Tekad sekuat baja berpendar di dalam bola mata Lyra. Putrinya yang dulu lugu dan pendiam, kini menyebutkan hal yang paling tidak dia inginkan. "Tidak! Kau tidak tahu apa yang kau hadapi, Lyra. Mereka bukan sekadar keluarga. Mereka adalah sistem. Mesin kekuasaan. Sekali masuk, kau tidak bisa keluar!""Aku lebih memilih masuk ke mesin itu, daripada melihat Dastan dikorbankan," jawab Lyra dengan suara yang tak tergoyahkan. "Kalau Ayah benar-benar ingin menjauhkan aku dari semua ini… maka Ayah harus membantu menyelesaikannya sekarang. Bantu aku bicara dengan mereka. Bantu aku masuk, dengan cara apa pun."Leonard menggeleng panjang.Lyra menunduk, suaranya bergetar menahan gejolak di dadanya. Jemarinya menggenggam tangan ayahnya dengan erat.“Ayah, kumohon… Aku akan melakukan apa pun demi Dastan… seperti dia selalu melakukan segalanya untukku,” lirihnya, nyaris putus asa.Air matanya menetes, jatuh ke punggung tangan sang ayah. “Di saat semua orang hanya memanfaatkanku… dia satu-satunya y
Alarm monitor jantung yang berbunyi nyaring, memecah keheningan yang sebelumnya menyelimuti ruang ICU. Suaranya seperti mencabik udara, mengguncang dada Lyra yang masih menggenggam tangan mertuanya erat.“Ayah!” jerit Lyra panik.Beberapa tenaga medis langsung berhamburan masuk ke dalam ruangan. Dua di antaranya meminta Lyra mundur, yang lain mengecek monitor, membuka baju pasien, dan mulai melakukan resusitasi. Suara perintah cepat, detakan alat kejut jantung yang disiapkan, dan mesin yang berdenting membentuk simfoni darurat yang mengerikan.“Asisten keluar bersama Nyonya!” seru salah satu dokter.“Tidak! Aku di sini! Aku tidak akan ke mana-mana!” seru Lyra, menolak keras. Air matanya mengalir deras. “Ayah, bertahanlah! Kumohon!”Namun tubuh David hanya terbaring diam. Wajahnya tenang, seperti seseorang yang sudah menyerahkan seluruh bebannya sebelum pergi. Dokter mulai memberi kejutan pertama. Tubuh itu bergetar. Lalu kembali hening. Kejutan kedua. Detakan di monitor masih datar.L
Tak mau menyerah, Lyra menekan kontak lain.Kali ini Samuel, ajudan pribadinya. Begitu tersambung, suara pria itu terdengar gugup.“Ya, Nyonya?"“Samuel! Di mana Tuan? Apa yang terjadi? Aku baru saja melihat berita! Kenapa dia dibawa penyidik?!”Di seberang, Samuel terdengar ragu. “Nyonya… maaf, aku tidak bisa bicara banyak. Tuan sedang dalam proses pemeriksaan. Kami semua juga masih menunggu kabar lanjutan.”“Kau pikir aku hanya akan diam dan menunggu seperti orang bodoh?!” suara Lyra meninggi, matanya mulai berair. “Kau tahu aku istrinya, Samuel! Aku berhak tahu!”Seketika terdengar helaan napas berat dari pria di seberang.“Nyonya, tolong tenang dulu, kita tunggu—”"Tunggu apalagi?! Kalian mau menunggu sampai Tuan benar-benar divonis bersalah?!"Samuel mati kutu. Ini kali pertama dia dibentak oleh sang nyonya. Anehnya terdengar lebih menakutkan dibanding kemarahan Dastan. “Kasus ini muncul dari audit lama, Nyonya. Proyek beberapa tahun lalu. Saat itu Tuan Dastan sedang berada di l
Dastan berdiri mematung di koridor luar ruangan perawatan.Cahaya dari layar ponselnya menyilaukan mata yang sejak tadi berat oleh kelelahan. Deretan panggilan tak terjawab terpampang jelas. Charlie, Claudia, beberapa mitra penting serta ayahnya. Jantungnya terasa berat. Ia tahu, masalah besar sedang menunggu di luar sana. Semakin lama ia menunda, semakin besar kekacauan yang mungkin terjadi di perusahaannya.Namun kakinya tak langsung melangkah pergi. Mata Dastan kembali terarah pada ruangan tempat Lyra dan ayahnya berada. Perlahan ia membuka pintu, di sana... pemandangan itu membuatnya terdiam.Lyra duduk di sisi ranjang, mengaduk bubur perlahan lalu menyuapkannya dengan sangat hati-hati. Tatapannya lembut, penuh perhatian. Sangat kontras dengan sikap Lyra yang biasanya gugup, tertutup, bahkan sering kali bingung. Tapi di hadapan ayahnya, Lyra begitu hangat. Begitu telaten.Dastan tertegun, seolah baru menyadari sisi lain dari istrinya yang selama ini tersembunyi. Lyra telah banyak
Dastan menurunkan ponselnya dengan perlahan. Senyum yang tadi menghias wajahnya kini benar-benar telah hilang. Berganti dengan tatapan mata yang penuh haru.Lyra segera mendekat, tatapannya penuh cemas. “Itu siapa? Kau bicara dengan siapa barusan?”Dastan balas menatapnya lekat, melihatnya menunggu jawaban dengan tak sabar. “Itu dari penjaga ayahmu.”Darah Lyra seolah berhenti mengalir. Tangannya otomatis menggenggam lengan Dastan dengan erat. “A-Apa yang terjadi? Dia baik-baik saja, kan? Ayahku kenapa?!”Dastan tak menjawab. Dia malah memeluk Lyra erat, satu tangannya menutupi kepala sang istri dengan lembut. Tapi justru karena itu, karena pelukannya begitu menenangkan, Lyra merasa makin panik.“Dastan… jangan lakukan ini. Jangan peluk aku seperti ini!" Lyra berusaha melepaskan diri, mendorong tubuh Dastan dengan paksa. "Bicara! Jangan menakutiku! Bicaralah!”Akhirnya, dengan napas berat, Dastan bicara, “Ayo kita ke sana. Akan kujelaskan nanti.”Tanpa menunggu penolakan, Dastan mengg
Lyra duduk di kursi dengan secangkir jeruk hangat dan roti panggang yang tadi disiapkan Alba. Hanya satu gigitan yang mampu dia telan. Tak ada selera. Bukan karena mual, tapi karena kecewa yang menumpuk diam-diam.Dia menatap kosong ke permukaan cangkir. Memikirkan kembali mengapa dia merasa sangat hampa tanpa kehadiran Dastan? Ini cukup aneh. Dulu dia justru tertekan tiap pria itu ada di sekitarnya. “Nyonya!” Alba yang sejak tadi duduk memperhatikan Lyra spontan berdiri.Lyra mengerutkan dahi. “Apa?”Alba tak menjawab. Matanya tertancap ke arah pintu ruangan itu.Lyra segera mengikuti arah pandangannya. Saat ia menoleh, sosok tinggi dengan jas yang masih rapi muncul. Langkahnya berat dan mantap menyusuri lantai marmer, lalu berhenti tepat di depan Lyra duduk."Dastan?!" Lyra mendesis tak percaya. Mata mereka bertemu. Lyra segera berdiri menyambut. “Aku pikir kau—”“Aku tahu,” potong Dastan pelan, lalu menghela napas. “Aku tahu aku payah dalam hal bicara... tapi kurasa pagi ini aku