Share

007 Dengki

Author: Wolfy
last update Last Updated: 2024-11-08 19:02:42

**Bab 007 Dengki**

Ruangan itu dipenuhi dengan hiasan yang mencerminkan kekuasaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Jendela besar menghadap lanskap yang luas, namun ruangannya terasa terkendali, seperti hidup dalam bayangan kekuatan yang tak pernah padam. Meja panjang di tengah ruangan itu dikelilingi oleh kursi-kursi dengan ukiran halus, semuanya menunjukkan kemewahan yang tak tergoyahkan. Namun, di balik keindahan tersebut, ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.

Margrave duduk dengan tenang di kursinya, matanya yang tajam menatap Davion yang berdiri di seberang meja. Keduanya berada dalam ruang ini, satu-satunya tempat di mana mereka dapat berbicara tanpa gangguan, meski kedekatan mereka sebagai keluarga terasa semakin renggang. Margrave lebih tua, lebih bijaksana, namun ketenangan itu terkadang menyembunyikan ambisi yang lebih besar. Sementara itu, Davion, cucunya yang lebih muda, lebih terang-terangan, lebih cepat berbicara dan lebih cepat bertindak.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Davion, suara tegasnya mengisi ruangan. "Waktu kita terus berkurang, kakek. Musuh kita sudah bergerak. Kita harus bertindak sekarang."

Margrave menarik napas dalam-dalam, suaranya tenang, namun penuh perhitungan. "Kesabaran adalah kunci, Davion. Jika kita bergerak terlalu cepat, kita akan memberi mereka kesempatan untuk menyerang dulu. Tidak ada yang lebih bodoh daripada bertindak gegabah hanya karena terburu-buru."

Davion membalas dengan tatapan tajam, namun dia tahu bahwa berbicara lebih keras tidak akan mengubah sikap kakeknya. "Tapi kita tidak bisa terus menunggu. Musuh kita pasti sedang memperhitungkan langkah kita, kakek. Jika kita menunggu terlalu lama, kita akan terlambat."

Margrave tidak terganggu. "Kita akan bergerak, tapi kita akan melakukannya dengan cara yang tepat. Tidak ada keuntungan dalam bertindak sebelum waktunya tiba. Semua tindakan kita harus terencana dengan sempurna."

Davion mulai berjalan mondar-mandir, gerakannya menggambarkan ketidakpuasan yang sudah lama terpendam. "Pernahkah kau berpikir, kakek, bahwa mungkin kita sudah terlalu lama merencanakan dan tidak cukup banyak bertindak? Semua kesempatan kita bisa menguap begitu saja."

Margrave tetap duduk, tidak tergoyahkan. "Pemikiranmu terlalu sempit, Davion. Dunia ini bukan tempat untuk bertindak sembarangan. Kita harus berhati-hati dengan setiap langkah kita. Setiap keputusan harus dipertimbangkan dengan matang, karena kesalahan kecil bisa membuat kita kehilangan semuanya."

Davion berhenti sejenak, menatap kakeknya dengan tatapan penuh tantangan. "Tapi, kakek, kadang-kadang kita harus bertindak meski belum semuanya jelas. Jika kita terus menunggu, orang lain akan mengambil alih."

Margrave hanya mengangkat alisnya, sedikit tersenyum. "Orang lain selalu berusaha mengambil alih. Tapi, hanya mereka yang sabar yang akan menang pada akhirnya."

Suasana itu kembali menjadi hening. Davion berdiri diam, namun di dalam hatinya, amarah dan frustrasi terus membara. Dia tahu bahwa apa yang dikatakan kakeknya mungkin benar, tapi kadang-kadang, untuk mencapai kekuasaan yang mereka inginkan, mereka harus siap bergerak lebih cepat. Terlalu banyak menunggu bisa berarti kehilangan segalanya.

Namun, Margrave tidak tampak terpengaruh. Matanya masih tertuju pada Davion, penuh perhitungan, penuh ketenangan. "Jika kita bergerak terlalu cepat, kita memberi mereka kesempatan untuk menyerang. Sabar adalah keunggulan yang tidak dimiliki oleh mereka yang terburu-buru."

Davion mendengus. "Kau selalu mengatakan itu, kakek. Tapi apa jadinya jika kita terus menunggu, dan mereka yang lebih cepat bertindak justru yang mendapatkannya? Apa yang akan kita lakukan kemudian?"

Margrave menatap cucunya dengan mata yang penuh teka-teki. "Kita akan bertindak, Davion. Namun, kita akan melakukannya dengan cara yang lebih baik, lebih halus, lebih terencana. Kita akan bergerak pada waktu yang tepat."

Davion menatap keluar jendela, jantungnya berdebar kencang. Dia merasa setiap detik yang berlalu adalah kesempatan yang hilang. Tetapi, dia tahu, Margrave selalu memiliki rencana. Hanya saja, rencana itu selalu datang dengan harga yang harus dibayar. Dan itu adalah harga yang harus dibayar untuk mencapai kekuasaan yang mereka inginkan.

Di luar sana, dunia terus bergerak. Tapi di dalam ruangan ini, Margrave dan Davion tahu bahwa ketegangan ini belum akan berakhir. Pertarungan kekuasaan mereka baru saja dimulai, dan tidak ada yang tahu siapa yang akan menang pada akhirnya.

Ruangan itu terasa semakin berat dengan setiap kata yang terucap. Margrave tetap duduk dengan sikap tenang, seakan tak terganggu oleh beban yang ada. Sebaliknya, Davion berdiri, gelisah. Setiap gerakan tubuhnya tampak penuh ketegangan, seperti seseorang yang tak sabar menunggu untuk bergerak, namun dibatasi oleh sesuatu yang tak terlihat.

"Athaleyah Galina," kata Margrave perlahan, suaranya penuh pertimbangan. "Dia adalah bagian dari rencana kita. Kau tahu betul apa yang kita harapkan dari pernikahan itu."

Davion mengangguk, matanya bergerak cepat, penuh rasa penasaran dan keraguan. "Aku tahu, kakek. Kita sudah membicarakan ini berkali-kali. Tetapi... kita akan menunggu lebih lama lagi? Kita tahu betul dia hanya ada dalam rumor. Kita belum tahu siapa sebenarnya dia."

Margrave memandang cucunya dengan tatapan yang tajam dan tenang. "Kita sudah cukup tahu, Davion. Tidak perlu terburu-buru. Perjalanan ini butuh waktu, dan kita harus bermain dengan hati-hati. Kita tidak bisa langsung bertindak hanya karena kita merasa sudah tahu segalanya."

Davion mengerutkan kening, tak bisa menahan rasa frustrasinya. "Kakek, kita harus bergerak cepat. Waktu tidak akan menunggu kita. Jika kita hanya menunggu, kita akan tertinggal. Sementara itu, setiap langkah yang kita ambil sekarang bisa menjadi penentu bagi masa depan kita."

Margrave tersenyum samar, namun tatapannya tetap tajam. "Terlalu banyak terburu-buru akan membunuh kita lebih cepat daripada jika kita berhati-hati. Kita sudah membuat rencana dengan sangat matang. Jika kita terburu-buru, kita mungkin hanya akan memperburuk keadaan."

Davion merasa darahnya mendidih. "Aku mengerti kalau kamu suka memikirkan segala hal dengan hati-hati, Kakek. Tapi kita bukan sedang bermain catur. Ini masalah kekuasaan dan posisi kita di depan Duke Hugh dan seluruh kerajaan."

Margrave menundukkan kepalanya sejenak, kemudian berbicara dengan suara rendah namun dalam. "Kita tidak sedang bermain catur, Davion. Tapi dalam banyak hal, permainan ini sama seperti itu. Setiap gerakan harus dipikirkan dengan cermat. Salah langkah, kita bisa jatuh."

Davion tampaknya tidak bisa menahan rasa ingin tahu yang semakin besar. "Aku paham itu, Kakek. Tetapi aku merasa ada yang lebih penting di sini—sesuatu yang kita butuhkan untuk memastikan kontrol kita tetap kuat. Jangan beri kesempatan bagi orang lain untuk mendahului kita."

Margrave mengangguk, namun ekspresinya tetap tidak berubah. "Kita akan terus memantau. Aku tahu betul kelebihan yang dimiliki Athaleyah. Mungkin dia tampak seperti sekadar rumor, tetapi dia lebih dari itu. Dia adalah ancaman yang perlu kita waspadai."

"Ancaman?" tanya Davion dengan suara lebih keras, tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya. "Kakek, apakah kita memang harus menunggu sampai sesuatu yang buruk terjadi? Mengapa tidak kita lakukan sesuatu lebih cepat?"

Margrave menatap cucunya dengan serius. "Tidak, Davion. Kita akan memanfaatkan situasi ini dengan bijak. Perhatian kita saat ini adalah memahami seluruh gambarannya. Ini lebih dari sekadar pernikahan atau hubungan politik. Ini adalah soal menguasai kekuasaan yang lebih besar."

Keheningan menyelimuti ruangan. Davion merasa ada ketegangan yang lebih dalam di balik setiap kata kakeknya. "Kakek, aku tidak bisa diam saja. Jika kita tidak bertindak, kita akan kehilangan kesempatan untuk mengendalikan situasi ini."

Margrave berdiri dengan perlahan, mengamati Davion yang masih penuh amarah. "Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Ingatlah, Davion, kita mengukur setiap langkah kita dengan teliti. Dalam dunia ini, bukan siapa yang bertindak lebih cepat yang menang, tetapi siapa yang bertindak lebih bijak."

Davion menarik napas panjang, akhirnya bisa menahan emosinya yang berkecamuk. Dia tahu kakeknya benar, tapi dia tetap merasa ada urgensi yang tak bisa dibiarkan begitu saja. "Baiklah, Kakek. Tapi kita harus memastikan kita selalu satu langkah lebih maju dari yang lain."

Margrave menatap cucunya sekali lagi, kemudian menunduk dengan senyum samar. "Kita selalu satu langkah di depan, Davion. Hanya saja, kadang-kadang kita harus memberi ruang untuk langkah itu berkembang dengan sendirinya."

Langit di luar kamar pribadi Grand Duke Margrave mulai cerah setelah hujan lebat semalaman. Sisa-sisa badai meninggalkan embun yang menggantung di udara pagi. Namun, suasana di dalam ruangan tetap dingin, seolah mencerminkan ketegangan antara dua penghuni kamar itu.

Davion berdiri di dekat jendela besar, memandangi pemandangan luas wilayah timur. Punggungnya tegak, tetapi tangannya mengepal, mencerminkan frustrasi yang sudah lama ia pendam. Margrave duduk di kursi besar dekat perapian, memutar cincin di jarinya, seperti kebiasaannya ketika sedang berpikir.

"Kau tidak mendengarkanku," Davion akhirnya membuka suara, nadanya tajam. "Setiap hari kita menunggu, Cavero semakin memperkuat posisinya. Apa kau ingin aku tetap menjadi bayangan di bawahnya selamanya?"

Margrave mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. "Davion, aku selalu mendengarkan. Hanya saja, tidak semua hal perlu ditanggapi dengan segera. Kau terlalu terburu-buru."

Davion berbalik, matanya menatap tajam ke arah kakeknya. "Terlalu terburu-buru? Kau bahkan tidak mencoba! Aku sudah cukup bersabar, Kakek. Cavero harus dijatuhkan sekarang, sebelum semuanya terlambat."

Margrave menyandarkan punggungnya, lalu menatap cucunya dengan dingin. "Kau berbicara tentang kesabaran, tetapi kau belum belajar arti sebenarnya. Politik bukan pertempuran di medan perang, Davion. Ini tentang waktu dan kesempatan, bukan kemarahan dan dendam."

Davion mendekat ke meja, tangannya menghantam permukaan kayu dengan keras. "Ini bukan tentang politik, ini tentang hakku! Aku adalah putra Silvia, cucumu. Tahta itu seharusnya milikku. Tapi sekarang, Cavero mendapatkan segalanya hanya karena dia lahir lebih dulu dari ibu yang lebih rendah dari Silvia ibuku."

"Dan itulah yang membuatmu kalah," balas Margrave, suaranya tetap tenang tetapi tegas. "Amarahmu adalah kelemahan, Davion. Kau ingin Cavero kalah? Tunjukkan bahwa kau lebih baik darinya, bukan hanya lebih marah darinya."

Davion menghela napas kasar, lalu menjauh dari meja. Ia mulai berjalan mondar-mandir, sementara Margrave tetap tak tergoyahkan di kursinya.

"Apa rencanamu sebenarnya, Kakek?" tanya Davion akhirnya, suaranya mereda tetapi masih penuh tekanan. "Apa kau benar-benar ingin aku menang, atau kau hanya bermain permainanmu sendiri?"

Margrave berdiri perlahan, mendekati cucunya. "Davion, kau adalah pewaris yang aku pilih. Aku telah berjuang lebih lama dari yang kau bayangkan untuk memastikan kau memiliki kesempatan ini. Tapi jika kau tidak belajar mengendalikan dirimu, maka semua perjuanganku akan sia-sia."

"Jadi, aku hanya perlu menunggu?" Davion membalas, suaranya hampir berbisik. "Kapan, Kakek? Kapan aku akhirnya bisa mengambil tempatku yang seharusnya?"

"Ketika Cavero membuat kesalahan," jawab Margrave, menepuk bahu cucunya dengan pelan. "Dan percayalah, Davion, semua orang membuat kesalahan pada akhirnya. Kita hanya perlu memastikan bahwa kita siap untuk memanfaatkannya."

Davion tidak menjawab, tetapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya puas. Margrave kembali ke kursinya, mengambil segelas anggur yang telah disiapkan di meja kecil di sampingnya.

"Tenanglah, cucuku," katanya sambil mengangkat gelasnya. "Permainan ini masih panjang, dan kita akan menang. Tapi hanya jika kau belajar untuk tidak membiarkan amarah menguasaimu."

Davion memandang kakeknya sekali lagi sebelum akhirnya keluar dari ruangan tanpa sepatah kata pun. Margrave menghela napas pelan, menatap pintu yang tertutup di belakang cucunya.

"Waktu, Davion," gumamnya. "Waktu adalah senjata yang paling mematikan."

---

Di waktu yang berbeda

---

Hujan deras mengguyur malam itu, menghantam jendela besar di aula pertemuan Grand Duke Margrave. Lilin-lilin di dinding memancarkan cahaya temaram, membentuk bayangan gelap yang menari di sepanjang ruangan. Meja besar dari kayu ek berdiri megah di tengah aula, dengan ukiran rumit yang menggambarkan kejayaan keluarga Margrave. Namun, suasana di dalam ruangan lebih berat daripada badai di luar.

Grand Duke Margrave duduk di kursinya, mengenakan mantel tebal berwarna hitam dengan hiasan perak di kerahnya. Tangan kanannya perlahan memutar cincin di jari, sementara matanya yang tajam memindai wajah-wajah di sekeliling meja. Di hadapannya, tiga Count duduk dengan ekspresi berbeda: Markus Hazen tampak gelisah, Frendel Belatrix serius tetapi waspada, sementara Dalmar Yegev tersenyum tipis, nyaris sinis.

"Tuanku Grand Duke," Markus memulai, suaranya terdengar ragu. "Pengangkatan resmi Pangeran Cavero sebagai Putra Mahkota telah menyulitkan posisi kita. Jika raja mangkat dalam waktu dekat, Cavero akan naik tahta tanpa bisa diganggu gugat."

Margrave menatap Markus tanpa emosi, lalu mengangkat gelas anggurnya. "Aku tahu itu," katanya, nadanya rendah tetapi penuh bobot. "Kita sudah terlalu lama membiarkan raja bermain dengan bidaknya. Tapi seperti permainan catur, langkah terakhir akan menentukan segalanya."

Frendel Belatrix, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Dengan segala hormat, Tuanku. Saya setuju bahwa rencana harus matang, tetapi setiap hari yang kita lewatkan adalah kesempatan bagi Cavero untuk menguatkan posisinya. Kita harus memberikan pukulan pertama."

Margrave menyandarkan tubuhnya, seolah menikmati ketegangan yang muncul di antara sekutunya. "Pukulan pertama hanya berarti jika ia mematikan, Frendel. Dan untuk itu, kita perlu memastikan segalanya. Aku sudah menempatkan beberapa orangku di istana. Mereka akan memastikan bahwa Cavero tidak pernah merasa aman di tahtanya."

"Dan bagaimana dengan Ratu Silvia?" tanya Dalmar Yegev, senyum liciknya semakin lebar. "Maharani adalah aset terbesar kita. Jika dia memberikan dukungan secara terbuka, kita tidak perlu menunggu terlalu lama."

"Silvia tahu apa yang harus dilakukan," jawab Margrave singkat. "Dia sudah memainkan perannya dengan sempurna. Kita tidak akan mengungkapkan semua kartu kita sekaligus, Dalmar. Bahkan kau seharusnya tahu itu."

Dalmar tertawa kecil, lalu mengangkat tangannya sebagai tanda menyerah. "Tentu saja, Tuanku. Saya hanya memastikan bahwa semua potensi kekuatan kita digunakan secara maksimal."

Markus, yang terlihat semakin gelisah, memandang Margrave dengan kerutan di dahinya. "Dan bagaimana jika rencana ini gagal? Apa yang akan terjadi pada kita?"

Margrave meletakkan gelas anggurnya perlahan di atas meja, menciptakan suara kecil yang terasa memekakkan di ruangan yang sunyi. "Markus, jika kau meragukan kemenangan kita, maka kau sudah kalah sebelum perang dimulai. Jika kau takut, maka diamlah. Ketakutanmu tidak ada gunanya di sini."

Markus menundukkan kepala, wajahnya memerah. Frendel tampak berpikir keras, sementara Dalmar menyembunyikan seringainya di balik tangan.

"Cavero mungkin tampak kuat di atas kertas," lanjut Margrave, suaranya kembali tenang. "Tapi dia hanyalah bidak lain di papan ini. Kita akan membuatnya runtuh, bukan dengan kekuatan, tetapi dengan waktu. Biarkan dia merasa aman, lalu kita serang saat dia tidak menduganya."

"Baiklah," kata Margrave akhirnya. "Kita sudah cukup berbicara. Lakukan apa yang sudah aku instruksikan. Dan ingat, setiap langkah harus terencana. Tidak ada ruang untuk kesalahan."

Para Count berdiri satu per satu, memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan. Ketika pintu terakhir tertutup, Margrave duduk kembali dan menatap peta besar kerajaan yang tergantung di dinding. Tangan kirinya menyentuh dagunya, sementara senyum kecil menghiasi wajahnya.

"Permainan baru saja dimulai," gumamnya.

---

---

Pagi di Istana Kerajaan terasa lengang, seolah waktu berjalan lambat dengan setiap detik yang menggerus ketenangan di ruang kerja Grand Duke Margrave. Ruangan ini bukan hanya tempat merumuskan strategi, tapi juga tempat di mana otak tajam Margrave mengendalikan segala keputusan penting. Peta-peta besar terhampar di atas meja, disertai dengan gulungan kertas yang penuh perhitungan. Margrave duduk dengan tenang, matanya menganalisis setiap detail yang terhampar di hadapannya, seolah semua pergerakan dunia politik dapat diprediksi dengan tepat oleh pikirannya.

Di seberang meja, Davion duduk dengan ekspresi yang lebih tergesa-gesa. Tangannya bergerak-gerak tak sabar, wajahnya memancarkan ambisi yang terkendali namun jelas-jelas menunjukkan ketidaksabarannya. Ia menunggu, menahan dorongan untuk berbicara, sementara Margrave tetap diam—keheningan yang penuh dominasi.

“Apa yang kau pikirkan tentang Darius?” suara Margrave terdengar tenang, hampir tak tergoyahkan. Ia tidak terburu-buru untuk mendapatkan jawaban. Setiap kata yang diucapkannya bagaikan senjata tersembunyi, menghantam tepat sasaran tanpa kesan tergesa-gesa. Margrave sudah mengenal betul cara membaca orang, bahkan lebih cepat daripada kebanyakan orang yang bertemu dengannya.

Davion, meski menahan diri, tak bisa menahan dorongan untuk segera memberikan jawabannya. "Dia licik, Kakek. Tapi kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa Darius adalah alat yang harus diperhitungkan. Dia memiliki koneksi yang luas dan tidak ragu untuk menggerakkan semua kekuatan itu untuk keuntungan dirinya sendiri. Kita tidak bisa terlalu mengandalkannya."

Margrave menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursi, matanya tetap tajam menatap cucunya. “Dan kau merasa kita harus berhadapan dengan Darius secara langsung, tanpa menunggu langkah-langkahnya yang lebih jauh?”

Davion menundukkan kepala sejenak, mengatur pikirannya sebelum menjawab dengan tegas. "Aku rasa kita harus segera ambil langkah. Terlalu banyak yang bergantung pada siapa yang bisa mendapatkan posisi terbaik di ibu kota. Jika kita menunggu terlalu lama, kita mungkin akan kehilangan kesempatan."

Margrave tersenyum tipis, senyum yang tak terlihat mengancam, namun mengandung peringatan yang dalam. “Kesempatan, ya? Tapi ingat, Davion, kesempatan bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Kita harus menunggu saat yang tepat, mengendalikannya dengan tenang. Terlalu cepat bergerak akan membuat kita kehilangan pijakan.”

Davion merasakan dorongan yang kuat untuk melawan, namun menahan diri. "Tapi Kakek... kita juga tidak bisa terlalu lambat. Keluarga Galina—terutama Athaleyah—mereka sudah mulai bergerak. Dan Viscount tentu tahu itu."

Margrave menatap cucunya, seolah menilai kembali kata-kata itu. “Athaleyah, memang. Kita tahu lebih banyak tentang mereka dibandingkan yang mereka kira. Tapi kau harus mengingat bahwa keluarga Galina adalah perangkap yang lebih rumit dari sekadar ambisi mereka. Mereka penuh dengan jebakan tersembunyi.”

Davion meluruskan duduknya, gelisah. "Dan Baron Galina? Dia hanya seorang pria pengecut dengan mulut besar, tapi—"

Margrave mengangkat tangan, memberi tanda agar Davion berhenti berbicara. “Baron Galina adalah alat. Tidak lebih dari itu. Darius menggunakan dia untuk menutupi langkah-langkahnya yang lebih besar, itu yang perlu kita waspadai. Tapi... Athaleyah, dia lebih dari sekadar alat. Kau benar-benar harus berhati-hati dengannya.”

Suara Margrave penuh dengan peringatan yang tak langsung. Ada ketegangan yang lebih dalam dari sekadar strategi—sebuah intuisi yang datang dari pengalaman panjang. Davion menelan ludah, merasakan cemas yang terpendam.

"Jadi... apa yang harus kita lakukan sekarang?" Davion akhirnya bertanya, suaranya lebih penuh tekad, namun masih terkesan terburu-buru.

Margrave menatap cucunya dengan mata yang hampir tak terbaca. "Kita tunggu... Tunggu langkah mereka yang terlalu percaya diri. Tapi saat itu datang, kita akan bergerak dengan kekuatan yang tak mereka duga."

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENJEMPUT ISTRIKU   085 Perjamuan 2

    **Bab 085 Perjamuan 2**Pengumuman resmi berkumandang, menggema di seluruh aula perjamuan yang telah dipenuhi aristokrat dari seluruh penjuru Xipil."Yang Mulia Ratu Silvia dan Yang Mulia Putra Mahkota Cavero memasuki aula perjamuan."Sekejap, semua perhatian tertuju ke arah pintu utama. Pembicaraan yang semula memenuhi ruangan sontak mereda. Para hadirin segera memberi salam dengan penuh hormat, beberapa membungkukkan badan, sementara yang lain hanya menundukkan kepala dengan elegan.Ratu Silvia melangkah dengan anggun, gaun mewahnya berkilauan di bawah cahaya chandelier. Senyum manis terukir di bibirnya, tetapi mata tajamnya menelusuri ruangan seperti seorang pemburu yang menilai keadaan sebelum bergerak. Di sisinya, Putra Mahkota Cavero berjalan dengan tenang, wajahnya tetap tegas dan penuh wibawa, berbeda dengan adik lain ibunya, Pangeran Davion, yang tampak tersenyum penuh percaya diri di samping Grand Duke Darram.Tak butuh waktu lama sebelum Darram dan sekutunya menghampiri."S

  • MENJEMPUT ISTRIKU   084 Perjamuan

    **Bab 084 Perjamuan**Aula istana bersinar di bawah cahaya ratusan lilin yang tergantung pada chandelier kristal raksasa. Musik gesekan biola dan dentingan piano mengalun lembut, menciptakan suasana yang tampak hangat tetapi sarat ketegangan tersembunyi. Para tamu mulai berdatangan, mengenakan pakaian terbaik mereka, menyapa satu sama lain dengan senyum penuh perhitungan.Kelompok aristokrat berkumpul dalam lingkaran-lingkaran kecil, masing-masing sibuk dengan kepentingan mereka sendiri."Duke Laurent tampaknya semakin berpengaruh tahun ini," bisik seorang Count dari wilayah barat. "Lihat saja bagaimana dia dikerumuni oleh para saudagar besar.""Tentu saja," sahut seorang Count dengan nada geli. "Pelabuhan barat tetap menjadi urat nadi perdagangan internasional Xipil. Siapa pun yang ingin bertahan dalam dunia bisnis di barat harus tetap berada di sisinya."Tak jauh dari mereka, kelompok para istri bangsawan juga sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri."Hei, Hugh Skythia malam ini dat

  • MENJEMPUT ISTRIKU   083 Rapat Tahunan 3

    **Bab 083 Rapat Tahunan 2**Ruangan kembali sunyi sejenak setelah pernyataan Vadim. Kata-katanya tidak menyudutkan secara langsung, tetapi cukup untuk membuat semua orang merenung.Cavero menatap Aldrich dengan ekspresi netral. "Saya ingin bertanya satu hal, Count Veraga. Jika selatan ingin diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri, strategi konkret apa yang Anda miliki untuk memastikan keadaan tidak akan terus seperti ini di tahun-tahun mendatang?"Aldrich terdiam. Ia jelas tidak menyangka pertanyaan itu akan langsung diarahkan kepadanya. Beberapa perwakilan selatan yang hadir tampak gelisah, menyadari bahwa jawaban yang diberikan bisa menentukan bagaimana mereka akan diperlakukan ke depannya.Laurent tersenyum tipis dan melirik Cavero. "Pertanyaan yang menarik. Jika selatan memang ingin mempertahankan otonominya, maka seharusnya ada solusi yang bisa mereka tawarkan. Saya kira kita semua di sini ingin mendengar itu."Aldrich menarik napas dalam. "Kami... kami sedang berupaya mening

  • MENJEMPUT ISTRIKU   082 Rapat Tahunan

    **Bab 082 Rapat Tahunan**Tegang menyelimuti para bangsawan selatan seketika itu juga ketika Cavero akhirnya menunjuk giliran mereka untuk tampil bersuara setelah diam hampir di sepanjang rapat.Cavero menatap Aldrich dengan penuh perhatian. Jawaban yang diberikan perwakilan selatan barusan tidak lebih dari pengakuan terselubung bahwa mereka memang tidak memiliki kendali penuh atas wilayah mereka sendiri. Beberapa peserta rapat mulai berbisik satu sama lain, tetapi tidak ada yang secara langsung menanggapi. Hingga akhirnya, suara Laurent terdengar di ruangan."Rumit, ya?" Laurent mengulangi kata-kata Veraga dengan nada datar. "Saya kira itu adalah penjelasan yang paling sering kita dengar dari faksi selatan setiap tahunnya. Tapi mungkin kali ini Anda bisa menjelaskan lebih rinci, Count Aldrich Veraga. Apa yang sebenarnya terjadi di wilayah Anda? Apakah ada ancaman nyata, atau ini hanya sekadar masalah ketidakmampuan untuk mengelola para aristokrat di sana?"Beberapa kepala menoleh ke

  • MENJEMPUT ISTRIKU   081 Dampak

    **Bab 081 Dampak****Di barak para prajurit**''Yang benar saja...'' ujar Kevin dengan nada kesal, matanya menyapu ruangan yang terasa begitu berat oleh ketegangan.''Apa? Baru datang dan langsung mengeluh...'' sahut Saihan, nada suaranya tajam, tak kalah kesal.''Justru itu! Setelah sebulan penuh berkutat dengan dokumen yang tidak ada habisnya, akhirnya aku punya waktu untuk mengunjungi kalian. Tapi... apakah separah ini?''''Kau mau mengeluh?''Kevin menghela napas panjang, menekan emosinya yang mulai mendidih. ''Duchess menghilang tanpa jejak selama satu bulan, dan penyelidikan yang dilakukan Grand Duke hingga bersitegang dengan Margrave tetap tidak menemukan apa pun. Apa ini masuk akal? Sejak kapan kualitas kita menurun seperti ini?''---FLASHBACK satu minggu yang lalu**Rapat Tahunan Kerajaan **Di aula megah istana kerajaan Xipil, para bangsawan terkemuka telah berkumpul untuk menghadiri rapat tahunan. Meja besar yang melingkar di tengah ruangan diisi oleh perwakilan dari berba

  • MENJEMPUT ISTRIKU   080 Kerja Sama

    **Bab 080 Kerja Sama**Siang itu, sinar matahari yang masuk melalui jendela besar ruang kerja Alwyn tidak cukup untuk menghangatkan suasana. Ketegangan memenuhi udara, seakan ruangan itu semakin sempit akibat amarah yang beradu."Tuan Alwyn!" suara Saihan meledak, penuh kemarahan. Ia berdiri di depan meja, tubuhnya menegang, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Jangan bercanda denganku!"Alwyn yang duduk di balik meja hanya mengangkat sebelah alisnya, tetap tenang menghadapi luapan emosi di hadapannya. "Apa aku tampak sedang bermain-main?" suaranya datar, tajam, dan tanpa keraguan."Aku tidak peduli jika Anda mengirimku ke mana pun," tukas Saihan cepat, nadanya penuh penolakan, "tapi kenapa harus bersamanya?"Alwyn menyandarkan punggungnya ke kursi, menautkan jemarinya di atas meja. "Karena dia tahu seluk-beluk Nauruan.""Aku juga!" sahut Saihan, suaranya meninggi. "Jangan lupa, aku lahir dan besar di Nauruan!""Di jalanan, Saihan Malaken." Alwyn menekankan namanya dengan nada

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status