Share

Bab 7. Kedekatan

Trainingku bersama Alex dan Lucas berlangsung lancar. Dibalik sosoknya yang ditakuti banyak orang, ternyata Lucas adalah sosok yang menyenangkan dan guru yang berdedikasi tinggi. Dia mengajarkan teknik-teknik secara jelas dan mudah dimengerti. Dia pun juga mewanti-wanti kami untuk terus berlatih di rumah. 

Selepas training, kami mengambil waktu istirahat dengan berbicara mengenai berbagai macam topik dan ajaibnya Lucas menguasai semua topik yang kami bicarakan. Sungguh pria yang cerdas. Untungnya kami sudah belajar level 2 yang artinya aku bisa memblokir orang-orang yang mau membaca pikiranku. Itu artinya Merdekaaa!!!.

Namun tidak dapat dipungkiri, aku yang terjebak di dalam pembicaraan dua orang lelaki terkadang bingung mengikuti arah pembicaraan seperti halnya pembicaraan tentang olahraga, politik, dan lain sebagainya. Yaa setidaknya aku mengerti sedikit-sedikit topik-topik itu. Untungnya Lucas mengerti aku. Ya dia mengerti aku. Jadi dia seringkali menyelipkan topik general yang aku juga tahu dan memberiku beberapa pertanyaan pancingan.

Setelah menghabiskan beberapa waktu untuk bercakap-cakap, Alex menoleh ke hpnya dan membaca pesan di dalamnya. Tiba-tiba dia merapikan bajunya dan berbicara kepada Lucas, "Capo, boleh titip Anna dulu disini? Ben memintaku datang ke kantor untuk berdiskusi mengenai persiapan kedatangan Alfred bulan depan. Nanti setelah dari kantor, aku akan jemput Anna kembali."

Lucas diam dan mengernyitkan dahinya namun aku bisa melihat senyum tipis di sudut bibirnya. Wajahku langsung memerah mengingat aku hanya akan berdua dengan Lucas di rumah ini.  Dia menjawab dengan lugas, "Tak perlu. Nanti aku akan antar Anna ke rumah. Kamu tak perlu khawatir."

Alex mengangguk mendengarnya. Dia tahu aturan tidak tertulis 'jangan pernah mempertanyakan keputusan Capo'.

Alex mengirimkan pesan pikiran khusus kepadaku, "Anna, tolong jaga diri ya." Lalu Alex ijin berpamitan kepada Lucas dan kepadaku dan dia segera pergi.

Aku mengambil nafas dalam-dalam. Semoga aku bisa menahan diri bersama Lucas. Sesaat kemudian kami hanya terdiam tanpa bersuara. Suasananya menjadi canggung. Aku tidak tahan dan akhirnya membuka percakapan, "Lucas...."

Tiba-tiba Lucas menggandeng tanganku dan berbisik, "Aku suka kamu langsung memanggil namaku." Lalu dia mengedipkan mata kepadaku. Demi apa aku bisa lupa memanggil dia Capo atau Boss. Selanjutnya dia segera menarik tanganku dan berkata, "Yuk kita bicara di atas." Aku menurutinya seperti anak domba ikut gembala. Pasrah.

Kami segera menuju ke lantai dua. Di lantai dua ada beberapa ruangan namun aku tidak sempat melihat satu-satu. Lucas menggandengku ke arah kolam renang.

Kolam renang biru dengan kursi-kursi santai di sampingnya dan pohon-pohon palma kecil menarik perhatianku. Kolam itu terlihat bersih dan sangat berkelas. Sekeliling kolam renang  dipasang dinding keramik kecuali di ujung kolam renang  yang dipasang kaca sehingga siapapun yang sedang berenang pasti bisa melihat halaman rumah atau tamu yang datang di lantai bawah. 

"Duduklah," kata Lucas lembut. Aku duduk di salah satu kursi santai itu. Lucas ikut duduk di kursi santai sampingku, memegang smartwatchnya, dan tak lama kemudian ada pelayan datang membawakan champagne bagi kami. Aku terkejut melihatnya.

"Aku kira kamu tinggal sendiri Capo."

Lucas menjawab dengan santai, "Panggil aku Lucas saja. Terserah orang lain mau panggil apa. Tapi aku mau kamu panggil namaku langsung Anna," Lucas tersenyum ke arahku lalu melanjutkan perkataannya, "Iya. Aku tinggal sendiri disini di rumah ini. Tapi aku punya  beberapa pelayan tinggal yang di rumah depan jadi kalau aku butuh apa-apa mereka akan datang. Biasanya mereka datang membersihkan rumah tiap pagi dan sore seperti sekarang ini."

Aku bertanya pelan, "Oh jadi sekarang mereka sedang membersihkan rumah?"

Lucas mengangguk dan berkata, "Iya. Namun aku sudah menginstruksikan kepada mereka supaya tidak menganggu aktivitas kita."

"Kita?' tanyaku singkat. Lucas terbatuk-batuk gugup dan langsung menjawab, "Maksudku training tadi bersama Alex. Bagaimanapun kalian adalah tamuku dan aku tidak mau terganggu."

Aku menjawab, "Oh baiklah." Jujur aku bingung menghadapi Lucas. Dia beberapa kali menggodaku dan menyatakan ketertarikannya kepadaku, namun beberapa menit lalu aku menemukan foto dengan seorang wanita cantik. "Mungkin aku bisa lebih tahu tentang Lucas," pikirku. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya, "Lucas, lalu pacarmu tinggal dimana?"

Lucas mengernyitkan dahi dan menggodaku, "Jadi kamu ingin tahu lebih dalam tentang aku?" Wajahku memerah dan perutku melilit rasanya. "Apa aku salah bicara ya? Ahh. Dia tidak menyangkal Anna! Berarti benar itu pacarnya" Teriakku dalam pikiran yang tersembunyi.

Lucas tertawa melihat ekspresiku, "Aku belum punya pacar Anna. Orang yang kusukai saat ini entah menyukaiku juga atau tidak," katanya sambil melihat mataku. Lucas terlihat berpikir sebentar lalu bertanya kepadaku,"Kenapa kamu berasumsi aku punya pacar"

"Aku melihat fotomu bersama seorang wanita di bawah," jawabku singkat.

Raut muka Lucas terlihat sedih lalu berkata, "Oh itu sahabatku. Dia sudah meninggal."

"Maaf Lucas. Aku tidak bermaksud...." Lucas langsung berdiri dan mengarahkan jari telunjuknya ke depan mulutku. Aku kehilangan kata-kata. Aku bisa melihat otot perut seksi yang melekat di bajunya yang sebelumnya tidak terlalu kentara. Oh Zeus!

Lucas memilih duduk di depanku. Aku menyingkirkan kakiku untuk memberinya tempat. Jantungku berdegub kencang. Rasanya ingin menciumnya. Lucas berkata dengan lembut, "Bukan salahmu Anna. Kamu berhak mempertanyakannya. Nanti kalau kamu sudah belajar tingkat lebih tinggi pasti kamu bisa melihat memoriku bersamanya. Tapi baiklah aku akan menceritakannya supaya kamu tidak salah paham kepadaku."

Aku menggeleng dan berkata, "Tak perlu Lucas. Kalau kamu belum siap, aku tak masalah. Toh aku hanya sekedar orang lain yang kebetulan juga bisa membaca pikiran."

Lucas melihat mataku dan menyentuh daguku,"Kamu bukan orang lain Anna. Itu satu hal yang harus kamu tahu. Aku tidak akan menyembunyikan fakta bahwa sejak pertama kali melihatmu di tempat pelelangan, kamu sangat menarik perhatianku dan sejak saat itu kamu selalu ada di pikiranku. Apa kamu juga merasakan adanya chemistry  kuat diantara kita?"

Aku mengangguk pelan. Hatiku terasa hangat mendengarnya namun rasanya menyenangkan. Aku tersenyum melihat dia. 

Lucas membalas senyumanku dan melepaskan tangannya dari daguku. Dia membetulkan posisi duduknya dan berkata, "Baiklah. Wanita yang kamu lihat di foto itu bernama Pia. Mungkin awalnya kamu harus tahu keluargaku terlebih dahulu. Orangtuaku punya dua anak, satu anak kandung dan satu anak angkat. Mereka menikah sekitar 5 tahun namun belum dikaruniani keturunan. Akhirnya mereka mengambil satu anak angkat bernama Paulo. Paulo diadopsi oleh orang tuaku sekitar umur 2 tahun. Setelah itu keajaiban terjadi, ibuku hamil kembali dan lahirlah laki-laki tampan yang kamu lihat sekarang."

Aku tertawa mendengarnya. Lucas melanjutkan, "Di waktu yang bersamaan, ibu Pia juga melahirkan Pia. Ibu Pia adalah sahabat ibuku di klan. Jadi tanggal lahirku dan tanggal lahir Pia sama. Kami tumbuh bersama. Paulo lah yang melindungi kami kalau kami melakukan kenakalan anak-anak supaya kami tidak dimarahin. Pia wanita yang kuat dan dia selalu berterus terang sampai suatu saat..." Lucas menghentikan kata-katanya. 

"Lucas, kamu ngga perlu melanjutkan ini kalau memang berat," kataku kepada Lucas. Lucas tertunduk sebentar, "Tidak Anna. Kamu harus tahu ceritanya."

Dia mengambil nafas dalam-dalam dan melanjutkan, "Suatu saat ada Raja baru di Sisilia dan dia mencoba menghapuskan klan-klan yang ada. Namanya Raja Victor. Dia menangkap pemimpin-pemimpin mafia tanpa pandang bulu. Walaupun ayahku dan ibuku selalu membantu pemerintah dan memberikan pendapat besar bagi negara, itu semua tidak ada artinya. Ayahku dan ibuku ditangkap dan dijatuhi hukuman mati," Mata Lucas terlihat berkaca-kaca. Aku terdiam dan ikut merasakan penderitaannya.

"Waktu itu aku masih remaja sekitar 12 tahunan. Begitu pula Pia. Raja memberikan syarat bahwa hukuman mati itu harus disaksikan oleh keluarganya termasuk aku dan Paulo. Aku melihat ayah ibuku mati dipenggal Anna..." Air mata Lucas jatuh setetes demi setetes. Aku memilih memeluk Lucas. Dia menangis di pelukanku cukup lama.

Pemimpin mafia yang sangat kuat jatuh menangis dalam pelukanku. Ini lebih buruk dibanding tidak mengetahui siapa orang tua sepertiku. Lucas melepaskan pelukanku dan berkata, "Maaf Anna. Aku benar-benar sedih apabila mengingat waktu itu."

Lucas membetulkan posisi duduknya lalu dia melanjutkan, "Pia sebagai sahabatku waktu itu mengerti posisiku dan dia tidak mau aku melihat eksekusi orang tuaku. Dia menyelundup di kamp konsentrasi tempat eksekusi itu diadakan. Tapi sayang aku terlanjur melihat eksekusi itu. Aku menjadi linglung pada saat itu. Pia menarik tanganku dan Paulo dari belakang kerumunan. Paulo menolaknya dan berkata dia akan menjalakan permainan dari pemerintah. Sedangkan aku akhirnya mengikuti Pia. Kami berdua berlari keluar kamp sampai satu aparat mengetahui pelarian kami dan mulai menembaki kami, disitu Pia tertembak. Darah yang sangat banyak keluar dari dadanya. Di dalam sekaratnya dia hanya berpesan aku harus pergi dan hidup bahagia buat dia. Dalam kalutku, aku memilih berlari dan pulang kembali untuk membereskan barang-barangku sampai akhirnya aku menyelundup dalam kapal dan pergi ke sini. Memulai hidup baru. Kalau saja aku waktu itu tidak mengikuti Pia, pasti dia masih ada Anna dan aku tidak punya nyali untuk kembali kepadanya dan menemaninya di masa-masa terakhir hidupnya."

"Maaf Lucas. Pasti sangat menyakitkan buatmu." Lucas tertunduk lesu dan menggangguk kecil.

Aku memegang tangannya dan berkata lembut, "Semua akan baik-baik saja Lucas. Percayalah, kehilangan seseorang akan membuat kita jauh lebih kuat. Orang tuamu dan Pia disana pasti tidak mau kamu hidup dalam kesedihan.

Lucas tersenyum menatapku dan berkata, "Kamu sudah tahu masa laluku. Inilah aku Anna, pria yang tidak berani menghadapi kenyataan."

Aku menggeleng dan berkata, "Tidak. Justru aku tahu bahwa kamu lebih kuat dari yang kuduga sebelumnya."

Lucas tersenyum kembali dan bertanya, "Aku penasaran kenapa kamu mengirimkan quote drug itu Bella di training tadi?"

Aku tersenyum dan menjawab, "Aku hampir lupa nama angklanku Bella. Well, ngga ada alasan khusus sih. Tapi itu kenyataannya Lucas."

Lucas memegang daguku, menatap mataku, dan berkata, "Aku senang kalau kamu kecanduan aku." Lucas mulai mendekati wajahku dan mencium bibirku. Aku tidak menolaknya.

Ciuman yang menunjukkan kelemahan tapi juga kekuatan. Semakin lama ciuman itu semakin panas dan aku seperti melihat kilatan-kilatan memori Lucas di pikiranku, mulai dari perdebatannya dengan Paulo, melihat orang tuanya dipenggal bersamaan, dan Pia yang terluka hebat setelah ditembak. Selanjutnya ada kilat kecil yang memisahkan kami berdua.

Lalu kami berdua jatuh pingsan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status