Share

Part 5

Farrel terus mengguncang tubuh Danang, tetapi pemuda sebayanya itu tidak juga membuka mata. Bu Halimah dan Pak Haji Imran yang terbangun hendak shalat tahajud saling pandang, saat mendengar suara anaknya dari arah depan.

"Nyet, bangun Nyet. Kamu kenapa kok pingsan begini Nyet, siapa yang sudah nyakitin kamu?" tanya Farrel panik.

"Rel, kamu kenapa to, Le, malam-malam bukannya tidur malah rame sendiri. Mana ada monyet?" tanya Bu Halimah sambil mengusap-usap matanya.

"Pak, Buk. Tolong, ini Danang tiba-tiba ambruk," jawabnya tanpa menoleh dan masih menepuk-nepuk pipi Danang.

Pak Haji Imran dan Bu Halimah bergegas mendekat. Mereka mengamati tubuh pemuda yang terlihat memprihatinkan di depannya. Lalu, Pak Haji Imran dan Farrel segera menggotong tubuh Danang dan menidurkannya di sofa.

"Ambilkan air, Bu," titah Pak Haji Imran pada sang istri.

Farrel segera mengganti baju Danang yang basah dengan baju miliknya. Setelah itu, Pak Imran meminta Farrel menunggu Danang, sementara dirinya shalat tahajud. Sekembali dari shalat tahajud, laki-laki paruh baya itu merasa heran ketika mengamati wajah Danang yang seperti orang ketakutan. Mata Danang terbuka tetapi mulut pemuda tersebut hanya bergerak-gerak dengan suara tidak jelas.

Pak Haji Imran menyentuh kepala Danang dan bertanya lirih, "Nak Danang, apa yang terjadi?"

Danang menggeleng sembari menunjuk ke arah luar. Mulutnya ingin mengucapkan banyak kata tetapi entah mengapa seperti orang tuna wicara. "Aa ... uuu ...," ucapnya berkali-kali. Farrel menatap sang ayah yang berkali-kali menarik napas panjang.

"Apa tadi, dia ada masalah sewaktu di tempat latihan, Rel?"

Farrel menggeleng tegas. "Ng, nggak ada, Pak. Dia bisa bicara kok. Tadi juga, sebelum pingsan dia juga bicara kok. Woi Nang, jangan becanda kamu, Nyet. Kamu kenapa kok jadi bisu begini?"

"Rel," tegur sang ibu sambil menggelengkan kepala.

"Kita panggil dokter, Pak, atau kita bawa dia ke rumah sakit. Sekalian kabari Bu Ningsih."

Farrel hendak bangkit tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh Danang sembari menggelengkan kepalanya.

"Ja ... a ... ngan," cegah Danang lagi dengan terbata. Dia mengambil handphone miliknya yang berada di saku celananya yang sedikit basah.

Dengan tangan bergetar pemuda itupun berusaha menulis apa yang dia alami. "Jangan bawa aku ke mana-mana, Rel. Aku takut, orang itu tahu, aku sudah melihatnya." Farrel dan Pak Haji Imran saling pandang membaca tulisan dari Danang.

"Apa maksudnya kamu, Nang? Orang siapa?"

Danang kembali mengetik dengan susah payah."Aku lihat Pak Duki di pinggir sawah, Rel. Dan lihat... tu-tuyul, di ru-mah...,"

Glotak.

Handphone milik Danang tiba-tiba terjatuh ke lantai bersamaan dengan Danang yang kembali pingsan.

*

*

"Sepertinya memang di desa kita ini ada yang mencari pesugihan, Pak Lurah. Sekarang anak saya tidur terus, nggak dapat bicara, tangannya juga tidak bisa digerakkan. Padahal, dia nggak sakit apa-apa sebelumnya."

Seluruh ruangan balai desa hening. Tatapan-tatapan mengintimidasi terarah pada Bintang yang pagi itu ikut rapat di sana. Laki-laki itu mencoba untuk tenang walaupun bisik-bisik dari para warga yang setiap kali ditemuinya membuat telinganya memerah.

"Pak Bintang, mohon maaf untuk kenyamanan warga kami. Saya selaku Kepala Desa Karanglor, meminta Pak Bintang dan istri untuk pindah dari desa kami. Itu sudah menjadi keputusan yang kami musyawarahkan bersama."

Bintang terdiam sesaat lalu dia mengangguk menyetujui. "Baik, saya dan istri akan meninggalkan desa ini kalau memang kalian mencurigai kami. Tetapi, saya tegaskan sekali lagi, jika kami sudah pindah, tetapi kalian masih mengusik kehidupan kami maka saya tidak akan tinggal diam!" ucapnya tegas.

Pak Haji Imran yang duduk tepat berhadapan dengan Bintang hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dia menatap ke arah Pak Lurah yang tampak risih, ketika bertemu pandang dengan Pak Imran.

"Maaf kalau saya menyela keputusan ini Pak Lurah. Apa keputusan kalian semua, mengusir Mas Bintang dan Mbak Alisha itu atas dasar keputusan setiap warga atau atas dasar pergolongan?" tanya Pak Haji Imran dengan bahasa khasnya. Tenang dan berwibawa.

"Apa maksudnya, Pak Imran?" tanya Pak Lurah mulai terpancing emosi.

Pak Haji Imran tersenyum sekilas kemudian menggeleng samar. "Pak Lurah, Anda dipilih warga untuk berada di posisi seperti saat ini. Jika Anda mengambil keputusan sepihak dengan mengatasnamakan musyawarah, musyawarah yang mana? Kenapa saya sebagai bagian dari pamong desa tidak dilibatkan? Dan musyawarah itu kapan, Pak, diadakan? Apa kalian lupa, Mas Bintang datang ke desa ini bukan atas keinginan sendiri tetapi atas nama tugas negara?"

Hening.

Suasana kembali hening, Bintang hendak berbicara tetapi Pak Imran mengangkat telapak tangannya sebentar. "Apa Anda juga sudah cukup bukti untuk menguatkan dugaan Anda sekalian, tentang adanya pesugihan yang melibatkan Mas Bintang?" tanya laki-laki paruh baya itu lagi.

Seorang laki-laki muda mengangkat tangannya setelah Pak Haji Imran selesai bicara. "Ekhem ... Saya setuju dengan pernyataan Pak Haji Imran. Kita memang tidak boleh melakukan tindakan yang hanya berdasarkan 'katanya' satu dua orang yang berakhir jadi fitnah. Bagaimana kalau untuk membuktikan kebenaran dugaan kalian kita geledah setiap rumah satu persatu? Bagaimana Bapak-Bapak dan ibu-ibu sekalian?" tanya laki-laki yang diketahui sebagai sekretaris desa.

"Setuju!"

"Setuju, Pak!"

"Pak Agus, namanya pesugihan itu nggak kelihatan Pak, bagaimana kita bisa membuktikan?" tanya seorang laki-laki bertubuh kurus menyampaikan rasa keberatannya.

"Nah, kalau Pak Narso bilang begitu kenapa Pak Narso yakin sekali kalau Pak Bintang cari pesugihan, Pak?" sahut Pak Agus yang diangguki sebagian warga. Namun, sebagian yang lain menunjukkan wajah masam.

*

*

Malam harinya.

"Jadi, mereka ingin kita pergi dari kampung sini, Mas?" tanya Alisha dengan raut wajah gusar.

Bintang hanya mengangguk lemah sambil menghempaskan tubuhnya di sofa. "Aku nggak nyangka Dik, semua akan jadi begini. Apa nggak sebaiknya kita jujur saja tentang pekerjaan kamu, Dik. Supaya nggak ada fitnah?"

"Jangan Mas," sahut Alisha tegas sambil menggelengkan kepala. "Aku malu Mas, tapi nanti pasti aku akan terbuka pada semua orang tentang pekerjaan aku. Percuma sekarang aku bicara, mereka nggak akan percaya karena dalam hati mereka masih diselimuti prasangka buruk. Allah nggak tidur kok, Mas."

Bintang terdiam lalu menarik tubuh Alisha untuk merebah di dadanya. Laki-laki berwajah ganteng itu memeluk tubuh sang istri dan mengecup puncak kepala Alisha dengan sayang.

"Tapi aku khawatir terjadi sesuatu sama kamu selama aku di kantor."

Alisha mendongak dan mencium sekilas bibir kemerahan suaminya. "Mas tenang saja, masih banyak orang yang baik di sekitar kita. Budhe Halimah contohnya dan beberapa ibu-ibu yang lain."

Bintang kembali menatap sang istri, laki-laki itupun tersenyum. Kemudian Bintang mengajak istrinya menuju ke kamar. Tak berapa lama, keduanya telah hanyut dalam permainan panas yang menggebu.

Bintang menjatuhkan dirinya di samping Alisha dengan napasnya yang masih memburu. "I love you my wife," bisiknya lirih sambil mengecup lama kening Alisha yang lembab.

Alisha melingkarkan tangannya di bahu tegap sang suami. "I love you too, Mas," balasnya, lalu menenggelamkan wajahnya di dada bidang Bintang yang berkeringat dengan mata mulai terpejam.

Lelaki tampan itu mengusap pelan rambut sang istri yang tergerai berantakan.

Bintang mengerutkan kening ketika telinganya yang terlatih itu, mendengar sesuatu yang mencurigakan.

"Dik, pakai bajumu," bisiknya pada sang istri yang mulai tertidur.

"Apaan sih, hmmph ...,"

Bintang membekap mulut Alisha dengan telapak tangannya. Sembari kembali berbisik. "Ssst, kamu tetap di sini, kunci pintunya," titahnya lirih.

"Ada apa Mas?" tanya Alisha sambil berbisik dan memakai baju tidurnya dengan cepat.

Bintang segera mengenakan pakaiannya dan mengambil sesuatu dari laci nakas dan menyelipkan di pinggangnya. "Kunci pintunya, Sayang. Kalau bukan aku yang minta buka, jangan buka, ya!"

Setelah berkata begitu, Bintang segera keluar dari dalam kamar dengan mengendap waspada.

"Bangsat," bisik seorang pemuda dengan tubuh jangkung sambil menyerang tubuh lelaki yang mengenakan penutup wajah.

Kemudian keduanya kembali melanjutkan adu pukul. Tetapi rupanya, laki-laki bertubuh jangkung yang tak lain adalah Farrel itu, jago bela diri maka tidak mudah bagi lawan untuk melumpuhkannya.

Farrel hendak menarik penutup kepala lelaki yang tadi beradu pukul dengannya, tepat bersamaan pintu depan rumah Bintang terbuka.

Farrel menoleh ke arah pintu dan rupanya, hal itu dimanfaatkan oleh lawannya dengan menendang perut Farrel. Pemuda itupun terhuyung dan jatuh ke tanah. Sedangkan laki-laki yang bertubuh tinggi dengan penutup kepala tadi segera melompat ke arah motor RX King dan akhirnya motor itu melaju kencang meninggalkan Farrel yang berusaha untuk bangkit.

"Bangsat, jangan lari woi!" teriak Farrel dengan geram.

Farrel mendekat ke sebuah benda yang tadi sengaja dilemparkan laki-laki yang memakai penutup kepala.

"Mas Farrel," Bintang mengamati Farrel yang berjongkok menatap benda yang tergeletak di tanah.

"Pak Bin, ini," ucap Farrel dengan mata menyipit. Bintang mendekat dan mengamati benda yang terbungkus kain berwarna putih.

"Astaghfirullah, sebentar Mas."

Dengan hati-hati Bintang membuka bungkusan kain berwarna putih di depannya. Mereka saling pandang, kemudian sama-sama mengamati benda di depan mereka.

"Beras kuning dan darah, apa maksudnya ini Mas Farrel?"

Farrel menggeleng kuat karena tidak tahu, maksudnya orang tadi mengirimkan benda tersebut. "Saya juga kurang tahu Pak, tadi saya pulang dari rumah Danang dan lihat ada orang yang mengendap di pekarangan rumah Pak Bintang," jawabnya.

Bintang mengangguk samar. "Iya, tadi aku juga dengar, Mas. Aku juga dengar ada suara tawa anak kecil."

"Anak kecil?" tanya Farrel dengan kening berkerut.

Bintang mengangguk, dia memang mendengar suara laki-laki dewasa dan anak-anak seperti tengah berbisik-bisik.

"Sebelum aku keluar rumah dengar suara anak kecil berbisik-bisik dengan orang dewasa. Pas aku keluar, lihat Mas Farrel berantem. Mas tahu, siapa kira-kira orang tadi?" tanya Bintang.

"Saya curiga dengan postur tubuhnya, Pak."

"Siapa kira-kira Mas?"

Farrel mendesah kasar kemudian berbisik lirih yang membuat Bintang membulatkan matanya.

"Pak Agus?''

* * *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status