Pagi menjelang, pukul delapan rombongan Jhagad sudah bersiap untuk turun. Tegar terlihat juga telah siap untuk turun. Entah disengaja atau tidak mereka pun turun bersama-sama menuju Pos Tiga. Selama perjalanan turun, tidak ada halangan yang berarti kali ini.
Sampai di dekat persimpangan Hutan Terlarang, tiba-tiba saja suasana menjadi sangat ramai. Banyak pendaki berhamburan dari arah Pos Tiga menuju ke Pos Empat.
“LARI… KEBAKARAN!!!,” teriak para pendaki sambil berlarian.
“Bang, ada apa?” tanya Jhagad pada salah satu pendaki yang berhasil dicegatnya.
“Kebakaran Bang, Pos Tiga sudah mulai terbakar,” jawab pendaki itu singkat lalu melanjutkan langkahnya berlari.
Api yang melahap pohon-pohon di arah Pos Tiga pun mulai terlihat dari perbatasan Hutan Terlarang. Para pendaki banyak yang berlari menuju ke arah satu-satunya jembatan gantung yang menghubungkan Hutan Terra dan Hutan Terlarang.
"CEPAT! KE JEMBATAN GANTUNG!" para pendaki berteriak-teriak.
Para pendaki itu berpikir bahwa satu-satunya tempat yang aman adalah area Hutan Terlarang karena ada sungai besar yang mengelilinginya.
Kondisi saat itu sangat tidak terkendali. Para pendaki benar-benar lari tanpa melihat kanan kiri. Sampai-sampai tidak sedikit di antaranya yang terjatuh. Bahkan ada satu orang pendaki yang hampir saja terdorong masuk ke jurang. Beruntung Cantigi yang ada di dekatnya reflek menarik tangan pendaki itu. Pendaki itu pun berhasil diselamatkan.
“Hati-hati!” kata Cantigi.
“Terima kasih,” ucap pendaki itu, kemudian pamit menyusul teman-temannya yang sudah berlari.
Namun nahaz, setelah menyelamatkan pendaki itu, dari titik buta ada pendaki lain yang menabrak Cantigi hingga ia pun terdorong ke tepian jurang.
Melihatnya, Jhagad pun langsung reflek meraih tangan kanan Cantigi untuk menariknya. Di sisi lain, Tegar juga meraih tangan kiri Cantigi. Namun, tidak disangka, ketika kaki Jhagad dan Tegar menjejak di tepian jurang bersamaan, tanahnya longsor.
“Oh tidak!” kata Jhagad sambil melihat tanah yang dipijaknya mulai bergerak.
Cantigi, Jhagad dan Tegar pun terjatuh ke jurang beberapa meter.
“GI… GAD…!!!” Rosie dan Jazlan berteriak parau. Awan juga panik, mulai berpikir apa yang bisa dia lakukan.
Beruntungnya, tangan kiri Jhagad dan tangan kanan Tegar masing-masing berhasil menggapai akar pohon di dinding jurang. Sementara, tangan kanan Jhagad dan tangan kiri Tegar masih mengenggam erat pergelangan tangan Cantigi. Mereka bertiga pun bergelantungan di jurang.
“Lepaskan tanganku, kalian masih bisa bertahan jika tanpa aku,” teriak Cantigi pada Jhagad dan Tegar.
“Kau gila, berhentilah bicara! Ini semakin berat,” ucap Jhagad tertahan.
“Astaga, berapa banyak yang kau makan semalam, Gi?” gurau Tegar juga dengan suara tertahan.
"Kalian jangan keras kepala, cepat lepaskan tanganku,” teriak Cantigi yang tidak ingin menjadi beban.
Sementara mereka berdebat, Awan dan Jazlan pun segera mengikatkan tali ke batang pohon besar di atas sebagai tumpuan. Kemudian mereka ulurkan tali tersebut ke jurang.
“Tangkap talinya!” teriak Jazlan dari atas.
Nasib sungguh nasib, tali itu tersangkut di ranting yang tidak jauh dari akar pohon yang dipegang oleh Jhagad. Awan berusaha memindahkan posisi tali, tetapi tidak bisa.
Jhagad pun berusaha menggapai tali tersebut. Sedikit demi sedikit, jari telunjuk Jhagad mulai mendekati tali tersebut. Ketika hampir bisa meraih talinya, tiba-tiba saja Tegar memanggil nama Jhagad.
“Gad!” kata Tegar dengan nada panik sambil melihat ke arah akar pohon di genggamannya yang mulai terlepas dari dinding jurang.
“Sial!” kata Jhagad.
Beberapa detik kemudian, ketika tali mulai tersentuh, akar yang digenggam Jhagad dan Tegar pun benar-benar terlepas dari dinding jurang. Mereka bertiga pun benar-benar terjatuh dan terjun bebas ke jurang, menyisakan suara teriakan yang semakin menghilang. Diikuti suara deburan air yang lumayan keras.
BYUUUR…..
Rosie berteriak parau, menangis. Jazlan masih menatap nanar jurang itu.
Awan terdiam untuk kemudian berkata, “Kita segera ke Hutan Terlarang dan menyisir sungai dari sana!”
Awalnya Rosie dan Jazlan tidak mendengar yang dikatakan oleh Awan. Pikiran mereka berdua masih dipenuhi ingatan jatuhnya temannya ke jurang.
Kemudian, Awan pun, meraih tangan Rosie dan Jazlan sambil berkata, “Meratap tidak akan menyelamatkan mereka.”
Sadar bahwa perkataan Awan ada benarnya, Rosie menghapus air matanya. Jazlan sudah bersiap menggendong tasnya. Mereka bertiga pun segera bergerak menuju jembatan gantung, yang menjadi satu-satunya jalan masuk ke Hutan Terlarang.
Sementara itu, para pendaki dari arah Pos Tiga semakin banyak yang berlarian menuju ke arah jembatan gantung. Awan, Jazlan dan Rosie pun berada di antara kerumunan itu. Ketika sampai di depan jembatan gantung penghubung Hutan Terlarang dan Hutan Terra, mereka terhenti.
“CEPAT BUKANYA!” Teriak salah seorang pendaki pada pendaki lain yang berusaha membuka pagar besi yang menutup jalan ke jembatan gantung.
Sayang, pagar besi itu terkunci. Didorong berapa kali pun tidak menunjukkan tanda-tanda akan terbuka. Sementara api sudah terlihat hampir sampai ke area itu.
“Wan, kamu tetap di sini dengan Rosie, biar aku membantu mereka!” kata Jazlan sambil membawa batu yang cukup besar.
“MINGGIR-MINGGIR!” teriak Jazlan sambil menyibak kerumunan pendaki di depan pagar besi jembatan gantung.
PROK.. PROK.. PROK..
Setelah membenturkan batu beberapa kali, akhirnya gembok yang mengunci pagar besi jembatan gantung pun terbuka. Para pendaki langsung saja mendorong, memaksa masuk jembatan gantung.
“Hei, Jangan dorong-dorong!” teriak Jazlan yang tubuhnya terdorong oleh para pendaki lain.
Sayang, teriakan Jazlan sama sekali tidak didengar. Jazlan yang berada tepat di depan jembatan gantung ketika pagar besinya terbuka pun terdorong masuk begitu saja oleh para pendaki lain.
Tanpa sadar, Jazlan telah terpisah cukup jauh dengan Awan dan Rosie. Rosie sebenarnya juga sempat terseret oleh para pendaki lain. Namun Awan dengan sigap menggapai tangannya.
“Pegang tanganku, jangan dilepaskan apapun yang terjadi, kamu mengerti?” ucap Awan mantap kepada Rosie.
Mereka berdua bergandengan tangan, bertahan, mengikuti arus larinya pada pendaki, melewati jembatan gantung. Karena saking banyaknya pendaki yang memaksa lewat, jembatan gantung itu pun mulai bergerak ke kanan dan ke kiri.
Tali penyangga sebelah kiri jembatan yang terikat di batang pohon besar pun mulai menipis seiring dengan gesekan yang timbul akibat gerakan dari jembatan. Beruntungnya, jembatan masih bisa bertahan hingga pendaki terakhir sampai di area Hutan Terlarang.
Di area Hutan Terlarang para pendaki menyebar, menjauhi arah perbatasan. Awan dan Rosie melempar pandangan ke sekitar, mencari Jazlan yang tidak terlihat batang hidungnya.
“Jazlan di mana, Wan?” tanya Rosie.
Awan hanya menggeleng, sambil masih terus mengarahkan padangannya ke sekitar. Mencari sosok Jazlan. Tapi nihil. Awan pun berpikir bahwa Jazlan mungkin sudah mengambil arah mengikuti arus sungai mengalir. Mengingat, pembicaraan terakhir mereka adalah menyisir sungai untuk mencari Jhagad dan Cantigi.
“Ayo! Mungkin Jazlan sudah menyisir duluan.”
Awan pun menggandeng tangan Rosie dan mulai berjalan ke arah kiri jembatan gantung. Beberapa pendaki lain pun juga ada yang mengambil arah yang sama. Namun, lebih banyak lagi yang masuk ke dalam Hutan Terlarang untuk menjauhi kebakaran.
***
Di sisi lain, para rangers Gunung Argon dan pemadam kebakaran daerah setempat sudah aktif bergerak, memadamkan api. Pada area yang belum terlalu besar apinya, para rangers yang telah menggunakan pakaian tahan api mulai menggali tanah untuk memutus titik persebaran api.
Beberapa pemadam kebakaran juga membawa racun api untuk mematikan api agar tidak menyebar dan semakin membesar.Namun, topografi Gunung Argon yang banyak di kelilingi oleh jurang curam membuat mobil pemadam kebakaran tidak dapat masuk lebih dalam untuk menjangkau area kebakaran.
Pemadam kebakaran pun menggunakan helikopter untuk menembakkan waterbom dari udara. Tapi, karena asap yang sangat tebal, helikopter pun menjadi sangat terbatas pergerakannya. Sedang api tetap menyebar begitu cepatnya.
"Lapor! Api sudah mulai tidak terkendali, Pak. Heli tidak bisa menjangkau titik api lebih dalam lagi,” kata seorang pemadam kebakaran pada pimpinannya.
“Fokuskan heli pada penghentian penyebaran api,” perintah pimpinannya.
“Tapi Pak, para pendaki..”
“Persebaran api terlalu cepat, jika tidak segera ditangani akan sampai di area penduduk”
“Siap laksanakan Pak!” petugas itu pun tertegun, mengerti bahwa pimpinannya juga sedang berada pada pilihan sulit, namun skala prioritas tetap harus dijalankan.
Helikopter pun lebih fokus menyisir titik-titik penyebaran api. Mengingat, jika tidak dicegah maka api mungkin bisa mencapai area yang lebih mudah lagi terbakar. Jika mencapai area itu, maka area pemukiman penduduk akan terancam bahaya.
Berita tentang kebakaran gunung ini pun secepat kilat menyebar ke seluruh penjuru negeri. Hampir setiap stasiun televisi menyiarkan berita kebakaran hebat ini. Bahkan sudah banyak reporter yang memenuhi basecamp pendakian Gunung Argon jalur Roc.
"Hingga kini, api masih belum berhasil dipadamkan. Lebih dari 100 orang rangers dan pemadam kebakaran sedang bekerja keras untuk memadamkan api melalui jalur darat dan udara. Menurut data pihak basecamp, setidaknya ada 150 pendaki yang masih ada di Gunung saat kejadian kebakaran terjadi. Hingga kini, kondisi para pendaki tersebut belum diketahui. Sekian laporan terkini dari kami, Rani melaporkan secara langsung dari Gunung Argon. Kembali ke studio,” suara reporter di salah satu stasiun televisi.
Bersamaan dengan berhentinya siaran langsung reporter tersebut, terdengar suara helaan napas panjang dari seorang wanita paruh baya. Tangannya gemetar, remote televisi yang dipegangnya pun jatuh ke lantai.
“Tidak mungkin!” ucap wanita paruh baya itu sambil menutup mulutnya, tidak percaya.
Bukan hanya Cantigi yang panik, Rosie, Tegar dan Jazlan juga. Kedua orang laki-laki itu tampak melongok ke jembatan yang sudah tergantung ke sisi jurang.Melihat Jhagad bergelantungan, Jazlan mau bergerak menolong. “Gad!?”“Biar aku saja, kau tunggu di sini,” cegah Tegar sambil sudah bergerak, menuruni jembatan itu.“Bertahan, Gad!” teriak Jazlan.Jhagad sendiri tampak sedang bergelantungan, tangannya berpegang ke tali jembatan terbawah sambil kakinya menendang-nendang Mahluk Haus Darah yang memegangi kakinya.“Bantu aku,” Awan tiba-tiba berteriak, membuat Jazlan menoleh.Ternyata, laki-laki itu sedang memegangi tali jembatan yang masih terikat di pohon.Beruntungnya, kebakarannya tidak sampai melahap tanaman di sekitar jembatan gantung itu.“Talinya sudah menipis sekali,” kata Jazlan seketika melihat kondisi talinya.Sementara itu, Tegar tampak sudah akan sampai di posisi Jhagad.“Hati-hati!” teriak Cantigi, Rosie menatap harap-harap cemas.“Naik, buat apa kau turun?!” ucap Jhagad ke
Para perempuan tampak istirahat. Jazlan dan Tegar juga. Lumayan, masih tersisa beberapa jam sebelum mereka harus berlari nanti.Tinggallah Awan dan Jhagad saja yang masih terjaga. “Kau tidak tidur?” tanya Jhagad kepada Awan.“Bisa kita bicara di luar?” Awan justru bertanya balik.“Bicara apa?”“Tempat buang air,” ucap Awan dengan nada serius sambil melirik ke arah sahabatnya.Paham dengan maksud Awan, Jhagad mengiyakan. “Oh, ok.”Kepada yang lain mungkin Jhagad bisa pura-pura dan menyembunyikan semuanya. Tapi, kepada Awan lain cerita.Di saat orang-orang tidak curiga, hanya Aw
“Tenang, sepertinya, mereka tidak bisa melihat kita dalam kabut ini,” kata Awan, berdiri di samping Rosie.“Benar. Sebaiknya kita bergegas,” Jhagad yang di depan pun segera memberikan komando.Mereka terus berjalan, sambil melihat ke bayangan di kabut untuk jaga-jaga.Tapi, Mahluk Haus Darah itu tidak menyerang. Sepertinya benar, mereka aman di dalam lingkup kabut itu.Beberapa menit kemudian, sebuah cahaya lampu kuning terlihat.“Jogoboyo?!” sapa Jhagad.“Cepat ikuti aku,” ucap Jogoboyo sambil berjalan.Jhagad dan rekan-rekannya pun mengikuti ke mana Jogoboyo pergi.
“Benar, ‘kan? Ini bukan langkah manusia,” ucap Tegar kepada Jhagad. “Aku tahu, tapi tidak perlu membuat orang semakin takut bukan?” sindir Jhagad, membuat Tegar menoleh ke belakang. Melihat Rosie dan rombongan perempuan lainnya, ia pun merasa bersalah karena membuat mereka tegang begitu. “Sorry-sorry, kemungkinan itu suara langkah hewan. Jangan panik” “Heh. Langkahnya semakin mendekat, mengarah ke sini,” kata Jazlan sambil bersiap dengan tongkat pendaki yang ia bawa sejak tadi. “Jangan menyerang lebih dulu. Matikan saja headlampnya,” usul Tegar. “Ha? Serius?” sahut Sivi seolah tidak setuju dengan ide Tegar itu. “Serius. Ini ruangan tertutup, kalau itu hewan buas, kita sebaiknya tidak menyerang, tapi bersembunyi. Satu-satunya cara sembunyi ya cuma membuat gelap ruangan, agar hewan itu tidak melihat.” “Kalau itu hewan yang peka dengan bau manusia bagaimana?” “Iya juga.” Tegar jadi berpikir ulang.
“Sepertinya benar ini lorong bawah tanah. Ujungnya tidak terlihat, masuklah,” jawab Tegar.Mendengarnya, Jhagad dan Jazlan pun saling tatap. Seolah sudah bersepakat, Jhagad masuk ke dalam peti itu lebih dulu.Jhagad sudah ada bersama Tegar, giliran Jazlan menyusul.Dengan bantuan cahaya headlamp yang redup, mereka bertiga pun mulai melihat lorong bawah tanahnya.“Coba lihat ini!” kata Tegar yang sedang memeriksa sebuah lukisan di dinding sebelah kanan.Jhagad dan Jazlan berjalan mendekat. Melihat lukisan itu, Jazlan berceletuk. “Peta?”“Sepertinya iya. Ini benteng, ini padang rumputnya.” Jhagad berkata sambil menunjuk ke arah peta, menunjuk tempat yang ia sebut.“Dan yang ini, sepertinya jalur lorong ini.” Tegar menunjuk jalur di peta itu. “Kalau dari sini, lorongnya terhubung dengan salah satu gua di dekat jembatan. Benar ‘kan?”“Kupikir juga begitu.” Jhagad setuju.“Hah…!” Jazlan menghela napas lega. “Ok, aku akan menyusuri lorong ini kalau begitu.”“Kalau menurutku, sebaiknya kita
Bukannya menjawab pertanyaan Cantigi, Jazlan justru memanggil Awan, “Wan!”Awan pun menoleh. Jazlan menatapnya, mereka pun saling tatap untuk beberapa detik. Sementara, yang lainnya masih menunggu. Jhagad mulai menyadari bahwa ada hal yang serius hanya dari melihat ekspresi Jazlan saat itu. Jazlan orang yang penuh humor tiba-tiba saja menunjukkan ekspresi tegang, jelas bukan pertanda baik. Bahkan Rosie pun juga ikut tegang dibuatnya.“Kau ingat jembatan gantungnya?” tanya Jazlan sambil masih menatap Awan.Untuk sejenak, Awan terlihat berpikir. Mencoba mengingat-ingat kembali tentang jembatan gantung yang menjadi pembatas dan satu-satunya penghubung antara Hutan Terra dan Hutan Terlarang. Ekspresi Awan lantas berubah ketika akhirnya mengingat sesuatu. Hal kecil yang ternyata bisa berdampak kepada risiko dan ancaman yang skalanya lebih besar.“Gerbang jembatan gantungnya terbuka,” ucap Awan dengan nada suara yang tampak menyesal.“Benar,” Jazlan membenarkan.“Gerbang jembatan gantung? M