Share

6. DEMI AISHA

Seperti kata Aisha, Allah tidak akan pernah memberi cobaan di luar batas kemampuan umatnya.

Itulah satu hal yang menjadi pegangan Samudra saat ini.

Cobaan yang dia alami saat ini memang berat, tapi dia masih diberi akal untuk berpikir dan diberi kemampuan untuk berusaha.

Berusaha mencari uang untuk membayar biaya rumah sakit yang jelas tidak sedikit.

Pagi itu, setelah mendapat penanganan serius di IGD, Aisya masih diharuskan menjalani rawat inap karena keadaannya yang semakin memburuk.

Tumor di rahimnya sudah semakin membesar, itulah yang menyebabkan Aisha kini mengalami pendarahan meski hal tersebut tidak fatal karena lekas mendapat penanganan.

Hanya saja, tim medis mengatakan, bahwa Aisha harus segera melakukan Operasi untuk mengangkat tumor, termasuk melakukan persalinan prematur, karena jika dibiarkan dan sampai tumor tersebut pecah di dalam rahim, maka nyawa Aisha dan nyawa sang janin tidak akan bisa diselamatkan.

Mungkin, jika Samudra memiliki uang, dia tidak akan berpikir lama untuk menyetujui saran dokter tersebut. Sayangnya, Samudra tidak memiliki uang, sementara Dokter mengatakan proses operasi baru bisa dilakukan setelah Samudra membayar setidaknya separuh dari biaya operasi terlebih dahulu.

"Baik Dok, saya akan usahakan membayar biaya tersebut secepatnya," ucap Samudra sebelum dia pamit dari ruangan Dokter yang kini menangani Aisha.

Samudra keluar dengan wajah kusut. Menutup pintu ruangan itu perlahan dan berjalan gontai menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang rawat Aisha.

Dilihatnya Aisha masih tertidur, sepertinya efek obat biusnya masih belum hilang.

Perlahan, Samudra duduk di kursi lipat yang disediakan pihak rumah sakit di sisi brankar Aisha. Menggenggam jemari Aisha lembut.

Genangan air mata yang sejak tadi sudah membendung di kelopak mata Samudra seketika terjatuh. Menetes bergantian.

"Aku tinggal sebentar ya Aisha, nanti aku minta tolong Mbak Santi buat temenin kamu dulu di sini," ucap Samudra pelan.

Setelah menghubungi Santi dan Santi tiba di rumah sakit untuk menggantikannya menjaga Aisha, Samudra pun berpamitan pada Santi dan menitipkan Aisha pada tetangganya itu.

Di sepanjang perjalanan keluar dari rumah sakit, Samudra terus berpikir.

Pikiran lelaki itu bercabang karena dilema.

Sempat terbersit ide untuk meminta bantuan dana dari keluarganya, hanya saja, Samudra tak memiliki cukup keberanian untuk melakukan hal itu.

Sadar bahwa dia sudah melakukan kesalahan, tak mungkin dia kini harus kembali hanya untuk meminta bantuan?

Bahkan sejak dirinya keluar dari kediaman orang tuanya, tak ada satu pun pihak keluarga yang menghubunginya meski sekadar bertanya kabar.

Tidak ibunya, tidak juga ketiga adiknya.

Apalagi Papanya?

Cih, sudah pasti tidak akan mungkin.

Samudra memang tidak tahu apa yang terjadi di kediamannya semenjak dia pergi meninggalkan rumah, karena semenjak itu juga dia benar-benar putus komunikasi dengan seluruh anggota keluarganya.

Bahkan, saat Samudra mencoba untuk menghubungi nomor ponsel Talia, Ibundanya, ternyata nomor tersebut sudah tidak aktif.

Merasakan kepalanya yang tiba-tiba berdenyut hebat, Samudra mencari tempat untuk duduk.

Jika dia mencari pekerjaan, tentu akan membutuhkan waktu lama untuk mengumpulkan uang.

Jika dia harus meminjam pada rentenir, dia khawatir kejadiannya akan seperti yang dialami Santi dan Hendrik yang kini harus mengembalikan uang pinjaman itu berkali-kali lipat dengan dalih bunga yang terus bertambah.

Sepertinya, satu-satunya cara termudah dan tercepat dia mendapatkan uang hanyalah mendatangi kediaman orang tuanya, berharap mereka berbelas kasih padanya dan mau memberinya bantuan.

Ya, meski harus menebalkan muka dan menggadai harga diri, Samudra tak perduli.

Karena apapun akan dia lakukan, demi Aisha.

*****

Siang harinya, setelah menempuh perjalanan cukup jauh dengan berjalan kaki, Samudra pun sampai di kediaman megah nan mewah kedua orang tuanya.

Rumah yang dulunya menjadi saksi kehidupan masa kecil Samudra yang indah.

"Pak, Pak Asrul?" Panggil Samudra yang saat itu sudah berdiri di depan pintu gerbang besi berwarna hitam. Memanggil satpam yang bekerja di kediaman orang tuanya.

"Eh, Mas Sam?" Sambut Pak Asrul yang langsung beranjak dari pos jaganya menghampiri Samudra di pintu gerbang. "Ada apa Mas?" Tanya lelaki berperawakan tinggi besar itu, sesekali menoleh ke arah rumah besar di ujung sana, seolah takut ada orang yang mengetahui kedatangan Samudra.

"Di rumah ada siapa aja?" Tanya Samudra saat itu.

Pak Asrul tampak berpikir. "Ng, kayaknya cuma ada Neng Mutiara doang," jawab Pak Asrul meski terlihat ragu.

"Mama kemana?" Tanya Samudra lagi.

"Ibu kan masuk rumah sakit, udah seminggu lebih dirawat," jawab Pak Asrul apa adanya.

Samudra sempat terdiam sesaat. Mengetahui sang Ibu sakit, Samudra jelas khawatir.

"Emang Mama sakit apa, Pak?" Tanya Samudra lagi.

"Ya, semenjak Mas Samudra keluar dari rumah, Bu Talia emang jadi sering sakit, Mas. Kayaknya ini udah yang keempat kalinya Ibu masuk rumah sakit semenjak Mas Samudra pergi," jawab Pak Asrul mencoba mengingat-ingat. "Kalau sakitnya sih, saya cuma tau demam aja, selebihnya saya nggak tau, Mas,"

"Hm, kalau begitu, saya boleh masuk sebentar nggak Pak? Saya mau ketemu Mutiara," Tanya Samudra saat itu.

Dari ekspresi Pak Asrul yang ditangkap Samudra setelahnya, sepertinya, Pak Asrul enggan membantu, meski akhirnya, lelaki itu pun mengizinkan Samudra untuk masuk juga.

"Mas, nanti jangan lama-lama ya, takut Pak Adipati tiba-tiba pulang," ucap Pak Asrul memperingati.

Samudra yang paham akan kekhawatiran Pak Asrul hanya mengangguk dan tersenyum.

Dia berjalan dengan langkah tergesa melewati pekarangan rumahnya yang super luas itu.

Namun, baru setengah perjalanan, langkah Samudra sudah disalip lebih dulu oleh sebuah mobil mewah yang terhenti di hadapannya.

Melihat merk mobil itu, Samudra tahu itu bukan kendaraan Papanya, melainkan kendaraan Senja, adik perempuannya yang paling tua.

Seorang lelaki turun dari balik kemudi, membuka kacamata Glossynya, menatap tak percaya ke arah Samudra yang jadi terdiam karena jalannya terhalang mobil tersebut.

"Wah, ada angin apa kamu pulang hari ini, Sam?" Tanya lelaki itu yang tak lain adalah suami Senja, adik ipar Samudra yang bernama Alden.

Hubungan Alden dan Samudra sejak dulu memang kurang baik karena Samudra yang sejak awal tidak merestui hubungan sang adik dengan lelaki mata duitan itu.

Samudra tahu bagaimana busuknya Alden, hanya saja, Senja yang sudah terlalu bucin pada Alden tak pernah mau mendengarkan kata-kata Samudra dan malah ikut memprovokasi Samudra yang sudah memfitnah Alden di hadapan kedua orang tuanya. Dan sejak saat itulah, Samudra tak pernah mau lagi ikut campur urusan asmara sang adik dengan lelaki itu. Dan karena hal itu juga, perlahan hubungan Senja dan Samudra pun jadi kurang harmonis.

Samudra melirik ke arah di mana Senja kini tampak menyusul suaminya turun dari mobil.

"Kak Sam?" Sapa Senja yang sama terkejutnya dengan Alden, meski dari cara mereka menatap ke arah Samudra jelas berbeda.

Alden dengan tatapannya yang seolah merendahkan Samudra, sementara Senja dengan tatapannya yang terlihat prihatin.

"Kakak ada perlu sama Mutiara," jawab Samudra apa adanya. Rasa-rasanya, Samudra tidak mungkin meminta bantuan pada dua manusia di hadapannya sekarang karena Samudra yakin mereka memang tidak akan mungkin bersedia membantunya.

"Hm, Sayang, kira-kira, Papa tau nggak ya, kalau hari ini anak kesayangannya pulang?" Ucap Alden pada Sang istri dengan senyuman mengejek yang terlihat menyebalkan. Kalimat yang diucapkannya terdengar seperti sebuah peringatan keras terhadap Samudra.

Senja menatap Samudra dan sang suami bergantian, seperti orang bingung menentukan sikap. "A-aku nggak tau, Mas," jawabnya dengan suara pelan.

"Yaudah, kalau begitu, kasih tau dong, biar Papa bisa cepet pulang," ucap Alden lagi.

"Maaf, aku buru-buru." Kata Samudra menengahi. Sadar bahwa sepertinya Alden memang sedang berusaha memancing emosinya, sementara Samudra yang tak ingin membuang waktu dan tenaganya hanya untuk meladeni lelaki tak penting itu, memutuskan untuk melanjutkan langkahnya menuju kediaman orang tuanya.

Samudra harus menemui Mutiara dan meminta bantuan pada adik bungsunya itu.

Namun, jika memang Mutiara tidak bisa membantu, satu-satunya cara lain yang akan Samudra tempuh adalah, mengambil beberapa barang berharga miliknya yang pasti masih tersimpan di kamarnya, untuk kemudian dia jual.

Tanpa pernah dia ketahui, bahwa saat itu, Alden yang memang membenci Samudra, benar-benar mengadukan keberadaan Samudra siang ini pada Adipati.

"Gara, cepat cari tahu, apa yang terjadi pada Samudra sampai dia pulang ke rumah siang ini?"

Perintah Adipati pada sang asisten begitu mendapat kabar tentang kepulangan Samudra.

Hari itu, Adipati yang masih menunggui Talia di rumah sakit langsung bertolak ke kediamannya untuk mengetahui lebih pasti, atas alasan yang membuat sang anak sampai pulang ke rumah hari ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status