[Oktober 2021]
Juda adalah teman mengobrol yang menyenangkan. Itu adalah kesan pertama yang Sakha dapatkan setelah satu jam mengobrol dengan wanita itu. Mereka berdua bekerja di bidang yang berbeda. Sakha adalah fotografer profesional yang bekerja di NatGeo, sementara Juda adalah seorang akuntan yang bekerja di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta. Namun, obrolan di antara mereka bisa mengalir lancar. Sakha bahkan tertawa beberapa kali−selama setahun terakhir Sakha nyaris lupa caranya tersenyum dan tertawa lepas−karena lelucon yang dibuat oleh Juda. Bahkan saat Juda mengucapkan kata-kata sarkas pun Sakha bisa terhibur.
Selama mengobrol sama sekali tidak ada pembahasan tentang ke mana arah hubungan mereka ke depannya, sebab sejak mereka berkenalan di awal Juda menegaskan bahwa pertemuan itu murni karena permintaan orang tua. Sakha pun tidak mempermasalahkan itu karena ia pun tidak menaruh ekspektasi tinggi pada pertemuannya dengan wanita yang dijodohkan dengannya itu. Juda baru mulai membahas tentang itu saat mereka sudah mau pulang, karena mau tidak mau Sakha dan Juda tetap harus melaporkan hasil kencan mereka hari itu kepada ibu masing-masing.
“It’s really nice to know you, Sakha,” ucap Juda setelah menyeruput minumannya hingga hanya menyisakan balok-balok es yang belum mencair di gelasnya.
Wanita itu dan Sakha sudah bersiap-siap untuk pergi dari kafe tempat mereka nongkrong cukup lama setelah tadi makan siang bersama di sebuah restoran yang sudah direservasi atas nama ibunya Juda.
Sakha tersenyum tipis.
“Yeah, me too. Sejujurnya ini pertama kalinya saya nge-date−kalau memang ini cukup pantas disebut proper date−setelah saya bercerai. Semoga hari ini nggak terlalu mengecewakan. Saya sudah lupa gimana caranya berkencan dengan seorang wanita dengan benar,” sahut Sakha sebelum pikirannya semakin bercabang ke mana-mana.
“Jadi, bagaimana kesan setelah ngobrol cukup banyak topik dengan partner nge-date kamu hari ini?” tanya Juda.
“Saya nggak tahu apa ini pantas diucapkan di kencan pertama, tapi sepertinya saya dan kamu cocok buat berteman.”
Juda tertawa kecil. “Jadi saya cuma cocok jadi teman ya? Bukan sebagai pasangan hidup?”
Sakha langsung tampak serba salah.
“Maaf, maksud saya bukan begitu,” ujar Sakha dengan tak enak hati. “Saya cuma nggak yakin dengan diri saya sendiri. Bukan ke kamu. Bukan berarti saya menganggap kamu bukan pasangan yang cocok untuk saya padahal kita belum memulai apa-apa.”
Juda mengibaskan tangan dengan santai.
“Nggak masalah. No hard feeling, Sakha. Saya hari ini memang berusaha menjadi teman ngobrol yang baik dan asyik tapi sengaja nggak membahas hal-hal serius soal hubungan, supaya partner nge-date saya nggak berharap banyak ke saya. Beberapa kali cukup berhasil karena saya dianggap lebih cocok jadi teman curhat aja.”
“Kalau boleh jujur, sebenarnya saya belum benar-benar siap memulai hubungan baru dengan seseorang. Saya rasa akan lebih sopan kalau saya ketemu kamu dulu untuk bilang langsung,” balas Sakha.
Meski Sakha tidak berkeinginan melangkah lebih jauh bersama Juda, ia tetap tidak mau dipandang buruk karena sikapnya.
“Sebenarnya, ada yang mau saya bilang ke kamu juga hari ini.” Juda mencondongkan tubuh ke depan dan melanjutkan ucapannya dengan setengah berbisik−seolah tak ingin ada orang lain yang mendengar.
“Seminggu setelah kamu batal ke rumah saya waktu itu, sebenarnya saya ketemu lagi dengan mantan pacar saya di acara reuni SMA saya dulu.”
“Wow! So you guys are getting back together?” tanya Sakha yang langsung paham cerita singkat dari teman kencannya itu.
“Yeah, wow.” Juda meringis. “Agak complicated sih, tapi kurang lebih begitu. Saya juga masih nggak nyangka saya masih mau balikan dengan mantan pacar saya yang dulu pernah saya sumpahin macam-macam waktu putus.”
Juda mengendikkan bahu. Dari raut wajah dan gerak-gerik tubuhnya, wanita itu tidak terlihat santai. “See? Saya rasa cukup adil. Kamu belum siap memulai hubungan, sementara saya juga sudah bersama orang lain. Jadi, kita memang cocoknya berteman saja.”
Juda memang terlihat sangat santai dari sejak awal mereka berkenalan. Juda adalah tipe orang yang easy going dan mudah bergaul sehingga Sakha tidak harus terlalu keras memikirkan topik obrolan agar tidak canggung. Tidak jauh berbeda ketika dulu ia pertama kali berkenalan dengan Tabitha. Segalanya tampak berjalan dengan mulus.
Namun, Juda bukan Tabitha.
Tidak ada desir-desir halus yang menggelitik dada saat Sakha bicara sambil menatap mata Juda. Tidak ada jutaan kupu-kupu beterbangan di perutnya saat mendengar tawa Juda. Tidak ada rasa ingin memiliki yang begitu besar saat duduk berhadapan dengan Juda.
Seperti yang Ibu katakan, dari cara Juda membawakan diri di depannya, Sakha bisa menilai bahwa Juda adalah wanita yang baik, sopan, dan tidak neko-neko. Lagi-lagi Sakha tidak bisa untuk tidak membandingkan Juda dengan Tabitha. Tabitha juga wanita yang berbudi pekerti baik, sopan, dan sederhana. Banyak di luar sana yang juga memiliki sifat yang sama dengan Juda maupun Tabitha.
Namun, hanya Tabitha yang membuat Sakha tidak mampu dan tidak mau berpaling. Hanya Tabitha yang membuatnya jatuh cinta habis-habisan. Memang benar adanya bahwa saat pertama kali berkenalan dengan Tabitha, Sakha tidak langsung jatuh cinta pada wanita itu. Butuh proses selama beberapa bulan dari mulai tertarik untuk mengenal Tabitha lebih dalam dan menyadari bahwa ia mulai jatuh cinta ketika semakin dekat seorang Tabitha Pararagil.
Dan saat Sakha semakin larut dalam obrolannya dengan Juda, Sakha sadar jika mereka meneruskan perkenalan mereka ke arah yang lebih jauh maka akan sangat tidak adil untuk Juda. Di pikiran dan di hati Sakha saat ini masih penuh dengan kenangan Tabitha.
Apa pun yang Sakha bicarakan dengan orang yang ada di depannya, sekujur tubuhnya selalu meneriakkan segala hal tentang kenangannya bersama Tabitha. Selalu. Bahkan saat Sakha mengobrol dengan sahabatnya tentang sepak bola, ada secuil ingatan di kepalanya saat ia menonton bola di rumah ditemani Tabitha dulu.
“Pacar kamu tahu kalau hari ini kamu ada kencan dengan saya?” tanya Sakha saat keduanya sudah keluar dari kafe tempat mereka kencan tadi.
“Saya kasih tahu tadi sebelum berangkat ke sini. Dia tahu kalau mama saya memang hobi jodoh-jodohin saya gitu karena Mama kan tahunya anaknya jomblo akut,” jawab Juda seraya terkekeh.
“Dan pacar kamu nggak marah?”
“Well, dia kesel dikit tadi. Tapi saya udah jelasin kalau saya cuma mau datang di kencan pertama dan saya pastikan bakal jadi kencan terakhir, jadi dia udah cukup tenang. Tadinya pacar saya nyuruh saya pasang muka judes dan galak gitu waktu ketemu kamu, biar kamu langsung ilfeel katanya. Tapi setelah kenalan tadi saya urungkan niat saya.”
“Kenapa?”
“Karena muka kamu terlalu kalem buat digalakin.”
Jika mereka tidak sedang berada di muka umum yang ramai, Sakha pasti sudah akan tertawa terbahak-bahak. Kali ini, Juda mengutarakan hal yang sangat berbeda dari yang pernah Tabitha katakan tentangnya dulu. Menurut Tabitha dulu, Sakha adalah sosok yang rebel dan tidak ada kalem-kalemnya.
“I will take it as a compliment,” jawab Sakha.
Juda mengerling dan menjawab dengan setengah bercanda, “Itu memang pujian. Jarang-jarang lho saya kasih pujian ke orang.”
Sakha pun membalas dengan senyum tulus, “I’m so honored then.”
Mereka tiba di depan kafe yang memiliki halaman cukup luas dan menyingkir ke arah samping untuk menunggu taksi online yang dipesan Juda. Tadi, Sakha sudah menawarkan diri untuk mengantar Juda pulang tetapi ditolak oleh wanita itu. Ada beberapa aturan untuk kencan pertama yang selalu Juda pegang teguh.
Di antaranya adalah bertemu dan berpisah dengan teman kencan di tempat janjian, tidak boleh menanyakan alamat rumah pribadi, harus membayar makanan sendiri-sendiri−kecuali pihak kedua memaksa dan berjanji tidak akan menagih dan membuat geger di sosial media jika kencan tidak berjalan dengan baik−karena tak ingin ada utang budi, dan yang terakhir tidak bertukar nomor telepon pribadi.
“So, this is the end, then,” ucap Juda saat menilik ke maps yang terpampang di layar ponselnya dan taksi yang dipesannya sudah hampir sampai. “Apa yang harus dilaporkan ke ibu-ibu kita yang terhormat supaya mereka nggak kecewa?”
“Bilang saja kalau kita lebih cocok berteman. Atau boleh kamu bilang kalau saya terlalu tua buat kamu.”
Juda tertawa lagi.
“Soal itu nggak salah sih. Buktinya tadi saya beberapa kali harus menjelaskan istilah-istilah gaul karena kamu nggak paham,” sahut Juda dengan setengah bercanda.
Sakha ikut tertawa. “Jadi, kita sekarang berteman?”
Kening Juda mengernyit dalam hingga kedua ujung alisnya nyaris menyatu.
Ada binar jenaka di matanya saat Juda menjawab, “Kita pasrahkan kepada semesta saja. Kalau suatu waktu kita nggak sengaja ketemu lagi, itu artinya semesta mengizinkan kita berteman.”
“Well, sampai ketemu lagi suatu saat nanti jika semesta mengizinkan,” ujar Sakha saat ada taksi berhenti dan Juda bergumam bahwa itu adalah taksi yang ia pesan.
“See you when I see you, Sakha. Semoga kamu bisa segera pulih dari rasa sakit yang menahan kamu di posisi kamu sekarang. Good luck with your life,” balas Juda tulus.
Dua kalimat yang diucapkan Juda sebelum wanita itu masuk ke dalam taksi menohok dada Sakha dengan sangat keras. Bagaimana Sakha bisa pulih dari rasa sakit jika laki-laki itu sengaja membiarkan luka itu terus bersarang di sekujur tubuhnya? Sakha bahkan mulai akrab dengan rasa sakit itu hingga Sakha yakin bahwa ia bisa hidup dengan luka yang menganga itu selamanya.
Sebab, mengobati luka yang menganga dan berusaha untuk sembuh sama saja dengan menghapus kenangannya bersama Tabitha. Dan Sakha sama sekali tidak menginginkan itu. Sakha akan terus hidup bersama dengan kenangan-kenangannya bersama Tabitha meski harus dibayar dengan rasa sakit yang nyaris membuatnya mati rasa.
.
.
to be continued
[Maret 2022] Tabitha menatap dua tanaman kaktus yang ia beri nama Kha dan Bee dengan tatapan kosong. Meski kaktus-kaktus itu mengingatkannya pada Sakha−mantan suami Tabitha yang menghadiahkan tanaman itu saat anniversary pernikahan mereka yang kedua−dan selalu menyebabkan rasa sakit di dada, Tabitha tak tega membuang dua tanaman yang masih tumbuh dengan subur itu. Sehingga sampai hari ini, kedua tanaman itu masih Tabitha rawat dengan sepenuh hati meski harus menahan rasa sakit setiap kali bayangan tentang Sakha terlintas di kepalanya. Pernah suatu hari Tabitha menyerahkan dua kaktus itu kepada ibunya untuk dirawat di rumah−beberapa minggu setelah resmi bercerai dari Sakha. Namun, selang dua minggu, mendadak ibunya mengabari jika kaktus-kaktus Tabitha nyaris mati. Tabitha langsung datang ke rumah ibunya untuk mengambil kembali dua kaktus itu−Tabitha bawa ke tempat kerjanya−dan ajaibnya mereka bisa kembali tumbuh dengan baik setelah satu bulan Tabitha mati-matian merawatnya. Kejadian
Tabitha tersenyum miris. Bukannya memakan bekal yang ia bawa dari rumah, Tabitha malah meraih ponselnya yang sejak tadi tergeletak di meja kerjanya dan membuka salah satu akun sosial medianya. Selama ini, Tabitha hanya memanfaatkan sosial media untuk mengikuti trend terkini yang berhubungan dengan pekerjaannya di bidang kreatif itu. Namun, dalam beberapa minggu terakhir ini Tabitha mendadak semakin sering membuka second account yang sengaja ia buat untuk kepentingan pribadi. Hal itu bermula sejak Tabitha tak sengaja melihat mantan suaminya mengunggah sebuah foto di suatu tempat yang ingin wanita itu datangi tetapi belum kesampaian. Sakha mengunggah foto pemandangan kota Yunani ketika senja. Saat matahari sudah nyaris tenggelam sepenuhnya di peraduan. Foto yang diunggah Sakha itu tidak bisa Tabitha abaikan begitu saja. Sebab, caption di unggahan itu langsung menarik perhatian Tabitha. Sakha menuliskan sepenggal lirik lagu milik Secondhand Serenade yang berjudul Your Call. . 🎵And I’
[April 2022]Sakha menatap nanar cincin kawinnya dengan Tabitha yang masih ia simpan meski sudah bercerai dari wanita itu selama setahun. Cincin itu yang dulunya menghuni jari manis Sakha. Tidak pernah laki-laki itu lepaskan, karena itu adalah salah satu bukti−selain buku nikah−bahwa ia telah mengikatkan diri pada sebuah ikatan sakral bernama pernikahan dengan wanita yang ia cintai.Setelah bercerai, Sakha masih mengenakan cincin itu selama lebih dari satu bulan. Sakha baru melepaskan cincin itu saat beberapa kali Ibu menegurnya. Bahkan Ibu menyuruh Sakha agar menjual cincin itu saja, tetapi Sakha tidak melakukannya. Sakha menyimpan cincin kawin itu di sudut lemari yang paling jauh agar tidak tergelitik untuk mengenakannya lagi.Hari ini adalah hari spesial.Sangat spesial bagi Sakha jika saja pernikahannya dengan Tabitha tidak kandas di tengah jalan. Tepat di hari ini, Sakha resmi menjadikan Tabitha sebagai kekasihnya, delapan tahun yang lalu. Dan juga lima tahun lalu, Sakha meminang
“Ini udah setahun, kan?” tanya Albert yang menyandarkan tubuh di sofa dengan tubuh sedikit melorot.Kaki Albert terjulur lurus di lantai yang berlapis karpet. Laki-laki itu terlalu kekenyangan setelah menyantap berbagai menu makanan cepat saja yang tadi ia dan Alex bawa saat Sakha meminta mereka untuk datang.Meski Alex tadi bercanda soal ajakannya untuk merayakan kegalauan Sakha, Albert menganggapnya serius. Laki-laki itu mengajak Alex membeli banyak makanan dan berkaleng-kaleng soda. Saat tiba di rumah Sakha, Albert bahkan begitu saja mengatakan bahwa laki-laki itu tahu kalau hari ini adalah hari anniversary pernikahan Sakha dan Tabitha.Kata Albert, daripada hanya bersedih sendirian dan mengurung diri di kamar, akan lebih baik jika merayakan kemuramannya bersama sahabat-sahabatnya yang selalu bersabar menghadapi bagaimana merananya Sakha pada tanggal-tanggal pentingnya bersama Tabitha. Sakha sempat mengumpati Albert karena tak berhenti mengejeknya, tetapi tak urung laki-laki itu be
Rasanya seperti sudah setahun lamanya Sakha tidak menginjakkan kaki di kantor pusat NatGeo. Tetapi, nyatanya Sakha memang jarang ke kantor bahkan nyaris tidak pernah, kecuali saat diminta untuk datang menghadiri meeting penting atau dipanggil oleh Bos Besar. Sebab, pekerjaannya menuntut laki-laki itu untuk lebih sering berada di luar ruangan. Sehari-harinya bersinggungan dengan sinar matahari.Hari ini, Sakha datang ke kantor karena pagi-pagi sekali tadi sudah dihubungi sekretaris bosnya untuk membahas sesuatu yang penting. Sakha mau tidak mau menyeret kakinya ke kantor dengan malas-malasan. Masih dengan mata mengantuk, Sakha masuk ke dalam lift yang akan mengantarkan laki-laki itu menuju lantai 5.Ada beberapa wajah familiar yang Sakha kenali saat keluar dari lift dan melewati bilik-bilik ruang kerja yang sebagian besar kosong. Sakha juga punya satu bilik di sana, tetapi nyaris tidak pernah Sakha singgahi karena terlalu sibuk bekerja di lapangan. Sakha menyapa mereka singkat dan lang
Sakha butuh waktu untuk memproses informasi yang diserapnya pagi ini, saat matanya bahkan masih terasa berat karena kurang tidur. Saat selesai mengedit foto subuh tadi, Sakha hanya berencana untuk hunting foto sebentar, lalu menghabiskan waktunya untuk tidur. Menghimpun energi yang telah terkuras karena beberapa hari terakhir ia sibuk ke sana kemari untuk memotret. Berangkat pagi buta dan pulang tengah malam. Bahkan sempat tidak pulang selama dua hari hanya untuk mendapatkan satu dua lembar foto yang sempurna dari angle yang berbeda. “Kira-kira berapa lama proyek ini berlangsung?” Sakha memecah keheningan. Pramudya yang sudah sibuk dengan tablet di tangannya itu mendongak. “Bisa sebulan atau dua bulan. Tergantung kalian bisa kerja cepat atau tidak. Targetnya maksimal enam bulan harus sudah selesai.” Kerja cepat yang dimaksud Pramudya bukan hanya menyelesaikan tugas yang diberikan dengan hasil seadanya. Tetapi harus SEMPURNA. Setidaknya itu yang menjadi pegangan Sakha dalam menggel
Karena masih belum tahu seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek barunya bersama gabungan tim dari berbagai cabang NatGeo di dunia, Sakha bingung harus mengepak apa saja. Sakha juga belum tahu negara mana saja yang harus didatangi. Sehingga ia tidak punya referensi pakaian yang cocok untuk dibawa. Yang membuat Sakha sejak tadi hanya berdiri di depan lemari dengan dua pintu yang terbuka lebar adalah kenangan sialan yang dengan lancang mampir ke otaknya.Sakha sudah lama sekali tak bepergian jauh. Setiap kali harus ke luar kota atau ke luar negeri, ada Tabitha yang membantu mengepak pakaian dan barang-barang yang ia perlukan. Tabitha selalu tahu apa yang Sakha butuhkan. Sakha nyaris tidak pernah protes karena Tabitha mengepak dengan rapi dan ajaibnya, kopernya muat menampung banyak. Sekarang, Tabitha sudah tidak ada dalam hidupnya. Itu artinya Sakha harus mengepak keperluannya seorang sendiri.Sakha pun menurunkan beberapa pakaian yang sudah terlipat rapi di lemari
Rupanya, bertemu kembali dengan orang-orang terdekatnya dahulu, saat masih menikah dengan Sakha, tidak sesulit dan seberat yang selama ini Tabitha bayangkan. Atau mungkin karena sekarang Tabitha sudah mulai berusaha mengikhlaskan apa yang telah terjadi di masa lalu sehingga bisa mengiyakan ajakan Alex tanpa banyak overthinking.Saat resmi bercerai dari Sakha, Tabitha berjanji hanya akan menjauh dari kawan-kawan lamanya–yang juga teman Sakha–selama satu tahun sebagai proses penyembuhan. Sebab, Tabitha yakin sekali jika ia akan terus merasa sakit jika bersinggungan dengan kawan-kawannya yang satu sirkel dengan Sakha juga. Mau tidak mau, pasti ada akan pembicaraan yang entah sengaja atau tidak terucap yang membuat Tabitha dan Sakha berada di posisi serba salah. Tabitha pun tak yakin tak akan menangis jika berada di sekitar mereka saat emosinya masih sangat labil.Dan hari ini, Tabitha merasa cukup yakin bisa menikmati pertemuan i Meski masih ada rasa sakit hingga sekarang, nyatanya Tabit