Share

MENIKAHI PRIA LUMPUH
MENIKAHI PRIA LUMPUH
Author: Mayasa

BAB 1

"Adikmu kabur dan besok adalah pernikahannya." Suara lemas sang ayah membuat Lucia merasa iba. Walaupun sejak kecil dia selalu dikucilkan dalam keluarga ini, namun dia menyayangi ayahnya lebih dari apapun karena hanya dia keluarga kandung satu-satunya.

Ayahnya telah menikah lagi dengan seorang wanita yang sudah memiliki anak yang memiliki umur satu tahun di bawahnya. Namun, hal yang baru dia ungkap setelah kematian ibunya lima belas tahun lalu membuatnya sangat kecewa pada ayahnya karena ternyata adik tirinya tersebut merupakan anak kandung ayahnya.

“Aku tak bisa mencegah Bella, dia memiliki kekasih lain yang tidak kita ketahui.”

Nyonya Lauren, wanita yang menjadi selingkuhan ayahnya dan sekarang menjadi istri dari ayahnya, mulai menangis dengan penuh kesedihan setelah mengatakan hal tersebut. Lucia sangat tahu jika itu adalah tangis palsu wanita itu.

“Batalkan saja pernikahannya, masih ada waktu sebelum besok.” Ucap Lucia dengan datar, dia sudah muak mendengar tangisan mereka selama satu jam terakhir di ruang keluarga ini. Dulunya dia dikucilkan dan tak dipedulikan oleh ayahnya sendiri, dan sekarang adik tirinya yang membuat masalah, dia yang harus ikut mencari jalan keluarnya.

“Keluarga Filbert sangat berpengaruh, bagaimana bisa kita membatalkan pernikahan ini begitu saja? Ayah kira mereka mengajukan lamaran untuk putra pewaris mereka, tapi ternyata pria itu lumpuh. Oh Tuhan, kesialan apa yang menimpa keluargaku.” Tuan Stephen terlihat sangat tertekan, hingga dia berjalan bolak-balik di depan Lucia yang tengah duduk tenang di sofa ruangan tersebut.

“Bagaimana jika Lucia saja yang menikah dengan pria itu, suamiku?” Ucap nyonya Lauren dengan sedikit semangat, seolah-olah telah menemukan ide brilian dari otaknya yang kecil tersebut.

Tuan Stephen yang mendengar itu langsung berhenti dan menatap istrinya dengan mata yang berbinar.

“Kamu benar sayang! Lucia, kamu mau kan menggantikan Bela menikah besok?!” kata Tuan Stephen, itu seakan bukan sebuah pertanyaan tapi sebuah pernyataan yang harus dilaksanakan oleh Lucia, mengingat raut wajah ayahnya yang seperti itu.

Lucia menatap ayahnya dengan dingin, dia langsung berdiri dari duduknya.

“Aku datang jauh-jauh kesini hanya untuk melihat Bela menikah, bukan melangsungkan pernikahanku sendiri dengan pria yang bahkan aku tak mengenalnya.” Ucap Lucia dengan dingin.

“Kumohon, Lucia, bantu ayah. Hidup ayah akan berakhir besok jika tak membawa pengantin, ayah juga sudah mengambil mahar dua milyar untuk pernikahan ini dan uang itu sudah habis.” Ucap Tuan Stephen dengan nada sedih dan penuh permohonan.

Lucia menghela nafasnya, dia tak berpikir dia akan berada di posisi yang cukup rumit ini.

Dia memiliki tabungan jika hanya uang sebanyak dua milyar tersebut, tapi bagaimana dia bisa mengatakan dari mana dia mendapatkan uang tersebut? Keluarganya hanya tahu jika dia bekerja serabutan di luar negeri. Jika dia mengatakan yang sebenarnya, dia tahu betul bagaimana nasibnya nanti. Keluarga ini seperti lintah yang akan menghabiskan semua hasil kerjanya karena mereka tahu dia kaya, dan tentu saja dia tak akan ikhlas jika jerih payahnya akan digunakan oleh selingkuhan ayahnya tersebut.

“Itu bukan urusanku.” Ucap Lucia dengan dingin, dan dia ingin pergi dari sana.

“Kamu sangat durhaka pada ayah, Lucia! Pasti ibumu sangat kecewa, kamu telah melakukan hal jahat pada ayahmu sendiri.” Ucapan dari Tuan Stephen tersebut menghentikan langkah Lucia untuk pergi. Dia mengepalkan tangannya dengan kuat.

Tuan Stephen tersenyum miring melihat itu, dia sangat tahu kelemahan putrinya adalah ibunya. Setelah mengucapkan kalimat tersebut, pasti putrinya tak akan menolak lagi terhadap apa yang dia ucapkan.

“Jam berapa acara pernikahan besok?” Tanya Lucia dengan datar, tanpa membalikkan tubuhnya, menatap ayahnya yang tengah tersenyum penuh kemenangan itu.

“Jam delapan, bersiaplah lebih awal.” Ucap Tuan Stephen dengan semangat.

Lucia yang mendengar itu langsung pergi dari sana, dia sudah muak berada di tempat seperti ini. Dia akhirnya masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu dengan keras, lalu menguncinya dari dalam. Tatapannya langsung mengarah ke foto yang cukup besar di kamarnya, itu adalah foto keluarga kecilnya sebelum semuanya rusak.

“Ma, aku merindukanmu,” ucapnya dengan pelan. Dia sangat jarang pulang ke rumah karena pekerjaannya yang padat, dan juga karena dia malas bertemu dengan ibu tirinya. Namun, kenangan tentang ibunya hanya ada di rumah ini, dan satu-satunya anggota keluarga di sini adalah ayahnya.

Lucia menghela nafas perlahan dan kemudian pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sejak kedatangannya sore tadi, dia belum sempat mandi atau pun pergi ke kamarnya sendiri.

************

Pagi tiba dengan sangat cepat, dan Lucia merasa tidak pernah membayangkan bahwa hari ini dia akan mengenakan gaun pengantin yang pas di tubuhnya.

"Anda sangat cantik, pasti calon suami Anda nanti akan terkesima saat membuka wedding veil yang Anda gunakan nanti," ucap perias yang sedang merias wajah Lucia. Wajahnya yang biasanya tanpa polesan menjadi sangat cantik dengan riasan ini. Lucia baru sadar betapa cantiknya, padahal sehari-hari dia terbiasa dengan kotoran dan bahkan bau mesiu dari pekerjaannya.

"Oh, sayang, Anda begitu cantik," ucap nyonya Lauren, ibu tirinya, dengan senyuman gembira saat melihat Lucia mengenakan gaun pengantin.

"Calon suamimu sudah datang, setelah ayahmu kesini, Anda akan pergi ke altar," kata nyonya Lauren dengan ramah.

Lucia hanya menatap wanita itu dengan wajah datar dan tidak merespons apa yang dikatakan.

Tidak lama kemudian, tuan Stephen datang untuk membawa Lucia ke altar. Langkah Lucia terasa berat. Dia tahu bahwa keputusan ini bukan tanpa alasan. Dia ingin menikahi pria yang dia cintai dan membangun keluarga yang bahagia. Namun, situasi ini jauh dari impian itu. Ayahnya sendiri yang menghancurkan semua itu, dan Lucia harus menelan pil pahitnya.

"Kamu sangat cantik, putriku," puji tuan Stephen.

Lucia hanya diam. Meskipun sebenarnya dia bisa menolak pernikahan ini, dia memikirkan nasib ayahnya dan juga ingin menghormati ibu tirinya yang ada di atas sana.

Dengan alunan musik biola dan piano yang harmonis, Lucia berjalan pelan menggandeng lengan ayahnya yang tampak cerah. Namun, di balik wedding veil yang menutupi wajahnya hingga ke dada, Lucia hanya menampilkan ekspresi wajah datar.

Ketika dia mendongakkan kepala, dia melihat seorang pria di ujung altar. Pria itu duduk dalam kursi roda, mengenakan jas pengantin yang selaras dengan gaun Lucia. 

"Dia adalah calon suamimu," bisik tuan Stephen seakan tahu apa yang ada di pikiran Lucia saat ini.

Lucia mengerti mengapa adiknya kabur sehari sebelum pernikahan. Pria ini lumpuh, dan tentu akan membutuhkan perhatian ekstra. Pertama kali melihatnya, Lucia merasakan bahwa pria itu tampan, tapi juga terlihat sangat penyendiri.

Akhirnya, Lucia tiba di depan pria itu. Ayahnya menyerahkan tangannya ke tangan pria itu. Ketika tangan mereka bersentuhan, tangan pria itu terasa dingin. Mereka berdua menghadap pendeta untuk melanjutkan prosesi pernikahan.

"Mempelai pria dan wanita sudah siap?" tanya pendeta pada Lucia dan pria di sampingnya.

Lucia mengangguk singkat, dan pria itu juga melakukan hal yang sama.

Pendeta kemudian membimbing mereka untuk berdiri di tempatnya masing-masing dan mengucapkan janji suci pernikahan.

Lucia dan Dariel bergandengan tangan, mengucapkan janji suci mereka di hadapan pendeta. Meskipun mereka melakukannya, hati mereka setengah-setengah.

"Saat ini, kalian resmi menjadi suami dan istri. Silakan melakukkan ciuman di hadapan para hadirin sebagai simbol," ucap pendeta, dan Dariel menatap Lucia dengan serius.

Karena perbedaan tinggi tubuh mereka, Lucia harus sedikit menundukkan kepalanya agar bibir mereka bisa bertemu dalam ciuman singkat ini. Dia merasakan pria itu terkejut sedikit ketika wajah mereka menyatu. 

Namun, ciuman mereka hanya sebentar dan kurang bermakna. Lucia berdiri tegak dan menghadap para tamu undangan. Acara pernikahan ini tidak meriah, hanya ada keluarga inti yang hadir, dan dari pihak Dariel, hanya ada dua orang saja. Lucia tahu bahwa kedua orang ini bukan orangtuanya.

"Jangan berharap keluargaku datang," suara dingin dari Dariel terdengar di samping Lucia.

Lucia menoleh padanya. Apakah pria itu mengira bahwa Lucia berharap keluarganya hadir? Lucia merasa ingin tertawa, karena pikiran pria itu sangat keliru. Bahkan, dia sama sekali tidak peduli apakah keluarganya datang atau tidak.

"Tuan, nyonya, saya akan mengantarkan Anda ke tempat tinggal kalian." Salah satu tamu undangan yang duduk sebelumnya mendekati mereka. Dia berniat untuk mendorong kursi roda yang Dariel gunakan.

"Biar aku saja," ucap Lucia dengan datar.

"Tidak perlu, nyonya. Biar saya saja."

"Aku istrinya," Lucia menjawab dengan dingin. Pria itu yang sebelumnya menolak akhirnya mundur untuk memberikan ruang kepada Lucia agar dia bisa mendorong kursi roda Dariel.

"Biarkan supir itu yang mendorongnya," ucap Dariel dengan dingin.

"Jika begitu, mengapa kamu menikahiku daripada supirmu?" ucap Lucia tanpa ekspresi, sembari mendorong kursi roda pria itu menuju ke tempat parkir.

Sesampainya di tempat mobil, ayah Lucia mendekat.

"Nak, hiduplah dengan baik bersama suamimu. Layani dia dengan baik," ucap tuan Stephen dengan lembut, berbeda dengan sikapnya sebelumnya.

"Aku tahu."

"Tuan muda, harap maklumi putriku. Dia mungkin keras kepala, jika dia melakukan kesalahan, berlakukan hukuman saja. Sekarang, dia adalah milikmu," ucap tuan Stephen seolah menyerahkan Lucia sepenuhnya, tanpa ada kemungkinan untuk kembali.

Lucia menatap ayahnya dengan tatapan dalam. Kata-katanya seolah mengisyaratkan bahwa Lucia tidak akan lagi diterima di keluarga ini, tak peduli apa yang terjadi nantinya.

"Aku akan menjaganya dengan baik," kata Dariel dengan datar.

Tuan Stephen mengangguk puas, seolah percaya sepenuhnya pada Dariel. Lucia dan Dariel masuk ke dalam mobil, dan supir Dariel membantu Dariel masuk dan menaruh kursi roda di bagasi. Lucia duduk di samping Dariel.

Mobil bergerak dengan kecepatan sedang, meninggalkan tempat pernikahan mereka.

Tidak ada obrolan di dalam mobil. Keduanya hanya diam.

"Apakah kita akan tinggal di puncak?" tanya Lucia pada Dariel, mengingat arah yang mereka tuju adalah menuju puncak.

"Untuk alasan kesehatan, tuan Dariel harus tinggal di tempat yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk kota," jawab bukan dari Dariel, tapi dari supir.

Lucia tidak berkomentar lagi, dia hanya diam.

Akhirnya mereka sampai di sebuah villa yang tampak usang dan terbengkalai. Rumput di halaman terlihat panjang dan tak terawat, dan debu terlihat menumpuk di sekitar.

"Kita sudah sampai, tuan dan nyonya," ucap supir, lalu ia keluar untuk mengambil kursi roda Dariel dan membantu Dariel kembali duduk di kursi roda. Dia juga mengambil dua koper milik Lucia dan Dariel.

"Karena saya masih punya urusan di kota, saya akan kembali. Selamat menikmati hari pernikahan Anda," ucap supir sebelum meninggalkan mereka.

Lucia tidak pernah membayangkan akan berakhir seperti ini. Apakah Dariel selama ini tinggal sendirian di tempat ini?

"Ayo masuk," ucap Dariel dingin, sambil mendorong kursi rodanya sendiri masuk. Lucia membawa dua koper di tangannya.

"Selamat datang di 'neraka', istriku," ucap Dariel dengan seringai jahat, tatapan dingin di wajahnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Lieha Lieha
lanjut novelnya bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status