Seleb 18.Aku lagi melakukan night rutin skincare. Pakai produk sendiri seperti yang kujelaskan pada Bang Fahri sebelumnya.Aku menyisir rambut, dan tak lupa pakai parfum sebelum tidur. Hal yang sudah menjadi rutinitasku, tidur harus tetap wangi. Apalagi tidur sama suami yang hari demi hari bikin makin cinta.Namun, sedari tadi sepertinya Bang Fahri menatapku. Bisa kulihat dari cermin besar yang ada di depanku.Aku membalikkan badan ke belakang, mendekat pada suami yang kini sudah berbaring."Kenapa, Bang? Adek cantek kali ya?" tanyaku menggodanya demi menghangatkan suasana.Sebenarnya aku tahu, sepertinya Bang Fahri ada hal yang ingin dikatakan.Suamiku pun bangun dan duduk berdekatan denganku."Adek tadi ngobrol apa sama Ozan?" tanya suamiku.Ah, aku mengerti ke mana arah pembicaraannya."Emangnya Ozan bilang apa sama Abang?" tanyaku."Adek mau biayain kuliah dia?" tanya suamiku memastikan. Mungkin Ozan sudah menceritakan semuanya. Mengingat mereka juga sangat dekat satu sama lain.
Seleb 17.Matahari masih saja terik, padahal udah sore pukul 5. Aku belum mandi, tapi masih cantik, masih wangi. Elah.Bukan gitu maksudnya, aku sengaja belum mandi di waktu yang sesore ini karena ingin menyusul Bang Fahri di kebun. Pulang kerja, dia langsung ke kebun untuk menyiram kacang panjang dan tomat di sana.Katanya kalau sudah berbuah, dia mau masak seperti menu Adel kemarin di restoran. Ya, biar porsinya gak dikit amat katanya, kan dari kebun sendiri.Aku keluar lewat pintu belakang, mengenakan daster semata kaki dan jilbab kurung seperti kebiasaan di rumah.Namun, mataku fokus pada seseorang yang duduk di gazebo seperti biasanya, Ozan. Bukan apa, tapi kali ini kulihat pandanganya jauh menerawang entah ke arah mana. Sesekali ia melihat ponsel di tangannya.Biasanya anak itu kalau di gazebo ya belajar, bukan ngelamun gak jelas di sini.Aku mendekat, penasaran karena gak biasanya Ozan seperti itu."Hayooo! Mikir cewek kau?" Aku mengejutkan Ozan.Agak terkejut sih emang, jadi u
Seleb 16."Abang bisa bawa mobil gak?" tanyaku pada suami."Gak bisa Abang, Dek. Gak pernah belajar pun karena gak punya mobil.""Gak mesti punya mobil untuk bisa bawa mobil, Bang!" kataku lagi."Iya sih, tapi buat apa belajar. Abang gak pernah kepikiran untuk beli mobil, hidup aja masih pas pasan, hehe.""Mau gak Abang belajar?" tanyaku lagi."Siapa yang ngajarin?""Adek," kataku.Bang Fahri setuju. Nanti kapan kapan aku akan mengajarkan suamiku nyetir mobil. Biar kalau mau pulang ke Jakarta, atau ke mana-mana bisa gantian nyetir.Sesuai rencanaku, hari ini Minggu, dan aku mengajak sekeluarga Bang Fahri untuk jalan-jalan."Aku sama yang lain mau jalan-jalan, ikut kau?" tanyaku pada Adel setelah ia mengakhiri sesi livenya."Ogah. Duit haram mah dipake ke mana-mana gak berkah!" Eh dia malah nyolot plus ngeledek."Yaudah, nanti masak sendiri ya, Mamak gak masak, karena aku mau ngajak makan di restoran mewah." Aku berlalu meninggalkan Adel. Dia tampak tak acuh, karena sedang mengecek ba
Seleb 15."Mobil siapa pula kau bawa itu?" Tepat saat aku turun dari mobil, Adel menghampiri, diikuti Mayra yang juga sedang di rumah Ibu."Ada deh, yang penting bukan hasil nyuri!" kataku agak sewot, karena dari kemarin-kemarin dua iparku ini memang julidnya luar biasa.Beberapa tetangga juga melongok dari teras mereka dengan tatapan dan mulut yang begitu, agak miring meremehkan. Mungkin belum pernah liat orang naik mobil apa ya, kok senorak kelakuannya. Padahal aku cuma naik mobil biasa."Dp berapa, Kak? Sebulannya berapa?" tanya salah satu tetangga yang memang suka kepo bin julidah.Eh, kok!Aku tak peduli pada mereka, cuma senyum aja, tapi malah terus direcoki pertanyaan dari iparku."Eh ditanya malah ada deh ada deh. Silap silap tukang kredit datang dan ngambil balik tuh mobil, jangan malu maluin deh kau ya. Belum ada sejarah orang rumah Mamak ini ngambil barang kreditan!" Panjang lebar ceramah Adel.Mayra hanya menambahkan, mengiyakan dan kadang nyelutuk juga."Gaya kok pake ba
Seleb 14.Pagi setelah Bang Fahri berangkat kerja, aku baru cek ponsel. Baru menghidupkan data, dan banyak sekali notifikasi yang muncul. Itulah alasan aku gak dua puluh empat jam hidupin data, ponselku ribut soalnya.Notifikasi dari aplikasi hitam, Instagram dan media sosial lainnya.Yang paling tak kurang adalah chat laporan dari Sonia.Aman. Semua aman terkendali, Sonia memang bisa dipercaya dan kompeten.Namun, saat aku membuka WhatsApp, aku tersenyum sinis saat membaca pesan Adel di grup keluarga. Ya, sejak menikah, aku memang sudah dimasukkan ke grup WhatsApp keluarga.[Kalau mau nipu ya yang masuk akal dikit dong. Masa iya ngasih harapan yang enggak enggak buat Mamak. Pake janjiin naik haji pula.][Iya nih. Gak tau pula dia gimana sakitnya kalau dibohongi sama anak menantu sendiri.]Dan masih banyak chat lainnya, yang mengatakan bahwa aku ini pembohong dan pemberi harapan palsu. Kenapa ya mereka gak ngatain langsung, mungkin gak enak sama Ibu kali ya.[Kerja apa emangnya sampe
Seleb 13.Aku terbangun setelah semalam menyatukan rasa. Kulirik jam di ponsel yang ternyata masih menunjukkan pukul empat pagi, belum subuh. Di sampingku Bang Fahri masih terpejam.Kesempatan nih buat puas-puasin natap wajah tampannya. Aku mendekatkan wajah di dekatnya, menatap wajah itu sambil tersenyum. "Kek ada yang lagi natap nih!" Tiba-tiba aku mendengar suara Bang Fahri. Ternyata ia sudah bangun juga, tapi pura-pura tidur.Spontan aku langsung menjauh dan membalikkan badan, entahlah rasanya malu kek udah ketahuan nyolong apa gitu. Nyolong hati mungkin ya.Bang Fahri terdengar tertawa kecil, kemudian ia meraih bahuku dan membuat jarakku dengannya makin dekat."Apa sih, kek orang dipaksa dijodohin dan gak bisa cinta aja," katanya. "Ayo, tatap aja wajah Abang yang ganteng ini sepuasnya.""Dih, narsis!" kataku."Ya iya, kan sama istri sendiri. Kalau narsisnya sama istri orang emang boleh?" "Awas aja, Bang! Berani Abang gitu ingatlah!" ancamku.Dia malah tertawa."Iya, Dek, iya.