Share

Bab 8. Mulai Terbuka

Kubuka mataku dan kulihat wajah Alex yang mendekat. Aku bertanya kepadanya, "Apa yang terjadi?" Aku memegang kepalaku dan rasanya pusing. Alex memutar bola matanya kesal dan menjawabku, "Justru aku yang harus bertanya apa yang terjadi pada kalian. Aku mendapat laporan dari pelayan kalau kalian pingsan di pinggir kolam renang."

"Oh itu..." aku mengingat kejadian sebelumnya. "Aduh kalau ciumanku ketahuan Alex, pasti dia akan marah. Tapi kenapa ada kilat?" Pikiranku bertanya-tanya mengenai hal itu. "Mungkin Lucas tahu sesuatu. Oh iya Lucas. Aku hampir melupakan dia."

"Oh itu apa Anna? Tolong cerita semuanya kepadaku," ujar Alex dengan wajah khawatirnya. Aku membisu. Aku teringat ingatan-ingatan memori pada saat kilatan itu terjadi.

"Alex, mana Lucas? Sekarang jam berapa? Ini dimana?" tanyaku bertubi-tubi kepada Alex. Alex mengambil nafas dalam dan berkata menenangkanku, "Lucas baik-baik saja. Dia sadar sebelum kamu Anna. Dia sedang di kamarnya sendirian." 

Alex memegang tanganku namun aku langsung mengibaskannya. Aku segera keluar mencari Lucas. "Anna, kamu mau kemana?" teriak Alex di belakangku. Kutemui seorang berpakaian pelayan yang sedang naik tangga, "Mana kamar Lucas?", pelayan itu kaget dan menunjukkan arah kamar Lucas di lantai bawah.

Aku segera menuruni tangga dan berlari menuju kamar Lucas. Tanpa permisi, aku langsung membuka kamarnya dan kuliah dia sedang duduk termenung di sudut tempat tidur. Dia terkejut melihatku dan aku langsung berlari memeluknya. Lucas gantian memelukku dan aku menangis di pelukannya.

Tanpa kusadari, Alex ternyata mengikutiku dan melihat kami berpelukan. Dia terpaku di pintu.

Lucas membelai rambutku dan berkata lembut, "Ada apa Anna?"

Aku menjawab dengan terbata-bata, "Lucas, tadi aku bisa melihat memorimu dan entah kenapa aku bisa merasakan perasaanmu kala itu. Aku seperti ada di dalam tubuhmu dan aku tahu ibumu berbisik kepadamu sebelum eksekusi itu terjadi."

Lucas terkejut dan bertanya kepadaku, "Apa katanya?" Dia menunduk sedih. Aku menjawab,"Kamu adalah hal terbaik yang ada di dalam hidupku, Luke. Tetaplah kuat. Aku selamanya ada di hatimu."

Lucas memejamkan matanya dan berusaha menahan emosinya. Aku bisa melihat proses eksekusi itu. Tidak hanya pemenggalan kepala, namun sebelumnya ada penyiksaan juga yang aku lihat dalam kilatan-kilatan itu.  Bagaimana bisa anak disuruh melihat dengan mata kepala sendiri kematian orang tuanya. Tragis.

Lucas mengusap air mataku, "Harusnya aku yang menangis Anna. Aku juga melihat ingatanmu. Bagaimana orang-orang itu memperlakukan kamu dan kakakmu. "

Aku menatap mata Lucas dan bertanya, "Kamu melihatnya?" Lucas mengangguk dan berkata, "Aku seharusnya menemukan kalian lebih awal daripada harus melihat kalian menghadapi perundungan." Aku terdiam membisu. Beberapa perundungan itu memang menyakitkan untukku.

Alex yang tadi terdiam di muka pintu akhirnya memberanikan diri berkata kepada kami, "Sebenarnya apa yang terjadi?" Aku kaget dan melepaskan pelukan. Aku segera membenahi posisi dudukku walaupun aku masih berada di sudut tempat tidur sama seperti Lucas.

"Masuklah..." kata Lucas kepada Alex. Alex segera masuk dan Lucas memberikan isyarat untuk menutup pintu. Alex segera menutup pintu dan duduk di salah satu kursi yang ada di kamar tersebut. Kamar Lucas cukup luas dan nyaman seperti kamar hotel dengan kamar mandi dalam yang hanya dapat dilihat dalamnya melalui kaca tembus pandang. Namun saat ini kaca tersebut tertutup gorden elektrik.

Lucas menatap kami bergantian lalu dia mengarahkan tatapannya kepada Alex, "Alex, aku mau menjelaskan apa yang terjadi," lalu Lucas menceritakan kejadiannya kepada Alex: tentang sharing kami walaupun dia tidak menceritakan detail masa lalunya,  tentang ciuman kami (Ya Alex terkejut mendengarnya), sampai saat kilatan itu terjadi yang membuat kami pingsan.

Setelah mendengarkan semuanya, Alex berkata, "Kejadian ini sangat membingungkan." Dia memegang keningnya lalu melanjutkan, "Aku tidak tahu kalau Capo dan Anna punya chemistry yang sangat dalam. Tapi ini dia masalahnya, apa Capo tetap mau Anna berusaha mendekati Armando setelah semua kejadian ini?"

Lucas menjawab, "Itu dia yang aku pikirkan juga. Mungkin aku harus merelakan Alfred mengetahui bahwa patung itu hilang dan menghancurkan kepercayaannya. Aku sendiri yang akan menghadapi Alfred." 

Aku langsung memegang tangan Lucas dan berkata, "Tidak. Aku akan tetap melakukannya. Aku tidak mau kamu menghilang atau terjadi yang buruk denganmu. Aku pastikan aku hanya melakukan tugasku saja sampai aku bisa mengorek apa yang disembunyikan keluarga Cassano. Setelah itu aku akan memutuskan hubungan dengan Armando."

"Sejujurnya aku tidak mau melihatmu bersama Armando, Anna. Tapi kalau memang itu keputusanmu untuk melanjutkan misi.  Baik, aku menghormatinya. Namun ingat kalau terjadi apapun, kamu tahu dimana kamu akan menemukanku."

Aku mengangguk. Selanjutnya aku menceritakan update pertemuanku dengan Armando dan rencanaku ke depannya. Aku juga menceritakan bahwa kelompok kami akan mecari kasus pencurian untuk memancing Armando memikirkan patung Greywacke. Alex dan Lucas terlihat menyetujuinya.

"Anna, cobalah hubungi Detektif Rian. Dia kemarin baru saja menyelesaikan kasus pencurian salah satu arca Borobudur. Arca tersebut dilelang di New York dan pemerintah kebakaran jenggot. Setelah melalui beberapa investigasi, akhirnya ditemukan dalangnya. Itu akan menarik bagi tugasmu," kata Lucas kepadaku.

Aku mengangguk dan berterima kasih kepada Lucas. 

Lucas berkata singkat, "Aku jadi merindukan masa-masa kuliah."

Alex mengernyitkan dahi dan bertanya kepada Lucas, "Maaf, Capo kuliah juga?"

Lucas tertawa dan berkata, "Tentu saja. Aku lulusan MBA dari Harvard Business School."

Aku dan Alex menjawab bersamaan, "Apa?"

"Kenapa? Itu untungnya kalau punya otak encer. Sekolah bisa lebih cepat," kata Lucas terkekeh. Dia melanjutkan, "Aku handle bisnisku jarak jauh ketika aku kuliah di USA. Aku banyak dibantu oleh Ben dan Lily."

Aku teringat percakapanku dengan Lily beberapa waktu lalu. Pantas saja Lily dekat dengan Lucas. Alex terlihat tidak nyaman. Ada apa sebenarnya?

"Baiklah. Sudah malam. Kalian harus pulang," kata sang Capo mengakhiri perkataannya.

Alhasil kami akhirnya pulang rumah. Sepanjang jalan, Alex terus terdiam. Aku pun menjadi diam dan ciuman itu kembali di pikiranku. Rasanya aku kecanduan. Baiklah Anna! Sekarang fokus pada misi! Besok kamu akan bertemu Armando untuk membicarakan kasus itu. 

***

Pagi-pagi benar aku datang ke kampus. Kelompok kami ada janji temu. Aku memilih duduk di pojok cafeteria sambil menunggu mereka. Beberapa mahasiswa terlihat lalu lalang walaupun belum terlalu ramai. Aku mengecek hpku. Ada pesan dari Lucas masuk menyemangatiku. Aku tersenyum melihat hpku.

"Senyum-senyum sendiri nih." Kudengar suara itu mendekatiku. Armando mendekatiku dan duduk di sampingku. 

"Hi Armando. Apa kabar?" sambutku basa-basi

"Cantik sekali dia. Aku ingin menciumnya". Mendengar pikiran Armando membuatku langsung memainkan bibirku. Dia terlihat menikmati permainanku. Hal itu terlihat caranya melihat bibirku. Lalu aku menjawabnya, "Kabar baik."

"Semoga Ayden dan Alyssa datang lama." Armando melihatku dan bertanya, "Ini kamu mau weekend, kamu ada acara ngga?"

"Masuk perangkap! Good job Anna! Sekarang waktunya akting senatural mungkin," kataku pada diri sendiri. Aku menjawab Armando, "Sejauh ini tidak ada sih. Palingan aku hanya menghabiskan waktu dengan kakakku main games."

"Oh, kamu suka main games?" aku mengangguk. Aku mendengar pikirannya lagi. "Games apa ya? Mungkin dia juga suka Sultan's Palace. Ah aku lupa nyerang benteng semalam."

Aku bertanya basa-basi,"Kalau kamu suka main games juga ngga Armando? Aku suka permainan Sultan's Palace." Armando langsung mengubah posisi duduknya dan terlihat bersemangat, "Aku juga suka Sultan's Palace. Tapi aku lupa menyerang benteng semalam. Kamu sudah sampai level apa Anna?"

"Aku baru pemula kok, tapi kelihatannya itu menyenangkan." Armando akhirnya berbicara panjang lebar tentang game tersebut. Walaupun aku bosan, namun aku menampakkan ketertarikanku kepada game tersebut. "Sial, sekarang aku harus coba main sendiri untuk meyakinkan dia," pikirku.

Tak lama kemudian, Ayden dan Alyssa datang di waktu yang hampir bersamaan.

"Sorry guys, tadi aku terlambat bangun," kata Ayden sambil menyapa kami satu per satu. Alyssa juga menimpali dengan pedenya, "Kalau aku perlu waktu lebih untuk dandan." Aku tertawa mendengarnya. Armando terlihat kesal.

"Jadi gimana ini tugas kita? Alyssa uda ngobrol belum sama ayahnya?" tembak Armando ke arah Alyssa.

Alyssa menjawab, "Sudah dong. Kita bisa bertemu detektif itu besok sore. Dia menyempatkan waktu untuk bertemu kita. 

"Namanya siapa, Lys?" tanyaku

"Detektif Rian. Kata ayahku dia baru saja menyelesaikan suatu kasus penting. Tapi aku belum tahu kasus apa."

Oh ternyata sama dengan detektif yang disarankan Lucas semalam.  Aku segera berkata, "Okay. Sekarang kita siapkan dulu materi kita. Alyssa, tolong cari background Detektif Rian. Aku akan mempersiapkan bahan-bahan pertanyaan dari sisi psikologi. Ayden, tolong cari kasus-kasus apa saja yang pernah ditangani detektif Rian. Ayden bisa kerja bareng Alyssa. Dan Armando, tolong siapkan pertanyaan dari sisi kriminologi. Aku dan Armando akan kerjasama memastikan pertanyaan-pertanyaan itu akan saling melengkapi."

Alyssa berkata kepadaku, "Kenapa bukan kamu yang cari background Detektif Rian? Kamu kan pintar."

Disamping berbicara lisan, Alyssa juga berkata dalam hati dan pikirannya,"Dasar wanita licik. Pasti dia mau mendekati Armando."

Ah. Tipikal Alyssa. Aku menjawab Alyssa sambil tersenyum, "Karena dia teman ayahmu Alyssa. Akan lebih mudah kalau kamu yang mencari tahu, bukan? Lagian aku harus memastikan pertanyaan yang diajukan sudah sesuai dengan pakem yang ada." Alyssa terlihat kesal mendengar jawabanku. Aku tahu dia jarang memperhatikan dosen dan mencatat pelajaran. Jadi dia pasti bingung kalau harus menyusun pertanyaan sesuai pakem. 

"Okay,"jawab Alyssa singkat. Kami berempat segera mengerjakan bagian masing-masing. Akupun juga mulai menyiapkan beberapa pertanyaan penting dan banyak berdiskusi dengan Armando. 

Selepas pertemuan itu, badan dan otakku terasa lelah. Aku memutuskan untuk pulang. Sewaktu berjalan kaki, tiba-tiba mobil Armando mendekatiku dan berhenti. Aku menoleh ke arah mobil itu dan kaca mobil itu terbuka. Armando di dalamnya melihatku dan bertanya, "Hi Anna, kamu mau pulang?"

"Iya, mau pulang."

"Kuantar ya? Ngga baik cewek jalan sendirian," kata Armando  kepadaku. Aku tersenyum sambil tetap berjalan. Armando menjalankan mobilnya pelan-pelan dan memanggilku, "Anna. Aku ngga tega kamu jalan sendiri. Yuk kuantar. Kita beli es krim nanti."

Aku berhenti dan tertawa, "Es krim? Penawaranmu cuman itu?" Armando tertawa juga dan menjawab, "Hehehe. Iya. Itu yang muncul di pikiranku pertama kali."

Ada baiknya juga aku mengikuti Armando. Setahap lebih dekat.

"Okay."

Armando langsung membukakan pintu mobilnya. Setelah aku masuk, mobil kembali melaju.

"Kamu suka musik apa Anna? Biar aku putarkan," tanya Armando kepadaku. 

"Biarkan lagu ini saja," jawabku singkat. Waktu itu, Armando sedang memutar lagu-lagu Taylor Swift. 

You got that James Dean daydream look in your eye

And I got that red lip, classic thing that you like

And when we go crashing down, we come back every time

'Cause we never go out of style, we never go out of style.

Aku teringat pertemuanku dengan Lucas di kantornya dimana Lucas meledekku karena menyamakan dia dengan James Dean. Aku tersenyum mengingatnya.

"Kenapa tersenyum Anna?" tanya Armando membuyarkan lamunanku.

"Aku ngga tahu kalau kamu suka lagu-lagu cewek," jawabku sambil tersenyum meliriknya. Semoga alasanku masuk akal.

"Iya. Enak aja dengerinnya. Musiknya easy listening. Buat karaoke cocok."

Aku mulai bernyanyi di mobil. Armando pun ikut-ikutan. Kami berdua berakaraoke ria di mobil dan tertawa bersama. Armando orangnya asyik. Dia beberapa kali melemparkan lelucon yang benar-benar lucu. Aku sempat melupakan misi memacarinya. Aku benar-benar menikmati kebersamaan dengannya.

Armando mengarahkan gpsnya ke arah restoran Gelato. Dia cukup berhati-hati dalam menyetir dan sangat taat lalu lintas. Sesampainya di restoran Gelato, kami segera turun dan memesan es krim. Ternyata seleraku dengan Armando sama, kami sama-sama suka es krim coklat. Armando mengajakku untuk duduk makan di restoran itu. Kami berdua duduk di ujung dekat jendela berhadap-hadapan.

"Aku kangen Papa," pikir Armando sambil menatap beberapa hiasan dinding di restoran itu. Aku terkejut mendengarnya. Aku mencoba memancingnya, "Kamu sudah sering kesini?"

Armando menjawab, "Jarang sih. Sesekali aja."

Waduh. Bagaimana lagi ya cara memancingnya? Aku melihat ada lukisan laki-laki yang menggendong anaknya disitu. Aku berkata padanya, "Lukisan itu bagus ya. Sejak kecil, aku biasa melihat anak kecil ditemani papanya beli es krim. Cocok ada di restoran ini."

Armando terdiam dan berkata, "Iya. Lukisannya bagus. Dulu aku juga waktu kecil sering beli es krim bersama Papaku." Dia melanjutkan, "Tapi sayangnya aku sekarang tidak terlalu dekat dengan Papaku."

"Kenapa? Papamu selalu sibuk?" Armando mengangguk.

"Memang papamu kerja apa Armando?" tanyaku sambil menatap matanya.

"Mafia Anna. Dia pemimpinnya. Angelo Cassano yang terhormat,"pikir Armando. Namun dia menjawab berbeda dengan pikirannya, "Kami berbisnis restoran Italia."

Tentu saja itu kamuflase. Lucas pun punya bisnis kamuflase.

Ku berkata,"Wah enak dong bisa makan spaghetti terus," kataku menghiburnya. Armando tertawa mendengarku. Aku melanjutkan,"Tapi bagaimanapun itu adalah papamu. Kamu harus meluangkan waktu dengannya,"

Armando menjawab,"Iya. Kamu betul. Dia selalu sibuk sejak aku kecil. Dia berharap aku melanjutkan bisnisnya, tapi aku selalu menolaknya."

"Kenapa? Bukankah bisnisnya sudah stabil? Kamu tinggal melanjutkan manajemennya bukan?" tanyaku

"Iya betul Anna. Hanya saja..." Armando terdiam sejenak lalu melanjutkan,"Aku tidak menyukai bisnis itu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status