Pagi pertama di kota Las Vegas, Alona sudah berdiri seraya menatap bimbang gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di depannya. Bangunan dengan lambang hurup W yang sangat besar diukir sedemikian rupa dan berlapiskan emas, begitu mengkilap ketika diterpa cahaya matahari. Namun, bukan itu yang membuat Alona mengernyit bingung, melainkan apa yang tertulis di layar smartphone wanita itu tentang promo sewa apartemen yang menurutnya tak masuk akal.
Mengabaikan kebingungannya, Alona melangkah masuk menuju petugas informasi.
"Selamat datang, ada yang bisa kami bantu, Nona?"
Wanita itu menunjukkan ponselnya sambil berkata, "Apa nominal yang tertera di sini benar?" tanyanya.
Wanita berseragam rapi itu terdiam sejenak, memandang aneh Alona. Namun, sedetik kemudian ia tersenyum kaku. "Iya, benar, Nona."
Alona meneliti sekitarnya, tidak ramai orang seperti di Jakarta jika ada diskon besar-besaran, atau memang dirinya sudah ketinggalan.
"Jika anda berminat, kami bisa mengantar anda, Nona, kebetulan hanya tersisa satu unit lagi," ucap gadis dengan name tag Molly itu dengan kikuk.
Mendengar hanya tersisa satu unit, Alona langsung saja mengangguk setuju, pasalnya harga yang ditawarkan benar-benar murah, bahkan dibanding harga apartemen sederhana sekalipun yang bisa mencapai $800 perbulannya.
Gadis cantik bernama Molly itu menginteruksikan agar Alona mengikutinya. Sepanjang perjalanan mata wanita itu sibuk mencermati ukiran-ukiran yang terpahat indah di bangunan ini. Diiringi ketukan sepatu bertumit tinggi milik Molly yang menghentak lantai marmer, memberi suara berirama yang menghantar mereka.
"Silahkan, Nona." Molly berhenti berjalan setelah membuka sebuah pintu di depannya.
Alona tersenyum tipis seraya melayangkan pandangan ke seisi ruangan. Ada satu set sofa santai di dalam, lengkap dengan TV plasmanya. Berjalan lebih jauh ke dalam Alona juga menemukan dapur yang cukup luas untuknya sehingga leluasa jika ingin bereksperimen dengan masakannya. Melihat itu semua Alona menyimpulkan bahwa apartemen ini adalah apartemen termurah yang ada di Las Vegas mengingat furniture di dalamnya cukup lengkap.
Yah, sebenarnya pagi tadi Alona sedang melihat-lihat harga sewa apartemen melalui situs boking online, dan secara tidak sengaja menemukan tempat ini sedang menawarkan diskon mengagumkan menjelang akhir tahun.
Molly mempersilahkan Alona untuk melihat kamar tidur yang katanya hanya ada satu, Alona rasa itu bukan masalah karena ia memang hanya tinggal sendiri.
Melihat kondisi kamar tidur di apartemen ini membuat dahi Alona lagi-lagi berkerut, pasalnya berbeda dari ruang tamu yang telihat mungil tadi, kamar tidur di sini malah terlihat sangat luas, Alona yakin ini sama luasnya dengan kamar penginapan di hotel bintang lima. Bahkan kamar mandinya terlihat begitu mewah dan elegan, lagi-lagi sangat kontras dengan ruangan sebelumnya yang terlihat simpel dan hampir mirip dengan apartemen miliknya sewaktu di Jakarta.
Mengabaikan kejanggalan yang ada Alona akhirnya menyetujui untuk menyewa apartemen tersebut, dan Molly permisi untuk menyiapkan surat-suratnya.
Alona jatuh terlelap setelah menyusun barang-barang yang dibawanya serta menyelesaikan masalah sewa menyewa apartemen yang sekarang resmi dihuninya.
---
"Anda ingin segera menemuinya, Sir?" pria berwajah western bertanya dengan suara tenang.
"Tidak, Drew." Menghirup dalam cerutu di tangannya. "Biarkan seperti ini dulu."
Drew mengangguk paham, menuruti kehendak tuannnya.
Suasana kembali hening, samar-samar terdengar suara detik berpadu detak yang terus bergerak. Sampai suara tarikan napas panjang menjadi tanda bahwa ruangan ini masih berpenghuni.
"Menurutmu, apa dia menyukai kejutan dariku?" Pria itu tersenyum simpul, menggoyangkan ringan ujung sepatunya yang terangkat di atas meja, begitu menikmati posisi sok berkuasanya.
Drew bergeming, masih mengira-ngira, kalimat apa yang pas untuk menjadi jawabannya. "Nona Alona pasti sangat terkejut, Sir."
Pria itu terkekeh seolah sedang mendengar sebuah lelucon menggelikan dari mulut sang bodyguard kesayangannya.
"Kuharap begitu, Drew," tuturnya.
---
Pukul tiga sore Alona terbangun dari tidur, tangan kanannya refleks mengelus perutnya yang masih datar. Tersenyum manis, Alona segera menuju kamar mandi, ia berencana untuk berendam dan memanjakan kulitnya sore ini agar rasa lelahnya segera menghilang.
Lagi-lagi alis Alona harus bertaut dalam mendapati perlengkapan mandi yang super lengkap di dalamnya, mengambil salah satunya membuat kerutan di dahinya semakin jelas. Alona memutar tutup packaging salah satunya sehingga aroma maskulin menguar menyerang indera penciumannya.
Ini shampo pria, pantas Alona kurang familiar, mungkin ini milik penghuni sebelumnya, batin wanita itu. Tidak ambil pusing, Alona melanjutkan acara mandinya.
Selesai mandi Alona memutuskan keluar apartemen untuk mencari makanan, dan sedikit terkejut ketika mendapati dua pria berwajah seram berdiri seperti patung di seberang pintu kamarnya, takut-takut Alona melanjutkan langkahnya menuju lift.
Sesampainya di lobi, Alona merasa bingung harus kemana. Pasalnya ini pertama kalinya ia berkunjug di kota berjulukan Sin City ini. Untungnya dia bukan tipe wanita penakut, hidup tanpa ayah sedari kecil mengajarkan Alona bahwa hidup harus kuat dan mandiri, karena itu ia memantapkan diri untuk mendatangi kedai di seberang jalan yang malam ini terlihat sepi.
Saat sedang asyik menikmati makanan, Alona dibuat bingung dengan sapaan seseorang. "Apple, Apa yang kau lakukan d isini?"
Pagi-pagi sekali Alona dibangunkan dengan suara rengekan kecil khas bayi mungil di sebelahnya, mata wanita itu terbuka, lantas menoleh ke asal suara. Alona terpaku melihat seorang pria dengan wajah khawatir sedang mengusap lembut kulit Daisy, berusaha menenangkan bayi itu."Dia haus," ucap Alona serak.Pria itu tersentak, tadinya ia tak sadar Alona sudah terjaga. "Apa suaranya membangunkanmu?" tanya Wickley cemas.Alona mengerutkan dahi bingung. "Maksudmu?""Aku sudah berusaha menenangkan Daisy, tapi tidak bisa," lirihnya.Seketika senyum Alona mengembang
Hari ini Mama Alona tiba di Las Vegas bersama Irene dan Rena, kakak perempuan Alona. Kedatangan mereka disambut tangis haru dari wanita itu, bisa melihat wajah mama dan kakaknya lagi adalah sebuah impian yang sangat didamba Alona saat masih menjadi tawanan Thomas dulu.Wickley membiarkan mereka saling melepas rindu, ia berniat memberi waktu bagi mereka, tapi saat hendak meninggalkan ruangan itu, matanya tak sengaja menemukan bayi kecil dalam gendongan Rena. Tak ada yang salah pada perempuan itu, hanya saja jantung Wickley tiba-tiba
Thomas terkejut bukan main, tubuh itu sudah ambruk ke lantai, dengan darah mengalir sampai ke ujung sepatu pria itu. Merry ... Merry-nya yang penurut, kenapa melakukan semua ini? Kenapa wanita itu melindungi bocah sialan itu?!Pistol itu terjatuh dari genggamannya, lututnya gemetar, sehingga ketika melangkah ia tak sanggup lagi menahan beban tubuhnya hingga terjatuh tepat di hadapan Merry yang sudah tak bernapas lagi."Apa yang kau lakukan?!" bisiknya marah. "Apa yang kau lakukan?! Bangun perempuan sialan?!" bentaknya."B
Wickley merasa tak percaya dengan pendengarannya sendiri, pria setua Thomas ternyata masih bisa bersikap kekanakan. Benar-benar tak masuk akal. Mungkinkah laki-laki itu mempunyai kelainan jiwa?"Aku memintamu untuk menjadi penerusku, tapi dengan angkuhnya kau menolak." Suara Drage terdengar mendesis."Aku tidak berminat! Dan kurasa sudah cukup basa-basimu, sebaiknya cepat beritahu di mana Alona!" ujar Wickley tenang."Oh, sabar sedikit,
Sudah dua bulan lebih dari kepergian Alona, dan Wickley masih belum bisa menemukan wanita itu. Beberapa kali mereka mendapatkan informasi palsu yang ketika ditelusuri berakhir dengan jalan buntu. Pria itu yakin sekali bahwa kali ini Thomas pasti melibatkan anggota mafianya untuk menyembunyikan Alona. Entah apa yang diinginkan pria tua itu, yang jelas Wickley akan menghabisi pria brengsek itu dengan tangannya sendiri."Tuan, kami memiliki informasi baru." Andrew datang dengan
Irene keluar dengan tubuh keringat dingin, wajah pucat pasti serta lutut gemetar hebat. Ia menghampiri Ilyas yang memeluk sang mama sambil menangis segugukan. "Ilyas ...," panggilnya pelan.Pria itu mendongak, matanya tampak sangat merah, tak ada sinar keangkuhan seperti biasa. "Aku ... aku ..." Irene menarik napas panjang. "Aku menemukan sesuatu," lirihnya.