Lyra berdiri kaku di antara para tamu pesta. Di saat tamu lain tersenyum sumringah menyambut kedatangan salah satu bintang dari acara malam hari ini, wajahnya justru kehilangan segala warna–pucat.
Kenapa bisa seperti ini?
Bagaimana bisa pria yang tadi malam menyentuh setiap inci tubuhnya, yang membisikkan kata-kata nakal di telinganya, yang mencumbu dan memilikinya dalam kegelapan…
…ternyata adalah Dastan Adiwangsa?!
Paman Darren. Pewaris utama keluarga Adiwangsa. Pria paling berbahaya di negeri ini!?
Lyra merasakan kepalanya berdenyut hebat. Seluruh tubuhnya bergetar tanpa bisa ia kendalikan. Rasanya ingin lari. Ingin menghilang.
Tidak. Ini tidak nyata. Harusnya ini hanya mimpi buruk.
Tapi pria itu ada di sana. Nyata.
Semakin ia menatap Dastan, semakin ingatan semalam kembali menghantam kepalanya dengan keras.
Tangan kekar yang membawanya ke dalam kamar hotel.
Bibir penuh yang mencumbunya di bawah remang lampu.
Suara rendah yang mengklaimnya tanpa ragu.
—"Kalau begitu… mulai sekarang, kau adalah wanitaku."
Lyra mencengkeram gaun yang membalut tubuhnya, kedua lututnya melemas. Tidak, dia tidak boleh panik sekarang!
Napasnya tersengal.
Dia harus tetap tenang!
“Lyra.”
Suara tajam Talia Sasmita menyentaknya kembali ke dunia nyata. Mata Lyra membeliak, menoleh ke arah ibunya yang kini menatap tajam.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa berdiri seperti orang linglung,” bisik Talia dengan nada dingin, ekspresinya menyiratkan ketidaksukaan.
Gawat. Jika sang ibu menyadari ada yang aneh dengannya, itu akan menambah masalah.
Lyra menelan ludah, berusaha menenangkan ekspresi wajahnya. “Aku… tidak apa-apa.”
Namun, sebelum Talia bisa bertanya lebih lanjut, suara berat menggema di ruangan itu.
"Maaf menyela sejenak!" David Adiwangsa—kepala keluarga Adiwangsa sekaligus kakek Darren—berbicara dengan suara berwibawa. Tatapan penuh kebanggaan menghiasi wajahnya meski duduk di atas kursi roda.
“Perkenankan diriku untuk memulai pesta dengan meminta para hadirin semua untuk menyambut putraku,” David menatap Dastan, ada kebanggaan di matanya, “Dastan Adiwangsa, yang akhirnya kembali ke tanah air setelah sekian lama mengembangkan bisnis keluarga di luar negeri.”
Seluruh ruangan dipenuhi suara tepuk tangan.
Dastan hanya mengangkat dagu sedikit, menerima penghormatan itu dengan ketenangan khasnya. Namun, kemudian pandangannya menyapu seisi ruangan, dan manik hitam pria itu mulai mendekat pada satu sosok–Lyra.
Menyadari hal itu, jantung Lyra seolah mencelos. Buru-buru dia memutar badan, bersembunyi di balik sosok Talia. Berharap pandangan Dastan tidak sampai padanya.
‘Tuhan, tolong buat dia tidak mengenaliku!’ Doa Lyra dalam hati.
Tepat pada saat itu, Lyra yang mengintip dari balik pundak Talia melihat Dastan berputar mengambil mikrofon yang diberikan seorang pelayan, lalu berbicara dengan santai.
“Terima kasih atas sambutan hangatnya,” ucap Dastan, tersenyum tipis memulai sambutan, membuat Lyra menghela napas lega lantaran pria itu tidak sempat melihatnya. “Tidak banyak yang bisa kukatakan, tapi aku senang bisa kembali.”
Semua orang menatap kagum. Meski hanya memberi sambutan singkat, itu lebih dari cukup mengobati rasa penasaran para tamu akan sosoknya. Sosok penuh misterius yang hingga kini sulit untuk tersentuh.
Gema tepuk tangan mulai mereda, dan suasana pesta kembali dipenuhi dengan suara obrolan para tamu yang berbasa-basi dengan Dastan Adiwangsa.
Pria itu tampak tenang, menerima setiap sapaan dengan senyum tipis dan tatapan tajam yang membuat orang-orang segan di hadapannya.
Di sudut lain ruangan, Lyra meneguk napasnya dalam diam.
Berbeda dengan para tamu yang mendekat, dia justru menghindar sejauh mungkin dari jangkauan Dastan. Setiap gerakan pria itu terasa seperti ancaman.
Namun, hingga saat ini, Dastan tidak menunjukkan tanda-tanda mengenalinya.
"Lyra, kemari," suara sang ibu, Talia, lagi-lagi membuatnya tersentak.
Dengan perasaan waspada, Lyra melangkah mendekat. Talia menariknya melewati kerumunan.
Saat itu, dia baru menyadari bahwa ayah Darren sudah berdiri di sana bersama Dastan.
Jantung Lyra kembali mencelos. Ingin kabur, tapi lengannya digenggam erat oleh Talia.
“Oh, ya, aku belum mengenalkan kalian,” ucap Daniel Adiwangsa—ayah Darren—ketika melihat kemunculan mereka.
Dastan pun menoleh. Tatapan mereka bertemu. Lyra spontan menunduk, menyembunyikan wajah yang dipenuhi gurat ketakutan.
“Dastan, ini Talia Sasmita, kenalan lama kami."
Dastan meraih uluran tangan Talia untuk bersalaman.
"Sebuah kehormatan besar bertemu anda, Tuan Dastan." ucap Talia bangga. Dastan mengangguk singkat.
Ayah Darren melanjutkan, "dan ini putrinya, Lyra, tunangan Darren.”
"Tunangan?"
Lyra semakin gugup mendengar suara berat Dastan. Dia tak berani mengangkat wajah. Pun tak berani mengulurkan tangan.
‘Jangan perhatikan aku. Jangan ingat aku.’ Lyra berjuang keras menyembunyikan wajah di balik helaian rambut panjangnya.
"Ah benar, waktu itu kau tidak bisa pulang untuk menghadiri pesta pertunangan mereka," jelas Daniel.
Jantung Lyra berdentum cemas menanti reaksi Dastan selanjutnya. Tapi pria itu tidak berkata apa-apa. Tampaknya, Dastan tidak mengenalinya.
Dengan hati-hati, Lyra menghembuskan napas lega. Namun, saat dia mengira semuanya akan berjalan lancar, Dastan kembali bertanya.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
**
Pagi itu, Lyra terbangun karena suara muntah dari kamar mandi. Matanya mengerjap pelan, lalu menoleh ke samping tempat tidur. Dastan tidak ada di sana. “Dastan?” panggilnya setengah sadar. Tak lama, pria itu keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat dan mata berair. “Aku... mual,” gumamnya. Lyra mendesah. “Mual bagaimana? Bukan kau yang hamil di sini.” “Aku tahu, tapi aku merasa seperti... mau mati. Kepalaku pusing, banyak bau aneh. Perutku juga tak nyaman. Aroma sabun di kamar mandi menyengat sekali... semuanya bikin mual.” Lyra menahan tawa, tapi gagal. “Bagus, kau dapat bagian dari proses panjang ini. Andai saja kau bisa mengambil alih kehamilanku juga...” Dastan menggeleng serius. “Ini tidak lucu, aku benar-benar tidak enak badan. Seperti jet lag.” Pagi itu di kantor, Dastan tak sanggup menelan sarapan. Kopi favoritnya kini hanya membuat perutnya melilit. Claudia sampai menawarkan teh herbal, sementara Charlie diam-diam mengganti semua pengharum ruangan dengan ya
"Tuan Adiwangsa, kami butuh tanda tangan Anda sekarang." Suara perawat yang tadi membawa selembar kertas persetujuan tindakan medis, mendesak lebih keras. Sudah beberapa menit Dastan memandangi kertas itu tanpa bergerak. Kini tangannya bergerak gemetar saat meraih kertas. Mata Dastan menelusuri baris demi baris huruf kecil di halaman itu, tapi tak satu pun yang benar-benar dia pahami. Semuanya kabur. Seolah hanya ada satu kalimat yang terpatri jelas dalam benaknya, "Nyawa Lyra ada di ujung keputusan ini." “Tuan...” Suara Charlie terdengar pelan, penuh kehati-hatian. “Aku tahu ini berat. Tapi... hanya Anda yang bisa memutuskan ini sekarang.” Dastan mencengkeram kertas itu lebih kuat, matanya mulai berkaca-kaca. “Kalau aku tanda tangan... dan Lyra tidak selamat... apa aku bisa memaafkan diriku?” gumamnya lirih, hampir tak terdengar. Charlie menunduk, menahan napasnya sendiri. “Waktu terus berjalan, Tuan,” perawat kembali mengingatkan, kali ini dengan suara lebih cepat. “De
Begitu tiba di depan bangunan tinggi yang dikelilingi tembok beton menjulang serta kawat berduri yang melingkar di atasnya, Talia menghentakkan langkah dengan geram. Pandangannya menyapu pagar besi yang menjulang, para penjaga berseragam berjalan mondar-mandir dengan ekspresi datar. Semua terasa mencekam.Jika bukan demi Lyra, demi nyawa putri angkatnya itu… seumur hidup, Talia tak akan pernah sudi menginjakkan kaki di tempat seburuk ini."Ayo, Talia! Cepat!" seru Leonard. Suaranya penuh urgensi, ciri khas orang yang tengah berpacu dengan waktu. Tubuh lemahnya nyaris berlari menembus terik matahari yang membakar halaman luas itu.Talia mendesah berat, lalu mengikutinya sambil mengumpat pelan. Hatinya belum bisa menerima bahwa pria tua itu memutuskan untuk menemui orang yang hampir saja membunuh anaknya sendiri.Lima belas menit kemudian, mereka dipersilakan masuk ke area kunjungan. Seorang sipir memanggil Leonard ke dalam ruang pertemuan tahanan. Talia duduk menunggu di luar dengan g
Tapi yang muncul di sana, bukan wajah yang dia harapkan. Masih bukan dokter, melainkan seorang perawat yang berjalan cepat, wajahnya tegang dan napasnya memburu. Ini sudah ketiga kalinya perempuan itu bolak-balik keluar masuk ruang operasi. Kali ini, Dastan tak membiarkannya lewat begitu saja.Dia melangkah cepat dan menahan lengan si perawat. “Bagaimana keadaan istriku? Ini sudah empat jam, operasinya berhasil kan?” tanyanya dengan suara yang tajam dan penuh desakan.Si perawat tampak gugup, menatap Dastan lalu sekilas melirik Charlie di belakang pria itu, seolah berharap ada yang membantunya keluar dari situasi ini. “Op-operasi luka tembaknya sudah selesai, Tuan. Tapi…”“Tapi apa?” Dastan menyela cepat, matanya menyorot curiga.“Itu… pasien kehilangan banyak darah sebelumnya, dan…” Perawat itu tampak ragu. Jemarinya meremas catatan medis di tangannya. “Saat ini… pasien masih dalam pengawasan intensif. Sebaiknya Anda tunggu saja. Dokter akan segera memberikan penjelasan langsung.”“
Letusan itu memecah udara pesta seperti petir menyambar dari langit cerah.Semua orang membeku. Musik yang tadi mengalun lembut terhenti mendadak. Suara tawa dan obrolan hangat lenyap berganti dengan jeritan dan kepanikan. Kursi yang terjungkal, gelas serta piring pecah, tak ada yang peduli.Ajudan yang terkena tembakan pertama terguling di tanah, menggeliat dengan darah mengalir deras dari pahanya. Napasnya memburu, matanya terbelalak tak percaya. Tapi sebelum siapa pun bisa bereaksi lebih jauh, sebuah sosok tua muncul dari balik tirai panjang tempat katering berada. Tangannya menggenggam pistol kecil yang berkilat."Nyonya Alida?" seru Lyra terkejut.Wanita tua itu memang masih buron, tapi siapa sangka dia masih bersembunyi di negara ini?Tak ada satu pun dari ajudan yang mencurigai wanita tua itu. Dia menyamar sebagai pelayan katering. Penyamaran sempurna, rambut disanggul sederhana, seragam putih berlumuran saus, juga gerak-geriknya dibuat lambat seperti layaknya pelayan lansia. T
Dastan menatap wajah Lyra yang tertidur lelap di ranjang. Napasnya tenang, semalaman dia benar-benar mengistirahatkan diri. Dastan pun tak ingin mengganggunya. "Sulit dipercaya kau senekat itu," gumamnya bergeleng pelan.Wanita yang dicintainya ini sempat menghilang begitu saja, lalu muncul kembali secara misterius, seolah semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk yang tak pernah benar-benar menyentuh mereka.Andai tak ada luka memar di sudut bibirnya, goresan-goresan halus di kulitnya, serta keputusan penyelidikan yang tiba-tiba berubah arah, Dastan mungkin tak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia nyaris gila mencari, bahkan tak bisa tidur, sementara Lyra diam-diam berjuang sendiri dalam bahaya.Saking paniknya, Dastan sempat menyeret Lyra untuk cek medis dadakan, sesaat setelah ‘interogasi ringan’ yang berakhir dengan tangisan dan pelukan panjang. Dia tak peduli betapa lelah mereka saat itu. Yang penting, ia harus memastikan kondisi istrinya dan calon bayinya baik-baik sa