Share

Part 6

"Farrel lagi, Farrel lagi! Bagaimana caranya menyingkirkan bocah ingusan itu? Apa Bintang tahu kalau kamu yang melakukan ini?" tanya laki-laki paruh baya itu dengan nada geram mendengar kegagalan yang dilakukan anak buahnya untuk memfitnah Bintang.

"Tidak Pak, mereka tidak tahu. Tapi, Farrel bisa saja buka mulut dan tahu siapa saya."

"Goblok kamu, kenapa kamu mesti meladeni bocah itu? Dia itu jago beladiri!" bentaknya dengan suara menggelegar.

Laki-laki di depannya sempat berjingkat kaget. Dia tak berani menatap wajah pria yang punya kuasa seperti itu. Yang bisa dia lakukan hanyalah menunduk.

"Baiklah, kamu boleh pulang. Untuk sementara jangan muncul di desa ini dulu," ujarnya dengan intonasi suara lebih rendah.

Laki-laki bayaran tadi mengangguk sekali lagi dan mengambil amplop coklat yang diberikan pria di depannya. Setelah itu dia undur diri.

"Farrel dan Bintang adalah batu yang harus disingkirkan. Tetapi, menyingkirkan Bintang sama saja aku cari mati. Farrel, iya ..., bagaimana kalau si Imran itu merasakan kehilangan anak satu-satunya?" gumamnya, dengan diiringi seringaian jahat.

*

*

"Apa Pak? Farrel? Tapi, bagaimana bisa saya jadikan dia makan anak-anak saya? Pemuda itu punya ilmu beladiri, Pak," ujar laki-laki ceking itu kebingungan.

"Kamu mau cepat kaya atau nggak? Anak-anakmu itu butuh makanan secepatnya. Ambil rambut, baju atau apa pun yang berhubungan dengan si Farrel itu dan pergilah ke Gunung Kukus. Lakukan pas malam bulan purnama, dua belas hari lagi," ujarnya setengah berbisik.

Laki-laki bertubuh kurus itu hanya mengangguk dan menyunggingkan senyum licik. Dia juga merasa benci dengan sosok Farrel yang slengekan dan dianggapnya berandalan itu. Terlebih Farrel selalu membela Bintang setiap kali dirinya hendak menjatuhkan laki-laki tersebut di tempat umum.

Laki-laki bertubuh tambun itu semakin mengompori, "Kamu akan tetap selamanya menjadi buruh tani atau jadi juragan? Kamu bisa membeli apa pun yang kamu mau, seperti aku saat ini. Lihatlah. Tanpa perlu capek-capek berkerja keras, cukup menyuruh anak-anak bekerja, dan memberikan mereka makanan enak. Termasuk si Farrel dan Rafli."

Laki-laki bertubuh kurus itu terkejut. "Ra-fli, bocah kecil anaknya Fitri itu, Pak?" tanyanya tak percaya.

Lagi-lagi, iblis berwujud manusia paruh baya itu mengangguk sambil menghisap rokoknya. Kemudian, menghembuskan asapnya lewat mulut sehingga membentuk kepulan asap tipis di udara. Dan kedua laki-laki budak setan itu tersenyum licik, kemudian tertawa bersama-sama.

*

*

"Astaghfirullah hal azdim, ya Allah ya Rabbi, astaghfirullah." Bintang tergagap dari tidurnya, keringat dingin membasahi dahi lelaki berbadan tegap itu.

"Mas, ada apa?" tanya Alisha kebingungan. Dia memperhatikan suaminya yang tampak memijit pelipisnya.

Nafas laki-laki itu terengah-engah. "Dik, pakai hijabmu. Kita ke rumah Pak Haji sekarang juga," ucap Bintang sambil menyibakkan selimut.

Alisha masih terlihat kebingungan walaupun dia tetap menuruti kemauan sang suami. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 01.10 dini hari.

Dengan cepat wanita cantik itu mengganti baju tidurnya dan mengenakan hijab. Setelahnya, tanpa banyak bertanya dia mengikuti sang suami memasuki mobil.

Kedatangan Bintang dan Alisha di malam buta itu, jelas saja mengagetkan Pak Haji Imran dan istrinya. Dengan mata masih terlihat mengantuk laki-laki dan perempuan paruh baya itu menemui Bintang dan Alisha di ruang tamu.

"Ada apa malam-malam begini Mas Bin ke sini, pasti ada sesuatu yang sangat penting?" tanya Pak Haji Imran sembari duduk di seberang Bintang.

Bintang mengangguk lemah dan tak enak hati. "Benar, Pak. Mas Farrel mana, Pak?" tanyanya to the point.

"Masih ngelatih Mas, biasanya jam dua baru sampai rumah. Ada apa sebenarnya, Mas Bin?" tanya Pak Haji Imran lagi mulai khawatir.

Bintang tampak menarik napas panjang, kemudian mencondongkan tubuhnya lebih mendekat ke arah Pak Haji Imran sambil berkata lirih, "Tadi saya bermimpi Mas Farrel dan Rafli diikat dalam lingkaran api, Pak, dan tubuh mereka disiram darah sebelum di ... di ... " Bintang memejamkan mata lalu menggeleng kuat. "Di makan anak-anak tanpa rambut, Pak. Pak Duki yang mengikat mereka berdua," pungkasnya.

"Astaghfirullah hal adzim." Pekik Pak Haji Imran dan istrinya bersamaan.

Sedangkan Alisha, langsung beringsut mendekati suaminya dengan takut. Bintang melirik sekilas pada sang istri. "Pak, saya akan susul Mas Farrel, saya titip Alisha di sini. Dia nggak berani di rumah sendirian, apalagi sejak malam itu ada laki-laki yang melemparkan bungkusan beras kuning dan darah ke pekarangan rumah saya. Dan Mas Farrel yang melihatnya. Saya rasa ini ada hubungannya dengan mimpi saya, Pak."

Lagi-lagi, Pak Imran dan istrinya dibuat terpana mendengar penjelasan dari Bintang. Ternyata, desas-desus pesugihan itu memang benar adanya. Tetapi, Pak Haji Imran juga tidak berani berprasangka buruk pada orang lain.

Laki-laki paruh baya berwajah teduh itu mengangguk dan memandang istrinya. "Bu, aku sama Mas Bintang pergi dulu. Aku mau ke rumah Arya dan Mas Bintang menyusul Farrel. Bagaimana, Mas Bin?" tanyanya meminta persetujuan.

Bintang mengangguk menyetujui. "Baiklah, Pak, begitu lebih baik," jawabnya, kemudian bersiap pergi.

Di tempat lain...

Malam ini acara latihan selesai lebih cepat. Langit mulai bergelayut mendung tebal dengan gemuruh petir seperti akan turun hujan. Farrel mengibas-kibaskan bajunya yang basah karena tadi memang dia masuk ke dalam parit. Sialnya, dia tak membawa baju ganti seperti yang selama ini selalu tersedia di tas ranselnya.

Malam ini, rencananya mereka akan nongkrong dulu di alun-alun kota. Ada salah satu temannya yang ulang tahun, katanya. Mereka ingin merayakan ulang tahun sang teman sembari menikmati kopi dan makanan ringan di warung lesehan.

"Sialan, aku mirip kucing kecemplung got. Aku langsung pulang saja ya, malu pakai baju begini ke sana." Farrel berucap sembari melirik penampilannya sendiri yang berantakan.

Salah satu temannya mendesah kecewa. "Ye, Rel, payah kamu. Sudah pakai itu saja. malam-malam siapa yang peduli penampilan? Kalaupun ada orang lihat juga tahu kita habis latihan Rel."

Farrel berdecak. "Kamu nggak lihat apa? Cowok secakep ini, anak Pak Haji Imran kayak tikus kecemplung got? Bagaimana kalau ketemu cewek di jalan, malu lah, Nyet!" serunya membela diri sambil terus mengibas-kibaskan bajunya.

"Cewek-cewek tengah malam begini keluyuran juga bukan type menantu Pak Kyai lah, Ndul!" sahut Dino.

"Sudah Rel, ini pakai bajuku saja, aku tadi bawa ganti belum aku pakai."

"Nah, gitu dong San, kamu memang pengertian. Thanks, besok aku balikin," ucap Farrel kemudian menerima baju dari temannya dan langsung memakainya.

Pas.

Karena ukuran tubuh mereka memang sama, bedanya Farrel lebih tinggi dari Hasan. Masalah drama baju selesai. Keenam pemuda itu pun segera naik ke motor mereka masing-masing menuju ke alun-alun kota.

"Nggak ada acara mendem ya, aku sudah pengin tobat. Capek Nyet, diceramahi Bapak terus!" ucap Farrel tegas begitu mereka sudah sampai di alun-alun dan duduk di tikar sebuah warung lesehan.

Kelima teman Farrel mengangguk menyetujui.

Pemuda dengan rambut dicat kebiruan itu mengambil handphone yang bergetar di saku celananya. Farrel sedikit menjauh dari teman-temannya.

"Pak Bintang," gumamnya lirih dengan perasaan heran ketika membaca nama Bintang di situ.

* * *

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yeni Rosdiani
akh aing mh, emung dilanjut akh. curiga di farel modar
goodnovel comment avatar
Yeni Rosdiani
anjir .. seru eunk. tpi jdi sieun aing, emang parab tuyul jelema kitu.!?!?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status