**Bab 006: Keputusan**
Semua persiapan pun dilakukan dengan cekatan untuk perjalanan ke pusat kota. Keluarga Galina, yang terbiasa hidup mandiri, sudah sangat mengerti dengan peran dan tugas masing-masing. Ketika Ash dan Ay pergi, pekerjaan di rumah menjadi dua kali lipat lebih berat bagi mereka yang ditinggalkan. Tanpa dua tenaga utama keluarga, segala sesuatu harus diselesaikan dengan lebih cepat dan efisien. Jika segala sesuatunya berjalan lancar, Ash dan Ay diperkirakan akan kembali dalam dua minggu, setelah menyelesaikan perjalanan pulang pergi dan menjual barang dagangan mereka. Karena itu, mereka yang tertinggal di rumah harus menggantikan beban yang hilang, bekerja lebih keras dari biasanya.
Setiap kali berjualan ke pusat kota, penduduk gurun selalu melakukan konvoi demi alasan keamanan. Ash biasanya bergabung dengan beberapa warga dari desa tetangga yang juga membawa barang dagangan atau sekadar membeli kebutuhan di pusat kota Nauruan. Bahaya dari para bandit yang bersembunyi di perbatasan hutan menjadi ancaman nyata, memaksa warga untuk selalu waspada. Penduduk gurun ini sudah terbiasa mengatur waktu mereka agar bisa berangkat bersama dalam kelompok besar. Mereka berangkat dalam konvoi yang terdiri dari delapan desa lain, yang menghuni sembilan oase di wilayah gurun pasir dan sabana Caihina, semuanya masih termasuk dalam wilayah milik Nauruan.
---
**Pusat Kota Nauruan**
Ash dan Ay tiba di pusat kota Nauruan setelah perjalanan panjang bersama rombongan konvoi. Kota itu ramai seperti biasa, dengan pedagang yang memanggil pelanggan, suara lonceng yang sesekali terdengar di alun-alun, dan hiruk-pikuk orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Aroma rempah dan debu bercampur di udara, menciptakan atmosfer khas kota dagang yang penuh pergerakan. Namun, bagi Ash, perjalanan kali ini bukan hanya soal menjual barang dagangan—ada beban yang jauh lebih berat menekan pikirannya.
Sejak pagi, ia dan Ay telah menyebar ke beberapa sudut pasar untuk menggali informasi tentang Grand Duke Griffith, sosok yang bisa saja menjadi menantu keluarga mereka. Namun, semakin banyak mereka mendengar, semakin gelap bayangan pria itu di benaknya.
"Grand Duke Griffith? Jangan pernah main-main dengannya," ujar salah satu pedagang dengan nada rendah, seolah takut ada yang mendengar. "Dia itu pria besi. Hatinya sudah beku sejak lama. Tidak ada belas kasihan bagi mereka yang melawannya."
"Mereka bilang," sambung seorang wanita tua yang menjual kain, "dia merebut Alpen dengan darah. Tidak ada yang bisa menantangnya, bahkan keluarga kerajaan sekalipun lebih memilih bekerja sama dengannya daripada menentang kehendaknya."
Rumor demi rumor mengalir seperti racun di telinga mereka. Ay, yang berdiri di dekat Ash, mendengarkan semuanya dengan ekspresi yang semakin suram. Ia mengepalkan tangan, seolah menahan diri untuk tidak meledak.
Saat mereka akhirnya beristirahat di sebuah kedai kecil di sudut kota, Ay tak bisa lagi menahan gejolak di hatinya. Ia meletakkan gelas minumnya dengan kasar ke atas meja, suaranya hampir bergetar saat berbicara.
"Ayah, apa benar dia itu... calon kakak iparku? Orang tua bangka yang kejam itu?"
Ash mendesah berat. Ia tahu percakapan ini tak bisa dihindari. "Itu hanya rumor, Ay. Kita tidak tahu pasti bagaimana dia sebenarnya."
"Rumor? Ayah, aku tahu ayah juga tidak percaya semua itu hanya cerita kosong!" Ay membanting tangannya ke meja, membuat beberapa pelanggan di sekitar mereka menoleh. "Kakakku bukan barang dagangan, Ayah! Dia manusia, bukan sesuatu yang bisa ditukar demi nama baik atau gelar!"
"Jaga bicaramu, Ay!" hardik Ash, suaranya sekeras cambuk yang menghentikan amarah putranya sejenak. "Aku tahu betul apa yang kau rasakan! Kau pikir aku ini bodoh?! Sebelum dia kakakmu, dia adalah putriku. Apa kau pikir aku rela menyerahkan Atthy pada pria seperti itu?!"
Kedua lelaki itu saling menatap, mata mereka penuh kemarahan, tapi juga kegelisahan yang sama. Ay masih muda, emosinya meledak-ledak. Sementara Ash, yang telah mengarungi lebih banyak badai dalam hidupnya, mencoba mencari jalan keluar tanpa terbawa oleh amarah.
Ay menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Ayah, aku tidak peduli dengan gelarnya, bahkan jika dia seorang raja sekalipun. Aku tidak rela kakakku dijadikan tumbal ambisi bangsawan busuk." Suaranya lebih tenang sekarang, tapi tekadnya jelas terpahat dalam setiap kata. "Tolak lamaran itu, Ayah. Aku mohon."
Ash menatap putranya dalam-dalam. Ada rasa bangga yang sulit dijelaskan melihat keberanian Ay untuk berbicara seperti itu. Tapi di sisi lain, ia juga tahu, dunia tidak sesederhana itu. Setiap keputusan memiliki konsekuensi, dan ini bukanlah pertarungan yang bisa dimenangkan hanya dengan penolakan semata.
Setelah menarik napas panjang, Ash meletakkan tangannya di bahu Ay dan berkata, "Dengarkan aku, Ay. Kita sedang bermain dalam dunia yang penuh intrik. Aku bukan hanya ayahmu, tapi juga kepala keluarga ini. Setiap keputusan harus kupikirkan matang-matang, bukan hanya untuk Atthy, tapi untuk kalian semua. Jangan pernah berpikir aku akan menyerahkan keluargaku tanpa perlawanan."
Ay terdiam, matanya masih menyimpan bara kemarahan, tapi kini disertai dengan pemahaman yang lebih dalam. Dengan raut menyesal, ia berkata, "Maaf, Ayah. Aku tadi terlalu emosi. Aku tahu Ayah hanya ingin yang terbaik untuk kita."
Ash tersenyum tipis. Tangannya terulur, mengusap kepala putranya dengan lembut. "Aku bangga padamu, Ay. Kau masih muda, tapi keberanianmu untuk melindungi keluargamu sudah lebih besar dari pria dewasa. Kakekmu pasti akan bangga melihatmu seperti ini."
Ay menunduk, wajahnya memerah karena malu. "Terima kasih, Ayah."
Namun, di balik percakapan ini, Ash tahu ancaman Grand Duke Griffith tidak bisa diabaikan begitu saja. Apa pun yang terjadi, ia harus memastikan Atthy tidak menjadi korban pernikahan politik ini.
---
Beberapa hari kemudian
---
Ash berdiri di ruang tamu sederhana mereka, tatapannya menembus kaca jendela yang dipenuhi embun pagi. Suasana sunyi, hanya suara kayu yang berderak di perapian kecil di sudut ruangan. Ia baru saja selesai memaparkan hitungannya kepada Rowt, mengungkap kecurigaan yang terus menghantuinya sejak menerima kabar tentang utusan dari Alpen.
"Ayah, ini tidak masuk akal." Ash berbalik menatap Rowt yang duduk santai di kursi kayu. "Seharusnya, berdasarkan perjalanan surat dan logistik, utusan mereka tak mungkin tiba secepat ini. Tapi nyatanya, mereka lebih cepat dua belas hari dari perkiraan."
Rowt mendongak, menggaruk jenggotnya yang mulai memutih. "Kau benar. Tapi untuk apa mereka tergesa-gesa?"
"Itu juga yang kupikirkan!" Ash mulai kehilangan kesabaran. "Ayah, ini terasa seperti jebakan. Seolah semuanya sudah dirancang sejak awal."
Rowt mendengus, seolah tak terkesan dengan kegelisahan Ash. "Tentu saja semuanya dirancang. Ini lamaran pernikahan, anak bodoh. Apa kau pikir mereka akan melakukan ini secara sembarangan?"
"Ayah!" Ash membentak, wajahnya merah padam. "Aku serius! Jangan main-main dengan ini! Ini menyangkut masa depan putriku, masa depan Atthy!"
Rowt, bukannya terganggu, justru tersenyum kecil sambil mengangkat alis. "Dan kau pikir aku tidak serius? Jangan terlalu banyak mengoceh, Ashton Galina. Emosimu itu seperti pedang tumpul—hanya membuatmu terlihat lemah."
Ash mengepalkan tangannya, berusaha menahan amarah. "Kau tampaknya menikmatinya, Ayah. Tapi aku tidak punya waktu untuk bercanda. Kita harus memikirkan langkah selanjutnya."
Rowt mendengus pelan. "Langkah apa? Kau sendiri yang bilang bahwa kita tidak mungkin menghentikan utusan mereka di tengah jalan. Kau mau melawan Grand Duke Griffith? Kita ini cuma keluarga kecil yang bahkan tidak dianggap di kalangan bangsawan! Tidak ada jalan lain, Ash, selain menghadapi mereka saat mereka tiba."
Ash membuang napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tahu itu. Tapi apa kau tidak merasa ada sesuatu yang tidak beres? Untuk apa mereka memaksakan lamaran ini? Kita tidak punya kekuatan, tidak punya harta. Apa yang mereka inginkan dari kita?"
Rowt mengangkat bahu. "Mungkin mereka ingin keturunan."
Ash memutar bola matanya, ekspresinya menunjukkan betapa tidak masuk akalnya pernyataan itu. "Ayah, dia punya empat anak laki-laki dan dua cucu. Kalau dia ingin keturunan, ada banyak wanita bangsawan lain yang akan rela berbaris untuk menjadi istrinya, meski dia sudah bau tanah seperti kau."
Rowt tidak terganggu oleh ejekan Ash. Ia hanya menyeringai kecil. "Kau benar. Tapi bagaimana kalau ada alasan lain?"
"Alasan lain?" Ash menyipitkan matanya, mencoba memahami maksud ayahnya.
"Ya," jawab Rowtag sambil mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kau yakin tidak ada yang bermasalah dalam masa lalumu? Tidak ada musuh yang mungkin mencoba mengincar keluarga kita? Atau... mungkin sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"
Ash mendengus keras, nadanya sarkastik. "Tentu saja aku punya banyak musuh, Ayah. Bandit yang suka menghadang di perbatasan, para preman pasar yang tidak tahu diri yang selalu mencoba menggoda putriku, atau bahkan wanita-wanita yang tidak bisa menerima penolakanku. Kau tahu, aku pria yang cukup menarik."
Rowt memutar matanya, jelas tak terhibur oleh humor Ash. "Ashton Galina! Sudah cukup dengan omong kosongmu. Aku tidak tertarik mendengarmu membanggakan diri!"
"Kau yang bertanya," balas Ash santai, meski ekspresinya tetap serius. "Dan untuk jawabanmu, aku tidak tahu. Aku tidak punya musuh yang cukup gila untuk mengatur semua ini. Lagipula, pernikahan ini lebih menguntungkan daripada menghancurkan kita. Kalau Atthy sampai menjadi istri Grand Duke Griffith dan berhasil mendapatkan posisinya, bukankah itu malah merugikan mereka?"
Rowt terdiam, merenungkan kata-kata Ash. Setelah beberapa saat, ia mendesah. "Kau benar. Tapi itu tetap tidak menjelaskan kenapa semua ini terjadi. Dan sekarang, masalah terbesarnya adalah bagaimana kita akan menghadapi utusan mereka yang akan tiba dalam waktu sepuluh hari."
Ash mengangguk. "Tak ada pilihan. Kita harus menerima mereka dengan hormat. Meski aku tahu, ini hanya akan membawa lebih banyak masalah."
---
---
Ash dan Rowt akhirnya terpaksa menceritakan seluruh perkara yang sedang mereka hadapi kepada Atthy dan Ay. Mereka menyadari bahwa kedua anak itu, cepat atau lambat, akan menyadari adanya masalah dan pasti tidak akan tinggal diam. Hanya Gafy dan Dimi yang tidak dilibatkan karena usia mereka yang masih terlalu kecil.
Malam itu, Atthy menemukan Ay yang sedang termenung di atas atap rumah. Tubuhnya merebah santai, pandangannya lurus ke langit malam yang penuh bintang.
"Atthy, apa yang kau lakukan di sini?" gumam Ay tanpa menoleh, menyadari kehadiran kakaknya.
Atthy mengabaikan pertanyaan itu dan ikut duduk di samping Ay. Ia mengikuti arah pandangan adiknya, menatap luasnya langit yang tampak begitu tenang, kontras dengan pikiran mereka yang kacau.
"Ay, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Atthy lembut.
"Tidak ada," jawab Ay singkat. Suaranya terdengar datar, tapi jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Aku hanya mengagumi betapa luasnya angkasa..."
Atthy mendesah pelan. Ia mengenal Ay terlalu baik untuk menerima jawaban itu. "Ay, aku sudah mengasuhmu sejak kau masih kecil. Jangan coba-coba menyembunyikan apa pun dariku," ujarnya sambil menyentil dahi Ay dengan gemas.
Ay memegangi dahinya, mendengus kesal. "Kak, alasan terbesar kenapa kau akhirnya menyetujui lamaran itu adalah karena bujukan Gafy... Apa kau yakin akan menikahi bandot tua itu?" tanyanya tiba-tiba, menatap Atthy dengan tajam.
"Ay, perhatikan cara bicaramu!" tegur Atthy tegas, matanya memandang Ay dengan serius. "Ayah akan sangat marah jika mendengar kau berkata tidak sopan seperti itu."
Namun Ay tidak mundur. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke langit, wajahnya menyiratkan keraguan yang mendalam. "Aku hanya tidak mengerti, Kak... Kenapa harus kita? Kenapa kau harus menerima semua ini?"
Atthy terdiam, tidak langsung menjawab. Angin malam yang sejuk terasa begitu dingin, membawa keheningan yang semakin menekan.
Atthy menatap Ay dengan tatapan tajam, namun dengan lembut dia membelai kepala Ay, menenangkan emosi adiknya yang meluap.
''Ay, sebagai bangsawan, kita diajarkan untuk menjaga perilaku dan kata-kata. Meskipun kita tidak mendapat pendidikan formal, orang tua kita, Ash dan Laura, sudah mengajarkan kita dengan baik. Kata-kata kasar tidak seharusnya keluar dari mulut kita, terutama di hadapan bangsawan, apalagi yang berkedudukan tinggi seperti mereka. Perilaku buruk bisa berujung pada konsekuensi berat jika ada petugas yang mendengarnya,'' ujar Atthy, suaranya rendah namun tegas.
Ay menunduk, menghela napas panjang. "Maaf, Kak," jawabnya dengan senyum kecil, "Aku kesal. Kita sudah jelas menolaknya, tapi kenapa mereka tetap mengirim utusan untuk menjemputmu?"
Atthy menatap Ay dengan tatapan menggoda, "Kau mencemaskanku?"
Ay memutar matanya dengan kesal, "Kakak serius menanyakan itu?" jawabnya dengan nada tinggi, lalu melanjutkan, "Athaleyah Galina adalah kakakku. Bagaimana aku, Aydan Galina, adikmu ini tidak mencemaskannya?"
Atthy tertawa kecil, menahan geli saat mendengar ketegasan Ay. "Hehehe... Aku tahu, kalian semua sangat menyayangiku, aku mengerti..."
Ay menggigit bibirnya, masih kesal, namun tidak bisa menahan kasih sayangnya terhadap kakaknya. "Makanya jangan tertawa seperti itu, seolah tidak ada yang salah!" katanya, namun masih ada kelembutan dalam nada suaranya. "Kenapa sikap Kakak sama seperti Kakek? Yang selalu santai dalam setiap situasi?" Ay menatap Atthy dengan ekspresi memelas, lalu melanjutkan, "Aku sangat cemas, Kak. Kita ini hanya keluarga bangsawan rendah yang bahkan tidak dikenal di kalangan aristokrat. Bagaimana kita bisa menghadapi seorang Grand Duke yang punya kekuasaan besar dan didukung oleh kerajaan?"
Atthy tersenyum, masih mencoba meredakan ketegangan dengan cara bercanda. "Lalu, siapa yang dengan lantang bilang, 'Tidak peduli dengan kedudukannya, walau dia seorang Grand Duke sekalipun...'?" Atthy menyelipkan sedikit sindiran, menggoda Ay yang masih terlihat tegang. "Bukankah itu adik kecilku yang manis yang akan melindungi kakaknya dari pernikahan dengan bandot tua yang sudah bau tanah?"
Ay tersipu, wajahnya memerah, tapi tetap melotot ke arah Atthy yang sedang menggodanya. "Itu karena aku emosi saat itu..." jawabnya sambil menggosok hidungnya, merasa canggung dengan kata-kata kakaknya. "Dan perhatikan kata-katamu, itu kasar!" Ay menegur kakaknya dengan nada serius, meski matanya masih menyimpan rasa sayang.
Atthy tidak bergeming, tersenyum lebar, menikmati momen ini. "Lalu, bagaimana sekarang?" tanyanya dengan ekspresi setengah bercanda, setengah serius, seperti biasa.
Ay tidak langsung menjawab. Wajahnya yang awalnya ceria kini berubah serius. "Aku masih tidak akan merelakanmu!" jawabnya dengan tegas, namun nada suaranya sedikit melembut. "Tapi aku juga tidak bodoh. Aku tahu kalau menentang bangsawan tinggi seperti itu ada risikonya, Kak. Itu soal berani dan nekat. Kita tidak bisa sembrono. Aku tahu Kakek masih gagah, tapi tidak bisa menutup kenyataan bahwa dia sudah tidak muda lagi. Gafy, kita semua tahu, dia juga berusaha dengan caranya sendiri agar tidak terlalu merepotkan kita meski tubuhnya lemah. Dimi, dia masih bocah, terlalu polos untuk memahami ini."
Ay memandang Atthy dengan serius. "Apa kita sanggup menghadapi Grand Duke yang disegani bahkan oleh keluarga kerajaan?"
Atthy diam sejenak, memandang Ay dalam diam, meresapi kata-kata adiknya. Meskipun Ay mengaku takut, tatapan matanya tetap tajam, penuh tekad dan keberanian. Atthy menyadari, meskipun ada kekhawatiran, Ay tidak akan mundur begitu saja. Ia siap menghadapi apa pun demi keluarga mereka.
Atthy mengangguk pelan, sebuah senyuman lembut menyapanya. "Aku tahu, Ay... kita akan menghadapi ini bersama."
Atthy memandang Ay dengan tatapan penuh kehangatan. Meskipun ada rasa bangga, nada suaranya tetap serius. "Kau sudah dewasa, Ay. Aku tahu kau sangat menyayangiku, tapi ingat, emosi tidak akan menyelesaikan masalah. Jika nanti situasi tidak dapat dikendalikan, kau harus tetap tenang dan ingat tanggung jawabmu sebagai seorang pria dalam keluarga kita."
Ay terdiam sejenak, meresapi perkataan kakaknya. Namun, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berbicara. "Kakak... Aku..." Ay menatap kakaknya dengan mata penuh kemarahan, "Jangan bicara seperti itu! Jangan bicara tentang pernikahan dengan orang itu, seorang bandot tua itu! Aku tidak bisa menerima itu!"
Atthy tersenyum lembut, namun senyum itu mengandung kehangatan yang hanya dimiliki seorang kakak yang tahu betapa besar perhatian adiknya. Matanya tampak penuh penyesalan. "Aku tahu kau cemas," ujarnya dengan pelan, "tapi kita harus berpikir lebih jauh. Anggap saja ini keberuntungan. Mungkin dengan aku menikah dengannya, kehidupan Gafy dan Dimi akan lebih baik. Mereka akan mendapatkan kesempatan yang lebih layak."
"Apa Kakak gila?!" Ay memotong, wajahnya memerah karena marah. "Bukan 'mungkin', itu sangat buruk, Kak! Aku tidak peduli apa alasanmu!"
Atthy mengangguk, tanda bahwa dia menghargai pendapat Ay meski berbeda. "Iya, iya, baiklah... sangat buruk, puas?" kata Atthy sambil tersenyum santai, meskipun jelas dia tahu perasaan Ay.
Ay memutar matanya kesal, namun hatinya tetap penuh kasih untuk kakaknya. "Jangan coba-coba membujukku dengan cara seperti itu," ujarnya tegas. "Aku tahu kamu punya alasan, tapi itu tidak bisa diterima begitu saja."
Atthy tidak marah, justru ia memandang Ay dengan lembut. "Kesampingkan dulu sisi negatif dari masalah ini, Ay. Mari kita pikirkan dampak positifnya." Ia berhenti sejenak, menatap langit malam yang gelap. "Ay, mungkin pada generasi ayah kita, dia gagal memperbaiki kedudukan keluarga ini. Tapi aku berharap, dengan aku menyetujui pernikahan ini, Dimi bisa menikmati pendidikan di akademi, seperti yang ayah inginkan. Dan aku ingin Gafy bisa meraih impian-impiannya, bisa melihat dunia lebih luas."
Ay ingin menyela, tetapi dia tahu kakaknya berbicara dengan hati. Meskipun hatinya berat, Ay menyadari bahwa dia tidak memiliki kekuatan untuk mengubah keadaan, setidaknya saat ini. Ia hanya bisa mendengarkan.
Atthy melanjutkan, suaranya lembut, "Maafkan aku, Ay. Aku tahu kemampuanmu luar biasa, kau sangat pintar dan berbakat. Tapi, sayangnya, keadaan kita tidak memungkinkanmu untuk mendapatkan pendidikan yang layak di akademi."
Ay menatap kakaknya dengan tatapan penuh semangat, "Kak, aku tahu kamu dan ayah serta kakek bekerja keras untuk kami. Aku memang sedih karena tidak bisa mengenyam pendidikan formal, tapi sama seperti kamu, aku akan berusaha agar Dimi tidak berakhir seperti aku."
Ia menatap Atthy dengan tegas, "Jadi tolong, Kak, lupakan pemikiranmu untuk menikahi pria itu hanya demi hal sepele seperti itu."
Atthy terdiam, meskipun wajahnya tetap serius. "Pendidikan untuk Dimi, kehidupan yang lebih baik untuk Gafy, itu bukan hal sepele, Ay."
"Itu sepele, Kak?!" Ay menatap kakaknya dengan mata penuh tekad. "Terlalu mahal jika itu mengorbankan masa depanmu meski itu untuk mereka! Kakak, sungguh aku sangat tidak menyukainya!" Ay berbicara dengan suara lantang, tidak lagi menahan amarahnya. "Kakak tidak mempercayai kami? Tidak mempercayai kemampuanku untuk berjuang bersama?"
Atthy menatap Ay dengan mata penuh penyesalan. "Ay..."
Ay menatap Atthy dengan serius, matanya penuh tekad. "Jika begitu, bersabarlah. Jangan terburu-buru. Kita akan berusaha bersama. Masih ada tiga tahun lagi sebelum Dimi bisa mengikuti ujian masuk ke akademi kerajaan."
Atthy tersenyum kecil, meskipun hatinya penuh keraguan. "Ya, masih tiga tahun. Kita akan berusaha sama-sama," jawabnya pelan, sedikit mengangguk.
Ay menatap langit malam yang gelap, berharap bahwa masa depan mereka akan lebih cerah. "Setidaknya gelar kakek kita tidak hanya akan berakhir di atas kertas. Aku berharap Dimi bisa mewujudkannya."
"Semoga saja," jawab Atthy, senyum kecil kembali muncul di bibirnya, meski masih ada beban di dalam hatinya.
---
**Bab 099 Julius Amshel**Kerumunan di stasiun Nauruan tetap ramai, namun kehadiran seorang pria berseragam militer di antara mereka perlahan menciptakan ruang kosong di sekitarnya.Tatapan Julius Amshel begitu dominan.Sosoknya tegak dan berwibawa, mantel militernya menjuntai sempurna tanpa ada satu pun lipatan yang tidak pada tempatnya. Dia tidak tergesa-gesa, tetapi tatapannya menuntut perhatian.Saat matanya menangkap sosok yang dicarinya, bibirnya menyunggingkan senyum tipis, bukan kehangatan, melainkan otoritas."Lady Athaleyah."Athaleyah, yang tengah berjalan bersama Saihan dan Kevin, segera berhenti.Sesaat, matanya membesar karena terkejut, tetapi hampir seketika juga ia kembali tenang, menyembunyikan reaksinya di balik ekspresi lembut yang tak terbaca.Dari sudut matanya, Saihan dan Kevin bertukar pandang s
**Bab 098 Kedengkian Seorang Wanita**Hanya tiga stasiun lagi sebelum kereta mencapai Nauruan. Perjalanan panjang mereka hampir berakhir. Besok pagi, mereka akan tiba di stasiun utama Nauruan, mengakhiri perjalanan yang penuh ketegangan terselubung dan pertemuan tak terduga.Saat kereta berhenti di Stasiun Velgrad, salah satu persinggahan terakhir sebelum perbatasan Nauruan, para penumpang turun untuk meregangkan tubuh atau mencari makanan. Seperti biasa, Athaleyah memilih duduk di salah satu kedai kecil, menikmati secangkir kopi sambil membaca koran.Ketenangan sesaat itu kembali terusik."Hei."Suara yang akrab itu terdengar di sampingnya. Tanpa perlu menoleh, Athaleyah sudah tahu siapa yang datang. Adrian Velmore.Dia tidak bergerak, hanya melirik sekilas dari sudut matanya sebelum kembali menatap lembaran koran. Sejak pertemuan pertama mereka beberapa har
**Bab 097 Memancing di Air Keruh**Setelah percakapan dengan Adrian dan Casandra berakhir, Athaleyah dengan tenang melangkah kembali ke kompartemen mereka. Saihan dan Kevin sudah lebih dulu berjalan di depannya, tidak memberikan komentar apa pun tentang interaksi yang baru saja terjadi di ruang tunggu Stasiun Grevin.Saat mereka memasuki kompartemen, Kevin duduk lebih dulu dengan santai, menyandarkan kepalanya pada dinding gerbong sambil menghela napas panjang. "Akhirnya, kita bisa kembali duduk dengan tenang. Aku tidak mengira kita harus berhenti selama ini hanya karena longsoran salju."Saihan tetap diam, memilih untuk duduk di dekat jendela, menatap pemandangan bersalju yang mulai bergerak perlahan saat kereta kembali berjalan. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, seakan tidak tertarik dengan percakapan sebelumnya maupun kondisi perjalanan mereka.Athaleyah mengambil tempat duduk di sebera
**Bab 096 Pertemuan**Saat menunggu keberangkatan kembali di Stasiun Grevin, Athaleyah duduk dengan anggun di salah satu kursi kayu yang berjejer di ruang tunggu kelas atas. Matanya menatap jendela besar yang memperlihatkan hamparan salju di luar, seakan menikmati ketenangan sebelum perjalanan kembali berlanjut. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama."Athaleyah?"Sebuah suara yang akrab namun membawa kenangan masa lalu menyapanya. Athaleyah menoleh dan mendapati seorang pria berpenampilan rapi berdiri di hadapannya. Rambut hitamnya tertata dengan sempurna, mantel panjang berwarna gelap membungkus tubuhnya dengan kesan aristokrat yang khas."Adrian Velmore," jawab Athaleyah dengan senyum tipis, menampilkan kesopanan yang terlatih.Adrian menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ada keterkejutan, ada rasa penasaran, dan ada sesuatu yang lebih dalam di balik sorot matany
**Bab 095 Syal**Udara di ruang kerja Hugh berat oleh kelelahan yang tidak diucapkan. Matahari musim dingin menyusup pelan melalui celah jendela tinggi, memantulkan bayangan panjang di atas lantai batu. Di belakang meja kayu besar, Hugh duduk membungkuk sedikit, tangan kirinya menopang pelipis, sementara tangan kanan menelusuri dokumen dengan gerakan lambat, nyaris malas. Bukan karena ia lengah, tapi karena pikirannya sudah jauh melampaui tinta dan lembaran-lembaran kertas itu.Di hadapannya, Alwyn berdiri seperti biasa, ramping, rapi, tak tergoyahkan. Sementara di samping Alwyn, Helena berdiri dengan sikap tenang, namun matanya mengamati Duke muda itu dengan kecemasan yang tak ia tunjukkan secara terang-terangan."Helena, ini saja yang kita dapatkan?" tanya Hugh. Suaranya tidak keras, tapi cukup untuk menghentikan detak jarum jam di ruangan itu."Ya, Tuanku," jawab Helena pelan, tapi mantap. "Tuan A
**Bab 094 Kekhawatiran**Senja di Kedai MegravUdara di luar kedai membeku hingga menusuk tulang. Tapi di dalam, hangatnya api dari tungku, aroma seduhan herbal, dan suara kayu yang berderak menciptakan suasana yang nyaris nyaman. Langit di luar berwarna jingga pekat saat pintu kayu berat itu terbuka, dan Marek melangkah masuk, mengguncang salju dari ujung mantel bulunya.Beberapa kepala mendongak. Pengembara hanya melirik sekilas, tapi para penduduk asli Megrav yang mengenalnya langsung menyapa dengan senyum ramah.''Selamat sore, Ibu Marek!'' seru Pak Rollo, tukang sepatu tua yang duduk di pojok bersama istrinya.''Ah, sore, Pak Rollo. Kau masih ingat janjimu untuk memperbaiki sepatu suamiku?'' balas Marek dengan senyum kecil.Rollo terkekeh. ''Tentu saja. Tapi beliau jarang di desa akhir-akhir ini. Terlalu sering mengurus para prajurit yang nyasar!''