"Farrel lagi, Farrel lagi! Bagaimana caranya menyingkirkan bocah ingusan itu? Apa Bintang tahu kalau kamu yang melakukan ini?" tanya laki-laki paruh baya itu dengan nada geram mendengar kegagalan yang dilakukan anak buahnya untuk memfitnah Bintang.
"Tidak Pak, mereka tidak tahu. Tapi, Farrel bisa saja buka mulut dan tahu siapa saya.""Goblok kamu, kenapa kamu mesti meladeni bocah itu? Dia itu jago beladiri!" bentaknya dengan suara menggelegar.Laki-laki di depannya sempat berjingkat kaget. Dia tak berani menatap wajah pria yang punya kuasa seperti itu. Yang bisa dia lakukan hanyalah menunduk."Baiklah, kamu boleh pulang. Untuk sementara jangan muncul di desa ini dulu," ujarnya dengan intonasi suara lebih rendah.Laki-laki bayaran tadi mengangguk sekali lagi dan mengambil amplop coklat yang diberikan pria di depannya. Setelah itu dia undur diri."Farrel dan Bintang adalah batu yang harus disingkirkan. Tetapi, menyingkirkan Bintang sama saja aku cari mati. Farrel, iya ..., bagaimana kalau si Imran itu merasakan kehilangan anak satu-satunya?" gumamnya, dengan diiringi seringaian jahat.**"Apa Pak? Farrel? Tapi, bagaimana bisa saya jadikan dia makan anak-anak saya? Pemuda itu punya ilmu beladiri, Pak," ujar laki-laki ceking itu kebingungan."Kamu mau cepat kaya atau nggak? Anak-anakmu itu butuh makanan secepatnya. Ambil rambut, baju atau apa pun yang berhubungan dengan si Farrel itu dan pergilah ke Gunung Kukus. Lakukan pas malam bulan purnama, dua belas hari lagi," ujarnya setengah berbisik.Laki-laki bertubuh kurus itu hanya mengangguk dan menyunggingkan senyum licik. Dia juga merasa benci dengan sosok Farrel yang slengekan dan dianggapnya berandalan itu. Terlebih Farrel selalu membela Bintang setiap kali dirinya hendak menjatuhkan laki-laki tersebut di tempat umum.Laki-laki bertubuh tambun itu semakin mengompori, "Kamu akan tetap selamanya menjadi buruh tani atau jadi juragan? Kamu bisa membeli apa pun yang kamu mau, seperti aku saat ini. Lihatlah. Tanpa perlu capek-capek berkerja keras, cukup menyuruh anak-anak bekerja, dan memberikan mereka makanan enak. Termasuk si Farrel dan Rafli."Laki-laki bertubuh kurus itu terkejut. "Ra-fli, bocah kecil anaknya Fitri itu, Pak?" tanyanya tak percaya.Lagi-lagi, iblis berwujud manusia paruh baya itu mengangguk sambil menghisap rokoknya. Kemudian, menghembuskan asapnya lewat mulut sehingga membentuk kepulan asap tipis di udara. Dan kedua laki-laki budak setan itu tersenyum licik, kemudian tertawa bersama-sama.**"Astaghfirullah hal azdim, ya Allah ya Rabbi, astaghfirullah." Bintang tergagap dari tidurnya, keringat dingin membasahi dahi lelaki berbadan tegap itu."Mas, ada apa?" tanya Alisha kebingungan. Dia memperhatikan suaminya yang tampak memijit pelipisnya.Nafas laki-laki itu terengah-engah. "Dik, pakai hijabmu. Kita ke rumah Pak Haji sekarang juga," ucap Bintang sambil menyibakkan selimut.Alisha masih terlihat kebingungan walaupun dia tetap menuruti kemauan sang suami. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 01.10 dini hari.Dengan cepat wanita cantik itu mengganti baju tidurnya dan mengenakan hijab. Setelahnya, tanpa banyak bertanya dia mengikuti sang suami memasuki mobil.Kedatangan Bintang dan Alisha di malam buta itu, jelas saja mengagetkan Pak Haji Imran dan istrinya. Dengan mata masih terlihat mengantuk laki-laki dan perempuan paruh baya itu menemui Bintang dan Alisha di ruang tamu."Ada apa malam-malam begini Mas Bin ke sini, pasti ada sesuatu yang sangat penting?" tanya Pak Haji Imran sembari duduk di seberang Bintang.Bintang mengangguk lemah dan tak enak hati. "Benar, Pak. Mas Farrel mana, Pak?" tanyanya to the point."Masih ngelatih Mas, biasanya jam dua baru sampai rumah. Ada apa sebenarnya, Mas Bin?" tanya Pak Haji Imran lagi mulai khawatir.Bintang tampak menarik napas panjang, kemudian mencondongkan tubuhnya lebih mendekat ke arah Pak Haji Imran sambil berkata lirih, "Tadi saya bermimpi Mas Farrel dan Rafli diikat dalam lingkaran api, Pak, dan tubuh mereka disiram darah sebelum di ... di ... " Bintang memejamkan mata lalu menggeleng kuat. "Di makan anak-anak tanpa rambut, Pak. Pak Duki yang mengikat mereka berdua," pungkasnya."Astaghfirullah hal adzim." Pekik Pak Haji Imran dan istrinya bersamaan.Sedangkan Alisha, langsung beringsut mendekati suaminya dengan takut. Bintang melirik sekilas pada sang istri. "Pak, saya akan susul Mas Farrel, saya titip Alisha di sini. Dia nggak berani di rumah sendirian, apalagi sejak malam itu ada laki-laki yang melemparkan bungkusan beras kuning dan darah ke pekarangan rumah saya. Dan Mas Farrel yang melihatnya. Saya rasa ini ada hubungannya dengan mimpi saya, Pak."Lagi-lagi, Pak Imran dan istrinya dibuat terpana mendengar penjelasan dari Bintang. Ternyata, desas-desus pesugihan itu memang benar adanya. Tetapi, Pak Haji Imran juga tidak berani berprasangka buruk pada orang lain.Laki-laki paruh baya berwajah teduh itu mengangguk dan memandang istrinya. "Bu, aku sama Mas Bintang pergi dulu. Aku mau ke rumah Arya dan Mas Bintang menyusul Farrel. Bagaimana, Mas Bin?" tanyanya meminta persetujuan.Bintang mengangguk menyetujui. "Baiklah, Pak, begitu lebih baik," jawabnya, kemudian bersiap pergi.Di tempat lain...Malam ini acara latihan selesai lebih cepat. Langit mulai bergelayut mendung tebal dengan gemuruh petir seperti akan turun hujan. Farrel mengibas-kibaskan bajunya yang basah karena tadi memang dia masuk ke dalam parit. Sialnya, dia tak membawa baju ganti seperti yang selama ini selalu tersedia di tas ranselnya.Malam ini, rencananya mereka akan nongkrong dulu di alun-alun kota. Ada salah satu temannya yang ulang tahun, katanya. Mereka ingin merayakan ulang tahun sang teman sembari menikmati kopi dan makanan ringan di warung lesehan."Sialan, aku mirip kucing kecemplung got. Aku langsung pulang saja ya, malu pakai baju begini ke sana." Farrel berucap sembari melirik penampilannya sendiri yang berantakan.Salah satu temannya mendesah kecewa. "Ye, Rel, payah kamu. Sudah pakai itu saja. malam-malam siapa yang peduli penampilan? Kalaupun ada orang lihat juga tahu kita habis latihan Rel."Farrel berdecak. "Kamu nggak lihat apa? Cowok secakep ini, anak Pak Haji Imran kayak tikus kecemplung got? Bagaimana kalau ketemu cewek di jalan, malu lah, Nyet!" serunya membela diri sambil terus mengibas-kibaskan bajunya."Cewek-cewek tengah malam begini keluyuran juga bukan type menantu Pak Kyai lah, Ndul!" sahut Dino."Sudah Rel, ini pakai bajuku saja, aku tadi bawa ganti belum aku pakai.""Nah, gitu dong San, kamu memang pengertian. Thanks, besok aku balikin," ucap Farrel kemudian menerima baju dari temannya dan langsung memakainya.Pas.Karena ukuran tubuh mereka memang sama, bedanya Farrel lebih tinggi dari Hasan. Masalah drama baju selesai. Keenam pemuda itu pun segera naik ke motor mereka masing-masing menuju ke alun-alun kota."Nggak ada acara mendem ya, aku sudah pengin tobat. Capek Nyet, diceramahi Bapak terus!" ucap Farrel tegas begitu mereka sudah sampai di alun-alun dan duduk di tikar sebuah warung lesehan.Kelima teman Farrel mengangguk menyetujui.Pemuda dengan rambut dicat kebiruan itu mengambil handphone yang bergetar di saku celananya. Farrel sedikit menjauh dari teman-temannya."Pak Bintang," gumamnya lirih dengan perasaan heran ketika membaca nama Bintang di situ.* * *Farrel mengusap rambutnya kasar dengan perasaan tidak karuan. Dia menarik napas panjang dan menghembuskan pelan sebelum memutuskan menerima panggilan telepon dari tetangga baru yang mengontrak rumah orang tuanya itu."Assalamu'alaikum," sapanya sopan. Walaupun slengekan, pemuda itu tidak melupakan tata krama. Pemuda yang menjadi alumni dari sebuah universitas tinggi di kota Malang itu memang masih tersesat, jauh dari agama, tetapi tidak pernah melupakan sopan santun.Kedua orang tua Farrel yang notabene orang dengan latar belakang agama yang kuat tidak bisa memaksa sang anak untuk mengikuti jejak mereka. Walaupun sebenarnya mereka tidak pernah lelah dan bosan menasihati putera semata wayangnya untuk kembali pada jalan Allah.Akan tetapi, jika hati sang anak masih tertutup maka tidak ada seorang pun yang bisa memaksanya sebelum hidayah itu benar-benar menyentuhnya. Suara baritone milik Bintang menyentak Farrel dari lamunannya. "Waalaikumsalam Mas Farrel, ini Bintang. Mas Farrel di man
Mendengar jawaban Bintang, sontak Alisha membekap mulutnya dengan mata membulat. "Hah, miring gimana Mas?" tanyanya dengan berbisik.Bintang memejamkan mata sejenak, kemudian kembali menjawab tanpa mengalihkan pandangannya pada sosok makhluk aneh di luar sana."Mulutnya memanjang ke atas. Nggak kayak kita," bisiknya.Alisha mengusap lengannya yang meremang. Wanita cantik itu juga beringsut, merapatkan tubuhnya pada tubuh sang suami. Sedangkan Bintang masih di posisi yang sama. Yakni, mengawasi gerak-gerik bocah kecil di pekarangan belakang rumah tetangganya.Bibir laki-laki itu tampak bergerak-gerak, dia sedang menggumamkan do'a. Ayam-ayam dan binatang peliharaan tetangga mereka tampak gaduh, bahkan beberapa ayam mengeluarkan suara-suara seperti rintihan. Bintang terus membaca do'a kemudian diikuti oleh sang istri. "Sudah pergi, Dik. Ayo kita shalat tahajud dulu sekalian nunggu shalat subuh," ajaknya."Aku takut Mas." Mendengar ucapan istrinya, Bintang tertawa lirih sambil mengusap p
"Sudah ya, Ibu-Ibu, saya duluan. Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam, terima kasih Pak Bin, Mbak Alisha sudah belanja," ucap Pak Tukang Sayur dengan senang karena Alisha membeli banyak dagangannya.Bu Sayuti melirik ke arah Alisha dengan tatapan sinis. Jangankan membalas salam Alisha, melihat saja seolah enggan. Entah mengapa, dirinya tidak menyukai Alisha yang menurutnya orang yang sangat menyebalkan.Padahal, selama tinggal di Desa Karanglor, baik Bintang maupun Alisha tidak pernah mengusik kehidupan mereka. Tetapi, apa pun alasannya jika di dalam dasar hati sudah tertanam rasa iri dengki maka apa pun yang dilakukan orang lain akan selalu salah di matanya.Tanpa sadar Bu Sayuti menarik napas kasar. Semenjak desas-desus Bintang dan Alisha akan membeli rumah baru, Bu Sayuti seperti terlihat ''kepanasan'' maka dia bertekad tidak mau kalah dari Alisha. Lagi, dia tersenyum satu sudut, namun hanya dalam satu detik. "Sudah diludahi belum Kang, itu duit dari Alisha? Jangan sampai lho uangmu
Selama 29 tahun hidupnya, Bintang kembali harus menghadapi kenyataan yang menurutnya konyol. Ide dari sang istri yang memintanya mencari kepiting atau yuyu adalah tantangan tersendiri baginya. Dia tadinya berpikir, jika ide dari wanita yang menjadi istrinya sejak setahun lalu itu, adalah dengan cara menggunakan alat digital. Namun, nyatanya jauh di luar dugaan Bintang.Laki-laki bertubuh tegap itu kembali menggaruk rambutnya. "Kamu yakin ini berhasil, Dik?" tanyanya memastikan.Alisha mengangguk pelan," InshaAllah Mas," jawabnya lirih. Alisha pernah mendengar cerita dari orang-orang kampung dulu, juga dari neneknya. Maka dia ingin mencoba menerapkan sendiri. Tidak ada salahnya mencoba, bukan? Jika berhasil maka seperti keinginan Bintang, dia juga ingin tahu siapa pemilik makhluk tak kasat mata tersebut."Terus bagaimana caranya?" tanya Bintang lagi untuk menuntaskan rasa penasarannya."Ya, kata Eyang dan orang-orang sih, tuh baskom dikasih air terus kepiting atau yuyu taruh saja di si
Setengah berlari, Alisha menghampiri kerumunan. Dia membekap mulutnya dengan tatapan mata nanar melihat pemandangan di depannya."Innalilahi wa innailaihi roji'uun!" pekiknya.Perempuan paruh baya yang beberapa menit yang lalu masih tampak segar bugar, ketika bertemu dengannya di dalam supermarket.Kini dia tergeletak bersimbah darah, tubuh kurusnya meringkuk di dekat trotoar. Jilbab simpel yang dikenakannya sudah berlumuran darah. Sedangkan tak jauh darinya, sekotak susu formula tergeletak mengenaskan di antara belanjaan perempuan tersebut yang berhamburan di atas aspal.Terbayang jelas, bagaimana tadi dia sangat senang bisa membeli susu untuk cucunya. Dan melihat dari penampilannya, sepertinya dia bukanlah orang yang berkecukupan. Sehingga mungkin menemukan uang yang jumlahnya seratus ribu saja membuatnya begitu bahagia. Beberapa saat kemudian, petugas kepolisian datang mengevakusi tubuh perempuan tersebut yang mungkin sudah dalam keadaan meninggal dunia. Dengan dibantu beberapa ora
Bu Halimah dan Fitri mengikuti arah telunjuk Alisha. Akan tetapi, mereka tidak melihat apa pun kecuali rerimbunan pohon pisang yang tumbuh di pinggir jalan. Alisha mengerjap berkali-kali, meyakinkan bahwa tidak salah melihat.Pak Duki yang meninggal beberapa waktu lalu, kini berdiri kaku di depan mobilnya dengan tatapan mata kosong tertuju ke arah dalam mobil Alisha. Tepatnya ke arah Rafli yang tertidur di pangkuan Fitri dan Bu Halimah. Baju lelaki paruh baya berbadan kurus itu sangat lusuh, seperti terakhir dia mengenakan baju tersebut ketika bekerja memetik cengkeh di kebun Pak Haji Imran.Dan yang membuat Alisha semakin bergidik ngeri adalah keberadaan dua makhluk kecil di punggung Pak Duki. Makhluk aneh dengan mulut mereka yang memanjang ke atas. Persis seperti yang diceritakan suaminya tempo hari. Kedua makhluk yang memiliki bentuk tubuh mirip anak kecil kurus itu terlihat senang berada di gendongan Pak Duki."Astaghfirullah ya Allah, kami mau lewat. Ya Allah, lindungi kami semua
Makhluk menyeramkan bertubuh tinggi besar dengan taring panjang bahkan melewati batang lehernya itu, menyeringai mengerikan. Dia membuka mulut dan menjulurkan lidahnya yang panjang mencapai laki-laki di depannya. Lidah itu menjilat kepala ayam kemudian membelit leher ayam malang tersebut. Tubuh ayam cemani betina itu terangkat ke atas, terlepas dari gendongan laki-laki paruh baya tadi. Kemudian dengan kejamnya, makhluk aneh itu membanting ayam yang tak berdaya tersebut ke bebatuan. Sehingga langsung bergerak-gerak tak karuan. Menggelepar seperti ayam yang baru saja disembelih. Laki-laki paruh baya itu terbelalak kaget, melihat kondisi ayam yang digunakan sebagai persembahan. Perwujudan dari seorang perempuan yang telah dia jadikan tumbal itu, sekarang dalam keadaan menyedihkan.Tak berapa, lama ayam itu mengalami sakaratul maut, tiba-tiba terdengar denguran layaknya manusia yang berada di ujung ajal.Makhluk aneh tersebut tertawa puas melihat persembahan yang dibawa laki-laki yang te
Pak Haji Imran mempercepat langkah menuju ke tempat parkir di area rumah sakit. Dia merasakan kekhawatiran yang mendalam dengan keberadaan anak semata wayangnya itu. Apalagi, ketika dia menelepon kembali Farrel berkali-kali, namun tidak mendapatkan jawaban.Lelaki paruh baya itu pun melajukan motornya dengan kecepatan cukup tinggi, untuk mencapai tempat di mana tadi dia menyuruh Farrel menunggu. Namun, sesampainya di sana, dia sudah tidak menemukan keberadaan sang anak. Kemudian, dia kembali melajukan motornya menuju ke Desa Sendang di mana tempat Farrel akan melatih silat anak-anak didiknya."Lihat Farrel, Dik?" tanyanya begitu tiba pada sekelompok remaja yang sudah mengenakan seragam silatnya."Belum datang, Pak," jawabnya yang diangguki oleh yang lain. Pak Haji Imran mendengus kasar karena Farrel sama sekali tidak bisa dihubungi. Laki-laki berjaket hitam itu mendongak, menatap langit malam yang cukup terang dengan sinar rembulan yang telah membulat sempurna. "Di mana kamu Le, lind