“Kau mabuk ya?”
Amanda melangkah mundur saat tubuh pria yang menjadi suaminya justru semakin bergerak maju. Beruntung tadi dia sempat mengunci pintu. Kalau tidak pastilah ada saja orang iseng yang masuk atau mengintip kamar mereka nanti. Apalagi di luar sana masih ada beberapa sanak saudara yang menginap di rumah ini.
“Dinda.”
“Aku Manda!!”
Suara itu membuat Radit menggeleng lemah. Terlebih saat mengerjap pelan dan menemukan wajah yang tadi sempat ia lihat adalah mendiang istrinya.
“Maaf,” ucapnya dengan nada menyesal. “Aku tadi —”
“Cepat ganti bajumu! Aku tidak suka bau itu,” ketus Amanda seraya menghalau tangannya agar Radit segera enyah dari hadapannya.
Percayalah. Ada setitik rasa sakit yang mencubit ulu hatinya. Amanda terkekeh pelan. Menertawakan diri sendiri yang masih tak menyangka jika dia dan Radit sudah resmi menjadi pasangan suami istri.
“Mbak?”
Amanda buru-buru menghapus rasa kecewa di dalam hatinya lalu berkata, “Kau bisa tidur di sofa ‘kan? Tadi sore Pak Dadang udah ganti dengan ukuran yang lebih besar. Muat untukmu juga.”
Radit mengangguk pelan. “Maaf ya, Mbak soal yang tadi.” Amanda hanya bergeming lalu kembali mematut dirinya di depan cermin. “Dinda belum lama pergi. Jadi jujur saja kalau aku masih merindukannya.”
“Kau tak salah,” gumam Amanda kemudian. “Yang salah adalah takdir yang terlalu cepat merenggut kebahagiaan kalian. Tidurlah. Enggak ada yang harus disesali.”
Malam ini adalah malam pertama mereka. Tidak seperti pengantin baru yang kebanyakan menghabiskan waktu dengan memadu kasih bersama. Bagi Amanda maupun Radit sekarang adalah titik awal masalah dimulai. Akan ada banyak badai yang mungkin keduanya hadapi di lain hari.
***
“Ibu mau pulang sekarang.”
Sang ibu bersikeras meletakkan barang bawaannya di depan teras. Tak peduli jika Tuan Yuda maupun kerabat yang lain mendengar umpatannya lagi.
“Bu.”
“Ibu tidak menghalangi pernikahanmu. Sekarang ibu mau pulang. Apa kau enggak bisa mengantar ibumu?” Suaranya mulai meninggi.
Radit menghela napas panjang. Dia mengerang frustrasi melihat kelakuan sang ibu. Namun, dia tak tega untuk membiarkan wanita yang telah melahirkannya itu pulang sendirian.
“Apa Ibu tidak capek? Perjalanan Medan ke Kisaran perlu waktu tiga jam bahkan lebih. Tinggal sebentar di sini ya. Ibu enggak kangen sama Ayra, hemm?” bujuk Radit berusaha menahan ibunya.
Sementara Tuan Yuda sudah memperintahkan para kerabat untuk tak menonton perdebatan kedua ibu dan anak tersebut. Pun Amanda yang hanya memandang mereka dari kejauhan. Banyak hal tentang Radit yang masih tidak ia ketahui lebih dalam lagi.
“Sebaiknya Anda sarapan dulu, Bu Ningsih. Ini juga masih terlalu pagi,” gumam Tuan Yuda memberikan saran.
“Enggak perlu.”
“Ayolah, Bu. Nanti aku akan antar Ibu,” kata Radit akhirnya.
“Benar ya?” Wajah ibunya mulai sumringah.
Suasana di ruang makan mendadak canggung. Terlebih usai mendengar percakapan Radit dan ibunya tadi. Hingga kemudian Mama Tiara mengambil alih percakapan ketika kegiatan sarapan tadi selesai.
“Saya masih belum belajar resep pepes ikan dari Bu Ningsih loh. Kapan ya Ibu sempat?” tanya Mama Tiara mengawali perbincangannya. Sementara yang lain satu per satu meninggalkan ruangan. Tak mau ambil pusing menghadapi ibu Radit yang terkadang suka marah-marah tak jelas.
“Katanya orang kaya. Masa ‘sih tertarik sama resep orang kampung seperti saya.” Bu Ningsih mencebikkan bibirnya.
Amanda sudah bergidik ngeri sendiri. Sementara Mama Tiara malah terkekeh pelan dan terlihat santai sekali.
“Saya juga orang kampung kok, Bu. Makanya saya pengen belajar dari Ibu. Kata Radit makanan buatan Ibu enak.”
“Saya enggak punya waktu. Saya mau pulang!”
Mama Tiara mengangguk sambil tersenyum. Dia menatap Amanda yang sedari tadi tak berani mengeluarkan sepatah katapun.
“Ya sudah. Kalau Bu Ningsih tetap mau pulang ya tidak pa-pa. Kami juga tidak akan memaksa. Mungkin sebentar lagi Ayra juga bangun. Ibu pasti mau pamitan dengan dia ‘kan?”
Bu Ningsih hanya diam. Detik selanjutnya Mama Tiara memberi kode pada sang suami untuk beranjak dari sana. Meninggalkan Radit bersama dengan dua orang wanita yang sekarang saling menatap tanpa bersuara.
“A-aku mau lihat Ayra dulu,” gumam Amanda yang lekas diangguki oleh Radit.
Baru saja dia hendak melangkah pergi, Bu Ningsih mulai mengeluarkan kalimat pedasnya lagi.
“Untuk apa kau menikah kalau anakmu tetap diurusin sama babysitter? Apa gunanya punya istri?”
Amanda sempat menghentikan gerakannya. Jelas merasa tersinggung dengan ucapan barusan. Dia pun akhirnya kembali melangkah dan tidak mempedulikan apa yang diungkapkan oleh mertuanya tadi.
“Bu Manda?”
Seorang gadi muda berseragam pengasuh lekas tersenyum menyambut Amanda. Tak pelak menyearahkan Ayra ke dalam gendongannya.
“A-aku masih belum terbiasa, Sus,” aku Amanda yang tampak tak luwes menimang putri kecil itu.
“Enggak pa-pa, Bu. Nanti juga udah mahir. Namanya baru jadi seorang ibu,” kata sang suster pengertian.
“Hai?” Amanda berusaha mengajak si kecil berbicara. Namun, masih suara tangisan yang terdengar. Membuatnya jadi gelisah sendiri. “Kau masih enggak kerasan ya ada di gendongan bude?”
“Mama. Sekarang sudah jadi seorang mama,” tegur Radit yang entah sejak kapan melihatnya di sana.
Pria itu tersenyum kecil dan memberi kode pada sang pengasuh untuk meninggalkan mereka di kamar Ayra.
“Iya,” sahut Amanda yang kemudian menyerahkan Ayra ke dalam gendongan Radit.
“Kita sama-sama belajar, Mbak,” ucap Radit pelan. “Aku juga belum dekat dengan Ayra. Sejak dia lahir aku disibukkan bolak-balik rumah sakit buat jengukin Dinda yang koma habis operasi sesar. Jadi masih kaku juga.”
Amanda mengangguk pelan. Ada perasaan lega usai mendengarkan perkataan Radit tadi. Hingga tak berapa lama sang ibu mertua muncul untuk berpamitan.
“Hati-hati, Bu,” ucap Amanda yang pertama kali berbincang dengan wanita yang baginya sangat menakutkan itu.
Tak ada balasan selain delikan tajam. Membuat dirinya menghela napas pelan dan kembali ke ranjang Ayra seperti semula.
“Mbak, ikut aku yok.”
“Ke mana?” tanya Amanda polos sekali.
“Ke kampung. Kita anterin ibu sama-sama. Ada mama dan papa yang bisa dititipin Ayra juga. Biar semua orang di sana juga tahu kalau aku udah punya istri yang berbeda. Maksudku … Mbak tentunya. Bukan Dinda lagi.”
Percayalah. Perjalanan menuju Kisaran terasa sangat mencekam bagi Amanda. Padahal dia hanya diam dan duduk manis di belakang. Bahkan bisa tiduran kalau memang mau. Ibu mertuanya ada di depan bersama Radit yang sedang mengemudi. Namun, tetap saja dia merasa seperti sedang diawasi.
“Si Arini kabarnya baru pulang merantau. Dia juga udah lulus S2 loh.” Bu Ningsih membuka obrolan baru setelah lama diam seribu bahasa. Radit hanya membalasnya dengan anggukan kepala. “Kau masih ingat dia ‘kan?”
“Iya, Bu,” jawab Radit sekedarnya.
“Dia masih belum nikah loh. Cantik. Masih muda lagi.”
“Maksud Ibu apa ngomong begitu? Ibu nyindir saya??” Kali ini Amanda sudah tak bisa diam lagi. Terlebih saat mertuanya sengaja melirik ke arah belakang lewat cermin yang tergantung di atas dashboard.
“Eh eh. Ada yang ngerasa. Nyadar juga akhirnya.”
“Bu,” tegur Radit pelan. Namun, ibunya masih tak bisa diam juga. Hingga kemudian ….
CIIT!!Radit memilih menepikan mobil yang ia kendarai tepat di rest area yang berada di ruas kanan jalan tol. Tak ingin situasi tadi berubah semakin memanas. Terbukti saat ini kedua wanita yang saling menatap sengit tersebut lekas memutuskan kontak mata mereka."Istirahat sebentar ya. Aku mau ngopi. Mungkin Ibu dan Mbak Manda mau ke toilet juga."Ibunya mengangguk cepat. "Sekalian ibu nitip teh anget ya, Dit.""Baik, Bu."Usai mengatakan titah barusan wanita paruh baya tadi lekas meninggalkan mobil. Tak pedulikan Amanda yang masih membungkam mulut. Radit pun berinisiatif untuk turun dan membukakan pintu untuknya—wanita yang bahkan belum ada hitungan 24 jam menjadi istrinya itu."Maaf ya, Mbak.""Enggak usah minta maaf. Lama-lama kupingku panas dengerin kau ngomong hal yang sama terus," dengkus Amanda dengan wajah masamnya."Iya iya. Sabar aja ya, Mbak. Ibu memang suka ketus. Sebenarnya dia baik kok. Buktinya bisa luluh sama Dinda."Amanda hanya memutar malas bola matanya. Sama sekali
Anggukan kepala Radit yang tampak mantap membuat semua pengunjung di warung sana terdiam seketika. Setelahnya memandang Amanda dengan tatapan tak percaya.“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Radit kemudian. “Tidak ada peraturan yang mengatakan kalau pria yang ditinggal mati istrinya butuh waktu untuk menikah lagi ‘kan?” Sontak mereka menggeleng kompak. Radit pun mengulum senyum lalu menyelesaikan pembayaran untuk makanan yang dipesannya. Semula suasana di rumah nan asri milik peninggalan keluarga Radit tampak hening selepas makan siang berlangsung. Sang ibu memilih beristirahat di kamar. Sementara dua pasangan suami istri tersebut masih berada di meja makan.“Ck. Bahkan wastafel saja tidak ada?” kekeh Amanda dengan raut wajah meremehkan.Radit menanggapinya dengan anggukan santai. Tak pelak menyambar peralatan makan yang baru saja mereka gunakan. “Sekalian aku tunjukin kamar mandinya yuk. Kali aja kau mau pipis atau apa. Bantuin aku cuci piring ju
“Manda!” Suara barusan tak dipedulikan oleh sang pemilik nama. Dia terus memacu langkahnya hingga terhenti di ambang pintu kamar. Terhambat oleh tubuh tegap tinggi Radit yang sudah berada di sana.“Enggak usah menjelaskan. Aku tahu!” ketus Amanda yang membuat wajah tegang suaminya sirna dalam sekejap.“Makasih ya. Maaf karena kita harus tinggal sedikit lebih lama di sini. Ibu cuma tinggal sendiri. Aku enggak mau dia kenapa-napa lantaran banyak pikiran nantinya,” jelas Radit panjang lebar. Dia melirik handuk yang tersampir di bahu kanan Amanda. “Aku antar yuk. Kau pasti belum terbiasa mandi dengan kondisi begini.” Ucapan Radit ada benarnya. Amanda kembali melangkah hingga sempat berpapasan dengan sang mertua yang tengah menghidangkan makan malam.“Radit itu anakku. Dia pasti akan memilih ibunya.”“Bu,” tegur Radit yang merasa tak enak hati.“Sudahlah. Cepat temani istri manjamu. Ibu sudah lapar.” Bu Ningsih menghalaukan tangannya ke udara agar Radit tak memb
Perempuan bernama Arini itu menatap lekat manik mata kecokelatan milik Amanda. Berusaha meyakinkan diri kalau rumor yang ia dengar tidaklah benar. Sayangnya anggukan dari sang lawan bicara lekas memusnahkan harapan yang sempat terjalin.“Iya. Aku istrinya,” gumam Amanda kemudian. Gurat kecewa yang tergambar dari wajah Arini sangat kelihatan jelas sebenarnya. “Kenapa?”“Enggak.” Suasana menjadi canggung seketika. Beruntung beberapa detik kemudian Radit muncul bersama Bu Ningsih. Arini pun segera memasang tampang ceria seperti semula.“Ke sini kok enggak ngomong dulu sih, Rin? Tahu gitu ‘kan bude nyiapin makanan. Yang ada cuma teh aja,” ucap Bu Ningsih sambil tersenyum.Arini menggeleng pelan. Tak pelak menyeruput teh yang disajikan untuknya. “Aku enggak lama kok, Bude. Niatnya mampir untuk ngasih oleh-oleh aja. Habisnya kemarin bude ke Medan ‘kan?”“Iya. Ibu hadirin acara pernikahanku dengan Manda.” Kali ini Radit yang bersuara. Tak pedulikan lirikan sebal dari ibunya.“A
“Mau berapa kali sih harus dibilangin, hah?! Sudah jam berapa ini?” Suara lengkingan barusan berhasil merenggut akal liar Radit. Pria itu buru-buru menyudahi mandinya. Pun begitu juga dengan Amanda yang sekarang sedang berganti pakaian.“Sudah?” tanya Radit dengan sedikit berbisik. Istrinya mengangguk pelan dengan wajah yang tampak menahan kesal. Kini keduanya kompak ke luar dari kamar mandi dan langsung mendapatkan tatapan tajam dari Bu Ningsih. Wanita paruh baya itu memandangi mereka dengan heran.“Kalian … mandi bersama?”“Iya, Bu. Kenapa sih? Namanya juga suami istri. Apa ada yang salah?” ucap Radit balik bertanya. Ibunya menggeleng cepat. Radit lantas lekas menarik lengan Amanda untuk segera bergegas ke kamar. Tahu bahwa mereka tak mungkin diomeli lantaran waktu mendesak menjelang Maghrib.Jangan merasa bersalah, Radit. Dia ‘kan sudah jadi istrimu. Sah-sah saja kok. Batinnya kembali bersuara. Radit mengembuskan napas kasar l
[“Iya, Nak. Kami bahkan sudah di rumah sekarang.”] Sahutan di seberang sana membuat Radit mengembuskan napas lega. Bagaimana tidak. Luka kehilangan karena kepergian mendiang Dinda masih sangat menyesakkan dada. Apalagi mendengar kabar buruk tentang putrinya sendiri. Dunianya bisa saja runtuh seketika.[“Maaf ya, Nak. Papa saja yang panik makanya langsung mengabari kalian. Ternyata Ayra hanya demam karena efek imunisasi tadi sore.”] Terdengar suara omelan setelahnya. Tentu saja Mama Tiara yang memprotes sikap ceroboh pria paru baya tadi. Kini Amanda dan Radit saling menoleh tanpa suara. Sama-sama menyimpan perasaan tenang usai mendapatkan pencerahan dari pasangan suami istri tersebut.[“Syukurlah kalau Ayra baik-baik saja. Tolong jagain ya, Ma, Pa. Aku sama Manda lagi dalam perjalanan pulang.”] Radit pun menyerahkan ponsel yang ia genggam barusan pada sang empu. Kemudian kembali fokus pada kemudinya lagi.“Ya udah ya. Aku tutup teleponnya dulu,
Pagi-pagi sekali seisi kamar sudah dihebohkan oleh suara tangis Ayra. Sementara dua orang dewasa di sana terus saja berdebat. “Kau saja yang tidur seperti orang mati. Kalau saja Ayra bisa bicara, dia pasti membelaku. Dasar payah!” ketus Amanda yang berusaha menenangkan bayi mungil di gendongannya. Radit mendengkus pelan. “Aku minta maaf. Sumpah. Suaramu tidak terdengar.” “Alasan. Kau terlalu banyak bicara. Baru satu malam saja sudah terbukti gagal.” “Hei! Namanya juga belum terbiasa.” Radit masih membela diri. “Mungkin dia haus makanya nangis terus.” Amanda memicingkan matanya. Memberi kode lewat gerakan dagu agar Radit melihat botol susu yang masih berisi susu di dalam boks bayi. “Dia menolak. Tidak pipis juga kok. Entahlah,” erangnya hampir frustrasi. “Sini, Sayang. Papa yang gendong ya?” Tangan Radit sudah terjulur di depan Amanda. Namun, Ayra malah menggerak-gerakkan kakinya. Membuat sepasang suami istri itu kebingungan sendiri. “Hah. Kita pangg
Amanda lantas memandang Radit dan papanya secara bergantian. Menanti jawaban yang ke luar dari mulut kedua pria itu.“Aku belum sempat bicara dengan Manda, Pa,” ucap Radit akhirnya. Penuturan barusan membuat Tuan Yuda mengangguk paham. Dia dan sang istri kemudian pamit terlebih dahulu dari sana. Membiarkan pasangan tersebut mengambil waktu untuk mengobrol. Di sinilah keduanya sekarang. Kamar Amanda yang sudah sah menjadi milik Radit juga. Hanya sayang sampai detik ini tubuh dan hati wanita cantik yang merupakan istrinya itu masih belum bisa disentuh sama sekali.“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Amanda langsung pada intinya. Dia menatap lekat Radit yang juga memandang ke arahnya.Radit meng