Share

5. SINDIRAN IBU MERTUA

“Kau mabuk ya?”

              Amanda melangkah mundur saat tubuh pria yang menjadi suaminya justru semakin bergerak maju. Beruntung tadi dia sempat mengunci pintu. Kalau tidak pastilah ada saja orang iseng yang masuk atau mengintip kamar mereka nanti. Apalagi di luar sana masih ada beberapa sanak saudara yang menginap di rumah ini.

“Dinda.”

“Aku Manda!!”

              Suara itu membuat Radit menggeleng lemah. Terlebih saat mengerjap pelan dan menemukan wajah yang tadi sempat ia lihat adalah mendiang istrinya.

“Maaf,” ucapnya dengan nada menyesal. “Aku tadi —”

“Cepat ganti bajumu! Aku tidak suka bau itu,” ketus Amanda seraya menghalau tangannya agar Radit segera enyah dari hadapannya.            

              Percayalah. Ada setitik rasa sakit yang mencubit ulu hatinya. Amanda terkekeh pelan. Menertawakan diri sendiri yang masih tak menyangka jika dia dan Radit sudah resmi menjadi pasangan suami istri.

“Mbak?”

Amanda buru-buru menghapus rasa kecewa di dalam hatinya lalu berkata, “Kau bisa tidur di sofa ‘kan? Tadi sore Pak Dadang udah ganti dengan ukuran yang lebih besar. Muat untukmu juga.”

Radit mengangguk pelan. “Maaf ya, Mbak soal yang tadi.” Amanda hanya bergeming lalu kembali mematut dirinya di depan cermin. “Dinda belum lama pergi. Jadi jujur saja kalau aku masih merindukannya.”

“Kau tak salah,” gumam Amanda kemudian. “Yang salah adalah takdir yang terlalu cepat merenggut kebahagiaan kalian. Tidurlah. Enggak ada yang harus disesali.”

              Malam ini adalah malam pertama mereka. Tidak seperti pengantin baru yang kebanyakan menghabiskan waktu dengan memadu kasih bersama. Bagi Amanda maupun Radit sekarang adalah titik awal masalah dimulai. Akan ada banyak badai yang mungkin keduanya hadapi di lain hari.

***

“Ibu mau pulang sekarang.”

              Sang ibu bersikeras meletakkan barang bawaannya di depan teras. Tak peduli jika Tuan Yuda maupun kerabat yang lain mendengar umpatannya lagi.

“Bu.”

“Ibu tidak menghalangi pernikahanmu. Sekarang ibu mau pulang. Apa kau enggak bisa mengantar ibumu?” Suaranya mulai meninggi.

Radit menghela napas panjang. Dia mengerang frustrasi melihat kelakuan sang ibu. Namun, dia tak tega untuk membiarkan wanita yang telah melahirkannya itu pulang sendirian.

“Apa Ibu tidak capek? Perjalanan Medan ke Kisaran perlu waktu tiga jam bahkan lebih. Tinggal sebentar di sini ya. Ibu enggak kangen sama Ayra, hemm?” bujuk Radit berusaha menahan ibunya.

              Sementara Tuan Yuda sudah memperintahkan para kerabat untuk tak menonton perdebatan kedua ibu dan anak tersebut. Pun Amanda yang hanya memandang mereka dari kejauhan. Banyak hal tentang Radit yang masih tidak ia ketahui lebih dalam lagi.

“Sebaiknya Anda sarapan dulu, Bu Ningsih. Ini juga masih terlalu pagi,” gumam Tuan Yuda memberikan saran.

“Enggak perlu.”

“Ayolah, Bu. Nanti aku akan antar Ibu,” kata Radit akhirnya.

“Benar ya?” Wajah ibunya mulai sumringah.

              Suasana di ruang makan mendadak canggung. Terlebih usai mendengar percakapan Radit dan ibunya tadi. Hingga kemudian Mama Tiara mengambil alih percakapan ketika kegiatan sarapan tadi selesai.

“Saya masih belum belajar resep pepes ikan dari Bu Ningsih loh. Kapan ya Ibu sempat?” tanya Mama Tiara mengawali perbincangannya. Sementara yang lain satu per satu meninggalkan ruangan. Tak mau ambil pusing menghadapi ibu Radit yang terkadang suka marah-marah tak jelas.

“Katanya orang kaya. Masa ‘sih tertarik sama resep orang kampung seperti saya.” Bu Ningsih mencebikkan bibirnya.

              Amanda sudah bergidik ngeri sendiri. Sementara Mama Tiara malah terkekeh pelan dan terlihat santai sekali.

“Saya juga orang kampung kok, Bu. Makanya saya pengen belajar dari Ibu. Kata Radit makanan buatan Ibu enak.”

“Saya enggak punya waktu. Saya mau pulang!”

              Mama Tiara mengangguk sambil tersenyum. Dia menatap Amanda yang sedari tadi tak berani mengeluarkan sepatah katapun.

“Ya sudah. Kalau Bu Ningsih tetap mau pulang ya tidak pa-pa. Kami juga tidak akan memaksa. Mungkin sebentar lagi Ayra juga bangun. Ibu pasti mau pamitan dengan dia ‘kan?”

              Bu Ningsih hanya diam. Detik selanjutnya Mama Tiara memberi kode pada sang suami untuk beranjak dari sana. Meninggalkan Radit bersama dengan dua orang wanita yang sekarang saling menatap tanpa bersuara.

“A-aku mau lihat Ayra dulu,” gumam Amanda yang lekas diangguki oleh Radit.

              Baru saja dia hendak melangkah pergi, Bu Ningsih mulai mengeluarkan kalimat pedasnya lagi.

“Untuk apa kau menikah kalau anakmu tetap diurusin sama babysitter? Apa gunanya punya istri?”

              Amanda sempat menghentikan gerakannya. Jelas merasa tersinggung dengan ucapan barusan. Dia pun akhirnya kembali melangkah dan tidak mempedulikan apa yang diungkapkan oleh mertuanya tadi.

“Bu Manda?”    

              Seorang gadi muda berseragam pengasuh lekas tersenyum menyambut Amanda. Tak pelak menyearahkan Ayra ke dalam gendongannya.

“A-aku masih belum terbiasa, Sus,” aku Amanda yang tampak tak luwes menimang putri kecil itu.

“Enggak pa-pa, Bu. Nanti juga udah mahir. Namanya baru jadi seorang ibu,” kata sang suster pengertian.

“Hai?” Amanda berusaha mengajak si kecil berbicara. Namun, masih suara tangisan yang terdengar. Membuatnya jadi gelisah sendiri. “Kau masih enggak kerasan ya ada di gendongan bude?”

“Mama. Sekarang sudah jadi seorang mama,” tegur Radit yang entah sejak kapan melihatnya di sana.

              Pria itu tersenyum kecil dan memberi kode pada sang pengasuh untuk meninggalkan mereka di kamar Ayra.

“Iya,” sahut Amanda yang kemudian menyerahkan Ayra ke dalam gendongan Radit.

“Kita sama-sama belajar, Mbak,” ucap Radit pelan. “Aku juga belum dekat dengan Ayra. Sejak dia lahir aku disibukkan bolak-balik rumah sakit buat jengukin Dinda yang koma habis operasi sesar. Jadi masih kaku juga.”

              Amanda mengangguk pelan. Ada perasaan lega usai mendengarkan perkataan Radit tadi. Hingga tak berapa lama sang ibu mertua muncul untuk berpamitan.

“Hati-hati, Bu,” ucap Amanda yang pertama kali berbincang dengan wanita yang baginya sangat menakutkan itu.

              Tak ada balasan selain delikan tajam. Membuat dirinya menghela napas pelan dan kembali ke ranjang Ayra seperti semula.

“Mbak, ikut aku yok.”

“Ke mana?” tanya Amanda polos sekali.

“Ke kampung. Kita anterin ibu sama-sama. Ada mama dan papa yang bisa dititipin Ayra juga. Biar semua orang di sana juga tahu kalau aku udah punya istri yang berbeda. Maksudku … Mbak tentunya. Bukan Dinda lagi.”

              Percayalah. Perjalanan menuju Kisaran terasa sangat mencekam bagi Amanda. Padahal dia hanya diam dan duduk manis di belakang. Bahkan bisa tiduran kalau memang mau. Ibu mertuanya ada di depan bersama Radit yang sedang mengemudi. Namun, tetap saja dia merasa seperti sedang diawasi.

“Si Arini kabarnya baru pulang merantau. Dia juga udah lulus S2 loh.” Bu Ningsih membuka obrolan baru setelah lama diam seribu bahasa. Radit hanya membalasnya dengan anggukan kepala. “Kau masih ingat dia ‘kan?”

“Iya, Bu,” jawab Radit sekedarnya.

“Dia masih belum nikah loh. Cantik. Masih muda lagi.”

“Maksud Ibu apa ngomong begitu? Ibu nyindir saya??” Kali ini Amanda sudah tak bisa diam lagi. Terlebih saat mertuanya sengaja melirik ke arah belakang lewat cermin yang tergantung di atas dashboard.

“Eh eh. Ada yang ngerasa. Nyadar juga akhirnya.”

“Bu,” tegur Radit pelan. Namun, ibunya masih tak bisa diam juga. Hingga kemudian ….

             

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status