“Ini udah setahun, kan?” tanya Albert yang menyandarkan tubuh di sofa dengan tubuh sedikit melorot.Kaki Albert terjulur lurus di lantai yang berlapis karpet. Laki-laki itu terlalu kekenyangan setelah menyantap berbagai menu makanan cepat saja yang tadi ia dan Alex bawa saat Sakha meminta mereka untuk datang.Meski Alex tadi bercanda soal ajakannya untuk merayakan kegalauan Sakha, Albert menganggapnya serius. Laki-laki itu mengajak Alex membeli banyak makanan dan berkaleng-kaleng soda. Saat tiba di rumah Sakha, Albert bahkan begitu saja mengatakan bahwa laki-laki itu tahu kalau hari ini adalah hari anniversary pernikahan Sakha dan Tabitha.Kata Albert, daripada hanya bersedih sendirian dan mengurung diri di kamar, akan lebih baik jika merayakan kemuramannya bersama sahabat-sahabatnya yang selalu bersabar menghadapi bagaimana merananya Sakha pada tanggal-tanggal pentingnya bersama Tabitha. Sakha sempat mengumpati Albert karena tak berhenti mengejeknya, tetapi tak urung laki-laki itu be
Rasanya seperti sudah setahun lamanya Sakha tidak menginjakkan kaki di kantor pusat NatGeo. Tetapi, nyatanya Sakha memang jarang ke kantor bahkan nyaris tidak pernah, kecuali saat diminta untuk datang menghadiri meeting penting atau dipanggil oleh Bos Besar. Sebab, pekerjaannya menuntut laki-laki itu untuk lebih sering berada di luar ruangan. Sehari-harinya bersinggungan dengan sinar matahari.Hari ini, Sakha datang ke kantor karena pagi-pagi sekali tadi sudah dihubungi sekretaris bosnya untuk membahas sesuatu yang penting. Sakha mau tidak mau menyeret kakinya ke kantor dengan malas-malasan. Masih dengan mata mengantuk, Sakha masuk ke dalam lift yang akan mengantarkan laki-laki itu menuju lantai 5.Ada beberapa wajah familiar yang Sakha kenali saat keluar dari lift dan melewati bilik-bilik ruang kerja yang sebagian besar kosong. Sakha juga punya satu bilik di sana, tetapi nyaris tidak pernah Sakha singgahi karena terlalu sibuk bekerja di lapangan. Sakha menyapa mereka singkat dan lang
Sakha butuh waktu untuk memproses informasi yang diserapnya pagi ini, saat matanya bahkan masih terasa berat karena kurang tidur. Saat selesai mengedit foto subuh tadi, Sakha hanya berencana untuk hunting foto sebentar, lalu menghabiskan waktunya untuk tidur. Menghimpun energi yang telah terkuras karena beberapa hari terakhir ia sibuk ke sana kemari untuk memotret. Berangkat pagi buta dan pulang tengah malam. Bahkan sempat tidak pulang selama dua hari hanya untuk mendapatkan satu dua lembar foto yang sempurna dari angle yang berbeda. “Kira-kira berapa lama proyek ini berlangsung?” Sakha memecah keheningan. Pramudya yang sudah sibuk dengan tablet di tangannya itu mendongak. “Bisa sebulan atau dua bulan. Tergantung kalian bisa kerja cepat atau tidak. Targetnya maksimal enam bulan harus sudah selesai.” Kerja cepat yang dimaksud Pramudya bukan hanya menyelesaikan tugas yang diberikan dengan hasil seadanya. Tetapi harus SEMPURNA. Setidaknya itu yang menjadi pegangan Sakha dalam menggel
Karena masih belum tahu seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek barunya bersama gabungan tim dari berbagai cabang NatGeo di dunia, Sakha bingung harus mengepak apa saja. Sakha juga belum tahu negara mana saja yang harus didatangi. Sehingga ia tidak punya referensi pakaian yang cocok untuk dibawa. Yang membuat Sakha sejak tadi hanya berdiri di depan lemari dengan dua pintu yang terbuka lebar adalah kenangan sialan yang dengan lancang mampir ke otaknya.Sakha sudah lama sekali tak bepergian jauh. Setiap kali harus ke luar kota atau ke luar negeri, ada Tabitha yang membantu mengepak pakaian dan barang-barang yang ia perlukan. Tabitha selalu tahu apa yang Sakha butuhkan. Sakha nyaris tidak pernah protes karena Tabitha mengepak dengan rapi dan ajaibnya, kopernya muat menampung banyak. Sekarang, Tabitha sudah tidak ada dalam hidupnya. Itu artinya Sakha harus mengepak keperluannya seorang sendiri.Sakha pun menurunkan beberapa pakaian yang sudah terlipat rapi di lemari
Rupanya, bertemu kembali dengan orang-orang terdekatnya dahulu, saat masih menikah dengan Sakha, tidak sesulit dan seberat yang selama ini Tabitha bayangkan. Atau mungkin karena sekarang Tabitha sudah mulai berusaha mengikhlaskan apa yang telah terjadi di masa lalu sehingga bisa mengiyakan ajakan Alex tanpa banyak overthinking.Saat resmi bercerai dari Sakha, Tabitha berjanji hanya akan menjauh dari kawan-kawan lamanya–yang juga teman Sakha–selama satu tahun sebagai proses penyembuhan. Sebab, Tabitha yakin sekali jika ia akan terus merasa sakit jika bersinggungan dengan kawan-kawannya yang satu sirkel dengan Sakha juga. Mau tidak mau, pasti ada akan pembicaraan yang entah sengaja atau tidak terucap yang membuat Tabitha dan Sakha berada di posisi serba salah. Tabitha pun tak yakin tak akan menangis jika berada di sekitar mereka saat emosinya masih sangat labil.Dan hari ini, Tabitha merasa cukup yakin bisa menikmati pertemuan i Meski masih ada rasa sakit hingga sekarang, nyatanya Tabit
“Lo nggak menyedihkan, Tha,” koreksi Albert. Tampak tidak senang melihat Tabitha yang sedikit murung. “Menurut gue sih wajar. Lo pernah punya kenangan manis di sana dan lo mau menyimpan itu buat lo sendiri. Nggak ada yang salah dengan hal itu. Dan itu hak lo juga mau ““Thanks, Al.” Tabitha terkekeh. Menciptakan ekspresi bertanya di wajah Albert. “Dipikir-pikir lagi ternyata gue kangen ngobrol dan curhat sama lo.”Albert tersenyum lebar. “Gue emang ngangenin sih. Berarti kita bisa nongkrong bareng lagi besok-besok, kan?”Tabitha mengangguk ringan. Malah, tadinya Tabitha yang ingin mengajak Albert nongkrong lagi kapan-kapan. Hanya saja Tabitha merasa agak canggung untuk mengajak duluan. Sebab, setelah bercerai dari Sakha, Tabitha paling keras menolak kehadiran Albert hingga laki-laki itu pun akhirnya menyerah dan tidak pernah lagi mengganggu Tabitha. Pertemuan hari ini pun karena inisiatif Alex. Tabitha sempat mengira jika Albert tidak akan mau ikut karena obrolan terakhir mereka sebel
“Kok bisa sih lo perginya dadakan banget?” protes Albert untuk yang ke sekian kalinya, yang hari ini menawarkan diri untuk mengantar Sakha ke bandara Soekarno-Hatta. Sementara Alex tak bisa ikut mengantar karena harus lembur dan berkutat dengan pekerjaan yang menumpuk di kantor. “Salahnya bos gue yang ngasih tahunya juga dadakan,” balas Sakha enteng. “Bos lo kasih tahu dua hari yang lalu. Lo baru kasih tahu gue sama Alex semalem!” Albert kembali menyemburkannya protes. Laki-laki yang duduk di belakang kemudi itu menoleh sekilas ke Sakha yang duduk di sampingnya. “Sorry, my bad. Gue lupa.” Albert mendengkus sebab Sakha tampak tidak benar-benar menyesal saat mengucapkan maaf. “Lo… beneran cuma beberapa bulan doang kan perginya?” “Sampai proyek kelar. Paling lama enam bulan sih.” Albert manggut-manggut. “Gue kira lo mau kabur, terus nggak balik lagi.” “Kenapa gue harus kabur?” Albert sudah membuka mulut untuk membalas, tetapi tak jadi. Laki-laki itu hanya mengendikkan bahu. Mer
“Secepat itu kamu move on dari aku ya, Bee?” gumam Sakha setelah menghabiskan dua batang rokok dan segelas kopi hitam yang rasanya tidak enak.Setibanya di Washington DC dan melakukan check in hotel, meski dalam keadaan lelah dan mengantuk, Sakha tetap memaksakan dirinya turun dari kamar hotelnya untuk mencari toko terdekat dan membeli rokok serta kopi. Ia harus merogoh kocek sebanyak delapan dolar hanya untuk sebungkus rokok. Atau jika dirupiahkan dengan kurs hari itu maka bernilai sekitar 112 ribu rupiah. Lumayan mahal untuk satu bungkus rokok saja. Tetapi Sakha tetap membelinya karena ia membutuhkan itu sebagai distraksi agar kepalanya tidak terus-terusan membayangkan wajah cantik Tabitha. Ya, sejak belasan jam yang lalu setelah obrolan memusingkannya dengan Albert tentang Tabitha, Sakha tidak bisa berhenti memikirkan mantan istrinya itu.Nyatanya, usaha Sakha sia-sia. Rokok dan kopi yang telah menjadi teman setia Sakha itu seolah sedang ingin mendorong Sakha agar semakin sering me