Malam itu, mobil keluarga Sasmita berhenti di depan kediaman megah keluarga Adiwangsa. Pelataran telah dipenuhi deretan mobil mewah, masing-masing milik keluarga terpandang di kota Torin. Lampu-lampu kristal di fasad rumah besar itu berpendar indah, mencerminkan kemewahan yang tak tertandingi.
Dari kursi penumpang, Lyra menatap gedung itu dengan dada sesak.
Keluarga Adiwangsa paling berkuasa atas kota ini. Dan malam ini, dia harus melangkah masuk, berpura-pura menjadi bagian dari mereka.
Pintu mobil terbuka, dan sang ibu, Talia, turun lebih dulu. Senyumnya lebar, penuh kebanggaan. “Jangan lupa membawa kadonya turun, Lyra. Jangan membuatku malu.”
Datang ke rumah keluarga Adiwangsa dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja?
Berpura-pura bahwa dia tidak tahu bagaimana Darren mengkhianatinya?
Kebenciannya hampir tumpah, tetapi seketika Lyra teringat ultimatum ibunya.
“Kau harus mengikuti semua perintah Darren, apa pun itu! Kalau kau membuatnya tidak senang, kau tahu akibatnya!”
Lyra menutup mata, menggigit bibirnya hingga hampir berdarah. Tidak ada pilihan. Sejak awal, dia memang tidak pernah punya pilihan.
“…Baik.” Lyra menelan ludah. Seperti biasa, ibunya lebih peduli pada citranya daripada perasaan putrinya sendiri.
Lyra mengambil napas dalam sebelum akhirnya melangkah keluar. Gaun satin biru tua yang dia kenakan membalut indah tubuhnya, kontras dengan kulitnya yang pucat.
Namun, tak peduli seberapa elegan dia terlihat, dalam dirinya ada luka yang masih menganga—luka yang dia sembunyikan di balik riasan sempurna.
Di dalam rumah, barisan pelayan berdiri tegak sepanjang lorong menuju aula pesta. Langkah Talia ringan, penuh percaya diri, sementara Lyra mengekor tanpa suara.
“Aku tidak melihat Darren,” gumam Talia pelan. “Seharusnya dia menjemput kita atau setidaknya menyambut kita di sini.”
Lyra tetap diam, menahan diri untuk tidak mendengus sinis. Dia sudah bisa menebak di mana tunangannya itu berada.
— Darren pasti baru saja menghabiskan waktu dengan Livia.
Kemarahan Lyra kembali mendidih. Namun, dia tidak bisa menunjukkannya di sini, terlebih masih ada hal yang harus dia pikirkan – kenyataan bahwa sang ibu akan menuntut percepatan pernikahan dengan alasan dirinya sudah tidur dengan Darren!
Ketika mereka mencapai aula, Lyra dan sang ibu langsung menemui kakek Darren. Pria tua yang duduk di kursi roda itu menyambut dengan senyum. Orang tua Darren yang berada tidak jauh di belakangnya pun mengikuti.
“Talia, senang sekali kau datang,” sambut ibu Darren, Leona Adiwangsa, sembari memeluk Talia singkat. Lalu, matanya jatuh pada Lyra. “Kau semakin cantik malam ini, Sayang.”
“Terima kasih, Bibi.” Lyra menjawab dengan suara tenang, menyembunyikan kegelisahannya.
"Ramai sekali," komentar Talia mengamati dekorasi yang tampak tidak biasa.
"Selain peringatan ulang tahun Darren, malam ini juga pesta penyambutan untuk pamannya," jelas Leona.
“Paman Darren? Maksudmu, Dastan Adiwangsa?” Mata Talia sedikit terkejut mendengarnya.
Dastan Adiwangsa, putra bungsu Kakek Adiwangsa sekaligus paman Darren itu, merupakan pria paling ditakuti di negara ini. Bukan hanya karena kejeniusannya dalam bisnis, tetapi juga karena reputasi kelam yang menyelimutinya.
Dastan Adiwangsa bukan pria biasa. Rumor tentangnya lebih menyeramkan daripada mimpi buruk.
Mereka yang berani melawannya, tidak akan bertahan lama dalam dunia bisnis.
Perusahaan-perusahaan runtuh dalam semalam setelah membuat kesalahan kecil terhadapnya.
Orang-orang penting menghilang begitu saja, dan tak ada yang tahu ke mana mereka pergi.
Dan yang paling buruk…
Dastan Adiwangsa tidak pernah membiarkan seorang wanita bertahan lama dalam hidupnya. Tidak ada hubungan yang bisa mengikatnya. Perempuan yang pernah bersamanya hanya menjadi kenangan yang terkubur.
Beberapa menghilang, beberapa pergi dengan imbalan besar, tetapi satu hal yang pasti: tak ada yang bisa mengendalikan Dastan Adiwangsa.
Satu-satunya perempuan yang pernah bertahan lebih dari satu tahun dengannya, ditemukan tak bernyawa di sebuah hotel mewah, dengan kasus yang tak pernah terpecahkan.
Lyra menggigit bibir. Dia tidak tahu mana yang fakta dan mana yang hanya cerita liar. Intinya, dia tidak boleh menarik perhatian pria itu.
Tidak boleh membuat kesalahan apa pun.
Bukan untuk Darren.
Bukan untuk ibunya.
Tapi agar dia bisa bertahan malam ini tanpa menciptakan masalah dengan pria paling berbahaya di kota itu.
“Lyra?” Panggilan tegas yang tiba-tiba terdengar, seketika membuyarkan lamunan Lyra.
Dia menoleh, lalu pandangannya bertemu dengan sosok yang saat ini paling dia benci.
Darren. Pria itu tampak rapi dalam setelan hitamnya, tetapi ekspresinya sedikit tegang. Dia datang terlambat, dan Lyra tahu jelas kenapa.
Karena Livia tentunya.
“Darren, dari mana saja kau?” tegur Leona dengan nada tajam ketika melihat putranya muncul.
“Kau membiarkan tunanganmu datang sendirian?”
Darren melirik Lyra sekilas sebelum kembali menatap ibunya dengan senyum penuh kepura-puraan. “Aku... tadi ada urusan mendadak, Bu.”
“Urusan?” Leona menyipitkan mata. “Apa urusan itu lebih penting daripada menyambut calon istrimu?”
Darren tidak segera menjawab. Lyra yakin Darren pasti sedang mencari alasan yang masuk akal.
Melihat Darren tampak kesulitan, Talia tiba-tiba tersenyum dan berkata, “Ah, mungkin dia hanya terlalu lelah setelah acara ulang tahun pribadinya kemarin. Bukan begitu, Lyra?”
Kata-kata itu membuat tubuh Lyra menegang.
Dia merasakan pandangan Darren beralih padanya dengan tajam.
Sial.
Jantung Lyra berdebar kencang, tapi kemudian dia memaksakan senyuman. “Ya, pasti begitu.” Tidak ingin pembahasan ini berlanjut, Lyra langsung mengalihkan topik. “Eh, di mana aku harus menyimpan bingkisan ini?” tanyanya dengan suara terlalu nyaring dari yang dia harapkan.
Semua orang menoleh padanya, termasuk Talia yang meliriknya heran bercampur kesal. "Sabarlah, Lyra,” ujarnya setengah mendengus.
Jelas-jelas tadi kesempatan bagus untuk mengungkit hubungannya dengan Darren, tapi gadis bodoh itu malah mengalihkan topik!
"Simpan saja di meja itu, Sayang." Leona menunjuk ke meja yang tak jauh di dekat mereka. “Ayo duduk. Acara akan segera dimulai.”
Lyra cepat-cepat meletakkan hadiah, lalu mengikuti sang ibu duduk di kursi yang telah disiapkan untuk mereka.
Menghela napas, Lyra merasa lega. Untuk sementara, dirinya selamat.
Namun, tepat di saat itu, pintu aula utama kediaman Adiwangsa kembali terbuka lebar, dan para tamu berdiri berbisik.
“Astaga, itu dia, bukan?!”
“Tampan sekali!”
“Tidakkah kalian takut padanya?”
“Walau mengerikan, tapi ketampanannya tiada tara! Dia juga kaya! Wanita mana yang tidak suka padanya?”
Berbagai komentar terlontar, dan Lyra pun mulai ikut penasaran.
Siapakah yang baru saja datang dan membuat heboh satu kediaman Adiwangsa?
“Selamat malam semuanya, maaf aku terlambat.”
Detik kala suara itu bergema lantang penuh wibawa, mata Lyra spontan membulat.
Suara itu… terlalu familier.
Kerumunan terbelah, memberikan jalan bagi Dastan, dan juga mengizinkan Talia serta Lyra untuk melihat sosok pria legendaris itu.
“Hmm, jadi itu Dastan Adiwangsa. Memang tampan sesuai rumor,” gumam Talia takjub.
Di sampingnya, Lyra memusatkan pandangan dan akhirnya menangkap sosok Dastan. Namun, tubuhnya seketika mematung, jantungnya seolah terhenti.
Di sana, seorang pria berdiri di pusat ruang pesta dengan jas hitam sempurna dan penampilan menawan. Dialah pria dengan mata kelam, tajam, menusuk.
Pria yang melewati malam bersamanya.
Pria yang sama dengan yang semua orang panggil dengan nama… Dastan Adiwangsa.
**
Samuel berlari menyusuri lorong rumah sakit seperti orang panik. Nafasnya memburu. Ia menghampiri perawat jaga dan menanyakan apakah mereka melihat Nyonya Lyra. Tak ada yang tahu. Ajudan lainnya pun tak melihat Lyra keluar lewat pintu depan."Aku kecolongan... Tuhan, aku benar-benar kecolongan," desisnya putus asa. Baru beberapa menit lalu dia melihat Lyra berbicara di lorong itu. Namun dalam sekejap, sang nyonya telah menghilang tanpa jejak, tanpa pamit.Samuel menjambak rambut frustrasi. Dia segera mengangkat ponsel dan menghubungi semua anggota pengamanan di lapangan. “Segera telusuri bandara! Periksa CCTV dan setiap jadwal keberangkatan! Jika Tuan Dastan tahu... kita semua habis!”Sementara itu, jauh dari hiruk pikuk pencarian, sebuah helikopter mendarat di sebuah lahan tersembunyi di perbatasan negara. Angin kencang dari baling-baling membuat rambut Lyra beterbangan. Dia menunduk, melangkah turun dengan napas gugup. Gary sigap membantunya, menyusuri jalur sempit menuju sebuah pem
Tekad sekuat baja berpendar di dalam bola mata Lyra. Putrinya yang dulu lugu dan pendiam, kini menyebutkan hal yang paling tidak dia inginkan. "Tidak! Kau tidak tahu apa yang kau hadapi, Lyra. Mereka bukan sekadar keluarga. Mereka adalah sistem. Mesin kekuasaan. Sekali masuk, kau tidak bisa keluar!""Aku lebih memilih masuk ke mesin itu, daripada melihat Dastan dikorbankan," jawab Lyra dengan suara yang tak tergoyahkan. "Kalau Ayah benar-benar ingin menjauhkan aku dari semua ini… maka Ayah harus membantu menyelesaikannya sekarang. Bantu aku bicara dengan mereka. Bantu aku masuk, dengan cara apa pun."Leonard menggeleng panjang.Lyra menunduk, suaranya bergetar menahan gejolak di dadanya. Jemarinya menggenggam tangan ayahnya dengan erat.“Ayah, kumohon… Aku akan melakukan apa pun demi Dastan… seperti dia selalu melakukan segalanya untukku,” lirihnya, nyaris putus asa.Air matanya menetes, jatuh ke punggung tangan sang ayah. “Di saat semua orang hanya memanfaatkanku… dia satu-satunya y
Alarm monitor jantung yang berbunyi nyaring, memecah keheningan yang sebelumnya menyelimuti ruang ICU. Suaranya seperti mencabik udara, mengguncang dada Lyra yang masih menggenggam tangan mertuanya erat.“Ayah!” jerit Lyra panik.Beberapa tenaga medis langsung berhamburan masuk ke dalam ruangan. Dua di antaranya meminta Lyra mundur, yang lain mengecek monitor, membuka baju pasien, dan mulai melakukan resusitasi. Suara perintah cepat, detakan alat kejut jantung yang disiapkan, dan mesin yang berdenting membentuk simfoni darurat yang mengerikan.“Asisten keluar bersama Nyonya!” seru salah satu dokter.“Tidak! Aku di sini! Aku tidak akan ke mana-mana!” seru Lyra, menolak keras. Air matanya mengalir deras. “Ayah, bertahanlah! Kumohon!”Namun tubuh David hanya terbaring diam. Wajahnya tenang, seperti seseorang yang sudah menyerahkan seluruh bebannya sebelum pergi. Dokter mulai memberi kejutan pertama. Tubuh itu bergetar. Lalu kembali hening. Kejutan kedua. Detakan di monitor masih datar.L
Tak mau menyerah, Lyra menekan kontak lain.Kali ini Samuel, ajudan pribadinya. Begitu tersambung, suara pria itu terdengar gugup.“Ya, Nyonya?"“Samuel! Di mana Tuan? Apa yang terjadi? Aku baru saja melihat berita! Kenapa dia dibawa penyidik?!”Di seberang, Samuel terdengar ragu. “Nyonya… maaf, aku tidak bisa bicara banyak. Tuan sedang dalam proses pemeriksaan. Kami semua juga masih menunggu kabar lanjutan.”“Kau pikir aku hanya akan diam dan menunggu seperti orang bodoh?!” suara Lyra meninggi, matanya mulai berair. “Kau tahu aku istrinya, Samuel! Aku berhak tahu!”Seketika terdengar helaan napas berat dari pria di seberang.“Nyonya, tolong tenang dulu, kita tunggu—”"Tunggu apalagi?! Kalian mau menunggu sampai Tuan benar-benar divonis bersalah?!"Samuel mati kutu. Ini kali pertama dia dibentak oleh sang nyonya. Anehnya terdengar lebih menakutkan dibanding kemarahan Dastan. “Kasus ini muncul dari audit lama, Nyonya. Proyek beberapa tahun lalu. Saat itu Tuan Dastan sedang berada di l
Dastan berdiri mematung di koridor luar ruangan perawatan.Cahaya dari layar ponselnya menyilaukan mata yang sejak tadi berat oleh kelelahan. Deretan panggilan tak terjawab terpampang jelas. Charlie, Claudia, beberapa mitra penting serta ayahnya. Jantungnya terasa berat. Ia tahu, masalah besar sedang menunggu di luar sana. Semakin lama ia menunda, semakin besar kekacauan yang mungkin terjadi di perusahaannya.Namun kakinya tak langsung melangkah pergi. Mata Dastan kembali terarah pada ruangan tempat Lyra dan ayahnya berada. Perlahan ia membuka pintu, di sana... pemandangan itu membuatnya terdiam.Lyra duduk di sisi ranjang, mengaduk bubur perlahan lalu menyuapkannya dengan sangat hati-hati. Tatapannya lembut, penuh perhatian. Sangat kontras dengan sikap Lyra yang biasanya gugup, tertutup, bahkan sering kali bingung. Tapi di hadapan ayahnya, Lyra begitu hangat. Begitu telaten.Dastan tertegun, seolah baru menyadari sisi lain dari istrinya yang selama ini tersembunyi. Lyra telah banyak
Dastan menurunkan ponselnya dengan perlahan. Senyum yang tadi menghias wajahnya kini benar-benar telah hilang. Berganti dengan tatapan mata yang penuh haru.Lyra segera mendekat, tatapannya penuh cemas. “Itu siapa? Kau bicara dengan siapa barusan?”Dastan balas menatapnya lekat, melihatnya menunggu jawaban dengan tak sabar. “Itu dari penjaga ayahmu.”Darah Lyra seolah berhenti mengalir. Tangannya otomatis menggenggam lengan Dastan dengan erat. “A-Apa yang terjadi? Dia baik-baik saja, kan? Ayahku kenapa?!”Dastan tak menjawab. Dia malah memeluk Lyra erat, satu tangannya menutupi kepala sang istri dengan lembut. Tapi justru karena itu, karena pelukannya begitu menenangkan, Lyra merasa makin panik.“Dastan… jangan lakukan ini. Jangan peluk aku seperti ini!" Lyra berusaha melepaskan diri, mendorong tubuh Dastan dengan paksa. "Bicara! Jangan menakutiku! Bicaralah!”Akhirnya, dengan napas berat, Dastan bicara, “Ayo kita ke sana. Akan kujelaskan nanti.”Tanpa menunggu penolakan, Dastan mengg