Darah Lyra seolah menguap. Napasnya tercekat. Dingin menjalari tengkuknya.
Apakah Dastan mengenali dirinya?!
Bagaimana ini?
Lyra panik. Dia benar-benar harus kabur dari tempat itu sekarang. Dia tidak siap mengungkap semua kebenaran.
"Ah, itu mustahil." Talia memotong dengan cepat sebelum Lyra sempat bereaksi.
Tertawa kecil, wanita itu menepuk tangan Lyra yang gemetar, lalu menoleh pada Dastan dengan senyum percaya diri.
"Tuan Dastan. Putriku ini tipe anak rumahan. Dia tidak pernah pergi ke mana pun sejauh ini. Hidupnya hanya berkisar di rumah dan lingkungan terbatas kami. Anda baru pulang dari luar negeri, bagaimana bisa bertemu dengannya?"
Lyra menelan ludah, berusaha mengontrol napasnya yang tersendat.
Dastan diam beberapa detik. Tatapannya masih melekat pada Lyra, tajam dan menelisik begitu teliti, seakan mempertimbangkan sesuatu. Meski akhirnya, pria itu hanya mengangguk kecil.
“Begitu rupanya….”
Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, Dastan memalingkan wajahnya, kembali ke percakapannya dengan ayah Darren. Seolah pertanyaannya tadi tidak berarti apa-apa.
Namun, Lyra tahu lebih baik daripada siapa pun—Dastan tidak sekadar bertanya tanpa alasan. Pria itu pasti merasa dirinya familier. Itulah alasan dia bertanya.
Tangan Lyra mengepal.
Kalau semakin dekat mempermudah pria itu untuk mengingatnya, maka jelas dia harus menjauh!
Usai perkenalan singkat tersebut, Lyra pun gegas melangkah pergi. Bersembunyi di kerumunan para tamu.
Detik itu, ia hanya bisa berharap Dastan benar-benar lupa. Lupa tentang semua hal tentang mereka, terutama yang terjadi setelah pertemuan di bar.
Suasana kemudian beralih pada perayaan ulang tahun Darren.
Darren berdiri di depan kue mewah berlapis emas selagi diapit oleh kedua orang tuanya. Talia yang berdiri tak jauh, tersenyum sambil melirik Lyra.
“Lyra,” bisiknya, “pergilah ke depan.”
Lyra menoleh bingung.
“Apa—” Sebelum Lyra menyelesaikan kalimat, Talia mendorongnya pelan ke depan.
Leona yang melihat Lyra langsung memberi isyarat agar dia berdiri lebih dekat dengan Darren. Dan akhirnya—potongan kue pertama diberikan padanya.
Tepuk tangan terdengar. Semua tamu tersenyum, menganggapnya romantis. Semua, kecuali Darren yang berwajah masam.
Dastan, yang berdiri tak jauh dari mereka, mengamati kejadian itu dengan penuh minat. Sorot matanya kini tertuju pada Lyra. Senyumnya samar, tetapi ada sesuatu di dalamnya.
Setelah acara seremonial, pesta memasuki tahap lebih santai. Musik mengalun lembut, para tamu bercengkerama, sementara sebagian sudah mulai berdansa di lantai tengah.
Lyra berpikir untuk kembali duduk, tetapi tiba-tiba tangan Darren mencengkeram pergelangan tangannya.
“Kita harus bicara!” Darren berbisik tajam, menariknya menjauh dari keramaian.
Lyra mencoba melepaskan diri, tetapi Darren tidak membiarkannya. Dia menggiringnya ke balkon belakang, jauh dari sorot mata para tamu.
Setelah memastikan mereka aman, Darren menatapnya tajam. “Di mana kau semalam?”
Bibir Lyra terkatup rapat.
Darren mendekat, ekspresinya penuh curiga. “Ibumu berpikir kita berpesta bersama semalaman. Kenapa bisa begitu?”
Jantung Lyra berdebar. Dia harus berpikir cepat untuk alasan masuk akal.
“A—Aku pergi minum dengan beberapa teman.”
“Bohong!”
“Aku tidak bohong!”
Darren mendengus. “Teman yang mana? Satu-satunya teman dekatmu adalah Livia, dan aku tahu persis kau tidak pergi bersamanya.”
Mendengar itu, Lyra mengepalkan tangan. Tersenyum sinis. “Bagaimana kau tahu aku tidak bersama Livia?"
“Apa itu karena kau sedang bersamanya?”
Tercekat. Mata Darren mengerjap beberapa kali. Dia terjebak perangkap sendiri. Lyra sangat puas menikmati reaksinya.
"Apa maksudmu bertanya seperti itu?" geram Darren kesal. "Kau hanya perlu menjawab pertanyaanku! Jangan mengalihkan pembicaraan!"
Teriakan Darren itu membuat Lyra berjengit kaget.
Tangan pria itu bergerak mencengkeram dagu sang tunangan. "Kutanya sekali lagi, ke mana kau pergi? Bersama siapa, hah?"
Lyra merasakan tubuhnya gemetar setelah bentakan tadi. Matanya mulai berembun. Dia tak sanggup lagi melawan, tapi dia pun tak mungkin mengaku.
Susah payah dirinya harus mengeluarkan suara, "A—aku... aku pergi ke bar dengan teman."
Darren tertawa sinis sebelum wajahnya kembali berubah dingin. “Siapa? Teman yang mana? Apa buktinya?”
Suasana semakin menegang. Lyra tidak tahu harus menjawab apa. Darren bersiap menyemburkan amarah saat seseorang muncul menyela.
“Kau sungguh butuh bukti?”
Keduanya menoleh bersamaan. Di ambang pintu balkon, Dastan berdiri dengan tangan terselip di saku celana.
Darren mengernyit. Cengkeramannya terlepas. “Paman?”
Dastan menatap Darren santai. "Jika kau ingin penjelasan lebih detail tentang semalam, tanyakan saja padaku."
Kemudian, pandangannya beralih pada Lyra dengan sudut bibir yang sedikit terangkat. “Bukan begitu, Lyra?”
Mata Lyra membelalak lebar.
Pria ini … ternyata mengingatnya!?
**
Samuel berlari menyusuri lorong rumah sakit seperti orang panik. Nafasnya memburu. Ia menghampiri perawat jaga dan menanyakan apakah mereka melihat Nyonya Lyra. Tak ada yang tahu. Ajudan lainnya pun tak melihat Lyra keluar lewat pintu depan."Aku kecolongan... Tuhan, aku benar-benar kecolongan," desisnya putus asa. Baru beberapa menit lalu dia melihat Lyra berbicara di lorong itu. Namun dalam sekejap, sang nyonya telah menghilang tanpa jejak, tanpa pamit.Samuel menjambak rambut frustrasi. Dia segera mengangkat ponsel dan menghubungi semua anggota pengamanan di lapangan. “Segera telusuri bandara! Periksa CCTV dan setiap jadwal keberangkatan! Jika Tuan Dastan tahu... kita semua habis!”Sementara itu, jauh dari hiruk pikuk pencarian, sebuah helikopter mendarat di sebuah lahan tersembunyi di perbatasan negara. Angin kencang dari baling-baling membuat rambut Lyra beterbangan. Dia menunduk, melangkah turun dengan napas gugup. Gary sigap membantunya, menyusuri jalur sempit menuju sebuah pem
Tekad sekuat baja berpendar di dalam bola mata Lyra. Putrinya yang dulu lugu dan pendiam, kini menyebutkan hal yang paling tidak dia inginkan. "Tidak! Kau tidak tahu apa yang kau hadapi, Lyra. Mereka bukan sekadar keluarga. Mereka adalah sistem. Mesin kekuasaan. Sekali masuk, kau tidak bisa keluar!""Aku lebih memilih masuk ke mesin itu, daripada melihat Dastan dikorbankan," jawab Lyra dengan suara yang tak tergoyahkan. "Kalau Ayah benar-benar ingin menjauhkan aku dari semua ini… maka Ayah harus membantu menyelesaikannya sekarang. Bantu aku bicara dengan mereka. Bantu aku masuk, dengan cara apa pun."Leonard menggeleng panjang.Lyra menunduk, suaranya bergetar menahan gejolak di dadanya. Jemarinya menggenggam tangan ayahnya dengan erat.“Ayah, kumohon… Aku akan melakukan apa pun demi Dastan… seperti dia selalu melakukan segalanya untukku,” lirihnya, nyaris putus asa.Air matanya menetes, jatuh ke punggung tangan sang ayah. “Di saat semua orang hanya memanfaatkanku… dia satu-satunya y
Alarm monitor jantung yang berbunyi nyaring, memecah keheningan yang sebelumnya menyelimuti ruang ICU. Suaranya seperti mencabik udara, mengguncang dada Lyra yang masih menggenggam tangan mertuanya erat.“Ayah!” jerit Lyra panik.Beberapa tenaga medis langsung berhamburan masuk ke dalam ruangan. Dua di antaranya meminta Lyra mundur, yang lain mengecek monitor, membuka baju pasien, dan mulai melakukan resusitasi. Suara perintah cepat, detakan alat kejut jantung yang disiapkan, dan mesin yang berdenting membentuk simfoni darurat yang mengerikan.“Asisten keluar bersama Nyonya!” seru salah satu dokter.“Tidak! Aku di sini! Aku tidak akan ke mana-mana!” seru Lyra, menolak keras. Air matanya mengalir deras. “Ayah, bertahanlah! Kumohon!”Namun tubuh David hanya terbaring diam. Wajahnya tenang, seperti seseorang yang sudah menyerahkan seluruh bebannya sebelum pergi. Dokter mulai memberi kejutan pertama. Tubuh itu bergetar. Lalu kembali hening. Kejutan kedua. Detakan di monitor masih datar.L
Tak mau menyerah, Lyra menekan kontak lain.Kali ini Samuel, ajudan pribadinya. Begitu tersambung, suara pria itu terdengar gugup.“Ya, Nyonya?"“Samuel! Di mana Tuan? Apa yang terjadi? Aku baru saja melihat berita! Kenapa dia dibawa penyidik?!”Di seberang, Samuel terdengar ragu. “Nyonya… maaf, aku tidak bisa bicara banyak. Tuan sedang dalam proses pemeriksaan. Kami semua juga masih menunggu kabar lanjutan.”“Kau pikir aku hanya akan diam dan menunggu seperti orang bodoh?!” suara Lyra meninggi, matanya mulai berair. “Kau tahu aku istrinya, Samuel! Aku berhak tahu!”Seketika terdengar helaan napas berat dari pria di seberang.“Nyonya, tolong tenang dulu, kita tunggu—”"Tunggu apalagi?! Kalian mau menunggu sampai Tuan benar-benar divonis bersalah?!"Samuel mati kutu. Ini kali pertama dia dibentak oleh sang nyonya. Anehnya terdengar lebih menakutkan dibanding kemarahan Dastan. “Kasus ini muncul dari audit lama, Nyonya. Proyek beberapa tahun lalu. Saat itu Tuan Dastan sedang berada di l
Dastan berdiri mematung di koridor luar ruangan perawatan.Cahaya dari layar ponselnya menyilaukan mata yang sejak tadi berat oleh kelelahan. Deretan panggilan tak terjawab terpampang jelas. Charlie, Claudia, beberapa mitra penting serta ayahnya. Jantungnya terasa berat. Ia tahu, masalah besar sedang menunggu di luar sana. Semakin lama ia menunda, semakin besar kekacauan yang mungkin terjadi di perusahaannya.Namun kakinya tak langsung melangkah pergi. Mata Dastan kembali terarah pada ruangan tempat Lyra dan ayahnya berada. Perlahan ia membuka pintu, di sana... pemandangan itu membuatnya terdiam.Lyra duduk di sisi ranjang, mengaduk bubur perlahan lalu menyuapkannya dengan sangat hati-hati. Tatapannya lembut, penuh perhatian. Sangat kontras dengan sikap Lyra yang biasanya gugup, tertutup, bahkan sering kali bingung. Tapi di hadapan ayahnya, Lyra begitu hangat. Begitu telaten.Dastan tertegun, seolah baru menyadari sisi lain dari istrinya yang selama ini tersembunyi. Lyra telah banyak
Dastan menurunkan ponselnya dengan perlahan. Senyum yang tadi menghias wajahnya kini benar-benar telah hilang. Berganti dengan tatapan mata yang penuh haru.Lyra segera mendekat, tatapannya penuh cemas. “Itu siapa? Kau bicara dengan siapa barusan?”Dastan balas menatapnya lekat, melihatnya menunggu jawaban dengan tak sabar. “Itu dari penjaga ayahmu.”Darah Lyra seolah berhenti mengalir. Tangannya otomatis menggenggam lengan Dastan dengan erat. “A-Apa yang terjadi? Dia baik-baik saja, kan? Ayahku kenapa?!”Dastan tak menjawab. Dia malah memeluk Lyra erat, satu tangannya menutupi kepala sang istri dengan lembut. Tapi justru karena itu, karena pelukannya begitu menenangkan, Lyra merasa makin panik.“Dastan… jangan lakukan ini. Jangan peluk aku seperti ini!" Lyra berusaha melepaskan diri, mendorong tubuh Dastan dengan paksa. "Bicara! Jangan menakutiku! Bicaralah!”Akhirnya, dengan napas berat, Dastan bicara, “Ayo kita ke sana. Akan kujelaskan nanti.”Tanpa menunggu penolakan, Dastan mengg