Home / Romansa / MENJEMPUT ISTRIKU / 006 Keputusan

Share

006 Keputusan

Author: Wolfy
last update Last Updated: 2024-11-01 19:03:11

**Bab 006: Keputusan**

Semua persiapan pun dilakukan dengan cekatan untuk perjalanan ke pusat kota. Keluarga Galina, yang terbiasa hidup mandiri, sudah sangat mengerti dengan peran dan tugas masing-masing. Ketika Ash dan Ay pergi, pekerjaan di rumah menjadi dua kali lipat lebih berat bagi mereka yang ditinggalkan. Tanpa dua tenaga utama keluarga, segala sesuatu harus diselesaikan dengan lebih cepat dan efisien. Jika segala sesuatunya berjalan lancar, Ash dan Ay diperkirakan akan kembali dalam dua minggu, setelah menyelesaikan perjalanan pulang pergi dan menjual barang dagangan mereka. Karena itu, mereka yang tertinggal di rumah harus menggantikan beban yang hilang, bekerja lebih keras dari biasanya.

Setiap kali berjualan ke pusat kota, penduduk gurun selalu melakukan konvoi demi alasan keamanan. Ash biasanya bergabung dengan beberapa warga dari desa tetangga yang juga membawa barang dagangan atau sekadar membeli kebutuhan di pusat kota Nauruan. Bahaya dari para bandit yang bersembunyi di perbatasan hutan menjadi ancaman nyata, memaksa warga untuk selalu waspada. Penduduk gurun ini sudah terbiasa mengatur waktu mereka agar bisa berangkat bersama dalam kelompok besar. Mereka berangkat dalam konvoi yang terdiri dari delapan desa lain, yang menghuni sembilan oase di wilayah gurun pasir dan sabana Caihina, semuanya masih termasuk dalam wilayah milik Nauruan.

---

**Pusat Kota Nauruan**

Ash dan Ay tiba di pusat kota Nauruan setelah perjalanan panjang bersama rombongan konvoi. Kota itu ramai seperti biasa, dengan pedagang yang memanggil pelanggan, suara lonceng yang sesekali terdengar di alun-alun, dan hiruk-pikuk orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Aroma rempah dan debu bercampur di udara, menciptakan atmosfer khas kota dagang yang penuh pergerakan. Namun, bagi Ash, perjalanan kali ini bukan hanya soal menjual barang dagangan—ada beban yang jauh lebih berat menekan pikirannya.

Sejak pagi, ia dan Ay telah menyebar ke beberapa sudut pasar untuk menggali informasi tentang Grand Duke Griffith, sosok yang bisa saja menjadi menantu keluarga mereka. Namun, semakin banyak mereka mendengar, semakin gelap bayangan pria itu di benaknya.

"Grand Duke Griffith? Jangan pernah main-main dengannya," ujar salah satu pedagang dengan nada rendah, seolah takut ada yang mendengar. "Dia itu pria besi. Hatinya sudah beku sejak lama. Tidak ada belas kasihan bagi mereka yang melawannya."

"Mereka bilang," sambung seorang wanita tua yang menjual kain, "dia merebut Alpen dengan darah. Tidak ada yang bisa menantangnya, bahkan keluarga kerajaan sekalipun lebih memilih bekerja sama dengannya daripada menentang kehendaknya."

Rumor demi rumor mengalir seperti racun di telinga mereka. Ay, yang berdiri di dekat Ash, mendengarkan semuanya dengan ekspresi yang semakin suram. Ia mengepalkan tangan, seolah menahan diri untuk tidak meledak.

Saat mereka akhirnya beristirahat di sebuah kedai kecil di sudut kota, Ay tak bisa lagi menahan gejolak di hatinya. Ia meletakkan gelas minumnya dengan kasar ke atas meja, suaranya hampir bergetar saat berbicara.

"Ayah, apa benar dia itu... calon kakak iparku? Orang tua bangka yang kejam itu?"

Ash mendesah berat. Ia tahu percakapan ini tak bisa dihindari. "Itu hanya rumor, Ay. Kita tidak tahu pasti bagaimana dia sebenarnya."

"Rumor? Ayah, aku tahu ayah juga tidak percaya semua itu hanya cerita kosong!" Ay membanting tangannya ke meja, membuat beberapa pelanggan di sekitar mereka menoleh. "Kakakku bukan barang dagangan, Ayah! Dia manusia, bukan sesuatu yang bisa ditukar demi nama baik atau gelar!"

"Jaga bicaramu, Ay!" hardik Ash, suaranya sekeras cambuk yang menghentikan amarah putranya sejenak. "Aku tahu betul apa yang kau rasakan! Kau pikir aku ini bodoh?! Sebelum dia kakakmu, dia adalah putriku. Apa kau pikir aku rela menyerahkan Atthy pada pria seperti itu?!"

Kedua lelaki itu saling menatap, mata mereka penuh kemarahan, tapi juga kegelisahan yang sama. Ay masih muda, emosinya meledak-ledak. Sementara Ash, yang telah mengarungi lebih banyak badai dalam hidupnya, mencoba mencari jalan keluar tanpa terbawa oleh amarah.

Ay menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Ayah, aku tidak peduli dengan gelarnya, bahkan jika dia seorang raja sekalipun. Aku tidak rela kakakku dijadikan tumbal ambisi bangsawan busuk." Suaranya lebih tenang sekarang, tapi tekadnya jelas terpahat dalam setiap kata. "Tolak lamaran itu, Ayah. Aku mohon."

Ash menatap putranya dalam-dalam. Ada rasa bangga yang sulit dijelaskan melihat keberanian Ay untuk berbicara seperti itu. Tapi di sisi lain, ia juga tahu, dunia tidak sesederhana itu. Setiap keputusan memiliki konsekuensi, dan ini bukanlah pertarungan yang bisa dimenangkan hanya dengan penolakan semata.

Setelah menarik napas panjang, Ash meletakkan tangannya di bahu Ay dan berkata, "Dengarkan aku, Ay. Kita sedang bermain dalam dunia yang penuh intrik. Aku bukan hanya ayahmu, tapi juga kepala keluarga ini. Setiap keputusan harus kupikirkan matang-matang, bukan hanya untuk Atthy, tapi untuk kalian semua. Jangan pernah berpikir aku akan menyerahkan keluargaku tanpa perlawanan."

Ay terdiam, matanya masih menyimpan bara kemarahan, tapi kini disertai dengan pemahaman yang lebih dalam. Dengan raut menyesal, ia berkata, "Maaf, Ayah. Aku tadi terlalu emosi. Aku tahu Ayah hanya ingin yang terbaik untuk kita."

Ash tersenyum tipis. Tangannya terulur, mengusap kepala putranya dengan lembut. "Aku bangga padamu, Ay. Kau masih muda, tapi keberanianmu untuk melindungi keluargamu sudah lebih besar dari pria dewasa. Kakekmu pasti akan bangga melihatmu seperti ini."

Ay menunduk, wajahnya memerah karena malu. "Terima kasih, Ayah."

Namun, di balik percakapan ini, Ash tahu ancaman Grand Duke Griffith tidak bisa diabaikan begitu saja. Apa pun yang terjadi, ia harus memastikan Atthy tidak menjadi korban pernikahan politik ini.

---

Beberapa hari kemudian

---

Ash berdiri di ruang tamu sederhana mereka, tatapannya menembus kaca jendela yang dipenuhi embun pagi. Suasana sunyi, hanya suara kayu yang berderak di perapian kecil di sudut ruangan. Ia baru saja selesai memaparkan hitungannya kepada Rowt, mengungkap kecurigaan yang terus menghantuinya sejak menerima kabar tentang utusan dari Alpen.

"Ayah, ini tidak masuk akal." Ash berbalik menatap Rowt yang duduk santai di kursi kayu. "Seharusnya, berdasarkan perjalanan surat dan logistik, utusan mereka tak mungkin tiba secepat ini. Tapi nyatanya, mereka lebih cepat dua belas hari dari perkiraan."

Rowt mendongak, menggaruk jenggotnya yang mulai memutih. "Kau benar. Tapi untuk apa mereka tergesa-gesa?"

"Itu juga yang kupikirkan!" Ash mulai kehilangan kesabaran. "Ayah, ini terasa seperti jebakan. Seolah semuanya sudah dirancang sejak awal."

Rowt mendengus, seolah tak terkesan dengan kegelisahan Ash. "Tentu saja semuanya dirancang. Ini lamaran pernikahan, anak bodoh. Apa kau pikir mereka akan melakukan ini secara sembarangan?"

"Ayah!" Ash membentak, wajahnya merah padam. "Aku serius! Jangan main-main dengan ini! Ini menyangkut masa depan putriku, masa depan Atthy!"

Rowt, bukannya terganggu, justru tersenyum kecil sambil mengangkat alis. "Dan kau pikir aku tidak serius? Jangan terlalu banyak mengoceh, Ashton Galina. Emosimu itu seperti pedang tumpul—hanya membuatmu terlihat lemah."

Ash mengepalkan tangannya, berusaha menahan amarah. "Kau tampaknya menikmatinya, Ayah. Tapi aku tidak punya waktu untuk bercanda. Kita harus memikirkan langkah selanjutnya."

Rowt mendengus pelan. "Langkah apa? Kau sendiri yang bilang bahwa kita tidak mungkin menghentikan utusan mereka di tengah jalan. Kau mau melawan Grand Duke Griffith? Kita ini cuma keluarga kecil yang bahkan tidak dianggap di kalangan bangsawan! Tidak ada jalan lain, Ash, selain menghadapi mereka saat mereka tiba."

Ash membuang napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tahu itu. Tapi apa kau tidak merasa ada sesuatu yang tidak beres? Untuk apa mereka memaksakan lamaran ini? Kita tidak punya kekuatan, tidak punya harta. Apa yang mereka inginkan dari kita?"

Rowt mengangkat bahu. "Mungkin mereka ingin keturunan."

Ash memutar bola matanya, ekspresinya menunjukkan betapa tidak masuk akalnya pernyataan itu. "Ayah, dia punya empat anak laki-laki dan dua cucu. Kalau dia ingin keturunan, ada banyak wanita bangsawan lain yang akan rela berbaris untuk menjadi istrinya, meski dia sudah bau tanah seperti kau."

Rowt tidak terganggu oleh ejekan Ash. Ia hanya menyeringai kecil. "Kau benar. Tapi bagaimana kalau ada alasan lain?"

"Alasan lain?" Ash menyipitkan matanya, mencoba memahami maksud ayahnya.

"Ya," jawab Rowtag sambil mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kau yakin tidak ada yang bermasalah dalam masa lalumu? Tidak ada musuh yang mungkin mencoba mengincar keluarga kita? Atau... mungkin sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"

Ash mendengus keras, nadanya sarkastik. "Tentu saja aku punya banyak musuh, Ayah. Bandit yang suka menghadang di perbatasan, para preman pasar yang tidak tahu diri yang selalu mencoba menggoda putriku, atau bahkan wanita-wanita yang tidak bisa menerima penolakanku. Kau tahu, aku pria yang cukup menarik."

Rowt memutar matanya, jelas tak terhibur oleh humor Ash. "Ashton Galina! Sudah cukup dengan omong kosongmu. Aku tidak tertarik mendengarmu membanggakan diri!"

"Kau yang bertanya," balas Ash santai, meski ekspresinya tetap serius. "Dan untuk jawabanmu, aku tidak tahu. Aku tidak punya musuh yang cukup gila untuk mengatur semua ini. Lagipula, pernikahan ini lebih menguntungkan daripada menghancurkan kita. Kalau Atthy sampai menjadi istri Grand Duke Griffith dan berhasil mendapatkan posisinya, bukankah itu malah merugikan mereka?"

Rowt terdiam, merenungkan kata-kata Ash. Setelah beberapa saat, ia mendesah. "Kau benar. Tapi itu tetap tidak menjelaskan kenapa semua ini terjadi. Dan sekarang, masalah terbesarnya adalah bagaimana kita akan menghadapi utusan mereka yang akan tiba dalam waktu sepuluh hari."

Ash mengangguk. "Tak ada pilihan. Kita harus menerima mereka dengan hormat. Meski aku tahu, ini hanya akan membawa lebih banyak masalah."

---

---

Ash dan Rowt akhirnya terpaksa menceritakan seluruh perkara yang sedang mereka hadapi kepada Atthy dan Ay. Mereka menyadari bahwa kedua anak itu, cepat atau lambat, akan menyadari adanya masalah dan pasti tidak akan tinggal diam. Hanya Gafy dan Dimi yang tidak dilibatkan karena usia mereka yang masih terlalu kecil.

Malam itu, Atthy menemukan Ay yang sedang termenung di atas atap rumah. Tubuhnya merebah santai, pandangannya lurus ke langit malam yang penuh bintang.

"Atthy, apa yang kau lakukan di sini?" gumam Ay tanpa menoleh, menyadari kehadiran kakaknya.

Atthy mengabaikan pertanyaan itu dan ikut duduk di samping Ay. Ia mengikuti arah pandangan adiknya, menatap luasnya langit yang tampak begitu tenang, kontras dengan pikiran mereka yang kacau.

"Ay, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Atthy lembut.

"Tidak ada," jawab Ay singkat. Suaranya terdengar datar, tapi jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Aku hanya mengagumi betapa luasnya angkasa..."

Atthy mendesah pelan. Ia mengenal Ay terlalu baik untuk menerima jawaban itu. "Ay, aku sudah mengasuhmu sejak kau masih kecil. Jangan coba-coba menyembunyikan apa pun dariku," ujarnya sambil menyentil dahi Ay dengan gemas.

Ay memegangi dahinya, mendengus kesal. "Kak, alasan terbesar kenapa kau akhirnya menyetujui lamaran itu adalah karena bujukan Gafy... Apa kau yakin akan menikahi bandot tua itu?" tanyanya tiba-tiba, menatap Atthy dengan tajam.

"Ay, perhatikan cara bicaramu!" tegur Atthy tegas, matanya memandang Ay dengan serius. "Ayah akan sangat marah jika mendengar kau berkata tidak sopan seperti itu."

Namun Ay tidak mundur. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke langit, wajahnya menyiratkan keraguan yang mendalam. "Aku hanya tidak mengerti, Kak... Kenapa harus kita? Kenapa kau harus menerima semua ini?"

Atthy terdiam, tidak langsung menjawab. Angin malam yang sejuk terasa begitu dingin, membawa keheningan yang semakin menekan.

Atthy menatap Ay dengan tatapan tajam, namun dengan lembut dia membelai kepala Ay, menenangkan emosi adiknya yang meluap.

''Ay, sebagai bangsawan, kita diajarkan untuk menjaga perilaku dan kata-kata. Meskipun kita tidak mendapat pendidikan formal, orang tua kita, Ash dan Laura, sudah mengajarkan kita dengan baik. Kata-kata kasar tidak seharusnya keluar dari mulut kita, terutama di hadapan bangsawan, apalagi yang berkedudukan tinggi seperti mereka. Perilaku buruk bisa berujung pada konsekuensi berat jika ada petugas yang mendengarnya,'' ujar Atthy, suaranya rendah namun tegas.

Ay menunduk, menghela napas panjang. "Maaf, Kak," jawabnya dengan senyum kecil, "Aku kesal. Kita sudah jelas menolaknya, tapi kenapa mereka tetap mengirim utusan untuk menjemputmu?"

Atthy menatap Ay dengan tatapan menggoda, "Kau mencemaskanku?"

Ay memutar matanya dengan kesal, "Kakak serius menanyakan itu?" jawabnya dengan nada tinggi, lalu melanjutkan, "Athaleyah Galina adalah kakakku. Bagaimana aku, Aydan Galina, adikmu ini tidak mencemaskannya?"

Atthy tertawa kecil, menahan geli saat mendengar ketegasan Ay. "Hehehe... Aku tahu, kalian semua sangat menyayangiku, aku mengerti..."

Ay menggigit bibirnya, masih kesal, namun tidak bisa menahan kasih sayangnya terhadap kakaknya. "Makanya jangan tertawa seperti itu, seolah tidak ada yang salah!" katanya, namun masih ada kelembutan dalam nada suaranya. "Kenapa sikap Kakak sama seperti Kakek? Yang selalu santai dalam setiap situasi?" Ay menatap Atthy dengan ekspresi memelas, lalu melanjutkan, "Aku sangat cemas, Kak. Kita ini hanya keluarga bangsawan rendah yang bahkan tidak dikenal di kalangan aristokrat. Bagaimana kita bisa menghadapi seorang Grand Duke yang punya kekuasaan besar dan didukung oleh kerajaan?"

Atthy tersenyum, masih mencoba meredakan ketegangan dengan cara bercanda. "Lalu, siapa yang dengan lantang bilang, 'Tidak peduli dengan kedudukannya, walau dia seorang Grand Duke sekalipun...'?" Atthy menyelipkan sedikit sindiran, menggoda Ay yang masih terlihat tegang. "Bukankah itu adik kecilku yang manis yang akan melindungi kakaknya dari pernikahan dengan bandot tua yang sudah bau tanah?"

Ay tersipu, wajahnya memerah, tapi tetap melotot ke arah Atthy yang sedang menggodanya. "Itu karena aku emosi saat itu..." jawabnya sambil menggosok hidungnya, merasa canggung dengan kata-kata kakaknya. "Dan perhatikan kata-katamu, itu kasar!" Ay menegur kakaknya dengan nada serius, meski matanya masih menyimpan rasa sayang.

Atthy tidak bergeming, tersenyum lebar, menikmati momen ini. "Lalu, bagaimana sekarang?" tanyanya dengan ekspresi setengah bercanda, setengah serius, seperti biasa.

Ay tidak langsung menjawab. Wajahnya yang awalnya ceria kini berubah serius. "Aku masih tidak akan merelakanmu!" jawabnya dengan tegas, namun nada suaranya sedikit melembut. "Tapi aku juga tidak bodoh. Aku tahu kalau menentang bangsawan tinggi seperti itu ada risikonya, Kak. Itu soal berani dan nekat. Kita tidak bisa sembrono. Aku tahu Kakek masih gagah, tapi tidak bisa menutup kenyataan bahwa dia sudah tidak muda lagi. Gafy, kita semua tahu, dia juga berusaha dengan caranya sendiri agar tidak terlalu merepotkan kita meski tubuhnya lemah. Dimi, dia masih bocah, terlalu polos untuk memahami ini."

Ay memandang Atthy dengan serius. "Apa kita sanggup menghadapi Grand Duke yang disegani bahkan oleh keluarga kerajaan?"

Atthy diam sejenak, memandang Ay dalam diam, meresapi kata-kata adiknya. Meskipun Ay mengaku takut, tatapan matanya tetap tajam, penuh tekad dan keberanian. Atthy menyadari, meskipun ada kekhawatiran, Ay tidak akan mundur begitu saja. Ia siap menghadapi apa pun demi keluarga mereka.

Atthy mengangguk pelan, sebuah senyuman lembut menyapanya. "Aku tahu, Ay... kita akan menghadapi ini bersama."

Atthy memandang Ay dengan tatapan penuh kehangatan. Meskipun ada rasa bangga, nada suaranya tetap serius. "Kau sudah dewasa, Ay. Aku tahu kau sangat menyayangiku, tapi ingat, emosi tidak akan menyelesaikan masalah. Jika nanti situasi tidak dapat dikendalikan, kau harus tetap tenang dan ingat tanggung jawabmu sebagai seorang pria dalam keluarga kita."

Ay terdiam sejenak, meresapi perkataan kakaknya. Namun, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berbicara. "Kakak... Aku..." Ay menatap kakaknya dengan mata penuh kemarahan, "Jangan bicara seperti itu! Jangan bicara tentang pernikahan dengan orang itu, seorang bandot tua itu! Aku tidak bisa menerima itu!"

Atthy tersenyum lembut, namun senyum itu mengandung kehangatan yang hanya dimiliki seorang kakak yang tahu betapa besar perhatian adiknya. Matanya tampak penuh penyesalan. "Aku tahu kau cemas," ujarnya dengan pelan, "tapi kita harus berpikir lebih jauh. Anggap saja ini keberuntungan. Mungkin dengan aku menikah dengannya, kehidupan Gafy dan Dimi akan lebih baik. Mereka akan mendapatkan kesempatan yang lebih layak."

"Apa Kakak gila?!" Ay memotong, wajahnya memerah karena marah. "Bukan 'mungkin', itu sangat buruk, Kak! Aku tidak peduli apa alasanmu!"

Atthy mengangguk, tanda bahwa dia menghargai pendapat Ay meski berbeda. "Iya, iya, baiklah... sangat buruk, puas?" kata Atthy sambil tersenyum santai, meskipun jelas dia tahu perasaan Ay.

Ay memutar matanya kesal, namun hatinya tetap penuh kasih untuk kakaknya. "Jangan coba-coba membujukku dengan cara seperti itu," ujarnya tegas. "Aku tahu kamu punya alasan, tapi itu tidak bisa diterima begitu saja."

Atthy tidak marah, justru ia memandang Ay dengan lembut. "Kesampingkan dulu sisi negatif dari masalah ini, Ay. Mari kita pikirkan dampak positifnya." Ia berhenti sejenak, menatap langit malam yang gelap. "Ay, mungkin pada generasi ayah kita, dia gagal memperbaiki kedudukan keluarga ini. Tapi aku berharap, dengan aku menyetujui pernikahan ini, Dimi bisa menikmati pendidikan di akademi, seperti yang ayah inginkan. Dan aku ingin Gafy bisa meraih impian-impiannya, bisa melihat dunia lebih luas."

Ay ingin menyela, tetapi dia tahu kakaknya berbicara dengan hati. Meskipun hatinya berat, Ay menyadari bahwa dia tidak memiliki kekuatan untuk mengubah keadaan, setidaknya saat ini. Ia hanya bisa mendengarkan.

Atthy melanjutkan, suaranya lembut, "Maafkan aku, Ay. Aku tahu kemampuanmu luar biasa, kau sangat pintar dan berbakat. Tapi, sayangnya, keadaan kita tidak memungkinkanmu untuk mendapatkan pendidikan yang layak di akademi."

Ay menatap kakaknya dengan tatapan penuh semangat, "Kak, aku tahu kamu dan ayah serta kakek bekerja keras untuk kami. Aku memang sedih karena tidak bisa mengenyam pendidikan formal, tapi sama seperti kamu, aku akan berusaha agar Dimi tidak berakhir seperti aku."

Ia menatap Atthy dengan tegas, "Jadi tolong, Kak, lupakan pemikiranmu untuk menikahi pria itu hanya demi hal sepele seperti itu."

Atthy terdiam, meskipun wajahnya tetap serius. "Pendidikan untuk Dimi, kehidupan yang lebih baik untuk Gafy, itu bukan hal sepele, Ay."

"Itu sepele, Kak?!" Ay menatap kakaknya dengan mata penuh tekad. "Terlalu mahal jika itu mengorbankan masa depanmu meski itu untuk mereka! Kakak, sungguh aku sangat tidak menyukainya!" Ay berbicara dengan suara lantang, tidak lagi menahan amarahnya. "Kakak tidak mempercayai kami? Tidak mempercayai kemampuanku untuk berjuang bersama?"

Atthy menatap Ay dengan mata penuh penyesalan. "Ay..."

Ay menatap Atthy dengan serius, matanya penuh tekad. "Jika begitu, bersabarlah. Jangan terburu-buru. Kita akan berusaha bersama. Masih ada tiga tahun lagi sebelum Dimi bisa mengikuti ujian masuk ke akademi kerajaan."

Atthy tersenyum kecil, meskipun hatinya penuh keraguan. "Ya, masih tiga tahun. Kita akan berusaha sama-sama," jawabnya pelan, sedikit mengangguk.

Ay menatap langit malam yang gelap, berharap bahwa masa depan mereka akan lebih cerah. "Setidaknya gelar kakek kita tidak hanya akan berakhir di atas kertas. Aku berharap Dimi bisa mewujudkannya."

"Semoga saja," jawab Atthy, senyum kecil kembali muncul di bibirnya, meski masih ada beban di dalam hatinya.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENJEMPUT ISTRIKU   085 Perjamuan 2

    **Bab 085 Perjamuan 2**Pengumuman resmi berkumandang, menggema di seluruh aula perjamuan yang telah dipenuhi aristokrat dari seluruh penjuru Xipil."Yang Mulia Ratu Silvia dan Yang Mulia Putra Mahkota Cavero memasuki aula perjamuan."Sekejap, semua perhatian tertuju ke arah pintu utama. Pembicaraan yang semula memenuhi ruangan sontak mereda. Para hadirin segera memberi salam dengan penuh hormat, beberapa membungkukkan badan, sementara yang lain hanya menundukkan kepala dengan elegan.Ratu Silvia melangkah dengan anggun, gaun mewahnya berkilauan di bawah cahaya chandelier. Senyum manis terukir di bibirnya, tetapi mata tajamnya menelusuri ruangan seperti seorang pemburu yang menilai keadaan sebelum bergerak. Di sisinya, Putra Mahkota Cavero berjalan dengan tenang, wajahnya tetap tegas dan penuh wibawa, berbeda dengan adik lain ibunya, Pangeran Davion, yang tampak tersenyum penuh percaya diri di samping Grand Duke Darram.Tak butuh waktu lama sebelum Darram dan sekutunya menghampiri."S

  • MENJEMPUT ISTRIKU   084 Perjamuan

    **Bab 084 Perjamuan**Aula istana bersinar di bawah cahaya ratusan lilin yang tergantung pada chandelier kristal raksasa. Musik gesekan biola dan dentingan piano mengalun lembut, menciptakan suasana yang tampak hangat tetapi sarat ketegangan tersembunyi. Para tamu mulai berdatangan, mengenakan pakaian terbaik mereka, menyapa satu sama lain dengan senyum penuh perhitungan.Kelompok aristokrat berkumpul dalam lingkaran-lingkaran kecil, masing-masing sibuk dengan kepentingan mereka sendiri."Duke Laurent tampaknya semakin berpengaruh tahun ini," bisik seorang Count dari wilayah barat. "Lihat saja bagaimana dia dikerumuni oleh para saudagar besar.""Tentu saja," sahut seorang Count dengan nada geli. "Pelabuhan barat tetap menjadi urat nadi perdagangan internasional Xipil. Siapa pun yang ingin bertahan dalam dunia bisnis di barat harus tetap berada di sisinya."Tak jauh dari mereka, kelompok para istri bangsawan juga sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri."Hei, Hugh Skythia malam ini dat

  • MENJEMPUT ISTRIKU   083 Rapat Tahunan 3

    **Bab 083 Rapat Tahunan 2**Ruangan kembali sunyi sejenak setelah pernyataan Vadim. Kata-katanya tidak menyudutkan secara langsung, tetapi cukup untuk membuat semua orang merenung.Cavero menatap Aldrich dengan ekspresi netral. "Saya ingin bertanya satu hal, Count Veraga. Jika selatan ingin diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri, strategi konkret apa yang Anda miliki untuk memastikan keadaan tidak akan terus seperti ini di tahun-tahun mendatang?"Aldrich terdiam. Ia jelas tidak menyangka pertanyaan itu akan langsung diarahkan kepadanya. Beberapa perwakilan selatan yang hadir tampak gelisah, menyadari bahwa jawaban yang diberikan bisa menentukan bagaimana mereka akan diperlakukan ke depannya.Laurent tersenyum tipis dan melirik Cavero. "Pertanyaan yang menarik. Jika selatan memang ingin mempertahankan otonominya, maka seharusnya ada solusi yang bisa mereka tawarkan. Saya kira kita semua di sini ingin mendengar itu."Aldrich menarik napas dalam. "Kami... kami sedang berupaya mening

  • MENJEMPUT ISTRIKU   082 Rapat Tahunan

    **Bab 082 Rapat Tahunan**Tegang menyelimuti para bangsawan selatan seketika itu juga ketika Cavero akhirnya menunjuk giliran mereka untuk tampil bersuara setelah diam hampir di sepanjang rapat.Cavero menatap Aldrich dengan penuh perhatian. Jawaban yang diberikan perwakilan selatan barusan tidak lebih dari pengakuan terselubung bahwa mereka memang tidak memiliki kendali penuh atas wilayah mereka sendiri. Beberapa peserta rapat mulai berbisik satu sama lain, tetapi tidak ada yang secara langsung menanggapi. Hingga akhirnya, suara Laurent terdengar di ruangan."Rumit, ya?" Laurent mengulangi kata-kata Veraga dengan nada datar. "Saya kira itu adalah penjelasan yang paling sering kita dengar dari faksi selatan setiap tahunnya. Tapi mungkin kali ini Anda bisa menjelaskan lebih rinci, Count Aldrich Veraga. Apa yang sebenarnya terjadi di wilayah Anda? Apakah ada ancaman nyata, atau ini hanya sekadar masalah ketidakmampuan untuk mengelola para aristokrat di sana?"Beberapa kepala menoleh ke

  • MENJEMPUT ISTRIKU   081 Dampak

    **Bab 081 Dampak****Di barak para prajurit**''Yang benar saja...'' ujar Kevin dengan nada kesal, matanya menyapu ruangan yang terasa begitu berat oleh ketegangan.''Apa? Baru datang dan langsung mengeluh...'' sahut Saihan, nada suaranya tajam, tak kalah kesal.''Justru itu! Setelah sebulan penuh berkutat dengan dokumen yang tidak ada habisnya, akhirnya aku punya waktu untuk mengunjungi kalian. Tapi... apakah separah ini?''''Kau mau mengeluh?''Kevin menghela napas panjang, menekan emosinya yang mulai mendidih. ''Duchess menghilang tanpa jejak selama satu bulan, dan penyelidikan yang dilakukan Grand Duke hingga bersitegang dengan Margrave tetap tidak menemukan apa pun. Apa ini masuk akal? Sejak kapan kualitas kita menurun seperti ini?''---FLASHBACK satu minggu yang lalu**Rapat Tahunan Kerajaan **Di aula megah istana kerajaan Xipil, para bangsawan terkemuka telah berkumpul untuk menghadiri rapat tahunan. Meja besar yang melingkar di tengah ruangan diisi oleh perwakilan dari berba

  • MENJEMPUT ISTRIKU   080 Kerja Sama

    **Bab 080 Kerja Sama**Siang itu, sinar matahari yang masuk melalui jendela besar ruang kerja Alwyn tidak cukup untuk menghangatkan suasana. Ketegangan memenuhi udara, seakan ruangan itu semakin sempit akibat amarah yang beradu."Tuan Alwyn!" suara Saihan meledak, penuh kemarahan. Ia berdiri di depan meja, tubuhnya menegang, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Jangan bercanda denganku!"Alwyn yang duduk di balik meja hanya mengangkat sebelah alisnya, tetap tenang menghadapi luapan emosi di hadapannya. "Apa aku tampak sedang bermain-main?" suaranya datar, tajam, dan tanpa keraguan."Aku tidak peduli jika Anda mengirimku ke mana pun," tukas Saihan cepat, nadanya penuh penolakan, "tapi kenapa harus bersamanya?"Alwyn menyandarkan punggungnya ke kursi, menautkan jemarinya di atas meja. "Karena dia tahu seluk-beluk Nauruan.""Aku juga!" sahut Saihan, suaranya meninggi. "Jangan lupa, aku lahir dan besar di Nauruan!""Di jalanan, Saihan Malaken." Alwyn menekankan namanya dengan nada

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status