Share

BAB 2

Lucia terdiam cukup lama, melihat seluruh ruangan yang sangat kotor dan berdebu. Dia berpikir bagaimana mereka bisa tidur dalam keadaan seperti ini.

“Jika kau ingin kabur, malam ini akan kuberi kesempatan padamu,” ucap Dariel datar saat melihat Lucia terdiam.

Lucia mengalihkan pandangannya ke Dariel dan tersenyum tipis. Lalu, dia melepaskan pegangannya pada kopernya, mengambil sapu, dan mulai membersihkan ruangan.

“Kita sudah menjadi suami istri dan sudah mengucapkan janji suka dan duka selalu bersama,” ucap Lucia dengan tenang. Meski situasinya tak ideal, dia merasa iba pada Dariel dan berusaha untuk memahaminya.

Pandangan Dariel agak melebar, terkejut dengan respons Lucia yang berbeda dari yang dia bayangkan. Meskipun sejenak, wajahnya menunjukkan kebingungan, sebelum kembali bersikap acuh.

“Debu di sini sangat tebal, aku tidak bisa membersihkannya semuanya saat ini,” gumam Lucia yang bisa didengar oleh Dariel dengan samar.

“Aku akan pergi ke kamar,” ucap Dariel datar, seolah tak peduli dengan apa yang akan dilakukan Lucia selanjutnya.

Dengan kursi rodanya, Dariel masuk ke salah satu pintu yang tampak usang. Lucia menghela nafas ringan dan memutuskan untuk segera menyelesaikan tugasnya. Dia membersihkan ruangan selama satu jam, dan kelelahannya akhirnya membuatnya tertidur di sofa.

Tapi lima belas menit kemudian, pintu kamar Dariel terbuka, dan pria itu keluar.

“Wanita aneh,” gumamnya datar. Dia menatap Lucia yang tertidur dengan tatapan datar, sebelum masuk kembali ke dalam kamar.

***********

Suara burung berkicau membuat Lucia terbangun dari tidurnya. Dia mengerjapkan matanya dan mencoba menghalangi cahaya matahari yang masuk. Tiba-tiba dia menyadari bahwa dia terbungkus selimut.

“Apakah sudah siang?” gumam Lucia sambil menguap.

Dia melihat ke sekeliling dan memperhatikan selimut yang menutupi tubuhnya.

“Siapa yang memberikan selimut ini padaku?” gumam Lucia sambil tersenyum tipis. Pandangannya kemudian tertuju pada pintu yang masih tertutup rapat.

“Dia sepertinya baik,” ucap Lucia dengan perasaan senang. Dia bangkit dari sofa dan bersiap untuk memulai hari dengan penuh semangat.

Lucia melipat selimutnya dan meletakkannya di atas sofa. Dia mengikat rambutnya yang terurai bebas.

“Sepertinya kemarin aku terlalu lelah sehingga tak sempat mengganti gaun pengantin ini,” gumamnya, sedikit melirik gaun yang dikenakannya semalam.

Setelah mengambil pakaian santainya dari kopernya, Lucia masuk ke kamar mandi untuk berganti baju. Dia kemudian kembali dan mulai membersihkan villa dengan semangat.

Namun, pikirannya mendadak melayang pada pekerjaannya. Lucia berhenti menyapu dan menghela nafas.

"Bagaimana dengan pekerjaanku? Bagaimana aku bisa mengurus semuanya sekarang, setelah menikah?" gumamnya dalam kepanikan.

Lucia menenangkan dirinya dan mengambil nafas dalam-dalam.

"Aku perlu membicarakannya dan membuat perjanjian pernikahan dengan Dariel," ucapnya dengan tekad.

Dia melanjutkan pekerjaannya membersihkan villa dengan semangat. Semua harus bersih hari ini, karena mereka berdua akan tinggal di sini.

Tiba-tiba, pintu dari salah satu ruangan terbuka. Itu adalah kamar Dariel.

"Apakah kau sudah bangun? Maaf, baru beberapa tempat yang aku bersihkan. Tapi dapur sudah bersih dan bisa kugunakan untuk memasak. Apa kau ingin sarapan?" tanya Lucia pada Dariel. Meskipun pernikahan mereka terpaksa, Lucia ingin membangun hubungan yang baik dengannya.

"Tidak ada bahan makanan," ucap Dariel dengan dingin.

Lucia tersenyum mendengarnya. "Aku sudah memesan beberapa bahan melalui layanan online. Jangan khawatir, aku akan memasak apa pun yang kau mau."

Dariel hanya menatap Lucia dengan dingin dan mengalihkan pandangannya.

"Sop," ucapnya singkat dan jelas.

Mendengar itu, Lucia pergi ke dapur untuk memasak. Setelah setengah jam, ia menghidangkan semangkuk sop dan segelas susu di hadapan Dariel.

"Makanlah. Aku akan melanjutkan pekerjaanku di sini," kata Lucia sebelum pergi dari hadapan Dariel.

****************

"Berapa yang mereka berikan?" Tanya nyonya Lauren pada suaminya, tuan Stephen. Mereka masih menerima tambahan hadiah pernikahan dari keluarga Filbert karena menikahkan putri mereka dengan putra cacat dari keluarga Filbert.

"Aku juga tidak tahu, sayang. Tapi kotaknya besar, jadi hadiahnya mungkin juga besar," jawab tuan Stephen dengan semangat. Dia tidak merasa bersalah karena telah menjual hidup anak dari istri pertamanya untuk mendapatkan uang dan hadiah ini.

"Coba buka, aku sangat penasaran," ujar nyonya Lauren tidak sabar. Dia berharap kotak tersebut berisi uang yang cukup banyak.

Tuan Stephen membuka kotak tersebut dengan cepat, dan mereka berdua terkejut melihat isinya. Namun, senyum cepat terukir di wajah mereka.

"Kita kaya!! Hahaha," teriak tuan Stephen dengan gembira setelah melihat beberapa batang emas di dalam kotak tersebut, masing-masing seberat satu kilogram.

"Benar sekali, suamiku! Kita kaya sekarang!" kata nyonya Lauren dengan penuh semangat.

"Apa maksud 'kita kaya'? Ibu?" Suara seorang wanita terdengar dari belakang mereka, membuat mereka berdua terkejut dan memalingkan kepala perlahan.

"Bela?!"

Wanita yang baru datang itu tersenyum pada orang tuanya dan masuk ke dalam ruangan.

"Aku pulang!" ucapnya dengan wajah ceria.

Nyonya Lauren segera mendekati putrinya dan memeluknya erat. "Kenapa kau kembali begitu cepat, sayang? Bukankah ibu menyuruhmu tinggal di sana selama tiga hari?"

"Aku merasa bosan, jadi aku pulang. Aku juga ingin mendengar cerita tentang pernikahan kemarin," kata Bela sambil tersenyum.

Nyonya Lauren tersenyum tipis dan mengajak Bela untuk duduk.

"Pernikahannya berjalan dengan lancar. Kakakmu setuju, kan? Benar, suamiku?" Tanya nyonya Lauren pada suaminya.

"Benar, sayang. Kakakmu setuju dan menyelamatkanmu dari pria lumpuh itu. Selain itu, kita juga mendapatkan keuntungan tambahan dari beberapa batang emas ini," ucap tuan Stephen sambil menunjukkan batang emas yang mereka terima.

"Hahaha, kakakmu memang baik. Tapi, ternyata kakak cocok dengan pria itu," ujar Bela dengan senyum jahat.

"Tapi, ayah, aku ingin menjadi menantu keluarga Filbert dan memiliki pewaris Filbert. Bisakah ayah melakukannya?" Tanya Bela dengan tatapan memohon.

"Sayang, itu tidak mudah dilakukan. Tapi, jika kakakmu berhasil mendapatkan hati tuan besar Filbert dan merekomendasikanmu, itu mungkin bisa terjadi," jawab tuan Stephen.

"Tapi, kakakmu menikah dengan aib keluarga Filbert. Mereka mungkin tidak akan membantu kita banyak," ucap tuan Stephen dengan sedikit sesal.

Bela mendengarnya dan mengernyit kesal.

"Bagaimanapun caranya, aku akan menjadi Nyonya Besar Filbert!" ucapnya dengan tegas dan meninggalkan tempat itu menuju kamarnya.

Tuan Stephen ingin menghentikannya, tapi nyonya Lauren menghalanginya.

"Suamiku, biarkan Bela merenungkan dirinya. Tapi, keinginan Bela tidak salah. Jika Bela menjadi menantu tuan besar Filbert, kita juga bisa mendapatkan manfaat dari situ," ucap nyonya Lauren dengan tersenyum tipis.

Tuan Stephen memandang istrinya, merenung sejenak, dan akhirnya mengangguk. "Apa yang kau katakan benar, istriku. Tapi, bagaimana kita bisa melakukannya? Tuan besar Filbert pasti akan memilih calon menantu pewarisnya dari keluarga setara dengannya."

"Tidak perlu khawatir, suamiku. Aku punya rencana," kata nyonya Lauren dengan senyuman licik.

************

Di sebuah kamar mandi yang tertutup dan tak dijangkau oleh Dariel, Lucia melakukan panggilan rahasia dengan rekan kerjanya yang ada di Singapura saat ini.

“Aku saat ini sedang cuti untuk beberapa hari kedepan.” Ucap Lucia dengan datar.

“Ayolah Al, kita sedang membutuhkan bantuanmu saat ini. Misi ini sangat penting bagi organisasi kita.” Zax memaksa Lucia untuk menyusulnya ke Singapura saat ini untuk urusan yang cukup berbahaya namun sangat penting bagi mereka.

“Aku sudah mengatakannya pada Ellard jika aku mengambil cuti untuk kembali ke kampung halamanku. Jangan memaksaku, masih banyak rekan lain yang bisa membantumu.” Ucap Lucia dengan sedikit pelan namun tegas karena dia mendengar seperti ada orang yang berada di depan pintu kamar mandi yang saat ini dia gunakan.

“Jika kau menelpon lebih baik di luar, jangan di dalam kamar mandi.” Suara dingin itu membuat Lucia langsung terkejut.

“Aku matikan telponnya, kita bicara nanti.” Ucap Lucia dengan segera lalu mematikan telepon tersebut sebelum Zax memberikannya respon.

Dia mengambil nafas panjang untuk menenangkan keterkejutannya kemudian langsung membuka pintu kamar mandi dan pria yang sedang duduk di kursi roda menyambutnya dengan tatapan yang menusuk.

“Apakah kau akan menggunakan kamar mandi?” Tanya Lucia dengan ramah untuk mengalihkan perhatian pria itu.

“Dengan siapa kau bicara?” Tanya Dariel dengan datar.

“Itu hanya teman, bukan hal yang penting.” Ucap Lucia dengan tenang seolah bukan masalah yang besar.

Dariel mengangkat salah satu alisnya, namun dia segera medatarkan wajahnya dan ingin berbalik pergi dari sana.

“Eh Dariel, ada sesuatu yang harus aku bicarakan.” Ucap Lucia tiba-tiba yang membuat Dariel berhenti memutar kursi rodanya.

“Jika ingin berbicara di ruang tamu, bukan di depan kamar mandi.” Ucapnya dengan datar lalu mulai memutar kursi rodanya kembali untuk berjalan.

Lucia yang mendengar itu hanya menghela nafasnya lalu mengikuti kemana pria itu pergi.

“Katakan.” Ucap pria itu setelah mereka berada di ruang tamu, aura yang dikeluarkan Dariel sangat menekan Lucia bahkan wanita itu cukup kagum dengan tampilan Dariel walaupun dia saat ini lumpuh tapi dengan aura seperti ini pria itu tak mungkin bisa ditindas dengan mudah.

“Aku ingin membuat perjanjian pernikahan denganmu.” Ucap Lucia dengan segera saat melihat pria itu semakin menatapnya dengan tajam ketika dia lama tak bersuara.

“Perjanjian apa? aku tak memiliki apapun jika kau ingin pembagian harta gono gini.” Ucap Dariel dengan tersenyum sinis.

Lucia yang mendengar itu terkekeh mendengarkan pikiran buruk pria itu.

“Tentu saja aku mengetahuinya, tapi bukan itu yang ingin aku bicarakan.” Ucap Lucia dengan tenang.

Dariel hanya diam menunggu wanita itu untuk mengatakan perjanjian apa yang dimaksud oleh Lucia.

“Aku ingin bercerai.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status