Share

BAB 5: Bukan Awan yang Kukenal

Setelah mendapat kabar dari orang rumah, Kakak Rosie langsung menuju ke basecamp Gunung Argon saat itu juga. Hal serupa juga dilakukan oleh para keluarga pendaki yang masih terjebak di Gunung Argon saat itu.

Akibatnya, basecamp Gunung Argon pun dipenuhi oleh keluarga para pendaki yang masih terjebak kebakaran. Tidak sedikit ibu yang menangis histeris mengkhawatirkan keadaan putra putrinya. Pihak basecamp pun masih berusaha menenangkan keluarga para pendaki. Mereka pun menyiapkan tempat yang layak untuk menjadi tempat istirahat sementara keluarga pendaki.

Seorang laki-laki muda dengan perawakan tinggi tegap turun dari mobil dan langsung mendekati petugas informasi basecamp.

“Pak, saya kakak dari Rosie Hanan. Boleh saya tahu informasi terakhir terkait kondisi adik saya?” tanya laki-laki itu.

“Rosie Hanan ya, sebentar. Iya benar, Rosie Hanan naik bersama keempat temannya. Kalau menurut jadwal rombongan mereka seharusnya dalam perjalanan turun ke Pos Tiga ketika kebakaran,” jelas pertugas basecamp sambil menunjukkan buku catatannya.

“Dan sumber kebakaran di Pos Tiga, Pak?” tanya Kakak Rosie.

“Benar. Tapi, dari pantauan cctv terakhir, banyak pendaki yang bergerak menyelamatkan diri ke area Hutan Terlarang. Semoga saja adik saudara termasuk juga, berdoa ya, tim kami juga sedang berusaha”

“Hutan Terlarang? Ah tidak, maksud saya, lalu untuk proses pencariannya, Pak?” ucap Kakak Rosie yang tertegun sejenak setelah mendengar nama Hutan Terlarang disebut.

"Jika api sudah mulai bisa dikendalikan, rangers akan mulai proses pencarian, utamanya di fokuskan di area Hutan Terlarang. Namun, sekarang masih belum bisa dilakukan karena api masih berusaha dikendalikan”

“Baik. Tolong izinkan saya bergabung di tim pencarian, Pak. Saya cukup sering naik Gunung Pak, insyaAllah saya tidak akan menjadi beban,” kata kakak Rosie memohon.

“Baik, nanti akan kami beri kabar lagi jika ada informasi lanjutan. Saudara sebaiknya istirahat, tenangkan diri dulu.”

“Baik Pak, saya akan menunggu di depan,” kata kakak Rosie sebelum akhirnya beranjak, melangkah gontai ke bagian depan basecamp Gunung Argon.

Kakak Rosie terduduk di lantai teras depan basecamp. Pikirannya masih benar-benar dipenuhi kekhawatiran yang luar biasa. Setelah menghembuskan napas panjang, pelan dikeluarkannya telepon genggam dari sakunya. Jarinya mulai mengarah ke ikon kontak untuk kemudian melakukan panggilan suara.

“Halo, Za, gimana nak, adikmu?” kata perempuan dengan suara serak khas orang menangis.

“Tadi kata petugas ada kemungkinan pendaki mengevakuasi diri ke tempat aman di Gunung Bu, Ibu jangan khawatir, Rosie pasti selamat,” kakak Rosie mencoba menenangkan Ibunya.

“Aamiin. Ya Allah… semoga nak, semoga, kalau terjadi sesuatu dengan adikmu, Ibu... I..bu..,” ucap wanita itu tergugu.

"Rosie akan baik-baik saja Ibu. Ibu yang tenang di rumah. Riza akan bawa pulang Rosie dengan selamat, apapun yang terjadi. Riza janji Ibu.”

“Iya nak, tolong ibu nak,” dan wanita di ujung telepon itu pun menangis lagi.

“Apa ayah perlu ke sana juga, Za?” suara laki-laki paruh baya terdengar, tanda telepon telah berpindah tangan.

“Tidak Yah, Ayah temani Ibu saja di rumah, biar Riza yang urus semuanya disini.”

“Baik kalau begitu, kau juga harus hati-hati. Jaga diri baik-baik, bawa pulang adikmu.”

“InsyaAllah Yah, mohon doanya.”

“Baik kalau begitu Ayah tutup dulu teleponnya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” telepon pun ditutup. Kakak Rosie sukses menutupi kekhawatirannya. Setidaknya orang rumah tidak perlu tahu betapa mengkhawatirkan kondisi di basecamp saat ini, pikirnya.

Para rangers dan pemadam kebakaran tidak henti-hentinya berlalu-lalang di area basecamp. Mereka saling berkoordinasi dengan tim yang sedang berada di lapangan. Kondisi genting belum terlewati. Api masih belum bisa benar-benar dikendalikan sepenuhnya.

Kakak Rosie hanya bisa terdiam, mematung melihat pemandangan di basecamp ini. Pikirannya jauh sekali melayang, bagaimana keadaan adiknya di sana. Melihat kobaran api membuatnya jeri. Pikiran negatif bermunculan, ia pun menundukkan kepalanya. Mencari sedikit ketenangan.

“Hutan Terlarang?” ucap Kakak Rosie pelan, sambil menghembuskan napas.

Kakak Rosie paham benar, bahwa mungkin adiknya bisa lolos dari kobaran api. Tapi, Hutan Terlarang? Astaga, itu juga tidak kalah berbahaya. Bahkan mungkin lebih berbahaya. Firasatnya benar-benar buruk. Hatinya pun semakin berkecamuk.

***

Di sisi lain, asap kebakaran telah sampai di area Hutan Terlarang, bahkan jembatan gantung yang menghubungkan Hutan Terra dan Hutan Terlarang pun menjadi terlihat kabur, hampir tidak terlihat.

Meskipun apinya memang tidak sampai menyebar ke Hutan Terlarang, namun asapnya benar-benar membuat sesak, membuat perih mata, para pendaki terpaksa masuk lebih jauh lagi ke dalam area Hutan Terlarang.

"HEI! CEPAT! ASAPNYA SEMAKIN MENEBAL INI!" teriak salah seorang pendaki tidak sabaran.

Para pendaki benar-benar tidak peduli pada apapun kecuali hanya fokus berlari, menjauh-sejauh-jauhnya dari api dan asapnya. Banyak di antaranya yang sampai terjatuh-jatuh, dan tidak sedikit yang terseret oleh kerumunan yang berlari-lari, menambrak kanan kiri.  

Manusia kalau sudah berurusan dengan ancaman yang mengancam jiwanya, pastilah hanya mementingkan diri sendiri. Apapun akan dilakukan, asal bisa menyelamatkan dirinya sendiri.

Sambil terus berjalan, menjauhi jembatan gantung bersama Rosie, Awan pun berinisiatif membasahi masker dengan air kemudian memberikannya  kepada Rosie, “Pakailah.”

“Kau?” tanya Rosie sambil mengambil masker yang diberikan Awan.

Tanpa menjawabnya, Awan pun juga membasahi satu masker lagi untuk dipakainya sendiri.

Mereka pun melanjutkan langkah menyusuri tepian tebing ke arah arus air sungai mengalir. Berharap, ada bagian tebing yang tidak terlalu tinggi, sehingga mereka dapat lebih dekat lagi dengan sungainya. Dengan mata yang menahan perih, mereka berdua melangkahkan kaki lebih cepat lagi.

Semakin jauh, asap mulai menipis, mata mereka pun tidak terlalu perih lagi. Walaupun kabut asap masih menghalangi jarak pandang, setidaknya kondisinya lebih baik sekarang. Mereka pun memutuskan untuk istirahat sejenak.

Sudah setengah jam mereka berjalan, namun tanda-tanda keberadaan Jazlan belum juga terlihat. Apalagi tepian tebing yang lebih pendek, belum juga mereka temui. Rosie terduduk di bebatuan yang cukup besar, lusuh sekali, tatapannya kosong.

 “Jangan melamun,” kata Awan mengingatkan Rosie pelan.

Rosie pun menoleh, sadar dari lamunannya. “Menurutmu, Cantigi dan Jhagad se..lamat?” tanyanya pelan, sedikit gemetar.

“InsyaAllah,” jawab Awan singkat.

Mendengarnya, Rosie hanya diam, tidak menjawab apa-apa dan kemudian mulai menitikan air mata. Melihatnya, Awan pun sadar, kali ini Rosie butuh ditenangkan.

“Jhagad sangat ahli berenang, dan Cantigi fisiknya sangat kuat, bahkan lebih kuat dariku bisa dibilang. Mereka juga tidak berdua saja, ada Tegar yang sepertinya cukup berpengalaman. Mereka pasti bisa survive, tenanglah dan ingat, kita sekarang masih di dalam hutan, tidak baik jika pikiran kita kosong,” kata Awan sambil menatap Rosie dengan tatapan meneduhkan.

Mungkin ini pertama kalinya kalimat terpanjang terucap dari mulut Awan, setidaknya sejak sampai di Gunung Argon. Mendengarnya, Rosie pun menghapus air mata di pipinya, mulai menguatkan diri. Mengangguk dengan senyum tipis ke arah Awan, tanda percaya.

Awan pun senang melihatnya, kemudian berdiri, melihat ke sekitar, mencari pandang keberadaan Jazlan. Rosie melihat sosoknya dari belakang.

“Laki-laki ini berbeda sekali dengan Awan yang biasanya kulihat,”gumam Rosie dengan suara pelan sekali.

“Kau mengatakan sesuatu?” Awan yang jelas peka sekali dengan suara pun samar-samar mendengar gumaman Rosie dan bertanya.

Dengan gelagapan, Rosie menjawab, “Eh tidak!”

Rosie baru sadar, kali ini Awan benar-benar seperti menjadi orang lain. Awan yang begitu dingin dan tidak banyak bicara, hari ini bisa begitu lembut menenangkannya. Awan yang tidak suka berurusan dengan hal yang merepotkan. Kali ini menjadi sosok orang yang dapat diandalkan, menjaganya.

Dalam waktu singkat, Rosie tersadar, ternyata, banyak hal tentang Awan yang tidak diketahuinya. Benar kata Cantigi, sebenarnya Awan adalah orang yang lembut, namun tidak pernah diperlihatkan saja. Cantigi memang selalu pandai menilai orang.

“Ros..Hei!” panggil Awan sambil menguncangkan pundak Rosie pelan.

            

“Eh, iya?” Rosie pun terbangun dari lamunannya.

 “Hmm.. Kubilang jangan melamun. Masih kepikiran anak-anak?” tanya Awan khawatir.

“Eh, E, itu, Jazlan, dia tidak tersesat kan ya?” Rosie menjawab salah tingkah. Mana mungkin juga Rosie menjawab jujur bahwa dia sedang memikirkan Awan sebelumnya.

“Jazlan sudah dewasa, dia tahu apa yang harus dilakukan. Tenanglah, kita lanjut?” tanya Awan.

“Baiklah, ayo, semoga segera bertemu anak-anak,” jawab Rosie penuh harap.

Awan mengulurkan tangan, membantu Rosie bangkit dari tempat duduknya. Mereka berdua pun melajutkan langkah kembali, menyusuri tepian tebing yang berbatasan dengan sungai. Tidak ada pendaki lain, karena sebagian besar lebih memilih masuk ke dalam area Hutan Terlarang.

Setelah beberapa kilometer berjalan, Awan dan Rosie menemukan bahwa, jalan yang mereka lalui bermuara di sebuah batu yang sangat besar. Batuan ini saking besarnya hampir menutupi setengah lebar sungai. Untuk setengahnya lagi, menutupi jalanan yang mereka lalui.

Awan dan Rosie pun harus mengelilingi batuan itu, untuk melanjutkan perjalanan. Pelan tapi pasti mereka mulai bisa melihat apa yang ada di balik batuan besar itu. Di luar perkiraan, siapapun yang melihatnya pasti tercengang.

Dengan nada terkejut, Rosie pun berkata, “Lihat!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status