Tabitha Pararagil.

Dan saat Sakha semakin larut dalam obrolannya dengan Juda, Sakha sadar jika mereka meneruskan perkenalan mereka ke arah yang lebih jauh maka akan sangat tidak adil untuk Juda. Di pikiran dan di hati Sakha saat ini masih penuh dengan kenangan Tabitha.

Apa pun yang Sakha bicarakan dengan orang yang ada di depannya, sekujur tubuhnya selalu meneriakkan segala hal tentang kenangannya bersama Tabitha. Selalu. Bahkan saat Sakha mengobrol dengan sahabatnya tentang sepak bola, ada secuil ingatan di kepalanya saat ia menonton bola di rumah ditemani Tabitha dulu.

“Pacar kamu tahu kalau hari ini kamu ada kencan dengan saya?” tanya Sakha saat keduanya sudah keluar dari kafe tempat mereka kencan tadi.

“Saya kasih tahu tadi sebelum berangkat ke sini. Dia tahu kalau mama saya memang hobi jodoh-jodohin saya gitu karena Mama kan tahunya anaknya jomblo akut,” jawab Juda seraya terkekeh.

“Dan pacar kamu nggak marah?”

“Well, dia kesel dikit tadi. Tapi saya udah jelasin kalau saya cuma mau datang di kencan pertama dan saya pastikan bakal jadi kencan terakhir, jadi dia udah cukup tenang. Tadinya pacar saya nyuruh saya pasang muka judes dan galak gitu waktu ketemu kamu, biar kamu langsung ilfeel katanya. Tapi setelah kenalan tadi saya urungkan niat saya.”

“Kenapa?”

“Karena muka kamu terlalu kalem buat digalakin.”

Jika mereka tidak sedang berada di muka umum yang ramai, Sakha pasti sudah akan tertawa terbahak-bahak. Kali ini, Juda mengutarakan hal yang sangat berbeda dari yang pernah Tabitha katakan tentangnya dulu. Menurut Tabitha dulu, Sakha adalah sosok yang rebel dan tidak ada kalem-kalemnya.

I will take it as a compliment,” jawab Sakha.

Juda mengerling dan menjawab dengan setengah bercanda, “Itu memang pujian. Jarang-jarang lho saya kasih pujian ke orang.”

Sakha pun membalas dengan senyum tulus, “I’m so honored then.”

Mereka tiba di depan kafe yang memiliki halaman cukup luas dan menyingkir ke arah samping untuk menunggu taksi online yang dipesan Juda. Tadi, Sakha sudah menawarkan diri untuk mengantar Juda pulang tetapi ditolak oleh wanita itu. Ada beberapa aturan untuk kencan pertama yang selalu Juda pegang teguh.

Di antaranya adalah bertemu dan berpisah dengan teman kencan di tempat janjian, tidak boleh menanyakan alamat rumah pribadi, harus membayar makanan sendiri-sendiri−kecuali pihak kedua memaksa dan berjanji tidak akan menagih dan membuat geger di sosial media jika kencan tidak berjalan dengan baik−karena tak ingin ada utang budi, dan yang terakhir tidak bertukar nomor telepon pribadi.

So, this is the end, then,” ucap Juda saat menilik ke maps yang terpampang di layar ponselnya dan taksi yang dipesannya sudah hampir sampai. “Apa yang harus dilaporkan ke ibu-ibu kita yang terhormat supaya mereka nggak kecewa?”

“Bilang saja kalau kita lebih cocok berteman. Atau boleh kamu bilang kalau saya terlalu tua buat kamu.”

Juda tertawa lagi.

“Soal itu nggak salah sih. Buktinya tadi saya beberapa kali harus menjelaskan istilah-istilah gaul karena kamu nggak paham,” sahut Juda dengan setengah bercanda.

Sakha ikut tertawa. “Jadi, kita sekarang berteman?”

Kening Juda mengernyit dalam hingga kedua ujung alisnya nyaris menyatu.

Ada binar jenaka di matanya saat Juda menjawab, “Kita pasrahkan kepada semesta saja. Kalau suatu waktu kita nggak sengaja ketemu lagi, itu artinya semesta mengizinkan kita berteman.”

“Well, sampai ketemu lagi suatu saat nanti jika semesta mengizinkan,” ujar Sakha saat ada taksi berhenti dan Juda bergumam bahwa itu adalah taksi yang ia pesan.

See you when I see you, Sakha. Semoga kamu bisa segera pulih dari rasa sakit yang menahan kamu di posisi kamu sekarang. Good luck with your life,” balas Juda tulus.

Dua kalimat yang diucapkan Juda sebelum wanita itu masuk ke dalam taksi menohok dada Sakha dengan sangat keras. Bagaimana Sakha bisa pulih dari rasa sakit jika laki-laki itu sengaja membiarkan luka itu terus bersarang di sekujur tubuhnya? Sakha bahkan mulai akrab dengan rasa sakit itu hingga Sakha yakin bahwa ia bisa hidup dengan luka yang menganga itu selamanya.

Sebab, mengobati luka yang menganga dan berusaha untuk sembuh sama saja dengan menghapus kenangannya bersama Tabitha. Dan Sakha sama sekali tidak menginginkan itu. Sakha akan terus hidup bersama dengan kenangan-kenangannya bersama Tabitha meski harus dibayar dengan rasa sakit yang nyaris membuatnya mati rasa.

.

.

to be continued 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status